Chereads / Aegis The Twins Bloodless - Exitium / Chapter 24 - Menuju kematian

Chapter 24 - Menuju kematian

Begitu kami sampai di ruang perpustakaan, aku melihat seorang gadis sedang duduk sendiri dan membaca sebuah buku.

"Alice?!"

Alice! Dia menatapku! Sial... aku tak sengaja menyebutkan namanya cukup keras, aku benar-benar malu!! Sialan!

"Hai."

Alice menyapaku begitu mendengar aku yang tak sengaja menyapanya, sial apa yang baru saja aku lakukan. Tony langsung membawa Haruka dan Fay masuk kedalam perpustakaan dan berkeliling mencari komik One Piece.

"Biar kami yang mencarinya... apa itu... ehh.... wanpis, ehh... gaun one piece??"

"One Piece."

"Yah itu... kau temui saja dia."

Dia berbicara begitu dengan nada pelan yang penuh arti dan aku mengetahuinya, sial dia memang… memang… yang terbaik!!!! Tapi kenyataanya aku lebih memilih untuk tidak ingin berdua dengannya, aku benar-benar malu! Sialan!

"Apa kamu suka membaca?"

Tanya Alice sambil membenarkan rambutnya.

"Aku? Aku tak terlalu suka, ngomong-ngomong apa yang sedang kau lakukan di sini?"

"Tentu saja membaca buku bukan? Apakah ada hal lain yang orang lakukan di perpustakaan?"

Tentu saja sialan! Kenapa dengaku! Arghh!

"A... ah... maksudku buku apa yang sedang kau baca?"

"Ini hanya sebuah buku yang bercerita tentang orang pilihan... the aegis, lalu... kamu ke sini ada keperluan apa? Maksudku ke perpustakaan ini..."

Orang pilihan? Lagi-lagi aku mendengar sesuatu yang seringkali ku dengar "orang pilihan.".

"Ohh... a-aku mencari ini."

Sambil ku tunjukan komik One Piece yang sebelumnya Fay bawa dari Haruka.

"Kamu tak berubah dari dulu rupanya, sejak SMA kamu suka komik-komik seperti itu."

Dia mengenalku? Dan dia tahu aku menyukai One Piece??????? Tapi tunggu, ada yang lebih penting.

"Ngomong-ngomong soal buku yang kau baca itu, bisa kau ceritakan sedikit?"

"Tentu, dengan senang hati. Buku ini menceritakan tentang orang yang terpilih, buku ini berkata kelak... ketika dunia sedang dilanda sebuah masalah yang luar biasa, kematian, kehancuran, kesialan, keputusasaan dan kemusnahan, sebuah mimpi buruk yang tak berujung, Exitium. Setelah itu akan ada seseorang yang terpilih dan membangunkan orang-orang dari mimpi buruk ini, the aegis."

Aku sangat mengetahui tentang cerita ini, cerita ini tak jauh berbeda dengan cerita dari Fay. Dan Exitium, lagi-lagi... ini memang bukan kebetulan belaka.

"Apa pendapatmu soal orang ini?"

"Entahlah... menurut kamu?"

"Aku kasihan padanya, dia sangat sial. Dia harus mengemban tugas yang sangat berat sekali, dunia berada di tangannya yang kecil. Aku yakin dia tak akan sanggup."

Sebenarnya aku hanya membicarakan diriku sendiri.

"Menurutku, orang itu sangat beruntung. Karena dia adalah satu dari sekian banyak manusia di muka bumi ini. Dia terpilih karena dia pantas, pasti ada sesuatu yang membuatnya pantas untuk terpilih. Jika... jika Kota ini mengalami hal yang sama dengan cerita ini, aku yakin dia sanggup, dia akan sanggup menanggung beban seberat itu."

"Meskipun dia terlahir sebagai orang yang lemah?"

"Selemah apapun orang itu, aku yakin dia memiliki sesuatu yang membuatnya pantas terpilih."

"Ohh begitu... terimakasih."

"E-ehh? Terimakasih?"

"Tidak, bukan apa-apa... hehe."

Sial! Hampir saja!!

Aku sedikit termotivasi, meskipun ya.... tidak terlalu banyak membantu. Tapi jika mendengar semua ini dari Alice... membuatku sedikit lebih bersemangat.

"Boleh aku pinjam komik itu?"

"Ah ya... ambilah."

Tak lama kemudian Fay muncul sambil membawa beberapa buku... Ya! Itu komik One Piece yang lainnya! Aku tak menyangka akan ada sebanyak itu! Fay berjalan lalu menyimpan buku-buku itu di tengah meja begitu saja dan duduk di sampingku. Alice terlihat sedikit terkejut saat Fay menggebrakan komik-komik tersebut.

"Ahh ini Fay, Fay... dia Alice. Temanku saat masih sekolah dulu."

"Aku sudah mengenalnya."

Ucap Fay sambil membaca komik dan sedikit memandang Alice.

Alice hanya tersenyum dan kembali melihat-lihat isi komik One Piece, Tony dan Haruka menyusul kami dan ikut duduk bersama kami. Tak lama kemudian... seseorang masuk perpustakaan.

"Alice... Ibu memanggilmu."

