Chereads / Engine Batska / Chapter 5 - Chapter 4

Chapter 5 - Chapter 4

Mata indah Kala yang tertutup mulai bergerak perlahan. Sang empunya masih mencoba untuk membuka matanya yang terasa berat. Ketika ia berhasil membuka mata, cahaya lampu kuning menyapa netranya. Penglihatannya masih buram. Ia mengerjap beberapa kali hingga pandangannya kembali normal.

Kala melihat ke sekeliling. Ia berada di kamar apartemennya. Pening di kepalanya masih terasa namun tidak begitu mengganggu. Sambil memijat pelipisnya pelan, ia mencoba mengingat kembali apa yang baru saja terjadi. Matanya melebar ketika mengingat seluruh kronologis yang terjadi sebelum ia tak sadar. Ia melirik jam dinding di kamarnya.

21.00

Dengan perlahan ia bangkit untuk duduk. Kepalanya masih sedikit berdenyut. Kala lalu menginjakkan kakinya di lantai dan berjalan pelan menuju pintu kamarnya yang terbuka. Dari pintu kamar ia menemukan sosok Galang tengah duduk bersandar di sofa ruang tengah sambil menonton acara tv.

"Gimana bisa lo masuk ke kamar gue?" Kala berujar sambil bersandar di pintu kamarnya.

Galang menoleh, netranya melihat Kala masih terlihat pucat dan lemas. Rambutnya pun acak tak beraturan.

"Ada password apartemen lo juga di notes." Jawabnya lalu kembali mengalihkan pandangan ke layar TV.

Saat menemukan Kala yang pingsan tiba-tiba di rooftop, awalnya Galang sudah hampir menelpon ambulance. Namun, ternyata masih tersisa sedikit kesadaran dari Kala yang langsung mencegah Galang. Cowok itu menyerahkan hpnya dan meminta Galang untuk membawanya ke apartemen saja.

Ia memberi tau notes apartemen di hpnya, dimana disitu tercantum alamat, nomor kamar dan password flat-nya. Kala mengangguk singkat lalu berjalan ke arah dapur. Ia butuh teh hangat sebagai penetral peningnya.

"Kenapa gak tinggalin gue aja? Lo kan bisa telpon Gavin." Tanyanya dari arah dapur.

Galang bangkit dari duduknya dan melangkah ke dapur.

"Udah, tapi bang Gavin bilang baru bisa kesini jam 10 malem jadi minta tolong gue nemenin lo dulu sampe dia dateng." Jawab Galang.

"Mau teh apa kopi?" Tawarnya ke Galang.

Galang mengangkat sebelah alisnya, berpikir.

"Teh." Jawabnya singkat. Tak dipungkiri dirinya haus sekarang.

Kala kemudian menyerahkan secangkir teh hangat pada Galang lalu berjalan ke arah balkon. Disana ia duduk di kursi balkon lalu membakar sebatang rokok. Galang mengikutinya ke arah balkon. Lalu mengernyit ke arah seniornya.

"Buset, baru bangun juga." Imbuhnya.

Kala hanya melirik tak peduli lalu lanjut mengisap rokoknya. Sejenak keheningan menyelimuti mereka. Agak canggung tapi tidak secanggung yang dibayangkan. Hal ini sering terjadi karena mereka sudah menjadi 'silent cigarette buddy' tanpa sadar tiap sore di rooftop kampus.

Galang mengelus liontin peninggalan ibunya yang tergantung di lehernya sambil menatap ke arah hamparan lampu di bawah. Merasakan rindu singkat untuk yang mengandung, lalu sekilas mengecup liontin itu. Kala tak sengaja melihat hal itu pun menyadari kalau benda itu pasti sangatlah penting untuk Galang. Seperti Albio, kamera kesayangannya.

"Lo tinggal sendirian?" Tanya Galang.

"Hm." Gumamnya mengiyakan.

