Esoknya, tepatnya setelah aku berhasil sampai rumah sebelum waktu makan malam, aku disambut manis oleh kekasihku, Keiza.
Dia adalah gadis terbaik yang pernah kutemukan selama ini. Selain dia berteman baik dengan adik kembarku, Rin, dia juga memiliki empati yang tinggi. Dia peduli dengan orang-orang sekitarnya, apalagi dengan orang yang dia sayang. Selain itu, Keiza memiliki perawakan fisik yang selalu menjadi idaman kaum perempuan ataupun laki-laki.
Malam ini, aku sengaja pulang lebih awal karena telah meninggalkan Rin dan Kei selama lebih dari seminggu ini. Aku harus mengembalikan quality time kami bersama.
"Oh, Sayang..." Kei terlihat begitu senang melihatku datang. Dia melompat ke arahku dan memeluk tubuhku begitu erat.
Tidak akan lengkap jika kami tidak berciuman tentunya.
"Ya, akhirnya kau pulang..." dia sedikit merengek. Aku tidak akan menyalahkan sikap manjanya kali ini.
"Maafkan aku terlalu sibuk akhir-akhir ini." Kataku setelah mencium puas keningnya.
Adegan romantis kami tentunya dapat dilihat langsung oleh ketiga orang yang berada di ruangan ini. Mereka sudah terbiasa dengan ini semuanya, tapi aku tetap sedikit merasa bersalah akannya. Dan jika mereka menunggu waktuku dengan Kei, tandanya ada hal penting yang ingin disampaikan kepadaku.
Daripada Rin dan Kei, aku lebih sering menemui mereka.
Mitha, Andri, dan Jason. Mereka bertiga menatapku dengan sedikit kesal. Sepertinya aku paham apa maksud mereka.
"STOP WORKING!!!" Kata mereka bersamaan dan membentakku habis-habisan. Aku hanya bisa tertawa gurau akan hal itu. Apalagi mereka menambahkan dengan pukulan bantal yang begitu mantap ke tubuhku.
"Oke, guys! Oke. Aku sudah cuti hari ini sampai akhir pekan ini." Kataku di sela-sela serangan dari mereka.
"Gila banget! Kalau kamu meninggalkan pesta besok, kujamin peti mati di dalam kamarmu!" Kata Mitha dengan garang.
"Mitha... jangan bikin takut dong." Itu Kei, tentu saja dia begitu.
"Sudahlah... Teman-teman, sudah ya..."
Seperti anak-anak yang taat pada ibunya, mereka bertiga berhenti memukuliku. Jadi begini rasanya mendapatkan amukan dari anak kecil.
"Rei, kau baik-baik saja? Aku sudah meminta mereka untuk tidak menyakitimu seperti ini."
"Kau meminta untuk memberikannya pelajaran, Kei."
Aku terkejut.
"Rin yang membuatku untuk mengatakannya."
Ya, tentu saja. Seorang yang sangat berhati lembut seperti Keiza tidak mungkin berpikiran seperti itu. Jikapun dia sudah memilikinya, tandanya kembaranku ini sudah memengaruhinya.
Sudah berteman bertahun-tahun, Keiza tetap menjadi orang yang sama. Tidak ada perubahan sikap akibat pengaruh Rin. Terlebih sikap innocent-nya itu.
Hanya saja, Kei sedikit lemah jika dipaksa oleh Rin.
Kupeluk Keiza dan kubisikannya sesuatu,
"Jika kau kesal denganku karena kesibukanku, kau berhak marah, Sayang."
Keiza menggelengkan kepalanya.
"Kau melakukan yang benar, Rei. Aku seharusnya minta maaf. Kau bekerja keras tiap hari untuk Rin."
Ada hal yang tidak bisa kupahami darinya, sosok seorang Keiza, yaitu dia terlalu baik. Aku tidak bisa menjamin perempuan lain yang ingin aku duakan dengan pekerjaan dan kembaranku yang lemah. Aku cukup bersyukur karena aku bisa jatuh cinta dengannya.
Aku mencium keningnya sebagai ucapan terima kasihku.
Setelahnya, aku memandangi kedua matanya yang berbinar-binar. Aku sadar bahwa aku tidak pernah menciumnya sesering hari ini. Bagaimana lagi? Aku tidak bisa memendam rasa di dalam hatiku sekarang.
