Dentuman musik indo 2000-an menggema ke seluruh penjuru ruangan. Aurel dan Jey menggerakkan badan mereka seirama dengan playlist yang dilantunkan khas diskoria.
Mereka berdua sudah serasa dimabuk kepayang dengan kepala setengah melayang karena pengaruh alkohol dan teman-teman terdekat yang ikut berjoget bersama.
Lain hal dengan Pandu yang hanya duduk di table yang dipesan Jey. Kepalanya mengangguk mengikuti irama musik, telunjuknya mengetuk segelas vodka tanpa campuran apapun, liquor favoritnya.
Netranya hanya mengamati sekitar melihat seisi ruangan tengah dalam euphoria yang serupa.
Orang-orang di dance floor sudah menggila, banyak yang hanya berdiri dan menggoyangkan badan ringan, ada juga yang hanya duduk santai mencoba hit on orang-orang yang menurut mereka worth it.
Hanya sedikit, bisa dihitung dengan jari, orang yang duduk-duduk tenang menikmati minuman sambil mengamati sekitar seperti yang Pandu lakukan malam ini.
Pandu bukan tipe seperti Jey dan Aurel yang gila 'party', namun jika party yang dimaksud adalah kesempatan untuk minum sepuasnya tanpa mengeluarkan uang sepeser pun, maka Pandu ada di dalamnya.
"Bang, Pandu pesen sebotol lagi ya?" Ucap Pandu agak keras pada Jey yang dibalas tanda 'oke' dengan tangan Jey yang masih asik menari.
Cowok jangkung itu bangkit berjalan ke arah bar, berniat memesan satu botol vodka lagi untuknya.
Sambil menunggu dilayani, ia duduk di bangku bar sambil mengetuk-ngetukkan credit card milik Jey.
Netranya tak sengaja bertemu dengan seorang wanita yang tengah duduk di dekatnya, terlihat tengah menikmati segelas martini.
Wanita itu juga membalas tatapannya lalu tersenyum singkat. Pandu hanya mengangguk kecil sebagai tanda sopan.
Tiba-tiba, segelas martini digeser oleh wanita itu ke arahnya.
"Buat kamu, itung-itung temen nunggu. Bartender dari tadi lagi sibuk banget." Ucapnya ramah.
Pandu mengangkat sebelah alisnya, menatap martini yang sudah ada di depannya. Ia terdiam sejenak.
"Tenang aja, gak ada obat apa-apa. Lagian susah juga aku yang sekecil gini mau nyulik kamu yang setinggi itu."
Benar juga. Pandu mengiyakan dalam hati. Lagipula table nya juga tak jauh dari bar jadi masih jarak aman.
Ia lalu tersenyum dan mulai meneguk martini gratis dari wanita tak dikenal itu. Rejeki tak boleh ditolak, bukan?
"Thank you." Ujarnya singkat.
Wanita itu lantas sedikit memutar kursinya menyerong ke arahnya.
"Tinggal di jakarta?" Tanyanya.
Pandu menoleh lalu mengangguk sebagai jawaban.
"Lagi apa? Kerja atau sekolah?" Wanita itu kembali bertanya.
Pandu menimang-nimang. Tak ada salahnya membangun sedikit percakapan. Ia juga tak melihat tanda-tanda bartender bisa melayaninya dengan cepat.
"Kebetulan baru kuliah aja." Jawabnya.
Pandu mengamati wanita itu yang jaraknya lebih dekat kali ini. Dari wajah dan tangannya bisa dipastikan umurnya sudah menginjak kepala tiga atau bisa jadi kepala empat.
Namun memang tak bisa dipungkiri kecantikannya yang di luar batas wajar menutupi image umur yang terbilang terlalu matang untuk hit on dengan Pandu.
Tapi Pandu sendiri juga tidak memiliki preference mengenai tipe cewek idealnya. Selama ia suka dan nyaman, why not?
