Chereads / Blue Aloe / Chapter 17 - Bab 16

Chapter 17 - Bab 16

"Jadi, Brandon. Apakah kau mau membantuku untuk membujuknya keluar kamar? Sebentar lagi Rei akan pulang. Jika dia tahu kalau Rin tidak mau keluar kamarnya, dia pasti akan marah besar."

Bukankah permasalahannya akan selesai jika aku pergi saja dari tempat ini? Mengapa harus meminta bantuanku?

"Apakah separah itu?" tanyaku sedikit dingin.

Keiza tampaknya sedikit terkejut karena aku bertanya dengan dingin.

"Sebenarnya, Rin tidak akan keluar dari kamarnya sampai hatinya tenang. Dan tidak ada yang tahu kapan dia akan merasa tenang. Aku biasanya yang merayunya untuk keluar, dan aku tadi sudah melakukan segala cara untuk merayunya keluar. Namun, dia mendiamkanku sekarang dan tidak mau keluar. Di saat seperti ini, kurasa kau lah yang paling bisa membujuknya."

Aku sengaja tidak menatap Keiza karena hal itu pasti membuatku lengah. Aku sudah tidak bisa membayangkan bentuk ekspresinya yang dibuat-buat dengan sempurna agar aku mau membantunya. Tidak salah jika aku sedikit berhati-hati di sini, apalagi jika itu berhubungan dengan Rin.

"Bukannya kau datang kemari untuk bertemu dengannya, Brandon? Sangat disayangkan kalau kau datang tapi orangnya bertingkah seperti ini. Aku tahu kalau ini tidak patut memintamu untuk membujuknya keluar, tapi ini satu-satunya cara yang kurasa bisa membujuknya."

Selain suaranya yang manis, dia juga pandai berkata-kata. Ini membuatku teringat dengan semua kejadian itu, yang berturut dan mencurigakan.

Ini tidak akan berhenti jika aku tidak menghentikannya.

"Baiklah." Kataku akhirnya.

Aku merasakan bahwa Keiza tersenyum senang. Lalu aku menatapnya dan berkata,

"Aku perlu ke toilet dahulu."

"Oh... oke."

Keiza membawaku ke sebuah pintu yang dekat dengan dapur, lalu dia menunjuknya.

"Di sebelah sini."

"Terima kasih." Kataku langsung membuka pintu kamar mandinya dan masuk ke dalamnya.

Setelah aku menutup dan mengunci pintunya, aku langsung menyentuh resleting celanaku. Jika kekhawatiran kecilku tidak kupecahkan sekarang juga, aku pasti tidak akan tenang untuk menemuinya. Bisa-bisa aku dibilang mesum.

Saat tanganku menyentuhnya, aku merasakannya. Aku merasakan bahwa resleting celanaku benar-benar terbuka! Apa?! Aku langsung melihatnya karena tidak percaya. Dan itu benar!

"…"

Aku membeku. Aku tidak bernafas lagi. Rasanya aku ingin mati sekarang.

Ingin sekali aku pergi dari tempat ini sekarang. Agar aku bisa menutupi wajahku selamanya dari dunia ini, ya aku akan pergi sejauh-jauhnya. Jauh! Bahkan Kelly sampai tidak menemukanku.

Tidak! Aku tidak tega meninggalkan Kelly. Bagaimana kalau aku menyamar saja? Benar. Menyamar seperti Kelly lakukan. Paman pasti mau membantuku menyamar—

Tiba-tiba aku terbayang wajah dingin yang tak berbelas kasihan dari Paman Calvin. Itu membuatku bergidik seketika. Ternyata berhubungan dengan papa Kelly lebih menakutkan daripada menahan rasa malu ini.

Aku harus percaya dengan Keiza kalau memang Rin tidak melihatnya. Sudah.

Aku akhirnya keluar dari toilet. Tentu saja aku telah merapikan pakaianku agar layak. Keiza menungguku di dapur dan duduk di salah satu kursi bar. Dia kemudian turun dan mendekatiku.

Kuperhatikan lebih ekspresinya sekarang, dia terlihat begitu ramah dan manis. Sepertinya memang dia tidak menyadarinya.

Well, itu bagus!

"Ikuti aku." Katanya.

Keiza mengambil langkah ke sebuah pintu geser yang mirip seperti pintu lemari di kartun doraemon. Bedanya, bahan dari pintu tersebut dari kayu dan kaca yang gelap. Pintu itu tertutup, seperti sengaja ditutup. Saat Keiza berada di dekatnya, pintu itu langsung terbuka dengan bergeser.

