"Good bye, Keiza."
Itu yang kudengar dari seorang gadis chinese mungil saat aku sampai ke meja Keiza di sebuah restoran hotpot. Gadi itu kemudian pergi bersama dengan pasangannya.
Keiza dan Aisyah sudah selesai makan saat ini. Dan mereka hanya menyisakan kuah kosongan untukku.
Padahal aku sengaja mengosongkan perutku sebelum menjemputnya.
"Apakah semuanya sudah baik-baik saja?" aku bertanya karena melihat Keiza yang berbunga-bunga.
Sepertinya mentarinya sudah terbit setelah mendung seharian. Dan dia sungguh bersinar malam ini.
"Kurasa..."
Keiza tersenyum lebar kepadaku seperti memberikan isyarat. Lalu tiba-tiba layar hologram keluar tepat di depanku dan menunjukan sebuah undangan pertunangan. Melihat dua peraga tiga dimensi yang menari-nari di dalam undangan tersebut, aku bisa menebak bahwa ini adalah perunangan dari gadis mungil tadi.
"Dia teman satu jurusan. Pacarnya sekarang sudah bekerja di perusahaan biro tenaga kerja. Dan saat mereka makan malam bersama, aku selalu melihat mereka begitu romantis."
Ini sepertinya akan menjadi bebanku selanjutnya. Kode perempuan semacam ini yang sebenarnya ingin kuhindari. Kuharap kalau Keiza tidak berharap sesuatu seperti itu di pesta akhir pekan ini. Jangan!
Mengapa? Karena aku masih berumur dua puluh tahun!
"Menurutku, mereka terlalu terburu-buru." Itu kata Aisyah.
Syukurlah dia membantuku kali ini. Dia pasti menyadari bahwa aku belum memiliki niat untuk sebuah hubungan lebih dari ini. Untuk sekarang ini, biarkan Keiza fokus menggapai mimpi-mimpinya dahulu daripada menjadi istriku.
"Apa maksudmu, Ai? Ketika sudah berkomitmen, itu tandanya sudah siap."
Aku sama sekali tidak mengerti mengapa perempuan suka seperti itu. Maksudku, mereka suka membayangkan sebuah pernikahan yang menurut mereka bisa membuat kehidupan menjadi sangat bahagia. Selain itu, mereka juga sangat mendambakan laki-laki yang sudah sangat mapan dan memiliki komitmen yang kuat.
Sebenarnya apa yang mereka lihat di dalam laki-laki?
"Kei, dengar Sayangku. Apa arti komitmen jika pada akhirnya mereka tidak bisa menghadapi masalah mereka bersama di jenjang berikutnya?"
"Ai, itu jahat! Kau ngomong tentang perceraian kan?"
"Kei..." aku menengahi akhirnya, "maksud Aisyah adalah kesiapan psikologis mereka."
Aku langung mengatup mulutku rapat-rapat setelah itu. Aku tidak ingin membahas tentang pernikahan sekarang, meskipun aku punya idealku sendiri untuk 'pernikahan' tersebut.
Tapi aku selalu membatasi diriku untuk tidak memberikan harapan yang begitu tinggi untuk Keiza. Karena aku sangat yakin bahwa dia akan merasa sangat kecewa denganku. Dia memang seorang yang sangat memahami kondisi orang lain, tapi itu akan berbeda cerita jika aku sudah menjadi suaminya.
Rei, please stop thinking about marriage!
"Apa maksudmu, Rei? Bukankah komitmen adalah salah satu kondisi psikologis?"
Aku melemparkan pandanganku ke arah Aisyah. Secara tidak langsung, aku menyalahkannya karena membuat percakapan ini menjadi panjang.
"Yang dibutuhkan pasangan bukan hanya komitmen mau menikahi saja, Kei."
Aku terus menatap Aisyah agar dia terus melanjutkannya dan harus menghentikannya.
"Ya, itu bukan hal yang gampang."