"Emm...sering ke sini?" Tanya Pandu agak bingung. Bingung harus menyebut wanita di depannya itu dengan sebutan apa.
Wanita itu tersenyum ramah sambil mengangguk. Ia lantas mengulurkan tangannya ke arah Pandu.
"Marissa. Aku memang kerja disini."
Pandu menerima uluran tangan itu sambil berpikir pekerjaan apa yang dilakukan di tempat seperti ini selain bartender dan prostitusi?
"Pandu." Ujarnya.
Mereka terlibat dalam obrolan ringan mengenai minuman andalan bar disana, bartender yang paling jago meracik cocktail favorit Marissa, hingga pelanggan reguler mana yang sering menggoda Marissa.
Sejujurnya, sebagai seorang Abimanyu Pandu, ia cukup kaget bisa mengobrol sebebas dan senyaman ini dengan orang asing. Apalagi di diskotik.
Cukup lama mereka berbincang hingga tak sadar jika bartender yang tadinya super sibuk sudah longgar.
"Vodka satu botol sama bintang large 3." Pesan Pandu ketika seorang bartender menanyainya.
"Vodka person, huh?" Ujar Marissa.
Pandu hanya tertawa kecil merespon. Ia lalu mengangkat martininya mengajak Marissa untuk bersulang dan disambut baik oleh si wanita.
"So, kerjaan macem apa dan kayak gimana yang bisa dilakukan disini?" Tanya Pandu lebih kasual.
Marissa menatap Pandu sejenak lalu tersenyum penuh arti.
"Emang kerjaan macem apa yang kamu bayangin cocok untuk seorang wanita seumur aku?"
Pandu mengerutkan alisnya mencoba berpikir. Ia sendiri pun sebenarnya tak memiliki pemikiran apapun selain hal yang sifatnya negatif.
"Honestly, I really don't know." Jawabnya.
"Gimana kalo aku bilang aku penyedia jasa?" Ujar Marissa.
Pandu mengangkat sebelah alisnya mendengar jawaban Marissa. See? Pasti tak jauh dari dugaannya.
"Gak kaget, sih. Emang bisnis itu cocoknya disini juga. Nothing is wrong." Ujarnya santai.
Kini giliran Marissa yang menatap Pandu sedikit heran. Banyak sekali cowok atau cewek yang ia ajak bicara pasti akan kabur di saat ia menanyakan nama atau bahkan saat ia menawari minuman.
Tapi berbeda dengan pemuda yang baru saja ia kenal ini. Pandu pasti seumuran dengan anaknya, jika ia tau ia masih punya anak.
Marissa membuka tasnya, mengeluarkan sebuah kartu nama. Kartu namanya.
Ia memberikan kartu itu pada Pandu yang disambut dengan tatapan bingung.
"Kalau kamu ada waktu, we can just talk, or hang out." Ujarnya.
Pandu masih memandangi kartu itu. Belum ada pergerakan untuk mengambilnya dari tangan Marissa.
Melihat itu, Marissa terkekeh.
"Ini undangan buat temenan kok. Bukan nawarin jasa. I feel like we could be a good friend. Jarang-jarang bisa nemu yang enak diajak ngobrol tanpa minta imbalan jatah di kamar."
Akhirnya Pandu mengambil kartu itu dan tersenyum ramah, memberi kesan anak yang sopan pada Marissa.
"Nice to have a chance talking to you, Pandu. Sampai ketemu." Ujarnya lalu menepuk pundak lebar Pandu dan berjalan menjauh.
Sekilas Pandu membaca kartu nama yang baru saja ia berikan sambil memikirkan apa yang barusan terjadi.
---
Jemari lentik Grizelle menyentuh bibir plum-nya sedangkan manik coklatnya menatap penuh karisma ke arah lensa kamera Kala.