Tiba-tiba seseorang dari luar perpustakaan memanggil Alice dan dia adalah seorang pria yang kemarin berpelukan dengan Alice, sang kekasih datang! Alice berdiri lalu pergi meninggalkan kami, aku menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya.

"Pfftt."

Tony melihat kearahku dan tersenyum kecil, entah kenapa aku merasa tersindir oleh dia.

Aku yakin sekali jika dia sedang mengejekku! Sialan.

Pada akhirnya kami banyak menghabiskan waktu di perpustakaan, meski hanya aku dan Haruka yang benar-benar membaca, hingga tak terasa kamipun mulai mengantuk dan tertidur di perpustakaan.

Pagi yang dinantikan telah tiba, kami menyiapkan segala sesuatu dan memastikan kembali tidak ada yang tertinggal. Jujur dari hati yang paling dalam aku tak ingin terlibat lagi dengan segala sesuatu yang rumit, masalah, merepotkan, dan lainnya. Aku hanya ingin tenang, bersantai dan beristirahat. Tapi semua berjalan begitu saja, aku membiarkan diriku mengalir terbawa arus dan terjebak dalam lautan dengan badai dan ombak besar.

Kami berdelapan pergi menaiki kereta kuda yang telah dimodifikasi oleh Robby.

Tak lama setelah kami memasukan barang-barang ke kereta, Pak wali kota datang untuk melepas kepergian kami.

"Selamat bertugas, kembalilah dengan selamat."

Dia tersenyum... tapi aneh, apa dia bersedih?

Lalu saat kami mulai berangkat aku melihat dari gerakan bibirnya seolah seperti mengucapkan sesuatu.

"Maafkan ketidakberdayaanku ini-."

Para tentara dan polisi memberi hormat, kamipun pergi meninggalkan tempat yang awalnya menjadi tujuan kami, aneh sekali... padahal beberapa hari lalu kami mati-matian datang kesini dan sekarang kami pergi keluar menuju wilayah yang lebih mematikan.

Dari kerumbunan orang-orang yang mengantar kepergian kami... dari jauh aku melihat Alice, dia melambaikan tangannya... dan pria itu juga bersamanya. Haah... apa yang aku harapkan dari gadis secantik dia, tak ada yang bisa kuperbuat, aku dan dia bagaikan langit dan bumi.

Tony merangkul pundakku dan tersenyum.

"Tenanglah..."

"...?"

"Sebelum pergi aku menanyakan sesuatu kepadanya."

"Siapa?"

"Alice... dia... si pria itu. Pria itu adalah adiknya Alice."

"Ha-ohhh... aku sudah tahu."

Tony sedikit terkejut melihat reaksiku dan aku lebih terkejut lagi setelah mendengar hal itu.

Aku harus tetap berpura-pura jika aku tahu, kalau tidak... Tony pasti mengejekku.

"Ohh begitu? Setidaknya tersenyumlah walaupun sedikit... wajahmu terlihat sangat suram sekali."

"Wajahku memang begini."

Seketika aku merasa sedikit lega setelah mendengar hal tersebut, tapi anehnya aku juga sedikit terganggu dengan perasaan ini. Aku benar-benar tak menyangka jika dia itu adiknya, badannya lebih tinggi dari Alice dan wajahnya terlihat sedikit lebih tua. Seharusnya aku tak menilai orang hanya dari penampilannya saja, atau aku akan tertipu saat seperti aku pertama kali melihat Fay.

Di dalam kereta kami sibuk dengan urusan kami masing-masing, dan seperti biasa aku menyibukan diriku dengan komik One Piece, aku tak pernah bosan untuk membacanya terus menerus.

Di dalam kereta semua orang terlihat santai, Tony dan Gea mereka berdua sedang membicarakan sesuatu, entah kenapa mereka terlihat sangat akrab sekali akhir-akhir ini, dan sepertinya mereka sedang membicarakan keluarga mereka masing-masing.

Sedangkan Fay... dia tertidur, dia bersender di bahuku dan tertidur, melihatnya bisa tertidur sepertinya perjalanan kami akan baik-baik saja. Dan Haruka... dia juga tertidur di sebelahku, Levi duduk di bagian paling belakang kereta menghadap kearah luar sambil merokok.

Robby... dia duduk di paling depan bersama juan, dan tentunya Robby yang mengendalikan kereta kuda ini, sedangkan juan... seperti biasanya dia sedang membersihkan armor miliknya, dia sangat menyangai armor-armor miliknya.

Di perjalanan menuju wilayah barat, kami mencium suatu aroma yang tak asing lagi, kami semua sudah terbiasa dengan aroma yang satu ini, aroma mayat yang telah membusuk. Kota ini bukan Kota yang dulu kami kenal lagi, benar-benar telah berubah total.

Kulihat di wilayah barat ini masih ada hewan-hewan normal yang sedang berkeliaran, anjing normal yang sedang mengaung di atas tumpukan mayat, kucing-kucing normal yang sedang mencari makanan, dan juga... segerombolan gagak hitam yang sedang mematuk sesuatu di tanah.

Melihat semua ini membuatku semakin mengantuk, mataku semakin memberat dan aku pun mulai tertidur—