Chapter 3 - Kandidat

Di sepanjang koridor, Leona masih bingung dengan maksud dan tujuan Kepala Sekolah mengundangnya. Gadis itu hanya perlu informasi, tapi Kepala Sekolah seolah menutupinya rapat-rapat dan malah menyuruhnya mencari tahu sendiri dengan memberikan sebuah peta kosong yang disodorkan ke arahnya saat pertemuan tadi.

Ah, rasanya kepala Leona mau pecah. Apalagi Kepala Sekolah sedikit membahas soal makhluk yang mengikuti kandidat. Katanya, hanya orang terpilih saja yang akan diikuti satu mahkluk dari Omelas dan membantu si orang terpilih untuk menemukan jalan menuju ke sana.

Berbicara soal makhluk yang mengikuti, Leona jadi semakin yakin dengan omongan Karrie pekan lalu. Sekarang dirinya percaya dan merasa jika kandidat itu sendiri adalah dirinya.

"Omelas?" ucap Leona menghentikan langkah di tengah koridor. "Sebenarnya tempat seperti apa itu?"

Cuit ... Cuit ...

"Loh, burung kecil apa yang kau lakukan di sini?" tanya Leona saat melihat burung berwarna merah keemasan itu hinggap di jari telunjuknya.

Burung itu hanya diam memandangi Leona tak bersuara. Tapi anehnya jika Leona menyebut kata Omelas burung itu akan berkicau semakin nyaring.

"Aku jadi penasaran, jika aku kandidat. Kenapa kau memilih diriku ketimbang orang lain?" tanya Leona sekali lagi.

"Astaga Ona, kenapa kau tak keperpustakaan saja? Aku yakin di sana pasti ada buku yang menjelaskan informasi mengenai Omelas," ujar Leona dan langsung bergegas menuju perpustakaan.

Sesampainya di sana, rupanya banyak sekali siswa yang tengah belajar atau sekadar membaca buku. Kebanyakan dari mereka duduk berkumpul di tengah ruangan, sibuk dengan tugas masing-masing.

"Banyak sekali raknya. Kira-kira di mana dapat kutemukan buku yang membahas Omelas itu?" ucap Leona sembari memilah-milah buku di masing-masing rak yang berjejer.

Cukup lama ia mencari, sampai kemudian menemukan sebuah buku berjudul 'Archipila's history' . Buku bersampul cokelat dengan ukiran kuno itu cukup menarik perhatiannya. Diambilnya buku itu cepat kemudian Leona segera mencari meja untuk mencari poin-poin penting di sana.

"Hm, coba kita lihat daftar isi dulu." Leona begitu cermat membaca satu-persatu pembahasan di daftar isi. Sayangnya ia tidak menemukan pembahasan Omelas.

Hanya di lembaran terakhir saat ia tak sengaja membukanya, barulah ia menemukan satu paragraf yang bercerita mengenai Omelas. Paragraf itu menjelaskan jika Omelas adalah sebuah negeri yang begitu damai dan dipenuhi suka cita. Selayaknya sebuah surga nyata yang begitu diidamkan oleh siapapun. Lantas, mengapa Omelas memerlukan kandidat?

"Huh, ringkas sekali membahasnya?" kata Leona masih tak percaya.

Berulang kali ia membaca paragraf itu, berharap ada poin penting lain yang dapat ia temukan.

Namun, tarikan seseorang pada lengan tangannya membuat Leona kaget. Refleks ia langsung membawa buku itu tanpa meminjamnya dulu pada guru penjaga.

Ia masih syok saat seorang lelaki berambut cepak dengan tanda garis dua maroon di lengan kanan yang ia ketahui seangkatan dengan dirinya itu, menarik tangannya paksa keluar dari perpustakaan.

"Lepas!" teriak Leona lantang saat mereka berdua baru saja keluar dari perpustakaan.

Ia benar-benar tidak tahu, maksud dari lelaki ini menariknya tanpa permisi.

"Maksud kau apa, tiba-tiba menarik lenganku paksa, huh?" tanya Leona. Lelaki di hadapannya ini hanya diam namun menatap penuh arti padanya.

"Kenapa kau diam? Jawab aku!" katanya lagi.

Gibran--lelaki berambut cokelat itu masih saja enggan berbicara. Tapi ditatap lawan jenis setajam itu membuatnya risih. Kalau bukan soal kandidat dan negeri entah berantah itu dia pasti tidak mau ikut campur.

Terdengar Gibran menghela napas berat sebelum akhirnya membuka suara pada Leona. "Kau Leona Lewis, kan?"  tanyanya datar.

Leona mengangguk. "Ya itu aku, kenapa?"