Gadis cantik itu dengan lihai berpose yang terlihat sangat natural dan tanpa cacat. Kala pun juga dengan profesionalnya mengambil angle yang tepat untuk hasil yang fantastik.
Minggu siang ini, mereka memilih teras sebuah cafe di pinggir kota Jakarta sebagai latar sesi Monday spent with Grizelle. Bukan untuk kepentingan job, tetapi demi kepentingan feed instagramnya.
Kegiatan ini sudah menjadi rutinitas setiap seminggu sekali dimana selain hunting foto untuk kelanjutan hidup si selebgram juga untuk sekedar hang out di hari libur.
Tak jarang Gavin bergabung namun biasanya hari Minggu adalah hari keluarga untuk sahabat Kala itu.
Kala beralih menggunakan hpnya untuk mengambil gambar Grizelle yang sudah tidak berpose dan tengah memainkan hpnya. Mereka sudah beralih masuk ke dalam cafe untuk mengisi perut.
Grizelle yang menyadari Kala masih fokus memotretnya pun memasang ekspresi konyol. Hal itu membuat Kala terkekeh.
"Post ini aja sih." Katanya sambil menunjukkan foto barusan.
Cewek itu lalu merengut. Enak aja, sudah capek-capek dandan dan pose.
"Ih jelek banget ah. Apus!"
Kala lalu tertawa geli. Grizelle melanjutnya menyesap strawberry milkshakenya dengan cemberut.
Manik berkilau cewek itu terus memperhatikan Kala sambil bersiap-siap untuk balas dendam.
Ketika yang ditarget lemah ia segera berdiri dan mengambil kesempatan.
Klik
Kala yang melihat itu lalu ikut merengut. Padahal ia tengah sibuk dengan kamera disposablenya.
"Curang amat!" Protesnya yang hanya dibalas jari tengah oleh Grizelle.
Gadis itu kembali duduk ke tempatnya. Ia melirik jam di tangan kirinya. Sudah menunjukkan pukul 2 siang.
"Mau jalan jam berapa? Janjian sama dokter Fadli jam setengah 3 kan?" Tanyanya.
Rencana utama dari jalan hari minggu ini adalah check up rutin Kala dan Grizelle adalah orang yang selalu menemaninya.
Lebih tepatnya, memastikan cowok itu menginjakkan kaki ke rumah sakit untuk check up, karena jika tidak dikawal olehnya atau Gavin, sudah dipastikan Kala akan mangkir.
"Bentar lagi. Ngabisin film sekalian. Biar pulang tinggal gue cuci." Ujarnya sambil masih fokus pada kamera disposable.
Tak beberapa lama, akhirnya Kala selesai lalu mereka berdua pun beranjak keluae cafe. Tepat ketika mereka sudah keluar, pundak Kala ditabrak dengan kasar oleh seseorang.
Kala dan Grizelle pun menoleh dan melemparkan tatapan tak suka ke orang itu.
Orang tadi lalu berhenti dan menoleh ke arah mereka. Melihat siapa penabraknya, Kala membuang nafas kasar.
"Ups, hampir gue bilang sorry." Ucap orang itu dengan nada sarkas.
"Tapi pas liat siapa, harusnya gue tabrak lebih kenceng tadi." Lanjutnya.
"Gak kaget sih buat orang jalanan macem lo." Jawab Kala.
Orang itu hanya terkekeh singkat lalu menatap Kala penuh arti.
"Kalem aja, Kal. Mulut lo masih sama aja kayak dua tahun lalu ya, bocor gak kesaring."
"Tapi bisa nyingkirin mahasiswa gak berguna dari kampus, sih." Balasnya cepat.
Grizelle bisa merasakan hawa tak enak mulai muncul di sekitarnya. Gadis itu lalu memegang lengan Kala dan berusaha menariknya untuk pergi saja.
"Oh, lagi sama si guardian angelnya. Apa kabar, Zel?" Cowok tadi kini beralih menatap Grizelle.