"Ada..."
Aku tiba-tiba terdiam karena teralihkan dengan sebuah cahaya yang muncul dari pintu geser. Posisinya kebetulan berada di belakang Keiza sekarang, sehingga aku bisa langsung menyadarinya. Ruangan itu seharusnya hanya boleh dimasuki oleh beberapa orang saja, bahkan itupun harus menerima izin dariku dan dr. Hans.
Tidak mungkin orang yang kukenal dengan baik dapat memasuki ruangan tersebut.
"Siapa?" tanyaku pada Keiza akhirnya. Dia lah yang seharusnya bertanggung jawab atas ini.
Keiza terlihat cemas setelah mengetahui tentang ruang perantara dan aku yang sudah menyadarinya. Dia menekuk wajahnya seakan dirinya tidak ingin menjawab apapun.
Ini membuatku menjadi berpikir tidak-tidak!
Aku segera untuk mendekati pintu bergeser itu dan menarik orang itu untuk keluar. Bagaimana tindakanku selanjutnya? Itu tergantung dari apa yang aku temukan.
Hanya saja, pintu itu bergeser terbuka sebelum aku bisa mendekatinya. Dan aku sangat terkejut dengan apa yang aku lihat di baliknya.
"Keiza!" Itu suara paling kesal yang pernah aku dengar darinya. Dan dia menyebut... "Dasar cewek sialan!"
Keiza yang menegang langsung berlari memutari tubuhku dan bersembunyi di balik tubuhku.
Sebenarnya apa yang terjadi di sini?!
Aku harus tenang membaca situasi ini. Bisa-bisa aku tidak bisa menyelesaikannya.
"Bagaimana kau bisa masuk?" tanyaku saat Brandon melangkahkan kakinya mendekat. Dia seakan berkorbar dan tiap langkahnya membuat gempa bumi di rumah ini. Aku seperti akan berhadapan dengan beruang besar yang akan memangsa gadis kecil di belakangku.
"Bagaimana bisa?!" Dia membalikan pertanyaan seperti menghinaku. "Tanya cewek sialan itu di belakangmu!"
Suaranya benar-benar terdengar sangat kesal untuk seorang laki-laki. Dan aku bisa mengerti titik puncak kekesalan yang hanya bisa dilontarkan dengan kata-kata serapah saja.
Bagaimanapun, Keiza berlindung di belakangku.
"Bisa jelaskan?" tanyaku pada Keiza. Aku menahan Brandon dengan memberikan isyarat tangan padanya agar dia mau berhenti.
Keiza terdiam. Sepertinya aku tahu apa yang terjadi. Situasinya cukup mendukung mengapa Brandon tiba-tiba marah padanya.
Pacarku salah bermain-main dengan pacar orang.
Dengan kebisingan kami, tentunya mengundang ketiga anak tadi muncul kembali. Mereka menghilang saat aku mulai bermesraan dengan Kei tadi. Mereka terlihat bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi di sini.
Mereka tidak akan mengira bahwa Kei sampai bersembunyi di balik tubuhku karena takut dengan Brandon.
"Apa yang- Oh! Jadi kamu apakan Kei, huh?!" Mitha memang juara di antara para wanita. Dia memang sangat berani dan nekat seperti itu.
Brandon seperti tidak menghiraukannya. Dia hanya melirik pedas padanya lalu memutar kedua bola matanya.
Jadi, mereka bertiga tidak tahu apa yang terjadi ya.
"Aku pulang." Kata Brandon tiba-tiba. Sepertinya kemarahannya sedikit mendingin. "Aku sudah lakukan apa yang kau minta, Kei. Tapi Rin tidak mau keluar."
Brandon hanya berjalan santai ke arah kami, melewatinya begitu saja. Aku merasa tolol karena hanya bisa bertanya kali ini.
"Son, ikut pulang tidak? Aku belum makan malam."
Apakah maksudnya itu Jason?
Aku langsung melirik ke arah Jason yang menjadi panik. Kurasa itu wajar. Dia kebingungan dengan apa yang terjadi di sini, dan tiba-tiba diajak pergi oleh Brandon. Selain itu, aku percaya bahwa Jason yang mengajak Brandon kemari.
