Chapter 5 - Mata-mata

Leona kembali sadar saat mendengar teriakan dari luar, yang memberi tahukannya jika rombongan itu telah sampai di istana.

"Kita sudah sampai di Istana!" teriak seseorang lantang yang bisa dipastikan jika mereka itu prajurit pria di depannya ini. Untung saja, pria berambut merah kecokelatan itu tertidur, jadi Leona tak perlu repot-repot harus meladeninya saat terjaga.

Buru-buru gadis itu mencoba menyelinap keluar dari kereta kuda. Ia harus mengendap-endap begitu pelan dan kembali ke dalam hutan mencari Omelas. Sayangnya, pintu keluar itu terkunci. Leona jadi harus memutar otak untuk membukanya.

"Sial! Kenapa harus dikunci segala sih?" gerutunya.

Leona menopang dagu sesaat sambil mencari ide sebelum pria itu bangun. Dan, apa ini? Ia malah melihat kunci itu menyembul keluar dari balik saku bajunya.

Kesempatan! jerit batinnya antusias. Dia segera bangkit dan menghampiri kursi di seberang, tempat pria itu tidur. Dirasa tak ada pergerakan seincipun karena terlelap nyenyak, Leona berusaha mendekat ke arah pria itu lalu mengambil kunci. Sialnya saat tangannya sudah berhasil, tubuhnya harus berakhir terkurung dalam kungkungan pria itu.

"Apa kau berusaha melarikan diri dariku?" tanya Lucas sembari membuka mata.

Rupanya dia hanya pura-pura memejamkan mata untuk mengawasi serta menunggu apa yg akan dilakukan gadis itu jika sudah bangun.

Leona hanya bisa diam mematung di tempatnya. Bukan karena tak bisa menjawab, hanya saja posisi ini tak menguntungkannya sama sekali. Leona benar-benar tak bisa berkutik, apalagi jarak antara wajah satu sama lain begitu dekat.

"Em, itu... ada burung gagak!" katanya cepat. Reflek kepala Lucas menoleh kebelakang. Dan langsung digunakan Leona untuk melarikan diri.

Pertama-tama ia menendang perut Lucas lalu mendorongnya ke bawah sampai jatuh tersungkur mencium alas kereta.

"Bodoh! Tubuhmu saja yang besar tapi otak tak ada," cercanya lalu segera pergi meninggalkan kereta.

Lucas yang masih tersungkur segera mengusap hidungnya yang mengeluarkan darah. Baru kali ini ada orang yang berani membuatnya jatuh mencium alas kereta sampai mimisan.

"Akan kudapatkan dia kembali dan memberikannya balasan," gumam Lucas pelan menatap pintu kereta yang ditutup kencang.

©©©

Leona bergegas meninggalkan kereta kuda dan mencari tempat sembunyi. Ia tidak habis pikir, mengapa di dasar jurang ada rimba dan istana? Lantas burung kecil itu juga tiba-tiba lenyap. Wah, kacau.

"Sebenarnya kepala sekolah sedang mengerjaiku atau bagaimana sih? Nyawaku jadi taruhannya lagi," keluhnya sembari mendudukan diri di balik semak-semak istana entah sebelah mana. Yang jelas prajurit dan si kepala merah bata itu tak bisa menemukannya.

Jujur, Leona kesal. Dirinya merasa dikerjai habis-habisan.

"Negeri damai apanya?! Aku malah jadi buron sekarang!" kesalnya lagi.

Dia mengatur napasnya sesaat untuk menenangkan diri. Pikirannya harus dalam mode positif dan tetap tenang, jika tidak dia tidak bisa menemukan jalan keluar.

'Ya, mungkin kepala sekolah punya alasan untuk ini,' batinnya.

Leona hendak beranjak dan pergi meninggalkan istana, namun sebuah teriakan di dekat tempat persembunyiannya membuat dia mengurungkan niat.

Dari kejauhan, tepatnya jarak 2 meter dari tempatnya berjongkok, terlihat seorang gadis berpakaian bangsawan tengah di hina habis-habisan. Gadis yang ia tahu berpakaian hijau muda pucat itu hanya bisa duduk terngungu di tempatnya. Menangis sesenggukan tanpa bisa berbuat apa-apa melawan tiga orang gadis lainnya.

Leona bisa mengerti langsung jika mereka tengah melakukan pesta minum teh atau party kecil-kecilan. Tapi, hey! Mana ada teman yang membully temannya sendiri?

"Ini tidak benar!" tangannya mengepal kuat-kuat hingga buku-buku jarinya terlihat memutih.

Leona sungguh tak suka jika ada seseorang  yang ditindas hanya karena mereka mengalah. Diam, bukan berarti kalah, kan?

