Chapter 2 - Pengumuman

Bel istirahat berbunyi, semua teman-teman sekelas Leona terlihat berhamburan keluar dan langsung menuju kantin. Lain halnya dengan Leona, gadis itu masih sibuk merapikan buku-buku pelajaran yang masih berserakan di atas meja. Menumpuknya jadi satu lalu menaruhnya di dalam laci.

Setelah itu barulah ia mengeluarkan sepotong roti berbalut kertas dari dalam tasnya. Menuangkan sedikit selai bery yang ia buat sendiri sebagai topping.

Nikmat. Itu hal pertama yang ia rasakan saat memasukkan roti itu ke dalam mulutnya dalam sekali lahap. Tidak salah ia membuat rasbery kemarin jadi selai. Perpaduan antara selai yang sedikit asam dan roti yang begitu lembut menjadi sesuatu yang begitu pas di lidah.

Diantara kenikmatan itu, ia harus diganggu oleh suara ketukan pelan dari arah jendela samping kiri tempatnya duduk. Mau tidak mau ia menolehkan kepalanya lalu melihat seekor burung kecil sedang mematuk-matuki kaca jendela.

Eh!

Ia mengerjap, mengucek kedua matanya sebelum melihat ke arah jendela sekali lagi. Bagaimana bisa burung yang ia tolong tadi pagi sudah terbang bebas, padahal sayapnya terluka parah? Atau mungkin mereka sejenis. Ya, pasti begitu.

Tapi, hey! Bahkan sapu tangannya masih ada. Leona ingat betul hanya dia satu-satunya siswa Archipila yang memiliki sapu tangan rajutan berwarna beludru dengan motif kepingan salju.

"Mustahil!" Leona memijat pelipisnya yang mulai berdenyut. Pasti dia kurang makan jadinya mudah berhalusinasi.

Melihat Leona yang menundukkan kepala, burung berwarna merah keemasan itu kembali mematuki kaca. Kali ini suaranya lebih keras disertai kicauan yang begitu panjang.

"Hey, hey, apa kau berusaha menarik perhatianku?" ucap Leona frustasi, mulai gila dengan dirinya sendiri.

Mengajak burung berbicara? Ya, ampun di mana otaknya?

Seolah mengerti, burung itu menghentikan aksi mematuki kaca. Menarik sapu tangan yang sudah tergeletak di atas tralis, mendekat ke arah kaca yang terkunci. Ya, dia ingin mengembalikan sapu tangan lusuh Leona.

"Ah, rupanya lukamu sudah sembuh. Baiklah aku terima sapu tanganku kembali." Sekali lagi Leona berbicara kepada hewan kecil itu seperti orang tak waras.

©©©

Ini sudah sepekan semenjak Leona berbicara dengan Karrie perihal kandidat terpilih Archipila. Begitu juga tentang aksinya yang tak sengaja menolong seekor burung berwarna merah keemasan yang kini selalu mengikutinya kemanapun ia melangkahkan kaki. Di manapun dan kapanpun itu, Leona pasti melihat burung kecil itu bertengger dan mengamatinya.

Sungguh, ini horor sekali! Apa benar yang dikatakan Karrie soal ciri-ciri kandidat terpilih?

"Ah, aku bisa gila!" Leona mengacak rambutnya frustasi. Melihat takut-takut ke arah pagar depan rumah di mana burung kecil itu bertengger dengan santainya.

"Kenapa akhir-akhir ini burung itu selalu muncul di manapun aku berada?" monolognya sendiri.

"Tidak-tidak, ucapan Karrie pasti hanya mitos. Ya, diakan suka sekali mengarang cerita." Kepalanya menggeleng, menolak dengan pasti ucapan Karrie tempo lalu yang semakin mengusik pikirannya.

Kembali gusar, Leona memilih menjatuhkan tubuhnya di atas kasur tepos peninggalan keluarga. Membenamkan kepalanya ke dalam bantal, sembari memeluk guling erat.

Terlihat kondisinya begitu malang. Takdir mempermainkan dirinya dengan begitu kejam. Harusnya diusianya begini, ia masih membutuhkan kasih sayang. Tapi, dua tahun yang lalu neneknya meninggal karena sakit. Jadilah ia hidup sebatang kara di dunia. Lantas soal kedua orangtuanya? Ah, Leona bahkan tak pernah tahu mereka siapa. Yang ia tahu sedari kecil hanya neneknya yang mengurusnya sampai besar dengan susah payah.

Kruyuk ... Kruyuk ...

Suara dari cacing yang berdemo meminta jatah makan dalam perut menjadi musik di ruangan seluas persegi ini. Leona tahu ia sangat lapar, tapi persediaan makanan hari ini telah habis. Kemungkinan ia bisa makan adalah besok pagi. Saat matahari belum terbit dan kuncup daun masih menutup. Ia bisa menjadikannya sayur seadanya dengan ubi kayu sebagai bahan pokok. Membayangkannya saja sudah membuat air liur Leona menetes.

