Leona baru saja ingin beristirahat di atas kasur Putri Lea. Namun, panggilan dari prajurit penjaga mengurungkan niatnya untuk tidur siang. Secepatnya dia berjalan menuju pintu lalu mengecek apakah ada pesan khusus yang ingin di sampaikan kepada tuan putri.
"Ada apa?" tanya Leona. Pengawal itu hanya membungkuk sesaat lalu membisikkan sesuatu padanya.
"Apa harus sekarang?" tanya Leona kesal. "Baiklah, setelah meminta izin pada putri aku akan ke sana.
Beberapa menit kemudian, Leona sudah sampai di tempat pelatihan pedang. Matanya langsung disuguhi pemandangan roti sobek para prajurit yang tengah berlatih.
"Ah sial! Mataku jadi terkontaminasi," decihnya.
Ia melangkah santai ke arah pria berambut merah bata yang kemarin menangkapnya. Siapa tadi? Ah, Lucas. Ya dia Lucas. Tapi siapa dua pria yang berdiri di sebelah Lucas? Apa iya, Leona harus memanggil mereka si rambut hijau dan si jambul emas?
"Leon!" panggil Lucas.
Entah mengapa Leona merasa wajah Lucas memerah saat melihat dirinya. Atau ini hanya praduganya saja, kebetulan juga cuacanya terik dan mereka berada di area terbuka. Ya bisa jadi akibat sinar matahari.
Leona baru saja tiba, tapi pandangan siap membunuh dari si jambul emas mengusik dirinya. Ah, apa ini? Dia langsung mendapat sambutan tak bersahabat darinya. Berbeda dengan si rambut hijau yang ia tahu bernama Azril. Pria itu tersenyum ramah sembari mengulurkan tangannya, berjabat tangan.
"Hai Leon, senang betemu denganmu. Aku Azril," katanya, Leona hanya tersenyum sembari menyebutkan namanya.
Sampai pada giliran si jambul emas. Pria itu hanya menatap sinis ke arah Leona tanpa mau bertegur sapa. "Kau pasti sudah tahukan ini Yang Mulia Putra Mahkota?" tanya Lucas hati-hati Leona menggangguk.
Awalnya dia ingin protes dengan sikap angkuh pageran mahkota, tapi ah, dia terlalu lelah untuk bersuara. Toh, tak ada keuntungan buatnya kalau mengajukan hal itu.
"Sudah basa-basinya, cepat ambil pedangmu lalu lawanlah aku." Felix meninggalkan Lucas, Azril dan Leona. Pria itu berjalan ke arah tengah arena menunggu kstaria pribadi Lea segera datang untuk berduel dengannya.
"Apa ini? Dia ingin mengajakku berduel?" ucap Leona peka terhadap tatapan yang dilayangkan Felix padanya.
Tapi Leona sadar, jika dia langsung menanggapi tantangan untuk berduel pedang, bisa dipastikan dia kalah telak. Secara pangeran itu ahli pedang nomer satu di Nort Vale, cerita putri Lea padanya. Jadilah, Leona harus memutar otak untuk mengalahkan si pangeran sombong itu dengan cara lain. Seperti bela diri tanpa senjata begitu?
"Tunggu!" sela Leona. Felix semakin menatapnya sengit.
"Sebelumnya hamba yang rendah hati ini meminta maaf pada Yang Mulia. Bukannya hamba mau menolak tantangan anda, tetapi hamba sadar diri dengan kemampuan yang tidak seberapa ini. Jadi, jika Yang Mulia berkehendak, hamba ingin mengajukan duel tanpa senjata." Leona sedikit membungkuk saat mengatakan hal itu. Untung saja Felix langsung mengiyakan ucapannya. Tapi belum sampai di situ, Leona meminta lagi satu syarat.
"Dan hamba meminta satu syarat jika menang." Alis Felix menukik. "Syarat apalagi, huh?"
"Yang benar saja kau melawak ya?" cerca Lucas. Azril hanya memandangi ketiganya, dia enggan berkomentar dan memilih sebagai penonton.
"Simpel kok. Saya cuma minta Yang Mulia mengadakan pesta minum teh bersama saya dan berbincang ringan." Leona tersenyum mengatakan hal itu.
"Terserah padamu!" balas Felix tak acuh. Kelihatan sekali dia ingin segera bertanding.
Tak selang beberapa lama akhirnya mereka memulai duel itu, tentunya dengan Azril sebagai wasit dan Lucas penonton tim hore pangeran Felix.
