Hari ini hujan turun dengan begitu derasnya mengguyur kota bernama Axteas. Sebuah kota kecil yang terletak di bawah lereng gunung West Mountain. Kota yang masih begitu asri dan terjaga istiadatnya. Mungkin banyak yang kurang tahu tentang kota ini, selain terpencil, akses menuju ke sana terbilang cukup susah. Hal itu yang membuat penduduk Axteas lebih memilih tinggal mengurus lahan pertanian dari pada harus bekerja di luar kota.
Dari kejauhan, terlihat seorang gadis berambut sebahu berlari menerobos hujan. Sesekali melompat kecil menghindari kubangan lumpur yang mulai banyak terlihat menutupi jalan. Meski ia sudah memakai mantel berbahan plastik namun itu tak membuat seragamnya tetap baik-baik saja. Nyatanya seragamnya yang lusuh itu tetap basah dan mulai memperlihatkan bentuk tubuhnya.
Leona merapatkan mantelnya. Menyeka air hujan yang jatuh menimpa pucuk kepala. Ia tidak ingin pandangannya mengkabur hanya karena terkena tetesan air hujan. Sudah biasa pagi-pagi buta ia harus berlari menuruni bukit. Melewati jalan setapak sebelum akhirnya sampai di sekolah.
Namun kali ini berbeda. Tidak biasanya Axteas diguyur hujan sederas ini. Hampir 2 tahun terakhir kota ini mengalami kekeringan. Tapi sekarang?
"Aish!" Ia mendesah, menepuk-nepuk seragamnya yang basah.
Harusnya sekarang ia sudah sampai dan duduk di bangkunya. Tapi derasnya hujan menghambat langkahnya. Ia terjebak dan tak tahu sampai kapan akan berada di situ.
"Deras sekali. Apa aku bisa sampai sekolah tepat waktu?" monolognya sendiri.
Pikirannya kacau, pasti besok Mr.Count akan memarahi habis-habisan karena tak mengikuti mata pelajarannya. Di tengah pikirannya yang kalut, matanya tak sengaja melihat seekor burung yang terperangkap di antara ranting dan atap bangunan tua tempatnya berteduh. Ujung sayapnya terluka dan mengeluarkan banyak darah.
'Kasihan sekali,' batinnya iba.
Leona langsung melangkah ke tempat burung itu lalu berusaha melepaskannya. Memanjat jendela di dekat pohon dimana burung itu terjebak tak bisa keluar. Percobaan pertama gagal, padahal sedikit lagi ia bisa menggapai ranting yang menjepit tubuh burung itu. Sampai akhirnya di percobaan kedua ia berhasil, burung berukuran segenggaman tangan orang dewasa itu akhirnya bisa di selamatkan. Meskipun sayapnya terluka parah, setidaknya hewan itu sudah terbebas.
Untuk sesaat Leona begitu takjub melihat hewan kecil di dalam genggamannya ini. Baru pertama kali dirinya melihat seekor burung memiliki bulu berwarna merah keemasan yang begitu kontras dan terlihat indah. Dielusnya burung itu lembut seraya tersenyum. "Unik sekali warnanya, baru kali ini aku melihat burung sepertimu."
Burung itu hanya mendongakkan kepalanya sedikit seraya berkicau kecil. Seolah mengerti apa yang diucapkan Leona.
"Memangnya kau tau apa yang aku katakan?" tanya Leona lagi yang kembali dijawab dengan kicauan kecil.
"Aish, saking lucunya aku bahkan lupa untuk mengobatimu." Ia mengeluarkan sapu tangan dari dalam saku roknya. Lalu membalut sayap si burung dengan benda itu.
Terlalu asyik bermain dengan si burung, Leona sampai lupa jika hujan sudah reda sejak beberapa menit yang lalu. Sadar akan hal itu, ia langsung mengecek kembali barang-barangnya sebelum pergi meninggalkan bangunan tua tempatnya berteduh tadi.
Dirasa tidak ada yang kurang ia segera berlari meninggalkan bangunan tua agar cepat sampai ke sekolah. Tapi sebelum itu ia meletakkan burung kecil yang ia selamatkan di atas ranting yang sudah dibuatkan sarang dari dedaunan yang ia jumpai saat menunggu hujan reda.
"Maafkan aku karena harus meninggalkanmu, semoga kau cepat sembuh dan bisa terbang bebas kembali. Sampai jumpa!" katanya sebelum akhirnya beranjak pergi meninggalkan si burung yang melihatnya dengan tatapan yang sulit diartikan.
©©©
Archipila School
Leona baru saja sampai di sekolah, setelah 15 menit menunggu hujan reda di bangunan tua dekat hutan. Ia sungguh bersyukur karena Mr. Count rupanya berhalangan dan tak bisa masuk kelas hari ini.
