"Niel, apa kau mendengarku?" ucap Leona.
Matanya sibuk mengamati sekeliling hutan tapi pikirannya terus-menerus mencoba berkomunikasi dengan Niel, hewan pelindungnya.
Jujur ini kali pertama ia mengajak naga hitam itu berbicara semenjak pertemuan mereka di Abys. Bisa dibilang Leona dan Niel lost contact sejak hari itu.
Cukup lama gadis itu menunggu mindlink nya berhasil. Namun, belum ada tanda-tanda balasan dari Niel sampai saat ini.
Huft, Leona menghela napas pelan. Kembali mengamati sekitar berharap dia menemukan sebuah petunjuk. Seperti jejak kaki yang tertinggal misalnya.
Namun, hanya jejeran pepohonan yang bisa ia lihat. Sejauh dirinya berjalan bersama Poci tak ada satupun juga hal mencurigakan yang ia temui.
Oleh karena itu ia memerlukan bantuan Niel. Mungkin saja jika dia meminjam kekuatan mata reptil berdarah dingin itu, dia jadi bisa melihat dengan jelas di malam hari.
"Niel, apa kau mendengarku?" ulang Leona sekali lagi.
Di detik berikutnya, ia merasa kepalanya begitu pening. Tak hanya itu, Leona juga mendengar suara aneh di dalam pikirannya sekarang.
"Yes, Master. Aku mendengarmu."
Rupanya itu suara Niel. Naga hitam itu baru saja membalas mindlink nya setelah beberapa kali percobaan tadi.
"Ada apa?" tanya Niel dengan suara malasnya.
Suaranya terdengar serak seolah baru saja bangun tidur.
"Apa aku mengganggumu?" tukas Leona.
Di tempatnya, Niel langsung mengangkat kepalanya yang masih ia benamkan dalam-dalam pada bagian tubuhnya. Lantas berdiri dengan mata terbuka lebar.
"Bagaimana mungkin kau menggangguku, Master? Justru aku sudah menantikan kau menghubungiku sejak lama." Leona tersenyum samar di tempatnya sekarang.
Lucu sekali mendengar Niel menggodanya diam-diam. Apa naga itu sadar jika dirinya ini wanita?
"Niel, berhentilah menggodaku. Kita sejenis tahu," ucap Leona.
"Ya, aku tahu Master. Tapi kau tidak bisa memungkiri ketampananku yang badas ini bila dibandingkan dengan hewan lain," balas Niel percaya diri.
Ternyata naga itu sama seperti Lucas. Narsis sekali jika membicarakan perihal ketampanan. Mendengarnya, membuat Leona tergelak dan hampir lupa dengan tujuannya menghubungi Niel.
"Ah, ngomong-ngomong tumben sekali Master menghubungiku. Apa ada sesuatu yang penting?" tanya Niel lagi. Kali ini tidak ada lelucon yang terselip pada ucapannya.
"Kau benar, singkatnya aku memerlukan salah satu kemampuanmu. Bisakah, kau pinjamkan penglihatanmu sebentar padaku?" pinta Leona.
Niel mengangguk di tempatnya, mengiyakan."Tentu, Master."
Benar saja, setelah Niel mengatakan hal itu. Tiba-tiba saja mata Leona terpejam sendiri lantas saat ia membuka kelopak matanya sesuatu terjadi.
Pupilnya yang cokelat berubah warna menjadi kuning kehijauan. Irisnya yang bulat juga berubah sedikit lonjong. Matanya terlihat seperti seekor reptil. Meskipun begitu, kini penglihatannya jauh lebih jelas dan luas. Dia bahkan bisa melihat benda sekecil apapun yg ada di depannya.
"Ini luar biasa," puji Leona.
Niel terkekeh di tempatnya.
"Master, coba kau perjelas lagi semua panca inderamu. Hari ini aku meminjamkan paket komplit loh," jelas Niel.
Tak buang waktu lama Leona kembali memejamkan matanya lagi. Membuat semua inderanya bekerja seefektif mungkin.
Kali ini ia bisa mendengar bisikan-bisikan kecil di dekatnya. Sekaligus merasakan embusan angin yang mulai menggelitik permukaan kulit.
"Apakah tadi itu suara hewan lain?" tanya Leona.
"Benar, Master bahkan bisa berbicara dengan mereka sekarang." Niel berujar lagi.
"Mungkin nanti aku akan mencobanya. Ah, Niel ..." panggil Leona.
"Yes, Master?" jawab Niel antusias.
"Terima kasih dan sampai nanti." Setelah itu mindlink mereka terputus.
Terasa begitu egois karena ia memutuskan telepati mereka secara sepihak. Namun, Leona harus bergegas melanjutkan penyelidikannya yang sempat terjeda tadi.
Gadis itu langsung melompat turun dari kudanya lantas mengikat Poci di salah satu pohon dekat sungai.