"Dari awal masuk kuliah?" Galang bertanya lagi.

Dan Kala hanya mengangguk mengiyakan.

"Lo anak tunggal?"

"Hm."

"Bokap nyokap di luar jakarta?"

"Hm."

"Sering balik gak?" Tanya Galang kembali. Kali ini Kala hanya diam tidak menjawab.

"Kok gak ada foto keluarga di apartemen lo?" Kala masih diam saja tak menanggapi Galang yang masih dalam sesi interviewnya.

"Lo..ada penyakit apa gitu?" Tanyanya lagi yang langsung dijawab tatapan malas dari Kala.

"Bukan. Urusan. Lo." Jawabnya penuh penekanan.

Galang pun hanya mengangkat bahu acuh.

"Just asking. Gue kira lo gak se-privasi itu sih. Ngeliat lo asal kasih alamat sama password apartemen ke orang yang baru dikenal." Ucap Galang mengingatkan betapa cerobohnya Kala sore tadi.

Coba kalau bukan dia yang menemukan cowok itu, andai yang menemukanya adalah Baron. Pasti apartemennya sudah kacau diacak-acak.

"Ya kalo gak niat nolong lo harusnya tinggalin gue aja sih disana. Gak usah repot-repot bawa gue pulang." Jawab Kala sensi.

Galang hanya terkekeh. Emosinya mulai naik. Oke, sesi adu mulut dimulai lagi. Siapa takut?

"Sensi banget. Gak pernah diajarin anger management apa?"

Kala mulai menatap Galang tak suka.

"Maksud lo?"

"Ya, first impression orang ke lo orangnya idealis dan logis mampus. Almost perfect. Nyatanya, ceroboh dan dan emosinya berantakan. At least, gue pernah diajarin sama bokap gue buat gak kasih hal pribadi apalagi password apartemen ke sembarang orang sih."

Kala mendengus kesal. Darahnya mulai mendidih mendengar nada bicara dan topik yang Galang angkat memang sensitif baginya.

"Kalo gak tau apa-apa gak usah sok tau." Jawab Kala mencoba untuk bersabar. Ia masih menganggap Galang masih kekanakan dan ucapannya tak perlu diladeni serius.

"Lo sendiri gak pernah diajarin buat jujur apa dari kecil? Kerjaannya boong doang tiap hari sama orang tua." Balas Kala menyinggung masalah Galang yang selalu ia tangkap berbohong pada ayahnya tiap cowok itu sedang di rooftop.

"Gak usah sotoy. Buat orang yang bahkan gak mau majang foto keluarga di rumahnya lo gak ada hak buat ngomong gitu."

Kala mulai tersulut mendegar ucapan Galang. Ia beranjak dari duduknya dan langsung menatap Galang tajam. Galang yang melihat pergerakan Kala tersenyum miring.

"Kenapa? Malu lo sama orang tua lo? Atau...emang lo gak punya?" Sarkasnya.

"Jaga ya omongan lo! Itu mulut gak pernah disekolahin nyokap apa?!"

Mendengar kata 'bunda', emosi Galang melunjak seketika.

"Gak usah bawa-bawa nyokap!" Bentaknya.

Kala yang mendengar itu lalu tertawa sinis.

"Kenapa?" Tanyanya berjeda lalu melanjutkan.

"Atau...emang gak punya nyokap juga?" Ucapnya dengan ekspresi sengit.

Galang yang makin emosi lalu langsung mengangkat kerah baju Kala. Sedangkan yang diserang hanua terdiam menatap Galang bengis.

"Ketebak banget lo. Pantesan boong mulu sama bokap lo, gak ada nyokap yang bisa disandarin ternyata."

"Lo..!"

Bugh!

Kala langsung terhempas ke dinding ketika Galang menonjok rahangnya. Matanya menatap Galang nyalang ketika merasa darah mulai keluar dari pinggir bibirnya. Galang bahkan tak peduli sama sekali jika yang dipukulnya saat ini baru sadar dari pingsannya.

