Chereads / Engine Batska / Chapter 3 - Chapter 2

Chapter 3 - Chapter 2

Jam istirahat adalah jam yang paling ditunggu semua penjuru kampus terutama di saat-saat ospek yang melelahkan ini. Dira, Galang dan Pandu juga sudah duduk manis di salah satu meja kantin.

Dira masih sibuk tersenyum pada setiap gadis yang dengan ramahnya menyapa pemuda berlesung pipit itu.

"Dira, kalo ada tempat jagain dong." ucap seorang gadis berpakaian khas peserta ospek dengan segerombol temannya yang masih berdiri mengantri siomay.

Dira hanya tersenyum kikuk sambil pura-pura mencari tempat duduk kosong di kantin yang sudah jelas sangat penuh.

"Okedeh, ntar kalo dapet gue kabarin. Tapi kayanya penuh nih, Sa."

Jawabnya ramah dan si lawan jenis hanya mengangguk malu-malu. Lalu terlihat temen-temannya tersenyum menggoda.

Galang yang melihat adegan itu sambil sibuk menyeruput es teh manis dari sedotan hanya bisa menyeringai. Baru ditinggal sebentar sahabatnya satu ini sudah diincar banyak cewek.

"Ampuh juga tuh komuk lo udah nge-gaet berapa cewek. Baru juga 3 jam gue tinggal." Ejeknya.

Dira hanya mengangkat bahu acuh sambil menyendok sotonya, "Yah gimana lagi dong, udah genetik gini, hormon endorphine gue tinggi."

"Testosterone kali, Dira. Endorphine cuman bikin bahagia." Sahut Pandu.

Dira mengangkat alisnya lalu tersenyum sangat lebar hingga dimples-nya seakan melubangi pipi chubby-nya itu. Ia menunjuk dimples-nya.

"Nih, liat. Kalo cewek liat ini, endorphine mereka bakal langsung tinggi. Yang artinya gue emang bikin cewek bahagia cuman dengan liat muka gue. Gak perlu tertosterone tinggi-tinggi lah. Cukup punya ini, cowok paling macho di dunia juga kalah sama gue." Balasnya lalu langsung mendapat toyoran keras dari Galang yang membuatnya meringis sakit.

"Sialan, lo, Lang!"

Galang hanya menggeleng-geleng sambil tertawa geli. Ia melihat sekeliling kantin yang memang sedang penuh-penuhnya. Sebagian meja terisi dengan peserta ospek yang mengenakan baju hitam putih sama dengan dirinya, dan sebagian lagi terisi dengan senior yang memakai korsa hijau dengan slayer hitam di tangannya.

Mata elangnya secara tak sengaja menangkap sosok senior yang tadi menghadiahinya hukuman di ruang sidang, Kala, sedang duduk dengan teman-temannya. Ia juga dapat mengenali Gavin, kakak Dira, dan beberapa senior lain yang tadi juga berada di ruang sidang.

"Dir, kenal nggak sama itu senior?" Tanyanya sambil menunjuk ke arah Kala.

Dira dan Pandu lalu menoleh ke arah tunjukkan Galang. Mencoba mencari tahu satu orang dari ratusan orang disana yang menjadi sasaran telunjuk cowok manis itu.

Dira mengerutkan alisnya, "Yang mana? Cewek?"

"Ish! Bukan, yang duduk sama Bang Gavin itu." Jawab Galang.

Dira masih mengedarkan pandangannya ketika ia menemukan Gavin, karena memang ada banyak senior yang duduk bersama Gavin.

"Tck, ada banyak, tai! Yang mane? Kanan? Kiri? Depan? Belakang?"

"Dih, lo kira tukang parkir?!"

"Bang Kala maksud lo?" Pandu tiba-tiba menjawab ketika mengerti siapa yang ditunjuk Galang.

"Yang tadi ngasih hukuman di ruang siding tadi, kan?"

Galang langsung mengangguki Pandu sebagai jawaban.

"Oh, bang Kala kan tadi yang nge-ssst-in kita juga pas ribut di barisan itu loh, Lang." Jawab Dira lalu kembali menghadap dua teman yang duduk di depannya.

"Tunggu dulu.... lo dikasih hukuman sama Bang Kala?" Lanjutnya.

Galang kembali mengangguk. Ia lalu menceritakan apa yang terjadi di ruang sidang tadi pagi bersama Pandu. Tentang senior-senior sinis yang ada disana dan hukuman Kala untuknya.

"Bentar deh."

Galang menjeda. Ia lalu menoleh ke Pandu dengan tatapan penuh rasa penasaran. Pandu yang ditatap hanya mengangkat alisnya bingung.