Aku tidak mengira sebuah kamar pribadi milik seorang gadis di balik pintu itu, tapi di baliknya cukup mengejutkan. Seperti sebuah lemari ruang, tapi juga dipakai untuk lalu lalang. Hanya saja isinya berupa sepatu, topi, jaket, dan outfit luaran lainnya yang biasanya dipakai saat bersiap keluar rumah.

Ada dua sisi di ruang itu yang saling oposisi. Sisi kanan tampak lebih rapi dan sederhana, namun juga elegan. Dilihat dari isinya, aku yakin bahwa barang-barang itu adalah milik Rei. Dan di sisi lainnya, lebih terlihat bervariasi isinya dan sedikit berantakan karena isinya banyak. Memang ya, perlengkapan perempuan terasa seperti sebuah butik kecil pribadi. Stok yang lengkap, banyak, dan bervariasi.

Masuk ke tempat pribadi seperti ini membuatku merasa kurang nyaman. Pembukaannya saja sudah seperti ini. Bagaimana dengan isinya?!

"Rumah ini sebenarnya open house. Dan untuk membatasi privasi, Rei membuat ruang ini sebagai perantara ke bagian privasi Pramudirga." Jelas Keiza yang melihat kecemasanku.

Dan itu memperburuknya.

"Jangan khawatir. Aku memiliki akses di sini, dan mereka tidak akan keberatan jika kau masuk kemari karena hal yang penting."

Merayu Rin keluar kamar adalah hal yang penting, aku baru tahu.

"Ini seperti sebuah pintu masuk dan keluar dari bagian privasi Pramudirga, desainnya memang dibuat khusus untuk itu. Lalu, tangga itu akan membawa kita ke sana."

Keiza menunjuk ke arah satu-satunya tangga yang ada di ujung ruangan.

"Kau tidak masalah untuk ganti sepatu?" Tanya Keiza tiba-tiba. "Untuk masuk, kau harus memakai sandal rumah."

"Apa ada sandal untukku?" Bahkan aku hampir terkekeh saat bertanya. Aku hanya sedikit konyol dengan peraturan di tempat ini.

"Ada sandal untuk tamu." Jawabnya yang kemudian menekan-nekan sebuah dinding cermin di dekatnya.

Dan seketika, sebuah rak terbuka di balik dinding cermin tersebut.

"Apakah tadi kau menghilang karena masuk ke tempat ini?" Tanyaku setelah mengganti sepatuku dengan sandal slip seperti di hotel tanpa melepaskan kaos kakiku.

"Ya! Aku harus membuat Rin keluar sebelum terlambat. Aku tidak ingin Rei dan Rin bertengkar hari ini."

Mendengar itu membuatku beransumsi bahwa kedua saudara kembar itu masih saja suka bertengkar. Aku tidak tahu rasanya karena aku anak tunggal. Dan setahuku, Rei sangat peduli dengan adiknya. Saking pedulinya, dia sampai ikut membanting tulang waktu SD untuk membantu biaya pengobatannya Rin. Dia juga yang melindungi Rin di sekolah saat di-bully karena menggunakan kursi roda. Jika memang mereka sekarang masih sering bertengkar, bukankah cukup aneh? Apakah mereka tidak menjadi lebih dewasa?

Rin anak yang manja setahuku, apalagi rumor yang beredar di JFTU. Rei juga tidak keberatan dan semakin memanjakannya.

Setelah kami akhirnya menaiki tangga dan berada di lantai dua dari rumah ini, lagi-lagi muncul sebuah ruang tamu yang lengkap dengan segala perabotan yang ada. Di sisi lain, terdapat meja makan dan dapur yang menjadi satu ruang. Aku tidak mengerti mengapa tempat ini dibuat sebuah rumah kecil di dalam rumah itu sendiri.

"We live for our own family here. Privacy."

Ya, mungkin kata-kata Kelly bisa membantuku untuk memahaminya. Tempat ini hampir tidak ada bedanya dengan rumanya.

Pencahayaan di ruangan ini begitu buruk. Terlalu gelap untuk sebuah ruangan, apalagi tempat ini memiliki jendela kaca yang luas. Seharusnya, lampu akan otomatis hidup jika seseorang memasuki ruangan ini. Tapi, aku merasa bahwa lampu yang redup ini sengaja diatur yang mengisyaratkan bahwa ruangan ini jarang dipakai.

"Lewat sini " Keiza membawaku memasuki sebuah lorong di belakang sofa. Lorong itu kuyakin dibuat sebagai jalan untuk memasuki area kamar, mirip dengan desain di rumahku.

Dan benar saja, Keiza berhenti di depan sebuah pintu.

Di balik keremangan cahaya di lorong ini, aku bisa melihat beberapa pintu yang tertutup rapat.