"Kusarankan kau menolak tawaran untuk menjadi kandidat sebelum akhirnya kau menyesal," jelasnya. Gadis itu menatap tak suka.

"Kenapa aku harus menuruti ucapanmu, toh kau hanya orang asing yang tidak punya sopan-santun karena menarik tangan orang sembarangan," sarkas Leona yang membuat Gibran tersenyum samar.

Rupanya firasatnya benar. Gadis dihadapannya ini sangat susah diberi tahu perihal Omelas. Bisa dibilang ia terlalu keras kepala dan memiliki ego yang tinggi.

"Aku hanya memberimu saran. Soal kau mau mendengarkan perkataanku atau tidak, itu hakmu," jawab Gibran.

Dia langsung pergi meninggalkan Leona. Namun sebelum itu, ia kembali membalikkan badannya lantas membisikkan sesuatu yang membuat pupil mata Leona membulat.

"Ingat ini baik-baik Nona Lewis. Kandidat terpilih itu hanyalah kedok dari sekolah untuk mendapatkan tumbal secara legal."

©©©

"Apa yang kalian bicarakan tadi?" tanya Karrie sesampainya Leona di kelas.

Gadis berkuncir kuda itu langsung menyeret kursi ke dekat Leona, bersiap mendengarkan cerita. Alih-alih bercerita, Karrie malah mendapatkan tolakan dari raut wajah Leona yang terlihat seolah tidak ingin diganggu.

Secepat kilat, Karrie mengembalikan kursi dan berlari ke bangkunya di depan.

"Tidak ada yang penting, kok!" teriak Leona lantang dari kursi belakang untuk menenangkan sahabatnya. Ia sangat tahu jika rasa penasaran Karrie tinggi.

Bel pulang sekolah sudah terdengar 5 menit yang lalu. Tapi Leona masih saja berdiam diri di kursinya sembari memainkan gulungan peta kecil yang ia dapatkan dari Kepala Sekolah. Raganya memang masih di sini, namun pikirannya sudah melanglang jauh entah kemana.

Sampai suara ketukan dari kaca jendela yang ia yakini dari burung itu menyadarkan dirinya.

"Hai," sapa Leona. Matanya sibuk mengamati burung berwarna merah keemasan yang terbang rendah mendekati kaca di sampingnya.

Burung itu mengepakkan sayap pelan seperti memberi isyarat kepada Leona untuk keluar lalu mengikutinya. "Apa? Kau ingin aku mengikutimu?"

Suara kicauannya terdengar. Perlahan burung itu terbang menjauh seolah ingin menuntunnya ke suatu tempat.

"Tunggu sebentar, aku akan berkemas dan segera keluar."

©©©

Dugaan Leona benar, burung kecil itu memang ingin menunjukkan sesuatu padanya. Buktinya sekarang burung itu menuntunnya masuk ke arah hutan belakang sekolah yang katanya angker dan belum pernah dimasuki kecuali penjaga sekolah sendiri.

Awalnya Leona tidak ingin memasuki area hutan karena ada garis polisi yang melintang di sepanjang pintu gerbang. Tapi, rasa penasarannya memuncak saat melihat peta yang ia genggam mulai menunjukkan fungsinya.

Peta itu bercahaya, dan tiap-tiap jalur yang tertulis di sana mulai tergambar jelas. Hal itu membuat Leona semakin yakin jika pintu menuju Omelas ada di seberang hutan sekolah sendiri.

Leona lalu mengikuti jalur yang tertulis di peta di temani si burung kecil. Tanpa rasa takut ia menjelajahi hutan semakin dalam sampai ....

"Ya, Tuhan..." ucap Leona saat ia mendapati jurang di dalam hutan sekolah.

Baru kali ini di dalam hidupnya ia melihat jurang yang begitu curam dengan mata kepalanya sendiri. Parahnya lagi, ia sudah berada di tepi tebing jurang itu sendiri. Mungkin kalau tadi ia tak berhenti sejenak untuk membetulkan tali sepatunya yang terlepas. Sudah bisa dipastikan dia sudah jatuh ke dalam sana.

"Sekarang apa? Tidak mungkinkan kau menyuruhku untuk terjun bebas ke bawah sana?" tanya Leona pada si burung yang malah mengangguk.

"Jangan bercanda, nyawaku jadi taruhannya tahu!" katanya mulai kesal.

Leona tidak habis pikir karena mau-mau saja mengikuti hewan itu. Ia lalu membalikkan tubuh, bersiap untuk pergi. Naasnya, kaki kanannya tergelincir diakibatkan permukaan tanah yang tak rata. Alhasil dirinya harus kehilangan keseimbangan dan jatuh ke dalam jurang.

"Akh ..."  teriaknya sesaat sebelum benar-benar menghilang di telan kabut.