"Gak ada urusannya sama lo." Ujarnya ketus lalu menoleh ke Kala.
"Udah telat nih, yuk!"
"Buru-buru amat. Gue masih pengen ngobrol nih. Urusan dua tahun lalu juga belom kelar, kan?"
Grizelle menatap nyalang Dalu, mantan teman kampusnya dan mantan kakak tingkat Kala.
"Denger ya, Lu. Kita udah gak ada urusan lagi. Masalah dua tahun lalu, itu urusan lo sama polisi. Dan gue juga gak mau terlibat apa-apa, apalagi liat lo ada di sekitar." Grizelle berucap penuh penekanan.
Dalu lalu tersenyum miring dan sangat terlihat licik.
"Emang urusan gue sama lo udah selesai. Tapi urusan gue sama cowok kesayangan lo gak akan selesai. Gue bakal selesaiin masalah sama dia dengan cara gue."
Kala makin menatap Dalu dingin. Ia mendeteksi adanya ancaman di balik perkataan mantan seniornya itu. Tangannya otomatis meraih tangan Grizelle dan menarik cewek itu berdiri di belakangnya.
"Gue tunggu cara penyelesaian lo. Tapi kalo sampe lo sentuh siapapun selain gue, gue pastiin lo berakhir jauh lebih buruk dari yang sebelumnya." Ujar Kala.
Grizelle menatap Kala kaget. Cewek itu tak terima dengan jawaban Kala. Ia lalu menunjuk Dalu.
"Awas ya, kalo sampe lo sentuh Kala sedikitpun, gue gak akan tinggal diam." Ancam gadis itu dengan penuh intimidasi.
Dalu lalu tertawa kencang mendengar ancaman berlapis dari kedua sejoli itu.
"Woaah, gila. Serem juga lo berdua. Salut gue. Jadi makin semangat buat jalanin rencana." Katanya lalu tersenyum penuh arti.
"Bang Dalu!" Suara dari belakang mereka menggelegar.
Tak lama Baron dan beberapa temannya menghampiri Dalu. Tatapan bengis dari Baron juga tak luput dari penglihatan Kala.
"Ini anjing satu ngapain, Bang?" Tanyanya.
Dalu hanya menepuk pundak Baron lalu mengajaknya masuk ke cafe.
"Gak penting. Udah, masuk aja." Ucap Dalu. Ia melemparkan tatapan penuh arti sekali lagi pada Kala lalu berjalan memasuki cafe.
Grizelle pun menarik Kala menuju motor. Ketika mereka berjalan menuju motor Kala, Galang baru berjalan menjauhi mobil dan berpapasan dengan mereka.
Kala masih dalam mode dinginnya hanya menatap Galang cuek. Namun langkahnya terhenti ketika suara Baron menyeruak.
"Lang! Sini!" Ucap Baron mengangkat tangannya memberi kode Galang untuk mendekat.
Galang juga melambai lalu mendekati Baron dan mereka masuk bersamaan ke dalam cafe.
Kala menyaksikan hal itu. Alisnya makin berkerut. Darimana Galang mengenal Baron dan bagaimana bisa anak itu masuk ke tongkrongan Dalu.
"Kala! Sini lo!" Lamunannya buyar ketika mendengar Grizelle yang sudah duduk di jok motornya dengan tangan terlipat di depan dadanya.
Bisa Kala pastikan setelah ini Grizelle akan mengomelinya habis-habisan. Cowok itu melangkah dengan malas ke arah Grizelle.
Benar saja, belum sampai ia sudah mendengar Grizelle memarahinya. Menyuruhnya untuk menghindari Dalu dan komplotannya, tidak memprovokasi mereka, harus mulai hati-hati hingga meminta Kala untuk mengabari kemanapun Kala akan pergi mulai sekarang.
Kala hanya diam, mengambil helm Grizelle lalu menyodorkannya ke gadis itu namun sang dara masih asik dengan omelannya.
