Chapter 28 - Ceroboh!

Lucas berencana membeli beberapa stok makanan untuk persediaan sebelum memasuki hutan di pasar terdekat. Namun, langkahnya tiba-tiba dihadang oleh kusir kuda sebelum berbelok ke arah gang.

Awalnya, Lucas mengira jika pria setengah baya bertubuh pendek itu hendak menawarkan kereta kudanya. Ya, seperti trasnportasi untuk sampai di desa terdekat begitu.

Tetapi, dugaan Lucas itu salah. Bukannya menawarkan kereta kudanya, si pria setengah baya bertubuh pendek itu malah mengarahkan sebuah pedang ke arah lehernya.

Refleks saja, Lucas langsung memundurkan langkah karena serangan tiba-tiba itu.

"Apa aku punya salah padamu, tuan?" tanya Lucas seketika.

Dia bahkan belum pernah menaiki kereta kuda milik pria tua itu sewaktu menjabat sebagai jenderal dulu. Tapi kenapa, dia tiba-tiba bertindak anarkis dengan menghunuskan pedang ke arahnya. Memang apa salah Lucas padanya?

Apa iya, Lucas memiliki hutang yang belum dibayar?

"Kau memang tidak memiliki salah apapun padaku. Hanya saja, aku perlu kepalamu itu untuk merubah nasibku ini!" jelasnya, alis Lucas menaut. Tak mengerti maksud dari perkataan pria tua dihadapannya ini.

"Maksudnya?"

Bukannya menjawab, pria tua itu justru menyerang Lucas dengan membabi buta. Yang sayangnya bisa Lucas tebak pergerakan serangannya mau ke mana.

Hal itu disebabkan karena, pria tua ini tidak mengerti teknik dasar dalam menyerang. Jadilah, serangannya mudah terbaca dan Lucas tangkis dengan begitu mudahnya.

"Sialan!" teriaknya mulai terpancing emosi.

Mungkin dia kira, Lucas mudah ditaklukkan.  Sayangnya dia lupa, jika Lucas mantan Jenderal Besar yang teknik pedangnya juga tak kalah hebat dari Putra Mahkota sendiri.

"Sebaiknya kau urungkan niatmu saja, tuan!Akan sangat berbahaya jika kau masih saja berusaha untuk mencelakaiku," sentak Lucas.

Yang sepertinya tak di gubris pria tua itu sama sekali. Hal itu tampak dari serangan si pria tua yang malah semakin gencar daripada sebelumnya.

Lucas sendiri dengan lihainya bisa melewati itu semua. Menghindar ke kanan-kiri, bahkan berdiri dengan satu kaki di atas ujung pedang, Lucas bisa melakukannya.

Membuat si pria tua kewalahan yang kemudian langsung membuang pedangnya ke tanah.

"Aku menyerah!" ucap si pria tua itu akhirnya.

"Aku lupa jika tubuhku ini sudah tak sebugar dulu. Untuk mengangkat pedang pun aku sangat kewalahan sekali," jelasnya lagi yang hanya dibalas kekehan Lucas.

Pria berambut merah bata itu, lantas berjalan menghampiri si kusir. Menepuk bahunya pelan. Kemudian memberikan seikat koin emas padanya.

"Apa ini?" tanya si pria tua dengan mata berbinar.

Selama dia hidup di dunia, dia belum pernah memegang seikat koin emas begini. Penghasilan yang dia dapatkan seharian pun tak cukup untuk di tukarkan dengan seekor anak sapi.

Lucas hanya tersenyum ke arahnya seraya berucap pelan, "Hadiah untukmu karena masih punya simpati padaku. Oh iya, apa aku boleh meminjam kudamu? Ketahuilah, bahkan dengan seikat koin emas itu kau bisa membeli 2-3 ekor kuda baru."

"Tentu, kenapa tidak?" potong si pria tua.

Lucas mengangguk. Kemudian berjalan melepas kuda dari kereta milik pria tua. Sebelum pergi, dirinya melambaikan tangan sebagai ucapan selamat tinggal.

©©©

Leona terlihat kebingungan di atas pohon. Mungkin sudah hampir setengah jam dirinya duduk di sana mengawasi pergerakan makhluk biru bermata satu di bawah.

Pasalnya, para Cyclops tidak ada satupun yang mau meninggalkan hutan. Mereka masih sibuk mencari keberadaan Leona yang sedari tadi bersembunyi di atas, dengan memanjat salah satu pohon besar.

Dibilang lelah, sejujurnya gadis itu amat lelah. Bahkan mulutnya terlihat menguap beberapa kali. Itu karena Leona belum tidur sejak dua hari yang lalu.

Matanya sibuk terjaga saat masih berada di sel. Takut-takut bila, orang yang menyuruh prajurit Nort Vale menangkapnya datang, dia tak bisa melihat dengan jelas wajahnya.