"Daritadi kita kenalan, lo belom cerita kenapa lo juga disidang tadi. Senior juga langsung fokusnya ke gue gara-gara si Kala itu."

Dira menepuk dahinya juga, ia baru ingat selama ini hanya mengetahui Pandu dari namanya saja, tanpa asal, latar belakang atau alasan lain pemuda itu bersama dengan Galang di ruang sidang.

"Iya juga, kenapa tuh, Ndu?" Tambahnya ingin tahu.

Pandu mengedikkan bahunya, "Lo tadi juga nggak nanya sih jadi gue juga gak ada inisiatif cerita."

Keduanya berdecak kesal karena sudah penasaran. Apalagi Galang karena sempat menyimak bahwa teman barunya ini adik dari seorang senior di ruang sidang tadi.

"Udah ih buruan cerita, keburu kelar ini istirahatnya." Ucap Galang gemas.

Pandu hanya menghela nafas lalu mulai bercerita sambil mengaduk-aduk es teh yang hanya tingga sisa sedikit.

"Tadi pagi gue juga berangkat agak telat. Tapi nggak bawa mobil kayak lo juga, Lang."

Galang hanya memutar matanya malas.

"Ya udah, nggak telat dan nggak masalah sih sebenernya. Cuman gue berangkat sama abang gue tuh. Pas turun dari mobil kita masih jalan bareng. Terus tiba-tiba, resenya dia kambuh aja. Gue bales aja pake jari tengah, eh keliat sama senior lain. Langsung dah gue dibawa ke ruang sidang."

Galang hanya mengernyitkan alisnya bingung, "Terus abang lo gak bilang apa-apa kalo lo adeknya gitu? Nggak belain samsek?" Tanyanya.

"Ya nggak mungkin lah. Asal lo tau aja, di rumah dia gak bakal bisa bales gue. Cuman disini doang dia bisa jailin gue gara-gara status seniornya. Kalo di rumah juga udah keliatan begonya. Abang gue nggak ada otak, isinya bacot doang." Ujarnya dengan langsung menghina.

Dira yang dari tadi menyimak makin bingung. "Jadi..abang lo senior? Siapa??"

Belum sampai Pandu menjawab seseorang sudah lebih dulu menggebrak meja mereka sambil memasang senyum yang sangat lebar. Seketika mereka terperanjat kaget ketika yang menggebrak meja adalah gadis berkorsa, artinya ia adalah senior mereka.

"Hai, Pandu! Denger-denger dihukum sama abang sendiri, ya?" Ujar senior perempuan itu dengan mata nakalnya terarah ke Pandu.

Pandu hanya membuang nafas, "Bang Jey pamer apa ke temen-temennya, Kak?"

Gadis itu hanya tertawa kecil lalu menjawab, "Adalah, bacotan gede dia, kalo pada tau lo adeknya juga ciut lagi."

Dira lalu mebelalak ketika mengenali nama yang ia kenal disebut.

"Bang Jey?! Lo adeknya bang Jey?!!" Ucapnya keras. Semua yang ada di meja itu lantas menoleh ke arahnya.

Pandu hanya mengangguk sebagai tanda konfirmasi pada Dira.

"Lah, anjing! Beda banget sialan." Ucapnya.

"Beda apaan dah?"

Galang merasa bodoh ia tak tahu apa-apa mengenai obrolan di meja itu kecuali sudah pasti senior yang menghukum Pandu tadi namanya 'Bang Jey' dan notabenenya adalah kakak Pandu.

"Aduh, Lang. Makanya ber-ga-ul. Kudet kan lo jadinya, introvet banget dah." Ejek Dira yang dibalas tatapan tajam dari Galang.

Dira lalu melanjutnya penjelasannya, "Ya si Bang Jey kan temennya Bang Gavin, makanya gue tau. Semua orang di kampus tau dia deh kayaknya, anaknya extrovert alias anak nongkrong mampus. Suka ngadain event-event juga katanya di bar. Anak gaul dah pokoknya."

Dira lalu menunjuk Pandu dengan dagunya, "Nah, elo, Ndu... kalem gini, ya jelas pada gak 'ngeh' lah."

Galang yang mendengar penjelasan Dira hanya ber-oh ria.

"Lah, lo kenal sama bang Gavin, Dek?" Senior perempuan tadi pun lalu menimbrung.

Dira kembali menoleh ke arah senior itu lalu memasang senyum termanisnya, "Hehehe, kakak sepupu gue, Kak."

"Oh, hm... mirip sih." Ujar cewek itu memandangi Dira.

Dira mengerutkan dahinya, "Mirip apanya, Kak?" Tanyanya penasaran.