"Makin keliatan gak ada didikan ortu samsek ya omongan lo! Dasar yatim piatu lo, Bangsat!" Ucap Galang berujar penuh emosi.

Kali ini giliran Kala yang mendorong bahu Galang emosi. Selama ia hidup, baru kali ini ada orang mengatainya yatim piatu. Yang memang nyatanya bukan.

"Apa kata lo! Bajingan! Mending lo pergi dari sini sekarang!" Marahnya lalu mendorong Galang dengan kasar ke arah pintu keluar.

Galang masih penuh dengan amarah. Ia merasa tidak terima.

"Kalo lo jantan kita selesaiin disini sekarang juga! Bukan malah nyuruh gue pergi!"

Kala masih menatap Galang nyalang.

"Lo mau apa?! Lo mau kita tonjok-tonjokan disini? Sorry, lo bahkan gak pantes dapet bogeman gue." Sinisnya.

Galang mendorong kasar Kala, mencoba menyulut emosi lebih dari cowok itu. Kala yang terdorong langsung terpancing dan langsung meninju Galang hingga juniornya itu menubruk sofa ruang tengah.

Galang yang terjatuh, diikuti dengan seluruh barang di meja sebelah sofa berhamburan menangkap sebuah kamera. Kamera kesayangan Kala yang tadi siang dibicarakan Gavin dan Grizelle. Dengan senyum licik, ia meraih kamera itu lalu memperlihatkannya ke depan wajah Kala.

Si pemilik kamera melebar ketika melihat Galang melempar kamera itu ke arah balkon sehingga menimbulkan suara barang pecah yang amat menyakitkan bagi Kala. Melihat kesayangannya terpecah belah, Kala langsung menghujami Galang dengan beberapa tinju kerasnya.

"BANGSAT! BAJINGAN LO!" Umpatnya penuh amarah sambil terus menghajar Galang.

Galang pun juga ikut membalas pukulan Kala tak kalah keras. Terjadi lah adu pukul yang tak terhindarkan. Kala yang di tengah perkelahiannya melihat liontin tergantung di leher Galang segera mencabut benda itu paksa. Galang yang merasa benda kesayangannya diambil secara paksa langsung mencoba merebut kembali namun selalu gagal.

"SIALAN! BALIKIN!" Ucapnya marah.

Kala dengan cepat membuka pintu lalu mendorong Galang dengan paksa keluar.

"Mata dibayar pake mata, hati juga dibayar pake hati!" Ucapnya lalu menutup pintu dengan kasar.

Galang makin melunjak ketika melihat pintu tertutup dan Kala tidak mengembalikan kalungnya.

"ANJING! BALIKIN KALUNG GUE, BRENGSEK!" Ucapnya sambil menggedor pintu Kala kasar.

Tangan Galang sudah mulai ngilu, lelah memukul pintu yang tak terbuka itu. Kala pun masih tetap pada pendiriannya tak akan mengembalikan kalung Galang.

"BANGSAT!" Tendangan terakhir Galang pada pintu menggema ke seluruh koridor.

Dengan penuh amarah ia melangkah menjauh. Di persimpangan lift, pundaknya menabrak seseorang dengan kasar. Namun, ia tak ada minat minta maaf dan dengan cueknya melenggang pergi.

"Woi! Lang!" Gavin memanggil Galang, orang yang menabrak pundaknya, namun tak dihiraukan.

Bisa ia tebak pasti terjadi kekacauan karena ia sempat melihat wajah galang yang cukup hancur seperti baru saja adu tonjok dengan seseorang yang ia yakini Kala. Dengan langkah tergesa, Gavin segera menuji ke flat Kala untuk memastikan keadaan sahabatnya itu.