Tanpa basa-basi dia langsung menghampiri gadis-gadis itu. Lalu mendorong si rambut ungu, pelaku penyiraman tadi. Membuat kedua teman si ungu melotot tak percaya saat melihat kemunculan Leona yang tiba-tiba.

"Kau!" teriak mereka kompak mirip anak-anak paduan suara. "Berani sekali pada Putri!" lanjutnya, Leona berdecih.

"Lantas apa peduliku?" katanya acuh. Ketiganya semakin panas.

"Kau siapa sih? Berani sekali mendorong calon Putri Mahkota kasar begitu!" Mereka menekankan  kata Putri Mahkota yang membuat Leona sekali lagi mendecih.

"Permisi nona-nona, bukankah dia baru saja menjadi calon? Bukan Putri Mahkota yang harus dihormati saat ini?" balas Leona tak mau kalah menekankan kata calon.

Ketiganya menatap geram. "Sungguh lancang! Kau pantas dihukum-"

"Hentikan!" potong si rambut ungu.

"Tapi Putri Anastasia?" sela kedua temannya lemas.

Gadis bernama Anastasia itu menatap Leona tajam. "Kali ini kau selamat karena gaunku kotor, tapi lain kali jika kita bertemu lagi, kupastikan kau bersujud mencium ujung sepatuku."

Terkekeh pelan, Leona membalas tatapannya tak kalah tajam.  Membuat Anastasia meninggalkan dirinya dengan kaki menghentak tanah kesal. "Semoga saja tuan putri, tapi kupastikan hal itu tak pernah terjadi."

"Kau tak apa?" tanya Leona sesaat kemudian pada gadis bergaun hijau muda itu.

Ia masih duduk terdiam ditempatnya, namun kali ini pandangan matanya tak pernah lepas menatap Leona yang terlihat asing.

"Hey!" tanya Leona lagi, gadis itu terhenyak.  Ia segera mengelap rambutnya yang basah dengan sapu tangan sambil mengucapkan kata terima kasih dengan begitu pelan.

"Kenapa suaramu pelan sekali? Aku tidak bisa mendengarnya tahu, ah satu lagi kalau ada orang yang mengajakmu berbicara tolong lihat matanya," ucap Leona  gadis itu mengangguk. "Eum, untuk yang tadi aku ucapkan beribu terima kasih."

Alis Leona berkerut. "Santai saja, lagian mereka memang perlu diberi pelajaran sesekali."

Gadis itu tersenyum sumringah. Dengan cepat tangannya menarik tangan kanan Leona lalu menggenggamnya erat di depan dada.

"Siapa kau dan dari mana asalmu, gadis penyelamat?" tanyanya penuh binar, Leona hanya bisa tercengir seperti orang bodoh.

"Ah, itu ..."

Apa ia harus bercerita soal burung yang bisa diajak bicara dan jatuh ke jurang di belakang sekolah?

©©©

"Hormat hamba kepada Matahari Nort Vale, Yang Mulia Felix!" teriak Lucas saat baru saja memasuki aula istana.

Pria itu menunduk patuh dengan pedang yang di letakkan di depan dada memberi salam penghormatan.  Walaupun umur mereka terpaut 2 tahun namun itu tak membuat Lucas besar kepala. Ia sungguh menghormati pangeran Felix yang usianya lebih muda. Apalagi pangeran Felix satu-satunya calon pewaris tahta.

Felix hanya menatap sesaat sebelum mengalihkan pandangannya kembali ke arah tumpukan berkas-berkas di meja sebelah kanannya. Pria itu benar-benar bosan duduk seharian untuk mendengarkan keluh kesah warga tentang persoalan pajak yang tiap tahunnya semakin naik pesat akhir-akhir ini. Sampai-sampai ia tak punya waktu untuk berlatih pedang sekarang.

"Ada apa Jenderal? Tumben sekali kau singgah?" tanya Felix datar. Mungkin dia satu-satunya pria di North Vale yang minim ekspresi.

"Ampun Yang Mulai, hamba tidak bermaksud mengganggu pekerjaan anda tapi saat ini ada informasi penting yang harus segera hamba sampaikan."

"Soal?"

Lucas menarik napasnya dalam sebelum berujar, "Mata-mata dari Frozen Sea."

Mata Felix menggelap, pria itu segera beranjak dari singgasananya menghampiri Lucas.

"Kau serius?" tanyanya, Lucas mengangguk mantap.

"Iya hamba berani menjaminnya," jawab Lucas.

"Dimana dia sekarang?" tanya Felix cepat. Pria itu bahkan sudah mengambil pedangnya dan bersiap untuk pergi.

"Ampun yang mulia, sekarang dia ada di istana namun keberadaannya belum ditemukan," kata Lucas takut, Felix langsung menatap dirinya nyalang.

"Bagaimanapun caranya, seret orang itu hidup-hidup ke hadapanku!"