Cewek itu tertawa kecil lalu menoel dagu Dira genit

"Sama-sama cakep."

Dira dan Galang seketika freeze di tempat melihat perlakuan senior perempuan itu yang tertawa melihat ekspresi kaget mereka. Sedangkan Pandu hanya tertawa singkat melihat reaksi kedua teman barunya.

"Udah, Kak Kyra emang gitu. Sekomplotan Bang Jey mah gitu semua bentukannya, gak usah kaget." Ujar pandu menepuk bahu Galang di sebelahnya sedangkan Dira masih membatu di tempat, shock dengan toelan dagu yang baru saja menodainya.

Pandu lalu mengeluarkan buku ttdnya lalu menyerahkan buku itu ke arah Kyra, si senior genit, "Kak, minta tanda tangannya boleh?" Ucapnya sopan.

Kyra melihat buku itu lalu menyodorkan kembali ke arah Pandu.

"Pengen bantu sih, Ndu. Tapi, lo kan lagi kena hukuman yang bersangkutan sama Bang Kala. Nggak berani gue kalo urusannya sama dia." Ujar Kira sambil tersenyum tak enak hati.

Galang yang mendengar seputar hubungan lalu bertanya, "Emang dia sedewa itu ya kak? Sampe semua panitia gak berani sama dia?"

Kira berdehem lalu melirik ke arah Kala dan komplotannya yang duduk tak jauh dari mereka, memastikan tidak ada dari mereka yang bisa mendengarnya. Agak bodoh memang mengingat kantin saat ini ramainya melebihi pasar. Tapi tidak ada yang tau juga, Kala kan memang susah ditebak.

"Ya gitulah, dia kan udah dari jaman maba unik gitu. Keren banget sih, berani nantang senior yang pas tahun dia jadi peserta ospek sampe mau adu jotos. Tapi gara-gara itu kita tau dia cukup idealis dan reliable. Jadi ,ya ati-ati aja kalo urusan sama dia. Baik sih, tapi kadang jalan pikiran dia nggak ada yang ngerti."

Kira kembali melirik ke arah meja Kala dkk, dirasa masih aman lalu melanjutkan, "Apalagi kameranya. Jangan sampe berurusan sama kameranya. Dulu sempet ada yang nggak suka sama dia, kakak tingkat sih, dengan sengaja ngerusak itu kamera, sekarang udah lulus."

Galang mengangkat alisnya, "Lulus? Bagus, dong?"

"Lulusnya di-DO. Nggak tau gimana, si Kala bisa nyebarin kalo itu senior pernah ngeganja."

Galang lantas melirik singkat ke arah Kala yang entah kenapa mata elang cowok tingkat tiga itu juga sedang terkunci ke manik elang milik Galang.

Kala menyenderkan kepalanya ke tembok penyangga di rooftop kampus. Ini adalah hari ketiga ospek, artinya masih tersisa 3 hari lagi hingga ospek berakhir dan menandakan hanya tiga kali lagi ia harus bangun pagi. Ia kembali menyesap batang rokok yang sudah terbakar setengah ketika merasakan pening mulai menyergap kepalanya kembali.

Cahaya matahari senja adalah hal yang paling disukai Kala untuk menemaninya menikmati batang nikotin favoritnya di akhir kegiatan kampus setiap hari. Apalagi tempatnya adalah rooftop gedung kampus sendiri yang bersih dan sepi. Tak banyak mahasiswa yang kesini kecuali dia dan teman-temannya. Tempat ia duduk saat ini juga tersembunyi. Orang yang baru masuk ke rooftop tidak akan menyadari kehadirannya.

Ia kembali menghisap rokoknya sambil memejamkan mata menikmati sisa matahari sore yang menerpa wajah rupawannya.

"Iya, Yah. Galang bentar lagi pulang kok. Ini tinggal selesaiin tugas ospek bentar terus langsung ke rumah." Indera pendengarnya menangkap seseorang baru masuk ke rooftop sambil berbicara agak kesal.

"Huh, iya langsung makan. Udah ayah kerja aja yang tenang. Galang udah gede kali, kalo laper ya makan, kalo ngantuk ya bakal tidur."

Sosok itu, Galang yang menyandarkan diri di balkon rooftop mengapit hp-nya di telinga dan pundak, lalu tangannya mengambil sebatang rokok dari saku dan menghidupkannya. Sekali isap lalu ia membalas orang yang sedang di seberang telepon, ayahnya.

"Udah ya, Yah, nggak enak nih sama temen-temen lain. Galang harus kerjain bagian Galang sendiri soalnya. Bye, Yah."