---

Sudah genap dua minggu bagi mahasiswa baru mulai menempuh dunia perkuliahan. Galang pun juga masih aktif dalam klub kemahasiswaan. Sore ini adalah kali ketiganya bergabung si klub sepak bola. Menurutnya, klub ini sangat cocok baginya untuk refreshing di tengah kesibukan kuliah dan klub gokart yang menguras otak.

Peluit tanda pertandingan berakhir berbunyi. Kaki panjang Galang menepi ke pinggir lapangan untuk mengelap keringatnya yang sudah banjir. Dirinya menoleh ketika mendapat tepukan di bahunya.

"Dek, gue liat main lo bagus juga dari kemarin." Ucap orang di belakangnua.

Ia mendapati senior yang ia ketahui namanya Baron, senior yang juga sempat mengganggu Kala saat first gathering klub gokart.

Galang lantas tersenyum, "Makasih, bang. Emang lagi niat cari refreshing sih. Makanya niat main."

"Eh, kenalin, gue Baron." Ucapnya mengulurkan tangan ke Galang.

Galang lantas menyambut uluran tangan itu.

"Galang, Bang. Kita satu klub juga kok di gokart." Ucapnya.

Baron mengangkat sebelah alisnya.

"Oh. Pasti inget gue gara-gara gue made a scene kemarin."

Galang lalu hanya tersenyum kikuk menanggapi.

"Biasain aja ya. Gue gak bakal berlaku kayak gitu tanpa alesan kok. Orang-orang aja yang masih buta kalo orang macem dia gak seharusnya diikutin." Ucap Baron kemudian sambil meneguk air dari botolnya.

Galang pun langsung mengerti 'dia' yang dimaksud adalah Kala. Tanpa sadar ia mengangguk lalu menjawab.

"Emang bangsat tuh orang." Gumamnya yang masih bisa didengar Baron.

Galang masih mengingat jelas perkelahian antara dia dengan Kala yang berakhir dengan perampasan kalung milik Galang.

Sejak hari itu sudah lebih dari seminggu ia tidak berpapasan dengan Kala. Ia sendiri pun juga berusaha untuk tidak pergi ke tempat-tempat yang dirasa rawan akan keberadaan Kala. Tapi ia akan pastikan, ketika dirinya sudah tenang, ia akan kembali datang dan menagih kembali kalungnya. Apapun dan bagaimanapun caranya.

"Lo juga ada masalah sama dia?" Baron bertanya sambil memiringkan kepalanya.

Galang yang sadar keceplosan segera terkekeh lalu menggeleng.

"Gak, ehm....keliatan aja, Bang." Tutupnya dengan senyum canggung.

Baron menyadari bocah itu menutupi sesuatu. Namun ia mengerti bukan porsinya untuk ikut campur sekarang.

"Anyway, kemarin gue dapet tawaran sparing sama anak fisip. Lo mau join? Gue mau liat main lo lebih jauh." Tawarnya.

Galang langsung melebarkan matanya. Sepenjelasan senior klub bolanya kemarin, slot untuk sparing di porseni univ sudah penuh sehingga tingkat 1 baru bisa bermain tahun depan.

"Beneran, Bang? Kemarin bang Aldi bilang udah penuh?" Tanyanya berharap.

Baron terkekeh lalu menjawab dengan penuh percaya diri.

"Emang udah. Tapi gue bisa masukin beberapa lagi buat cadangan. Dan gue juga bisa tuker siapa yang main siapa yang duduk sih. Fyi, gue pj sparing bola univ, Lang." Ucapnya bangga.

Galang lalu tersenyum lebar dan mengangguk antusias.

"Boleh! Thanks ya, Bang!" Ucapnya penuh semangat.

Baron membentuk 'oke' dengan tangannya. Setelah itu ia menenteng tasnya lalu berujar.

"Gue duluan ya. Next time nongkrong bareng lah."

"Siap, Bang." Jawab Galang lalu bertos ria dengan Baron sebelum senior itu melenggang pergi.