Keiza terlihat masih sangat bingung. Dia sebenanrya ingin bertanya lagi tapi tagihan makan malam mereka tiba-tiba saja muncul di layar hologram. Aisyah pasti sudah meminta tagihan untuk meja ini. Bagusnya, itu cukup mengalihkan fokusnya Kei untuk sementara.
"Ini jatahku untuk menraktir kan, Ai?"
"Sebenarnya kau tak perlu, Kei."
Seperti itulah mereka saat mereka akan membayar semua makanan mereka. Aku harus bersabar menunggu mereka yang berdebat satu sama lain hanya urusan siapa yang membayar.
Setelah semuanya akhirnya selesai, aku dan Keiza pulang bersama. Aku tidak membawanya kembali ke rumahnya dahulu, tapi aku membawanya ke rumahku untuk mengecek beberapa hal yang berurusan dengan pesta. Kei sudah pergi seharian ini dan dia sampai tidak sempat mengurus persiapan pesta untuk hari ini.
Selain itu, aku dan dia mendapatkan keluhan dari anak-anak karena Rin yang mengambek seharian. Hanya anak itu yang membuatku ingin sekali pulang dan memarahinya.
Dari restoran tadi, hanya membutuhkan waktu dua puluh menit untuk sampai di rumahku. Keiza langsung turun dari mobil dan segera masuk ke rumah. Itu tidak seperti biasanya.
Aku menyusulnya beberapa menit setelahnya setelah mengecek beberapa hal di mobil. Otto memberikanku beberapa laporan yang harus kukerjakan malam ini.
"Mana Kei?" tanyaku pada Jason dan Mitha yang ada di ruang tamu.
"Mandi."
Ohya, dia sore ini belum membersihkan dirinya sendiri.
"Ngomong-ngomong, Rei. Aku dan Jason sudah membuat skema 3D dekorasinya. Banyak improvisasi karena ada yang mengambek."
Nada sinis dari Mitha memang menyakitkan hati. Aku tak yakin bahwa Kei maupun Rin akan mau mendengar ini darinya. Tapi hanya aku yang mau menerima apapun keluhan dan sindiran dari mereka.
"Oke, realisasikan ke ruang penuh." Mintaku.
Mitha langsung melakukan tugasnya dengan menghidupkan layar hologram dari meja di ruang tamu. Dia mengaktifkan hologram ruang penuh untuk menunjukan hasil kerjanya dengan Jason.
Untuk urusan pesta, aku memang menyerahkan persiapannya kepada Keiza dan Rin. Mereka sendiri juga yang mengajukan diri mereka sendiri untuk mengurusnya. Dan aku juga meminta Mitha dan Jason untuk membantu mereka, karena aku yakin mereka bisa lebih diandalkan untuk bekerja sama dengan Rin.
Hologram ruang penuh akhirnya telah diaktifkan. Ini memang memakan banyak energi sehingga dibutuhkan waktu sedikit lama untuk mengaktifkannya secara keseluruhan. Hologram ruang penuh sendiri hampir sama seperti ruang virtual yang dibuat untuk berbagai keperluan, bedanya ini menggunakan ruang asli dan dipadukan dengan sinar hologram dari pemancarnya. Bisa dibilang bahwa rumahku sudah aku set agar bisa dipakai untuk jenis fitur ini, agar lebih enak saat mengaktifkannya di berbagai tempat.
Keunggulan lainnya adalah dalam penerapan tiga dimensi yang bisa dilihat langsung tanpa harus membayangkannya. Seperti halnya dalam dekorasi di rumah ini. Semua peralatan dan bahan dekorasi terlihat sudah ditata di tempatnya sehingga membuat seluruh ruangan mendapatkan hiasan dalam bentuk hologram. Dan satu lagi, kualitas hologram yang dipakai di rumah ini memiliki satuan mega pixel yang tentunya bisa membuat semuanya terlihat nyata.
"Apa ini?!"
Aku mendengar Kei terkejut karena dia melihat rumahku yang sudah berubah.