"Poci tunggu di sini sampai aku kembali," perintah Leona.
Kuda cokelat itu mengangguk patuh.
©©©
"Dimana Leon?" tanya Felix ketika melihat Lucas yang baru saja sampai di depan pintu.
Pria itu langsung melirik penuh selidik dengan tatapan sangat menusuk pada Lucas.
"Ah, dia sedang-kuberi tugas untuk-"
"Untuk?" desak Felix.
Lucas tercengir sembari menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. "Mencari jati diri."
Terlihat Felix bangkit dari singgasananya lalu berjalan menghampiri Lucas.
"Kau tidak bisa membodohiku Jenderal. Katakan dimana Leon?" sentak Felix.
Lucas meringis. Kebiasaanya memang jika ketahuan berbohong, pria rambut merah bata itu akan menggaruk belakang kepalanya sambil tercengir lebar mirip orang bodoh.
Sudah pasti Felix tahu akan kebiasaannya itu. Apalagi mereka berdua sudah sering bersama lebih dari 5 tahun.
"Dia kuberi misi," aku Lucas.
Felix sedikit memicingkan mata, menolak kenyataan itu. Namun, dia mencoba mengontrol emosinya dengan membuang muka ke arah lain sebelum akhirnya kembali berjalan ke arah singgasananya.
"Ya setidaknya bocah itu berguna," balas Felix acuh.
Sesaat Lucas mengembuskan napas lega, melihat Felix yang kembali berjalan ke arah tempat duduknya tanpa menanyai lagi alasan dari kepergian Leon.
"Tapi Jenderal, apakah misi ini begitu penting sampai kau menyuruhnya pergi tanpa meminta izin padaku dulu?" tanya Felix langsung pada inti.
Itu membuat Lucas sekali lagi terbungkam di tempatnya. Jika sudah seperti ini dia tak bisa lagi untuk mengelak. Mau tak mau dia harus menceritakan semuanya.
Mendesah pelan, Lucas menatap mata Felix penuh kekalutan. "Maaf Yang Mulia, sebenarnya Leon itu ..."
Netra Felix menggelap, begitu juga dengan rahangnya yang mulai mengeras. Tangannya terkepal kuat di atas lutut sampai memperlihatkan kuku-kuku jarinya yang mulai memutih.
"Penyusup katamu?!"
Lucas mengganguk pelan.
"Ini pasti ulah mereka. Kapan orang-orang dari Frozen Sea itu berhenti mengganggu ketentraman di wilayah Nort Vale? Aku tidak bisa duduk diam berpangku tangan di tempat. Lucas siapkan pasukan sekarang!" teriak Felix.
Lucas melotot. Buru-buru pria berambut merah bata itu menyela ucapan Felix barusan.
"Yang Mulia, apa ini tidak terlalu beresiko? Perang itu bukan hal yang bisa diputuskan dalam sekali tindakan. Ada banyak persiapan yang kita butuhkan, termasuk fisik dan mental para prajurit. Coba anda pertimbangkan sekali lag-"
"Apa kau baru saja menentang perintahku?" potong Felix.
Entah mengapa Lucas merasakan ada sesuatu yang aneh dengan Felix. Tidak biasanya dia langsung mengambil keputusan sebelum menemukan kesimpulan yang tepat. Apalagi soal perang? Lucas merasa ini satu tindakan yang bisa berakibat fatal.
"Hamba tidak bermaksud, tapi hamba minta anda memikirkannya kembali lagi Yang Mulia."
Sembari menyesap anggur merahnya Felix berujar, "Kukira tidak ada lagi yang perlu aku pikirkan, Jenderal."
Singkatnya, keputusan Felix saat ini mutlak dan Lucas tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain mengikuti perintahnya.
©©©
Setelah berjalan cukup jauh, akhirnya Leona menemukan sebuah jejak. Bila ia amati jejak itu selalu berpindah-pindah tempat, dari satu dahan pohon ke pohon lainnya.
Anehnya setelah ia mengikuti jejak itu hampir setengah jam. Leona mendapati jejaknya terhenti di dekat dua pohon besar yang saling bersebelahan yang diselimuti kabut. Persis seperti sebuah gerbang tak kasat mata.
"Apa ini? Kenapa jejak itu menghilang?" monolog Leona.
Ia sempat mencari petunjuk lain dengan berkeliling di depan dua pohon itu. Tapi nihil, Leona sama sekali tak menemukannya.
Merasa lelah mencari, akhirnya ia memutuskan untuk masuk ke dalam.
"Ya, setidaknya aku pernah mencoba agar tak merasa penasaran." Leona berujar pelan sebelum akhirnya mengambil langkah.
Wush ...
Tap ...
"Tu-tunggu, apa ini?"
Matanya melebar dan mulutnya terbuka sempurna. Apa dia tak salah masuk? Kenapa Leona malah kembali ke taman belakang istana?