Dahi Kala mengerut ketika suara Grizelle tiba-tiba makin teredam. Visual Grizelle di depannya tiba-tiba makin memburam. Suara dengungan cukup nyaring masuk ke pendengarannya.
Ia mengerjapkan matanya dengan cepat berharap pandangannya kembali normal. Matanya yang semula tertuju pada Grizelle mengosong.
"Pokoknya kalo lain kali ketemu Dalu, lo harus pergi aja. Atau telpon gue sama Gavin. Ngerti?"
Grizelle menunggu Kala menjawab. Namun beberapa detik Kala tetap terdiam. Ia menyadari mata Kala sudah tidak terfokus padanya melainkan lebih ke kosong.
Cewek itu menyadari ada sesuatu yang salah dengan Kala ketika si pemuda itu agak terhuyung dan menjatuhkan helm di tangannya.
"Kala! Lo kenapa?" Ucap Grizelle setelah menahan tubuh Kala yang hampir jatuh ke samping.
Kala akhirnya melihat ke arah Grizelle. Pandangannya sudah tidak buram dan pendengarannya sudah kembali seperti semula. Namun, pusing membekas di kepalanya.
Ia menarik nafas dalam lalu menghembuskannya perlahan. Badannya membungkuk meraih helm yang tadi terjatuh dari tangannya.
Grizelle masih mengikuti pergerakan Kala dari matanya.
"Lo sih ngomel mulu, bikin gue pusing tau gak? Mana panas banget lagi."
Gadis itu masih memicingkan matanya, curiga. Kala yang menyadari Grizelle tidak percaya lantas langsung menyodorkan helm.
"Nih! Udah telat. Yuk." Katanya lalu naik ke motor dan bersiap berangkat.
Grizelle masih berdiri, enggan untuk naik ke motor Kala yang sudah siap.
"Lo yakin gak papa? Pusing gitu katanya."
Kala berdecak kesal.
"Gak papa kalo lo buruan naik sekarang. Panas banget nih, keburu makin pusing."
Grizelle hanya mampu menuruti perkataan Kala. Makin cepat sampai di rumah sakit makin bagus pikirnya. Lalu akhirnya ia menempatkan diri di belakang Kala dan mereka meninggalkan cafe, menjadi satu dengan rumitnya jalanan Jakarta siang itu.
---
Gavin memindahkan sepotong ayam terakhir ke atas piring. Dengan cekatan ia lalu mencuci kembali penggorengan yang barusan digunakan untuk memanaskan masakan mamanya yang diberikan untuk Kala.
Grizelle masih sibuk dengan sup makaroni andalannya. Jam sudah menunjukkan pukul 7 malam. Sudah saatnya mereka mengisi perut.
"Gimana tadi check up Kala, Kak?" Tanya Gavin yang sudah duduk di kursi ruang makan apartemen Kala. Sedangkan si pemilik apartemen masih berlayar di alam mimpinya.
"Huh...agak jelek, Vin."
Gadis itu mengangkat panci berisi sup ke atas meja makan. Ia lalu mendudukkan diri di hadapan Gavin.
"Tadi sempet transfusi darah dulu. Dokter Fadli bilang hasil minggu ini lebih parah dari sebelumnya. Lusa harus transfusi darah lagi. Kalo gak bakal bahaya."
Gavin memandang Grizelle heran.
"Kok bisa gitu sih?" Tanyanya bingung namun jelas tersirat nada khawatir.
Grizelle menghela nafas berat.
"Ya temen lo itulah. Minum obat asal-asalan. Obatnya kan harusnya udah abis 2 minggu lalu, lah baru ketawan tadi masih setengah botol."
Gadis itu menjelaskan setengah emosi dengan nada yang menggebu. Gavin pun hanya merespon dengan gelengan kepala.
"Ngomongin gue mulu. Gak bosen apa."