Aku sudah mengecek bagian depan rumah dan ruang tamu. Sekarang aku akan menuju ke taman belakang di mana acara utamanya dilaksanakan.
"Kau ingin lihat?" aku menghampirinya dan bertanya.
Kini Kei terlihat begitu lebih segar. Aroma tubuhnya juga begitu wangi sabun dan samponya. Dia kini memakai baju handuk dan handuk yang menggulung rambut di atas kepalanya.
Kei tersenyum lebar sambil meraih tanganku yang sudah terulur kepadanya.
"Woaahh... Mitha dan Jason memang keren! Mereka menangkap keinginanku!" Katanya begitu senang setelah melihat bagian taman belakang.
Aku bisa menebaknya sebelumnya. Hasil dekorasi yang kulihat sekarang begitu terlihat menunjukan kesukaan Keiza. Dia begitu menyukai sesuatu yang terlihat mahal dan elegan meskipun pembuatannya sangat sederhana.
Taman belakang rumahku memang tidak begitu besar, tapi bisa muat untuk beberapa hal yang sebesar kolam renang dan area tamanan yang cukup. Tempat yang sempit seperti itu bisa dimanfaatkan berbagai meja dan kursi yang telah ditata begitu apik. Dan sebagai pemanfaatan ruang, panggung kecil sudah diset di atas kolam renangku yang menjadi hiasan alami.
Ya, melihat ini pun, Kei pasti sangat senang.
Kutarik Kei lebih dekat lagi denganku. Kupeluk pinggangnya dengan sangat erat sambil menikmati hasil dari dekorasi ini. Dan...
"Apakah ada yang tidak suka?"
Mitha sialan!
"No! It's perfect!" Jawab Keiza dengan sangat bersemangat. Dia menghampiri Mitha dan memeluknya.
Itu jatahku untuk memeluknya.
Mitha akhirnya mematikan fitur ruang penuh sehingga keadaan rumahku kembali seperti semula.
"Ya, baguslah kalau kau suka. Sekarang aku mau pulang dulu. Besok adalah waktu pemasangan dekorasi, aku sudah menjadwal setiap orang. Jadi..." Mitha menatapku sekarang "kau harus berada di tempat atau kupenggal kepalamu!"
Ya... dia ternyata lebih sadis. Aku mengangkat kedua tanganku menandakan aku menyerah.
"Bagus." Dia terdengar begitu puas.
"Mitha, jangan terlalu kejam begitu. Rei nanti tidak tampan lagi kalau kau penggal kepalanya."
Hei... masalahnya bukan ketampananku, Keiza! Nyawaku yang melayang di sini.
Rasanya aku ingin menangis mendengarnya.
Mitha tertawa mendengarnya. Dan dia melirkku sedikit sambil menertawakanku. Sialan.
"Sudah deh, aku pulang dulu yaa..." dia akhirnya pergi.
"Beb," aku menarik Keiza dan mengecup bibirnya.
Keiza terkejut karena aku melakukannya dengan tiba-tiba. Dia langsung menutupi mulutnya setelahnya karena merasa sangat malu.
"Aku harus mengurus beberapa dokumen dulu ya."
"Apakah kau serius akan cutimu? Kau seperti tetap meluangkan waktumu untuk bekerja." Dia terdengar kesal.
Sepertinya aku mengacaukan mood-nya yang sempat sangat bagus.
"Ini kerjaan harianku. Tidak mungkin aku tak mendata semua laporan hariannya."
"Itulah mengapa kau butuh cuti, Rei."
Keiza meninggalkanku sekarang. Dia pergi ke rumah dalam, mungkin menemui Rin dan menghentikan aksi konyolnya. Dan aku tidak bisa menghentikannya sekarang. Dia sudah berada di titik maksimal kesabaran yang dimilikinya. Sebagai manusia, itu hal yang wajar meskipun dia adalah orang yang paling bisa mengertiku selama ini.
