Chapter 24 - Tertangkap

"Kau gila ya, Leon itu-"

"Buronan? Begitu?" serobot Felix cepat.

Entah sejak kapan, pria itu sudah berdiri di belakang Lucas dengan beberapa prajurit bersenjata.

"Felix! Kau?" teriak Lucas tak terima.

Ia bahkan menunjuk wajah Felix dengan jari telunjuknya sendiri. Padahal itu saja sudah disebut penghinaan, dan Lucas bisa mendapat hukuman keras.

Tapi ia tak peduli. Meskipun dia begitu membenci Leon, tapi Lucas tidak suka pola pikir Felix sekarang. Dia merasa, semakin lama semakin terkuak sifat aslinya itu.

Berbeda dengan Lucas yang tampak marah, Felix hanya tersenyum.

Dia mendorong tubuh Lucas sedikit dengan ujung pedangnya supaya pria itu menyingkir dari jalannya. Baginya Lucas hanya sebuah bidak catur yang kini tak memiliki arti.

Mungkin dulu pria itu berpengaruh, tapi saat tahta mulai kosong apa iya Felix masih membutuhkan dukungan orang dalam?

Huh! Hanya tinggal menyingkirkan kerikil besar di depan mata, Felix bisa naik ke puncak. Untung saja, ibunya mendukung dirinya penuh. Bahkan mau terhasut bujukannya untuk menumbalkan Teon.

Ya, Teon. Adik kecilnya yang malang sekaligus ingin Felix binasakan tanpa sisa.

"Cih, Kukira kau pemimpin yang berbeda. Rupanya sama saja!" Lucas menyindir Felix tepat ke hati.

Buktinya langkah pria berambut kuning itu langsung terhenti. Tangannya mengepal namun tubuhnya enggan berbalik. Hanya sekedar untuk melihat Lucas yang menatapnya tajam dari balik punggung kekarnya.

"Jujur aku menyesal! Menyesal karena memilihmu dulu sebagai pewaris tahta. Mungkin jika aku memilih Lea, itu akan lebih baik daripada hari ini," kompor Lucas lagi.

Felix mulai naik pitam. Ia mengeluarkan pedang salah seorang prajurit yang masih tersarung di tempatnya, lantas mengarahkannya tepat ke leher Lucas.

Melihat tindakan Felix yang mulai terpancing, membuat seutas senyum muncul di sudut bibir Lucas.

Dengan tampang soknya, pria berambut merah bata itu masih bisa berpose dan tersenyum santai.

"Kau ingin membunuhku, Pangeran?" tanya Lucas.

Ia tak lagi ketakutan atau perlu bersikap sopan santun pada calon raja yang bersifat egois begini. Baginya Felix itu sama, seorang teman yang mulai memudar keberadaannya.

Entah karena apa?

"Aku memberimu kesempatan, berlutut dan meminta maaf atau mundur dari jabatanmu sekarang?"

"Pilihan kedua!" jawab Lucas tanpa ragu.

Ia langsung membuang pedangnya beserta jubah kebesarannya sebagai seorang jenderal. Tak ada kata takut di dadanya. Begitu juga matanya, netra merah itu menatap lurus ke arah Felix tanpa dosa.

"Bukankah ini yang kau mau? Aku pergi."

Setelah mengatakan itu Lucas langsung membalikkan tubuhnya. Berjalan ke arah berbeda dengan Felix yang kelihatannya sedikit ternganga karena keberanian dirinya.

Dulu, Lucas pikir jika dia diposisi ini hidupnya akan terjamin dan bisa membantu orang yang lemah. Nyatanya, sama saja. Dia malah berkubang dalam lumpur penuh dosa.

Membantai orang tak bersalah sebagai rampasan perang jika menolak. Lalu merebut hak-hak milik anak kecil yang masih membutuhkan kasih sayang orang tua.

Bodohnya, dia baru sadar sekarang.

Rupanya di sisi Felix selama ini adalah kesalahan terbesar di hidupnya. Lucas bahkan tak mengira akan di berhentikan tanpa hormat dari jabatannya.

Huft, mungkin jika Leon tak berkata begitu kemarin malam. Dirinya belum juga sadar sampai detik ini.

©©©

"Apa-apaan ini?"

Leona hampir saja sampai istana dan ingin melaporkan kejadian ini pada Lucas. Tapi sekumpulan prajurit berbaju zirah sudah mengepungnya.

Ia diberhentikan di depan alun-alun kota saat naik kuda. Lantas di gelandang paksa mirip tawanan.