Kala muncul dari kamarnya dengan penampilan khas orang baru bangun tidur.
Ia berjalan ke arah kulkasnya lalu mengambil sebotol soda dan menuangkannya ke gelas.
Ia akhirnya duduk di sampong Gavin. Namun belum sampai mengangkat gelas sodanya, tangan cekatam Grizelle menukar gelasnya dengan segelas air putih.
"Ini lagi! Baru aja pulang dari rumah sakit malah minum beginian. Pantesan aja makin parah tuh penyakit."
Kala memutar matanya jengah. Diomelin lagi, batinnya.
"Ya emang udah takdirnya begini mau gimana lagi." Ujar Kala santai.
"Takdir Tuhan, pale lo! Mana ada sih orang punya anemia aplastik idupnya senyantai lo gini? Masih kerja sampe subuh, jalan-jalan, nyebatnya udah kayak kereta pula."
Kini giliran Gavin yang menanggapi Kala.
Si korban omelan hanya mendengus kasar. Beginilah jika membiarkan orang masuk terlalu jauh dalam hidupnya, semuanya menjadi overprotective seperti ayahnya dulu.
"Lagian, kenapa gak minta bokap balik ke Indo aja sih? Kan sempet nawarin juga dia tiap taun? Lo nya juga bisa ada yg ngawasin tiap hari." Ujar Grizelle.
"Gak ada bokap aja lo berdua udah recok banget gini? Apalagi nambah bokap. Yang ada gue makin pecah kepala."
Kini Grizelle dan Gavin membuang nafas kesal. Kala memang memiliki kepala sekeras batu. Mau dibujuk dan dirayu sekuat apapun juga tidak akan luluh.
"Tumben lo mampir Minggu. Keluarga gak ada acara?" Tanya Kala pada Gavin.
Gavin menggeleng.
"Ada sih. Tapi Dira minta tolong bantuin dia alibi kalo ada acara kampus. Udah janji sama Galang Pandu katanya. Jadi ya, gue nya mesti ikutan pura-pura cabut juga."
Mendengar nama Galang, Kala jadi teringat kejadian tadi siang.
"Si Galang emang main sama Baron and the gang?"
Gavin agak heran mendengar pertanyaan Kala.
"Hah? Tau darimana lo?"
"Tadi siang ketemu dia lagi mau nongkrong sama komplotan mereka, ada Dalu juga lagi."
Gavin terdiam. Setaunya Dira saja tak mengenal Baron.
"Gak tau juga sih gue. Tapi, Dira aja gak kenal Baron. Hm....kalo beneran, bahaya juga tuh pergaulan Galang."
Kala hanya mengangguk mengiyakan.
Grizelle yang menyimak pun angkat bicara.
"Mending lo awasin deh tuh si Galang. Kasian baru masuk udah join yang melenceng. Anaknya lucu banget lagi."
Ucap Grizelle.
Kala dan Gavin menoleh setelah mendengar Grizelle memuji Galang. Sedangkan yang ditatap balas memandang mereka polos.
"Why?"
"Lo barusan bilang Galang lucu." Ucap Kala.
"Terus? Emang lucu kok, imut-imut gimana gitu, gemes."
"Dia aja belom 20 taun. Bisa-bisa dianggep pedofil lo." Ujar Kala singkat.
Grizelle lantas tersenyum jahil.
"Ouh, ada yang cemburu? Utututu! Kala cemburu Kak Grizelle bilang cowok lain lucu?"
Grizelle berucap dengan nada dibuat sok gemas seperti sedang bicara dengan anak kecil.
"Apaan si." Kala berucap lalu berdiri mengambil piring.
Gavin yang melihat peristiwa sahabat dan seniornya itu hanya geleng-geleng kepala.
"Pas lo digebet Kak Grizelle juga lo nya belom 20 kali, Kal." Ucapnya yang mengundang tawa kencang Grizelle dan tatapan tajam dari Kala.
----