Inilah sulitnya memiliki sebuah hubungan. Aku harus membagi diriku dalam berbagai tugas dan kewajiban tertentu. Jika aku mengabaikan pekerjaanku, semua pekerjaanku akan kacau dan aku akan terbeban dengan melembur. Dan inilah yang terjadi jika aku lebih sering mengabaikan orang-orang terdekatku. Kesabaran mereka pasti bisa habis karena menungguku.
Ya, memang seperti itu. Bahkan sikapku yang seperti ini membuat Rin menjadi lebih menderita.
Tapi mengapa aku tidak bisa berubah? Jawabannya ada di Keiza. Dia menawarkan dirinya untuk menjaga Rin saat aku mati-matian di luar sana untuk terus mencari uang pengobatan Rin yang sangat mahal.
Aku memang memiliki seorang ayah yang tidak berguna. Dia mengatakan bahwa aku dan dia harus mengorbankan segalanya demi Rin karena dia terlahir spesial. Maksudku, dia terlahir dengan tubuh yang sangat lemah. Oleh sebab itu, para pria paling dekat dengannya harus mempertaruhkan nyawanya untuknya. Tapi sayangnya, orang tua sialan itu hanya hidup di bawah usaha kerja kerasku selama ini. Dia mengingkari janjinya pada Rin dan menghabiskan uangku hanya untuk urusan duniawinya yang konyol.
Ini membuatku begitu frustasi. Rasanya aku begitu sangat kesal yang akhirnya aku lampiaskan dengan memukul-mukul samsak tinju di ruang gym-ku. Aku melakukannya setelah melakukan semua pekerjaanku malam itu.
Pukulanku yang bertubi-tubi pasti sangat terdengar keras di lantai satu rumahku. Itu cukup membuat Jason dan Andri penasaran dengan apa yang terjadi. Mereka tahu kalau aku suka melampiaskan kemarahanku di ruang gym, tapi aku tidak pernah melakukannya malam-malam.
"Stop! REI!" aku tersadar setelah Jason dan Andri memegangi seluruh tubuhku dengan sekuat tenaga. Mereka seperti mencoba untuk menahanku agar aku tidak melakukan tinjuan lagi ke samsak tinju. Aku terhenti.
"GILA! Power-mu besar banget!"
"Manusia bukan sih?!"
Aku terbingung dengan mereka. Dibandingan dengan tubuhku, mereka memiliki tubuh yang kecil dan sedikit berotot sehingga terasa begitu ringan. Apalagi Andri yang seperti monyel yang bergelantungan di lenganku.
"Guys?" tanyaku.
Mereka akhirnya melepaskanku dan terengah-engah sendiri. Memang berapa lama mereka menahanku sampai mereka terasa hampir mati?
"Aku ambil minum-"
Aku dihentikan Jason yang hanya menunjuk dengan satu jari. Tandanya dia ingin mengatakan sesuatu.
"Tanganmu berdarah." Katanya setelah mengambil nafas panjang. "Samsak tinjumu sudah hancur."
Aku menengok ke arah samsak tinjuku dan itu benar. Kulit samsak tinjunya seperti terlepas dari jahitannya dan sampai serabut karet isinya keluar. Selain itu, benda itu sudah tidak berbentuk sebuah samsak tinju lagi. Bentuknya sudah seperti sebuah karung beras yang bergelantungan.
Ini memang tidak masuk akal. Benda sebesar dan sekuat itu bisa hancur? Aku saja tidak percaya dengan penglihatanku!
"Gila memang! Dia saja tidak sadar tangannya sampai terluka dan samsaknya rusak." Suara Andri yang masih tak stabil menambahi. "Apa yang terjadi denganmu?"
"Aku tak tahu." Jawabku sambil melihat kedua tanganku.
Dan benar, kedua tanganku terluka dan berdarah tepat di tulang pangkalan jariku. Setelah melihatnya, aku baru merasakan perihnya yang luar biasa sakit.
.
Bab 25
The Pretenders III