Baru saja ia menampakkan diri di kelas, Karrie sang sahabat langsung menyambutnya heboh. Gadis berambut kepang dua itu langsung menyeretnya tak manusiawi ke arah bangkunya di pojok belakang dekat jendela.
"Kau kemana saja, huh?" tanya Karrie mirip petugas interogasi sekolah yang sering menyita barang-barang tak seharusnya dari anak-anak nakal.
Leona belum sempat menarik napas tapi Karrie tanpa henti menyerangnya dengan banyak pertanyaan. Bahkan ia sudah tersudut di pojok dan terintimidasi tatapan temannya itu.
"Bisa tidak kau memberiku pertanyaan satu persatu? Demi Tuhan, aku bahkan belum selesai menghela napas Karrie," gerutunya yang malah dibalas cengiran tanpa dosa sang sahabat.
Karrie menangkup kedua tangannya di depan dada, membentuk pose memohon dengan raut wajah sok kasihannya itu. "Sungguh aku tidak bermaksud Ona."
"Lantas? Kenapa kau memburuku dengan seribu pertanyaan mirip wartawan?" tanya Leona penuh selidik. Karrie menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
"Sebenarnya aku terlalu antusias saja." Ia menatap Leona hati-hati yang langsung dibalas dengan kernyitan alis Leona. "Kau tahu soal kandidat terpilih Archipila?"
"Eum, yang dipilih setiap lima tahun sekali sebagai perwakilan sekolah bukan?" Karrie menggangguk cepat dengan mata berbinar.
"Benar sekali dan yang paling membuatku antusias, ada namamu di daftar itu!" ucapnya senang.
Berbeda dengan Karrie yang begitu gembira, Leona justru merasa bingung. Kenapa dirinya ikut jadi kandidat? Dia kan tidak punya sesuatu yang spesial, apalagi untuk ukuran kandidat. Setidaknya dia harus memiliki kekayaan seperti bangsawan yang melimpah.
Melihat raut kebingungan di wajah Leona, Karrie langsung paham apa yang ada di kepala sahabatnya. "Kau tak perlu khawatir, jadi kandidat itu tidak memandang apapun bahkan semua dianggap sama rata oleh sekolah. Jadi, siapapun bisa merasakan posisi itu."
"Ta-tapi..."
"Dengar Na, semua orang memang bisa berpartisipasi jadi kandidat. Tapi, hanya dia yang terpilih yang bisa jadi satu-satunya," potong Karrie.
Leona semakin dibuat bingung, "Maksudnya bagaimana?"
Karrie mencondongkan tubuhnya lantas berbisik pelan di dekat telinga Leona. "Setahuku, yang terpilih akan diikuti satu mahkluk."
Bulu kuduk Leona meremang, secepatnya ia mendorong tubuh Karrie dari dekatnya supaya berjarak.
"Hey, kenapa kau mendorongku kasar begitu?" tanya Karrie sedikit kesal karena didorong tiba-tiba dan hampir terjungkal.
Leona mengibaskan tangan di depan wajah sembari berkata, "Aku tak tahan dengan bau napasmu. Kau habis makan jengkol atau sejenisnya ya?"
Karrie mendelik. "Enak saja! Napasku bau bunga Carolline tau."
Leona tertawa hambar sebelum merubah raut wajahnya serius kembali. "Haha... Aku hanya becanda. Ngomong-ngomong kau tau dari mana soal hal itu?"
Karrie memijat pelipisnya pelan. "Ya ampun kau hampir saja membuatku mati berdiri tau. Eum, di papan pengumuman ada daftar siswa yang berprestasi dijadikan kandidat terpilih."
"Papan pengumuman ya?" gumam Leona.
Dia lalu menyuruh Karrie untuk kembali ke bangkunya karena pelajaran kedua akan segera di mulai. Namun, sebelum pergi Karrie kembali berbalik menghadap padanya. Kali ini gadis itu berbisik di depan wajahnya sembari menangkup kedua pipi Leona. Membuat gadis itu mau tak mau menatap Karrie tanpa bisa mengalihkan pandangan.
"Aku serius soal tadi. Jadi, jika kau merasa ada yang mengikuti atau mengintaimu. Ingat, berarti kau orang terpilih itu!" Leona tertegun dan kehilangan kata-kata.
"Astaga kau lucu sekali, padahal aku cuma bercanda wkwk.." lanjutnya, sebelum pergi secepat kilat dari pandangan Leona yang siap mencabik-cabiknya kapan saja.
"Sial! Aku tertipu perkataan si biang rusuh, Karrie," rutuk Leona sembari menertawakan kebodohannya sendiri.