Sialan anak itu!
"Aduh, J! Gimana nih? Er... Rei, yang lain, aku pulang duluan ya."
Dan Jason pun menghilang mengejar Brandon JayaChandra itu. Kepergian mereka membuat suasana di sini lebih dingin. Tapi, Keiza tidak mau melepaskan genggamannya dariku. Ini masih terlalu kuat walaupun sudah tiada monsternya.
"Apa sih yang terjadi?" tanya Mitha kesal. "Anak itu tahu-tahu buat onar terus!"
"Mit, kamu pulang aja dulu. Andri juga. Kalian kan belum istirahat dari kemarin." Kataku.
"Kita sibuk gara-gara kamu, Rei!"
"Ngomong-ngomong, aku udah pesan makan. Aku gak pulang sekarang." Andri seperti biasa tetap santai setelah hal tegang ini baru saja. Dan dia kembali ke ruang kerjaku.
Sekarang hanya ada Mitha di sini. Dia sepertinya ingin lebih mencemooh Brandon tanpa ampun.
Aku tidak berniat menanyai Keiza di saat Mitha masih ada di sini. Tapi, jika aku tidak memulainya, dia takkan pernah pergi.
"Kei... Beb. Apa kau yang membawanya masuk?" tanyaku dengan lembut.
"Iya." Jawabnya pelan.
Seperti dugaanku.
"Ini salahku, Rei. Brandon berhak marah." Lanjutnya.
"Darimanapun, aku tidak yakin bahwa orang sialan itu tidak salah. Dia bahkan sudah banyak membuat kekacauan hari ini!"
Memang seharusnya aku membawa Keiza pergi dari sini agar Mitha tidak mendengar apapun.
"Laki-laki mesum, masuk ke rumah perempuan, lalu tiba-tiba saja mengamuk seperti beruang gila yang lapar."
"Tidak begitu, Mitha." Keiza melawannya. Dia hanya berani bersuara kalau itu salah baginya, itupun kalau dia merasa bahwa orang itu bisa dilawannya. "Ini salahku karena membuatnya masuk ke rumah dalam dan membuatnya menjadi kesal."
"Jadi, apa yang kamu lakukan?" aku dan Mitha bertanya bersamaan.
Aku memang terkejut sedikit, tapi sudahlah.
"Aku menguncinya di kamar Rin."
***
Sudah jam sebelas malam, aku mengantarkan Keiza pulang ke rumahnya. Sebagai anak perempuan satu-satunya dari keluarga Martin, dia harus diperlakukan dengan sepantasnya. Seperti mengantarkannya pulang, membukakan pintu mobil untuknya, dan menuntunnya sampai di dalam rumah sampai selamat. Tetapi sayangnya, hari ini sudah terlalu malam.
Tuan Frans Martin, papa Keiza, bukan orang yang begitu ramah. Dia cukup menakutkan dengan ekspresi galaknya yang selalu menghiasi wajahnya. Apalagi aku sedang mengencani anak gadis kesayangannya.
"Rei,"
Aku harus tenang berhadapan dengannya.
"Om." Sapaku dengan sopan. "Maaf baru bisa mengantarkan Keiza pulang selarut ini. Keiza tadi ikut makan malam di rumah."
Sambil bermain dengan kumisnya, Om Frans mengoreksiku dengan teliti. Kedua matanya yang berada di balik kaca matanya menatap tajam ke seluruh tubuhku.
"Papa... Kei sudah makan malam di rumah Rei bersama adiknya." Kata Keiza. Dia selalu memahami diriku yang berada di bawah tekanan dari papanya.
"Rei harus kembali sekarang. Kasihan Rin karena sendirian di rumah terlalu lama." Terusnya.
"Ya, ya, ya." Om Frans seperti pria tua yang sudah bosan dirayu oleh anak perempuannya yang manis. Inilah masalahnya. Aku sudah tidak tahu lagi untuk berbuat apa jika aku harus disidang malam ini.
Tekanan dari calon mertua sebenarnya lebih horor daripada tekanan pekerjaanku selama ini. Sudah berkali-kali aku menghadapi banyak rintangan, dan aku selalu dengan percaya diri melewatinya semuanya. Tetapi, Om Frans seperti rintangan lain yang sulit untuk aku lewati. Paling sulit daripada yang lain!