Meskipun kecurigaannya terarah pada Felix. Tapi, hati Leona masih tegas menolak jika bukan pangeran sombong itu pelakunya. Lagipula, untuk apa, Felix repot-repot mengurungnya? Dia kan bukan sesuatu yang harus di perebutkan?

Kepala Leona yang dibalut wik putih itu lantas mengangguk. Membenarkan semua teori-teori dalam otaknya ini. Jika, semakin dipikir-pikir hal itu malah memperlambat dirinya. Selain menjadi pusing, Leona juga tak bisa beranjak dari tempat ini untuk waktu yang cukup lama.

Huft.

Gadis itu mendesah. Terlalu lama menunggu membuatnya bosan setengah mati. Lantas tanpa ambil pusing dia berdiri. Siap melompat ke arah batang pohon lainnya yang tampak kokoh untuk di pijak. Ya, setidaknya dia mau berusaha untuk sampai ke sungai berair hijau itu.

Tap ...

Langkah pertama Leona berhasil dengan mulus. Langkah kedua pun begitu. Hanya badannya yang sedikit miring dan hampir jatuh karena kehilangan keseimbangan.

Tapi, dilangkah keempat. Pantatnya harus bersuka cita karena mencium permukaan tanah yang tak begitu gersang. Leona hampir memekik merasakan panas bercampur kebas di pantatnya. Tetapi, tombak yang melesat hampir mengenai punggungnya membuat dirinya kaget.

Buru-buru, gadis itu bangkit kemudian berlari menuju sungai. Menuruni bukit yang tak begitu tinggi. Sampai berlari zig zag agar tak mudah di tangkap makhluk biru bermata satu itu.

Para Cyclops yang melihat ada manusia di hutan ini, segera berlari cepat. Mereka memburu Leona sembari berteriak melengking, yang membuat gadis itu seketika menghentikan larinya hanya untuk menutup telinga.

"Berisik! Aku jadi tidak bisa fokus untuk berlari," monolog Leona kesal.

Sesaat pikiran gadis itu blank akibat mendengar suara para Cyclops itu. Tetapi, di detik yang sama Leona langsung melanjutkan larinya dengan tangan menutupi kedua telinga. Tak lupa, dia bahkan bernyanyi keras sekali, supaya suara makhluk itu tak menganggu konsentrasinya.

Kini kakinya sudah sampai di dekat tebing. Di area bebatuan terjal, yang tampaknya di luar dugaan Leona.

Dari atas matanya hanya menangkap sebuah air terjun yang langsung berbatasan dengan sungai. Yang, Leona pikir tak harus melompati tebing lagi untuk menyeberanginya.

Glek!

Leona menelan ludah gusar. Kakinya mulai mengalami tremor ringan dan detak jantungnya ikut meningkat. Tanpa sadar, kakinya mundur beberapa langkah sampai menabrak salah satu pohon di dekat tebing.

"Melompat ke tebing, lagi?" gumamnya pelan.

Kalau boleh jujur, Leona jadi trauma semenjak terjun dari tebing belakang sekolah. Entah mengapa, pikirannya terus memikirkan kematiannya yang begitu tragis jika dia melompat sekali lagi, sekarang.

Di saat Leona sedang merasakan kalut luar biasa. Tiba-tiba saja, suara sekumpulan makhluk berwarna biru itu semakin jelas terdengar dari belakang.

Ya, para Cyclops itu hampir sampai. Semakin dekat, sampai Leona bisa melihat dengan jelas rupa asli mereka. Mata yang begitu besar ada di tengah-tengah wajah dan mulut yang terus mengeluarkan air liur.

Tubuh kerdil yang begitu gempal berwarna biru. Dengan tangan yang hanya memiliki tiga ruas jari untuk memegang tombak.

"Makanan!" teriak mereka antusias.

Leona sedikit panik. Dia bergegas menuju ke ujung tebing lantas melompat dari atas sana, tepat saat para Cyclops itu menghujamkan tombak mereka ke arahnya.

Jeburrr ...

Tubuh Leona menyatu dengan air yang berwarna hijau mirip seperti habitat para buaya itu. Rasa dingin langsung merasuk ke dalam permukaan kulit bahkan tulang. Yang rasanya bisa membuat Leona menggigil saat ini juga.

Awalnya tubuh Leona menyembul ke permukaan. Efek dari volume tubuhnya yang lebih besar dari volume air itu sendiri.

Hanya saja dia lupa. Kalau kelemahan terbesarnya adalah tidak bisa berenang. Jadilah Leona hanya bisa mengulurkan tangan ke atas berharap ada seseorang yang menolong dirinya sebelum mati tenggelam ke dasar.