"Ini ruangannya Rin." Kata Keiza sedikit berbisik.

Well, kurasa kalau Rin takkan mendengar kami di sini. Mengapa dia berbisik.

Kemudian dia bersuara sambil mengetuk pintu, "Rin. Ini Kei. Ini sudah gelap dan Rei akan pulang sebentar lagi. Keluar yuk! Sebentar lagi juga waktunya makan malam."

Untuk seseorang yang pandai berbicara seperti Kei, merayu dengan seperti itu kurasa adalah hal yang bodoh. Dia seharusnya tahu harus menggunakan kata-kata persuasi yang manis untuk Rin. Selain itu, dia juga sudah terbiasa dengan ini.

Keiza melirikku dan tersenyum.

"Lihatlah siapa yang datang kemari, Rin."

Keiza lalu mundur beberapa langkah dari pintu dan mempersilahkanku untuk mendekati pintu. Jadi ini waktuku untuk beraksi.

Ada sebuah kenangan yang dapat kuingat di tempat ini, dulu sekali... sebelum rumah ini menjadi rumit. Dan sempat aku selalu membantu Rei untuk menyelesaikan masalah dari kembarannya yang keras kepala ini.

Dia hanya mau mendengar suaraku... Mungkin dia merasa lebih diterima karena aku adalah orang luar yang menerimanya.

"Anak itu tidak pernah mau belajar. Papa sampai begitu memanjakannya dan aku yang harus bertanggung jawab atas semua masalahnya! Dia memang menyedihkan, tapi keras kepala. Bagaimana guru-guru menjadi tidak kesal karena sikapnya seperti itu?"

Rei dari dulu memang sudah pandai dan bersikap lebih dewasa daripada umurnya. Aku sampai tertegun dengan sikapnya yang seratus delapan puluh derajat berbeda dengan kembarannya.

Seperti kataku, mereka tidak seakur kelihatannya meski perasaan mereka sama.

Dan saat itulah aku mulai beraksi.

Tok... tok... tok...

"Rin... ini Brandon. Aku dan Rei akan bermain, apa kau mau ikut? Kami juga sudah memesan donat kentang keju dari tante Ivy. Kalau kau tidak keluar, Rei pasti menghabiskan semuanya. Oh! Donatnya sudah datang!"

Tiba-tiba suara pintu terbuka. Rin muncul di baliknya dengan wajah yang lembab, lemas, dan sangat sedih. Wajahnya sangat pucat, bahkan tidak ada warna rona di wajahnya. Kecuali kedua matanya yang memerah karena kebanyakan menangis.

"Ayo keluar!" Ajakku sambil membuka pintu lebih lebar dan masuk. Aku mendorong kursi rodanya keluar dari kamar.

Apakah akan semudah itu? Seperti dulu?

Mungkin saja.

Tok... tok... tok...

Aku akhirnya mengetuk pintunya.

"Rin, ini Brandon. Aku datang kemari karena ingin bertemu denganmu, katanya kau mencariku."

Dan seketika, pintu terbuka separo untukku.

"Masuklah..." itu suara Keiza. "Cobalah ajak dia keluar secara langsung."

Aku menurutinya dan masuk ke dalam kamar itu. Jika dulu aku memang sengaja masuk karena memaksa Rin keluar dengan mendorong kursi rodanya, kali ini harus dengan kata-kata. Kondisinya tidak seburuk dahulu jika kulihat sekarang.

Ruang kamar Rin cukup luas dengan segala perabotan ala perempuan. Hampir seperti milik Kelly, semuanya terlihat harus lengkap dan indah. Aku bisa melihat setiap desain yang dibuat sederhana mungkin, namun juga dapat membantu menambah keindahan di ruang ini. Tidak seperti di luar ruang, cahaya di kamar ini terlihat lebih bagus. Di tambah dengan unsur-unsur pencahayaan kecil di tiap bagian ruangan.

Aku tidak ingat bagaimana serelanya, tapi tempat ini lumayan juga.

Dan di sanalah Rin, duduk di atas tempat tidur dan membelakangiku. Kurasa dia tidak ingin melihatku kali ini.

"Hai Rin..." tidak dipungkiri bahwa aku selalu punya hal yang pantas dibicarakan. Aku cukup percaya diri dengan kemampuanku ini.

Hanya saja kemampuanku ini tidak berlaku di dunianya Kelly.

"Rei menyuruhku kamari karena kau-"

Ceklek!

Itu suara pintu yang ditutup. Sialan!