Tak ada lagi suara bicara yang ditangkap Kala. Ia hanya mendengar helaan nafas dari orang itu. Kala menghela nafas lalu kembali menyesap sebatnya.

Beberapa saat seperti ini membuat hati Kala tenang. Tidak sendirian, namun orang lain juga tidak menyadari kehadirannya.

"Astajim!" Mendengar seruan itu lantas Kala membuka matanya tak suka. Netranya menangkap Galang sudah berdiri sambil melihat ke arahnya dengan kaget.

"Tck, kan berisik lo." Ucap Kala sebal.

Selesai dengan acara kagetnya Galang kembali menyesap rokoknya lalu menatap Kala.

"Ya abis kirain nggak ada orang. Taunya ada setan kampus." Ucapnya tak peduli.

Kala membalas tatapan Galang tak suka, "Gue setannya?" Tanyanya.

"Bukan gue yang bilang sih." Balas Galang.

Kala menginjak sebatnya yang sudah habis. Lalu membersihkan celananya yang terkena abu rokoknya sambil berujar,"Rese juga lo jadi junior."

Galang tertawa singkat menanggapi Kala dengan tak serius. Ia bersandar di dinding dan melanjutkan sebatnya.

"Bohong sama orang tua nggak baik." Ujarnya mengamanahi.

"Siapa bilang gue bohong? Orang gue cuman gak ngasih tau detail infonya."

Kala hanya menatap Galang tak peduli seakan berkata 'terserah'. Hening sejenak menyelimuti mereka hingga Kala berujar.

"Udah dapet salah lo?"

Galang kembali berdecak jengah.

"Duh, lo ngerjain gue ya? Gue udah mikir sampe otak berasep bahkan minjem otak Dira yang seuprit juga masih nggak nemu." Jawabnya setengah hati.

Kala hanya menggeleng singkat sambil menyeringai. Sudah dapat ia prediksi dari awal jika junior satu ini pasti tidak akan menemukan jawabannya.

Ia lantas mengadahkan tangannya ke arah Galang. Si junior melirik ke tangan Kala lalu mengangkat sebelah alisnya bingung dan menatap Kala penuh tanya.

"Tck, mau tanda tangan gue, nggak?" Decaknya.

Menerima sinyal positif, Galang lalu mengambil buku ospek dari tasnya lalu menyodorkannya pada Kala.

"Eits, rokok sebatang dulu." Kala tersenyum miring.

Dengan malas ia merogoh saku celananya dan menyerahkan sebatang rokok yang diterima Kala senang hati. Pemuda yang dua tahun lebih tua dari Galang itu langsung menyulut sebatnya dan mengambil alih buku ospek Galang. Ketika buku itu kembali ke tangannya ia kembali mengernyit ragu.

"Tanda tangan lo huruf K doang?" Tanya Galang jenaka.

Kala menggeleng. Ia mengambil satu isapan nikotin lalu menjawab sambil tersenyum miring.

"Harusnya ada 4 huruf : K,A,L dan A."

Galang mengerutkan alisnya, "Lah terus napa cuman satu? Lanjutin lah."

"Enak aja. Sebatang satu huruf lah." Ujar Kala.

"Ck! Ah elah demen sebat amat lo. Nih!" Ia menyerahkan sebungkus rokoknya yang masih tersisa setengah dari isinya.

"Nggak, udah gak pengen nyebat. Besok gue kasih huruf lainnya." Ucap Kala yang lalu berdiri dan melenggang santai meninggalkan Galang.

"Woi, lo juga nggak mau kasih tau salah gue apaan?" Ujar Galang menghentikan langkah Kala.

Kala lalu berbalik menghadap ke Galang lalu berkata, "Pas hari pertama ospek, gue liat lo ugal-ugalan di jalan, hampir nyerempet orang, inget?"

Galang mengarahkan pandangannya ke atas sambil berpikir. Ia memang kebut-kebutan saat berangkat ospek tapi tidak menyadari bahwa tindakannya membuat orang hampir celaka.

"Ya, oke mungkin salah gue. Tapi dibanding motor-motor mah masih mending gue lah. Orang pake motor pada nggak punya otak asal masuk celah aja, giliran keserempet minta tanggung jawab." Ucapnya enteng yang membuat kepala Kala tentunya langsung mulai panas.

"Lo pikir lo bawa mobil udah bener? Nyalip sana sini nggak liat belakang, nggak sadar body gede apa." Balas Kala tak kalah sengit.

Galang lalu menatap Kala sinis, "Kenapa lo jadi sensi? Lagian semua orang bawa mobil kalo lo tanya pasti selalu lah hati-hati, perkirain ada motor apa kagak, nah tapi percuma dong kalo kitanya hati-hati tapi yang bawa motor berasa seakan punya sembilan nyawa?"