"Sabar ya perut, malam ini kau harus puasa dulu oke. Mari kita mengistirahatkan badan saja dan memikirkan makanan di alam mimpi," ucapnya seraya mengelus perut dan mulai terpejam.

Pagi harinya, ia hanya bisa duduk termangu di dalam kelas. Harapan untuk bisa sarapan sirna saat orang-orang sudah lebih dulu memetik kuncup-kuncup itu rakus tanpa menyisakan untuk kemudian hari. Jadilah, Leona mengikat perutnya kencang berharap rasa laparnya itu hilang.

"Pagi, Ona!" sapa Karrie yang baru saja memasuki kelas.

Hari ini gadis itu menguncir rambutnya ekor kuda. Mengenakan sweater merah jambu sebagai luaran seragam dengan dasi kupu-kupu yang menggantung apik di leher. Ah, dia bahkan membawa sekeranjang buah-buahan segar di tangan kanannya. Apa keluarganya baru saja panen?

"Pagi," jawab Leona lemas.

Karrie terlihat memicingkan mata. "Ada apa denganmu? Kenapa kondisimu mirip zombie di film Train to Busan?" tanyanya penuh selidik. Leona hanya menjawab dengan pose mengusap-usap perutnya yang kosong.

"Ya ampun, kenapa kau tidak bilang belum sarapan dari awal. Ini, kebetulan ibuku membawakan sandwich sebagai bekal makan siang." Karrie menyodorkan kotak makan berwarna merah jambu pada Leona. Namun langsung di tepis oleh gadis itu sopan.

"Terima kasih Karrie, tapi aku hanya ingin buah apel di keranjangmu itu," pintanya. Karrie hanya tersenyum. Lantas memberikan 3 buah sekaligus pada sahabatnya.

"Ambilah, jika kau masih memerlukannya lagi tinggal bilang padaku. Kebetulan perkebunan apel milik ayah sedang panen besar-besaran hihi..."

Leona hanya bisa bersyukur memiliki sahabat seperti Karrie. Walaupun kadang ia merasa sedikit iri dengan kehidupan mewah gadis itu. Baginya Karrie itu sangat beruntung, berbeda dengan dirinya yang menyedihkan.

"Siap!" jawab Leona cepat.

Sesaat sebelum Leona hendak memakan apel pemberian Karrie terdengar pengumuman dari audio kelas.

'Untuk siswa Archipila School bernama Leona Lewis, kelas XI MIPA 1 harap segera menuju ruang kepala sekolah. Sekali lagi untuk siswa ...'

"Ona, apa kau dengar itu?" seru Karrie. "Sepertinya ada hal penting yang ingin disampaikan Kepala Sekolah padamu," lanjutnya kegirangan.

"Tu-tunggu! Mungkin si penyiar salah menyampaikan informasi. Tidak mungkin Kepala Sekolah mencariku," elaknya yang membuat Karrie mendengus sebal.

Gadis itu langsung menyeret tangan Leona supaya beranjak dari bangkunya, pergi meninggalkan kelas.

"Kar, kau mau membawaku kemana?"

Bukannya menjawab Karrie malah membalikan tubuhnya ke arah Leona sehingga membuat keduanya berhadapan. Tangannya terulur lantas mencengkeram erat bahu Leona yang masih bingung. "Diam dan ikuti aku! Setidaknya kali ini saja kau perlu sedikit rasa percaya diri."

Itu kata terakhir yang Leona dengar sebelum Karrie meninggalkannya di ruangan Kepala Sekolah sendirian.

"Jadi kau siswa yang bernama Leona?" Suara menggelegar Kepala Sekolah membuat Leona tak berkutik. Untuk mengela napas saja rasanya sungguh berat. Takut-takut ia mendongakkan wajahnya sedikit, guna melihat wajah orang nomor satu di sekolahnya itu.

"Iya, pak!" jawab Leona mantap. Setidaknya ia harus terlihat tidak mudah untuk diintimidasi.

Jauh diluar dugaan, Kepala Sekolah justru tertawa setelah mendengar jawaban Leona tadi. Pria tua setengah baya itu berkali-kali menanyakan ekspresi wajahnya yang menyeramkan atau tidak.

Leona hanya tersenyum kikuk, bingung menjawab apa.

"Tak kusangka, kandidat kali ini seorang gadis," sela Kepala Sekolah, alis Leona berkerut.

"Maksud bapak?" tanyanya cepat.

Bukannya menjawab, Kepala Sekolah hanya tersenyum penuh misteri sembari menyodorkan sebuah peta kecil di atas meja kayu. "Aku tidak bisa memberi tahu semuanya. Yang pasti Omelas menunggumu dan kau memerlukan peta itu."