Belum jelas motifnya apa. Yang jelas tubuhnya diikat paksa di atas kayu besar yang kemudian di gotong bersama-sama oleh prajurit.

Dalam perjalanan menuju istana Leona mendengar mereka meneriakkan dengan lantang jika dirinya adalah 'buronan'.

Tunggu!

Apa ia tak salah dengar?

Memang Leona punya salah apa? Dia bahkan tak menggelapkan dana kerajaan dan berniat membunuh Putra Mahkota?

Tapi kenapa dia ditangkap tak etis begini?

Leona menggeleng pelan. Menggunakan kemampuan Niel yang masih ada padanya.

Detik itu juga iris matanya yang cokelat berubah menjadi hijau kekuningan. Ia mendesis pelan sebelum akhirnya melepaskan ikatan hanya dengan kuku panjangnya.

"Cukup membantu," gumamnya pelan.

Ia melirik para prajurit yang menggotongnya lalu bersiul. Hanya sebuah melodi dari nyanyian penghantar tidur yang langsung membuat semuanya menguap secara bersamaan.

'Ah, Niel punya jurus mengantuk rupanya. Cukup efektif.' batinnya.

Ia langsung melompat dari atas drakbar lalu menyandra salah satu prajurit lainnya yang masih sadar. Sayangnya, dia terkena jarum bius yang di tancapkan di kaki kirinya oleh salah seorang prajurit lain. Membuat Leona seketika kehilangan kesadaran dan jatuh begitu saja.

Gadis itu baru saja siuman saat mendapati dirinya di tempat yang begitu gelap tanpa adanya cahaya. Tangannya diikat ke atas menggunakan rantai besi dan mulutnya di bekap kain.

Entah dia ada dimana, yang jelas tempat itu begitu kedap suara dan pengap. Gadis itu juga merasa dinding yang membatasi antara tangan dan punggungnya begitu lembab.

Sedikit basah dan ada beberapa hewan melata lainnya. Jika Leona menyimpulkan ini bukanlah ruang bawah tanah. Ini memang tempat untuk menyembunyikan tahanan tapi sepertinya milik orang lain.

Leona masih ingat saat mengikuti Anastasia yang mengurung Lea di ruang bawah tanah. Tempat itu memang gelap tapi lebih gelap dan pengap lagi tempat ini. Jika benar ini bukan ruang bawah tanah kerajaan, lantas ruang bawah tanah milik siapa?

Dia mencoba memindlik Niel sekali lagi. Kali ini berhasil tak seperti sebelumnya yang cukup memakan waktu.

Leona meminta Niel untuk membagi nafas apinya agar ada sedikit cahaya di tempat ini. Tak berselang lama dari itu, ia mulai menggunakan kemampuan Niel untuk menerangi ruangan.

Terkejutlah ia melihat seisi ruangan. Ini bukan penjara biasa, melainkan ruang penyiksaan.

Mata Leona mendelik, melihat tulisan-tulisan di sekitar dinding. Ada banyak sekali coretan-coretan, salah satunya menyebutkan Omelas.

Apa ini sebuah titik terang?

Leona hendak melanjutkan lagi penyelidikannya, tapi derap langkah seseorang yang memasuki ruangan ini mengurungkan niatnya. Gadis itu langsung memejamkan mata, berpura-pura belum sadarkan diri.

Clekkk ...

Suara gembok yang dibuka membuat Leona semakin menajamkan pendengarannya. Dia yakin tak hanya ada satu orang yang menemuinya, tapi beberapa orang.

"Bagus, kuharap kalian tetap mengurungnya di sini. Ingat jangan sampai ada yang tahu, jika Leon ada di sini. Kalian tahu kan, bos tidak suka ada yang cacat sedikitpun?" ucap seseorang.

Suaranya cukup familiar tapi Leona tak bisa mengenalinya. Selain gelap, dia juga masih memejamkan mata.

"Baik, tuan!"

Tak berselang lama pintu kembali dikunci, dan Leona kembali di tinggal seorang diri. Buru-buru gadis itu membuka matanya lalu melihat tulisan di dinding lagi.

Lenyap?

Leona tak menemukan apapun di sana. Padahal dia hanya memejamkan mata sebentar, tapi tulisan itu sudah hilang entah kemana.

"Ba-bagaimana mungkin?" gumamnya pelan.

Ia masih tak habis pikir, padahal sebentar lagi dia sudah menemukan titik terang untuk pencariannya selama ini. Namun, lagi, lagi harapannya itu harus di hempaskan begitu saja.

Leona bingung harus bagaimana, sedangkan waktunya di sini mulai menipis.