Kala semakin menyipitkan matanya. Kurang ajar juga junior satu ini padanya.

"Generalisasi banget lo sama pemotor. Itu cuman segelintir orang nggak peduli nyawa yang lo sebutin tadi dan gue gak termasuk disana."

"Lah lo kira lo gak generalisasi juga sama yang bawa mobil?" Tantang Galang.

"Emang enggak. Coba tunjukin bagian mananya gue nyamain semua yang bawa mobil? Dari tadi yang gue omongin ya cuman elo." Ucapnya datar.

Galang terdiam. Sial. Seniornya pintar beradu mulut. Ia merasa kalah telak.

"Lagian orang yang hampir gue serempet aja nggak protes, kenapa lo yang bacot?" Mulainya lagi.

Mendengar hal itu Kala tertawa meremehkan, "Orang yang lo hampir serempet kemarin tuh gue. Tau gak?"

Galang makin tertawa sinis mendengar jawaban Kala. "Oh, jadi hukuman kemarin dendam pribadi?"

Kala hanya menggelengkan kepalanya menanggapi sifat kekanakan yang muncul dari Galang.

"Udah ah, adu bacot sama bocah cuma buang-buang waktu gue." Ucapnya lalu melanjutkan langkah keluar meninggalkan Galang yang merasa adu mulut barusan belum selesai.

"EH! Si anjing main pergi lagi aja, bangsat! Emosi gue belom kelar nih!" Umpatnya kesal.

"Eh, ada adek gemay lewat." Aurel menggoda Dira bersama Pandu dan Galang yang tengah kebingungan mencari meja kosong untuk makan siang.

Dira menoleh lalu tersenyum kikuk ke arah Aurel. Posisi mereka masih di jam ospek dan Aurel sedang duduk di meja yang berisikan panitia ospek yang tidak dikenal Dira.

Sudah pasti kalau tidak sedang ospek, cowok manis itu akan langsung membalas godaan Aurel dengan godaan mautnya juga.

"Eh, ada si Galang tuh, Vin. Katanya nyariin tadi." Aurel menunjuk Galang.

Gavin menoleh dan tangannya mengisyaratkan Galang untuk mendekat.

Galang lalu menuruti perintah Gavin diikuti dengan Dira dan Pandu yang juga tidak mau ketinggalan.

"Kenapa, Bang?" Tanya Galang.

"Kemarin lo ngomong apaan sama si Kala?" Gavin berucap to the point.

Galang yang mengingat percakapan mereka kemarin sore langsung menghela nafas kasar.

"Dia duluan bang yang mulai. Galang mah cuman ikutin flow doang." Jawabnya yang dihujani tatapan penuh selidik dari Gavin.

"Dia mau tambahin hukuman buat Galang ya, Bang? Yaudah deh Galang terima aja mumpung os-"

"Siapa yang bilang gue mau tambahin hukuman?" Ucapan Galang terpotong oleh suara yang ia kenal.

Kala bangkit dari posisi telungkup setengah tidurnya di meja kantin lalu menatap datar Galang. Cowok yang masih setengah mengantuk itu lantas merogoh saku korsanya lalu memberikan selembar uang dua puluh ribu ke Galang yang dihadiahi tatapan bingung dari junior beserta teman-temannya.

"Ngapain?" Tanya Galang.

"Beliin gue teh pucuk di warung depan. Abis itu gue lengkapin tanda tangan tadi sore." Ucap Kala malas.

Dengan ragu Galang meraih uang itu, lalu dengan segera meninggalkan kantin untuk membeli apa yang disuruh. Tak lama ia kembali membawa tiga botol teh pucuk di tangannya beserta uang kembalian lalu menyerahkannya ke Kala.

"Kenapa beliin tiga botol?" Tanya Kala singkat.

"Biar langsung dapet tiga huruf sisanya." Jawab Galang sambil menyodorkan buku ospeknya ke arah Kala.

Jawaban Galang membuat Kala terkekeh singkat. Setelah meminum teh pucuk yang barusan datang, ia lalu mengambil buku ospek Galang dan melengkapi tanda tangannya. Melihat itu, Pandu juga tidak membuang waktu dengan ikut menyodorkan bukunya dan juga ditandatangani oleh Kala.

Sedangkan Gavin dan Aurel hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah aneh sahabatnya. Setelah itu, sesi mencari tanda tangan Galang dan Pandu pun dimulai. Galang harus berterima kasih pada teh pucuk kali ini.

--TO BE CONTINUED--