"Kau tahu lah. Mencariku dan menungguku selama ini. Maafkan aku karena tidak bisa datang mengunjungimu selama ini. Dan kelihatannya, kau sekarang sudah semakin sehat dan kuat! Bukannya itu bagus? Dan... apa kau sangat terkejut karena akhirnya berpapasan denganku tadi? Hahaha.... aku sampai tidak bisa mengenalmu tadi. Kau sudah banyak berubah. Kau makin cantik dan imut sekarang. Setidaknya kau tidak cengeng sekarang."

Setelah mendengar suaraku, Rin akhirnya memutar tubuhnya dan menatapku. Di balik cahaya lembut di ruangan ini, dia terlihat begitu merona.

Aku hampir tertawa melihatnya.

"Hey. Kau seperti tomat sekarang." Kataku sambil mendekatinya. Itu membuat rona wajahnya menjadi-jadi. "Eit... jangan puter badan lagi!"

Aku memegangi pundaknya dan membiarkan kedua mata kami bertemu. Kedua alisnya bertaut lalu menutup kedua matanya rapat-rapat.

Separah inikah dia?

"Katakan sesuatu, setidaknya. Kalau tidak, aku akan seperti ini terus."

"Lepaskan."

"Oke." Aku melepaskan pundaknya dan berdiri tegap.

Dia menghindari untuk menatapku.

"Apakah rasa kangenmu sudah terbalas sekarang?"

Dia menggelengkan kepalanya.

"Kita masih punya banyak waktu." Kataku sambil membelai kepalanya. "Bisakah kita keluar dan minum susu?"

Aku dapat mendengar Rin terkekeh mendengarku.

"Kau masih suka minum susu, Brandon?" tanyanya geli, namun dia belum menatapku.

"Hey, aku sudah pernah bilang bahwa semua orang suka minum susu."

Rin tertawa kecil. Sepertinya dia benar-benar menikmati ini.

"Minum susu itu tidak membatasi usia manusia, tahu."

"Ya, ayo minum susu. Tapi kita tidak perlu keluar." Katanya.

"Mengapa?" aku sontak bertanya. Untungnya nada suaraku sangat bersahabat.

Rin masih tidak mau menatapku. Dia hanya menatap ke salah satu sudut ruangan. Tanpa menjawab pertanyaanku, dia kemudian bangkit berdiri dan berjalan ke depan. Aku hampir reflek akan memeganginya karena dia sebelumnya menggunakan kursi roda, tapi aku juga ingat bahwa dia juga 'berlari' menjerit menjauh dariku. Ya, dia sudah membaik.

Di balik bayangan dari kordennya, dia membuka pintu di sana. Cahaya dari dalam ruang langsung menerpa seluruh tubuhnya seakan di dalam sana terdapat harta karun. Setelah aku dapat merasakan hawa dingin yang khas, aku menyadari bahwa pintu yang dibukanya itu adalah kulkas.

Serius? Kulkas di dalam kamar?

Rin kembali dan membawakan dua kotak susu dan sebuah kotak kue. Lalu dia duduk di sofa.

"Kemarilah," dia mengajakku duduk di sampingnya.

Aku menurut.

"Ini." Dia memberikanku sekotak susu di atas pahaku. Dia masih tidak melihatku, jadi dia bertingkah seperti itu.

Aku tentu saja menerimanya.

"Apa kau masih suka cookies ini?" Dia bertanya dan menunjukan sekotak kue yang dibawanya. Dia menunjukannya dengan mengangkat kotak tersebut ke depan.

Makanan ringan yang sangat disukai anak kecil, apalagi memiliki varian bentuk, bahkan dulu aku suka memakannya. Namun, seakan hidupku ini semakin pahit, aku makin tak suka makan makanan manis. Termasuk kue itu.

"Berasa nostalgia! Kau masih suka makan?!"

"Ya!"

Rin membukanya dan mengambil satu kue itu.

"Ini untuk Brandon." Dia memberikanku sebuah kue yang berbentuk bulan sabit.

Aku penasaran mengapa dia memberikanku ini, dan itu mengingatkanku segala macam yang kupikirkan tadi. Meski kue itu tidak bercahaya seperti bulan, namun wujudnya hampir sama dengan sesuatu yang menjadi pelampiasanku.

Kurasakan bahwa aku semakin bodoh.

Saat aku hendak mengambilnya, Rin menarik lengannya sehingga terlihat mempermainkanku. Aku sedikit kesal dan mencoba untuk merebutnya paksa, tentu saja dengan bercanda. Namun, itu membawaku bisa menatapnya dan dia menatapku.

"Tersenyumlah, Brandon!" Rin menempelkan bulan itu ke mulutku sehingga membentuk seperti sebuah senyuman palsu.

.

Bab 16

The Quarter of The Moon IV