Kuharap aku masih hidup malam ini.
"Lain kali, hubungi papa kalau mau pulang malam. Kamu anak kesayangan papa, janganlah sering keluar rumah."
Om Frans berbalik ke arah Keiza. Aku sedikit merasa lega.
"Dan kamu, Rei. Kudengar kau barusaja dari Bandung."
"Iya, Om."
"Kau itu selalu sibuk dengan pekerjaanmu, bahkan kau tiap harinya harus keluar kota untuk itu. Apa yang akan kau berikan kepada putriku? Dia tidak membutuhkan kekayaan ataupun jabatan!"
Aku selalu tidak berani menatap langsung Om Frans jika dia sudah memarahiku seperti ini. Hal yang selalu dikeluhkannya selalu tentang pekerjaanku dan perilakuku. Dan dalam diampun, aku juga menyadari semuanya.
Aku tidak bisa membahagiakan Keiza jika aku tidak bisa membagi waktu dengannya. Bagaimanapun, Keiza tetaplah seorang perempuan. Dia pasti ingin menuntut sesuatu.
"Keiza, kau seharusnya bersiap untuk tidur. Kau ada pemotretan besok pagi, bukan?"
"Iya, Pa." Keiza melompat ke arahku dan mencium pipiku. "Bye, beb."
Setelah Keiza masuk ke dalam rumah, tentu saja itu waktuku untuk pulang.
"Kalau begitu, saya pamit dahulu, Om."
"Ya, hati-hati di jalan."
Aku mencium tangan Om Frans dahulu sebelum benar-benar pergi. Lalu aku kembali masuk ke dalam mobilku dan mengendarainya dengan sangat cepat untuk sampai di rumah.
Hah... Hari ini adalah hari yang cukup melelahkan.
Ditambah... masalah terakhir malam ini yang sebenarnya terdengar konyol.
Sesampainya di rumah, aku langsung membersihkan tubuhku. Aku mandi di lantai satu, tidak masuk ke rumah dalam. Setelah selesai, baru aku masuk ke dalam rumah dalam untuk mengganti pakaian hangat.
Pukul dua belas malam adalah waktu yang tepat untuk masuk ke kamar adik tercinta.
Rin memiliki jadwal untuk mengatur ulang semua obat dan alat-alat kesehatannya di jam dua belas malam. Bukan waktu yang bagus di Indonesia, tapi karena dokternya berada di belahan bumi yang berbeda sehingga Rin juga harus menyesuaikannya.
Aku masuk ke kamarnya tanpa mengetok pintunya.
Di balik cahaya kamarnya yang terang, bahkan terasa seperti masih siang, dia sedang mengatur semua obat-obatan di atas meja kopi.
Dia tidak mengatakan apapun.
"Apa kau sudah puas berbuat onar hari ini?" kataku memulai.
Dia terdiam dan masih dengan semua racikan obat-obatannya.
"Aku sudah membantumu untuk membawa Brandon padamu, dan kau menyia-nyiakannya?"
Dan seperti apa yang sudah kuduga dari adik kembarku ini, dia pasti membalasnya,
"Berisik!"
"Kau tahu, Brandon tadi sangat kesal."
"Berisik!"
"Kurasa dia takkan mau lagi datang kemari."
Akhirnya Rin mengalihkan pandangannya dari obat-obatannya dan menatapku dengan kesal.
"Dia berjanji padaku untuk datang lagi besok untuk menemuiku, Rei."
Dia mengatakannya seolah dia menang dalam kasus ini. Dasar.
"Apa kau yakin?"
"Bagaimana menurutmu, Rei?" Rin menatapku dengan nerendahkanku meski aku sedang berdiri di depannya. "Kau tak becus membawanya langsung untuk mencium kakiku."
Aku tersenyum.
"Kalau kau memang ingin mengetahui apa yang kupikirkan, jangan menyesalinya. Satu, kau memaksanya untuk datang lagi besok. Dua, Brandon hanya membuang-buang waktunya saja karena pacarnya sedang pergi."
.
Bab 19
Ginger Bread and String II