Galang yang masih berbunga-bunga lalu duduk di bangku lapangan. Ia mulai membuka tali sepatu bolanya, berniat untuk beralih mengenakan sandal untuk pulang. Namun, ketika menarik kakinya, rasa nyeri menyerang pergelangan kakinya. Sialnya kram menyerang.

"Anjrit! Aduduh, kram!" Teriaknya.

Galang seketika membungkuk menyentuh pergelangan kakinya yang kaku. Ia paling benci jika sedang kram karena ia butuh orang lain untuk memijat kakinya. Sedangkan dirinya tidak mengenal siapa-siapa di lapangan. Hari itu yang bermain rata-rata angkatan atas. Galang masih meringis menahan ngilu ketika suara lembut menyapanya.

"Eh? Kenapa? Kram?" Tanya suara itu sedangkan Galang hanya mengangguk tanpa melihat orang itu.

Ia melihat tangan milik orang yang ia yakini seorang perempuan mulai mengambil alih kakinya.

"Tahan ya, ini gue lurusin dulu baru dipijet bentar."

Gadis itu mulai meluruskan kaki Galang meletakkannya di atas pahanya lalu memutar-mutar pergelengan kaki Galang perlahan. Galang pun hanya bisa menggigit bibirnya menahan nyeri. Namun lama kelamaan akhirnya nyeri itu hilang, terganti dengan sensasi pijitan yang nyaman.

"Masih sakit?" Tanya gadis berkuncir itu.

Galang hanya menggeleng lalu menyingkirkan kakinya dari atas paha gadis itu. Sejenak ia cukup terkesima melihat paras cantik gadis di depannya. Rambutnya yang hitam legam panjang terkuncir satu, wajahnya yang mulus tanpa polesan apapun. Serta senyumnya yang mengalihkan kram Galang membuatnya tiba-tiba malu.

"Udah mendingan, kok. Makasih ya..emm..." ucapnya tergantung dan agak terdengar malu-malu.

Gadis tadi hanya tersenyum lalu menjawab.

"Maya. Fk tingkat 2." Ucapnya ramah.

Maya. Maya. Maya. Maya. Gema suara gadis itu seakan masuk ke bagian otaknya paling dalam, mengunci nama itu rapat.

Galang mengangguk lalu melanjutkan.

"Makasih, Kak Maya."

Maya mengerutkan dahinya mendengar kata 'kak' dari Galang.

"Lo maba?"

Galang mengangguk.

"Galang, teknik mesin tingkat 1." Ucapnya sambil tersenyum.

"Oh, pantesan gak pernah liat. Gue official medis klub bola. So, kita juga bakal sering ketemu." Ujar Maya.

Galang kembali mengangguk. Ia melihat sekeliling lapangan yang sudah sepi, memang hanya tinggal mereka berdua disana. Netranya menangkap kotak P3K yang terbuka dan isinya berantakan serta coolbox berisi botol minum untuk para pemain masih setengah isinya.

"Butuh bantuan sama barangnya, Kak? Kayaknya ribet tuh."

Sebelumnya ia memang sudah melihat kalau yang membawa kotak-kotak itu adalah Maya. Maya melirik barang bawaannya.

"Hm, boleh sih kalo mau bantuin angkat coolbox sampe ke parkiran."

Galang pun beranjak berdiri lalu tersenyum puas.

"Coolbox doang mah kecil."

'Kalo yang punya minta diangkatin sampe parkiran juga hayuk mah.' Gumamnya dalam hati.

'Tahan, Lang. Baru pertama ketemu. Ngegasnya next time aja.' Batinnya kembali.

Ia lalu berjalan menghampiri Maya dan barang-baranya. Setelah semua beres, mereka berjalan beriringan menuju ke parkiran. Selama perjalanan Galang berharap semoga Tuhan menurunkan hujan yang paling lebat agar dirinya dan senior cantik itu bisa tertahan lebih lama berdua.

---TO BE CONTINUED---