Duel itu berlangsung sengit apalagi Leona sedari tadi belum juga berhasil di tangkap dan jatuh ke tanah. Mungkin bisa kalian bayangkan duel ini mirip seperti gulat, bedanya lawan yang terlebih dahulu menyentuh tanah atau keluar garis dia dulu yang kalah.
"Tak kusangka, ksatria pribadi Lea orang yang gesit dan tangkas. Kukira ini akan lebih mudah, karena melihat ukuran tubuhnya yang kecil dan gampang untuk dijatuhkan dalam sekali tangkap," pikir Felix.
Sedangkan di dalam isi kepala Leona. Ia ingin segera menarik tangan kanan Felix lalu membanting tubuhnya keras ke bawah seperti adegan di kejuaraan karate tahun lalu saat dirinya masuk final.
Ketahuilah selain berprestasi dalam akademik, Leona juga salah satu murid yang disegani dalam bidang olahraga dan karate. Hanya saja, gadis itu terlalu malas mengumbar-umbar kepiwaian dalam bidang tersebut.
Brugh ...
Nyaris saja tinju pangeran Felix mengenai wajah imutnya itu, untungnya tangannya begitu tangkas menangkis tiap serangan dari pangeran. Sampai akhirnya, satu bogemannya mendarat mulus di bagian hidung sang pangeran hingga membuatnya mimisan.
"Yang Mulia!" teriak Lucas dan Azril kompak. Keduanya langsung berlari ke arah Felix dan membatu pria itu bangkit berdiri dari tanah.
Untuk sesaat Felix hanya diam mematung di tempatnya, hatinya berdenyut mengatakan jika dia tidak ingin kalah. Tapi, rasa sakit di hidungnya menyadarkan dirinya begitu juga dengan darah yang terus keluar.
Ya, Felix kalah. Kalah dari sebuah tinju kecil yang mendarat ajaib di wajahnya.
©©©
Leona baru saja berpikir jika setelah berduel sengit dengan pangeran mahkota dirinya akan dihukum karena membuatnya mimisan. Tapi Leona salah, pangeran sombong itu menepati janjinya tentang syarat jamuan minum teh bersama dan berbincang ringan dengannya di taman istana.
Lucunya kini ia disambut dengan wajah berseri seolah pukulan darinya itu membuat kepala si pangeran terkena benturan cukup keras dan membuatnya gegar otak seketika.
"Duduklah Leon. Maaf karena membuatmu menunggu begitu lama di sini," ucap Felix saat melihat Leona yang baru saja datang.
Dia memasang tampang ramahnya yang membuat Leona mengernyit bingung.
Curiga, jika saja si pangeran mempunyai niat buruk padanya. Apalagi aroma teh ini terasa begitu asing dipenciumannya. Dia tidak berencana meracuni Leona kan?
Seolah mengerti akan raut wajah Leona, Felix langsung menanggapi dengan meminum tehnya duluan. "Kau tidak perlu khawatir, hanya ada gula batu dan bunga Carolina di tehmu."
"Haha ... Saya hanya menunggu Yang Mulia minum terlebih dahulu kok," jawab Leona sekenakan.
"Ngomong-ngomong perbincangan ringan apa yang ingin kau bahas? Atau jangan-jangan kau ingin informasi penting yang lain?" tanya Felix.
Wah, tidak salah dia dijadikan putra mahkota, tingkat kepekaannya itu luar biasa.
"Pangeran benar sekali. Sebenarnya ada yang saya ingin tanyakan pada Anda."
"Hal apa?" nada suara Felix berubah dingin. Bahkan kini ia menatap Leona serius.
"Omelas!" ucap Leona tanpa ragu.
Dia sungguh ingin tahu soal negeri damai itu. Jika bisa Leona ingin cepat menemukannya dan kembali ke Axteas.
Anehnya bukannya menjawab, Felix justru memukul meja tempat perjamuan mereka dengan keras. Napasnya memburu dan air wajahnya berubah merah padam. Bukan, bukan karena malu, tapi murka.
"Apa yang kau tahu tentang Omelas, huh?!" teriaknya, Leona hanya menyunggingkan seutas senyum padanya.
Apa ini, apa dia salah mengucapkan sesuatu?
Leona lantas menjawabnya dengan santai."Hamba hanya ingin tahu saja, apakah Omelas pernah ada atau hanya karangan orang-orang saja?"