Aku terbangun dari tidurku. Lalu, aku menyandarkan badanku pada sandaran kasur.
"Mimpi itu terus kembali. Andaikan mimpi itu menjadi jelas, aku pasti mengetahui siapa sebenarnya anak laki-laki itu," gumamku.
Klek!
"Syukurlah kamu sudah bangun, Ibu takut kamu masih tidur," ucap ibu.
"Udah kok Bu, Ibu ngga usah khawatir."
"Sekarang kamu mandi dan bersiap ya, Farel sudah menunggu."
"Eh? Ada Farel?"
"Iya, udah sana mandi."
"Siap!"
20 menit kemudian...
"Farel!"
"Akhirnya keluar juga."
"Maaf ya lama."
"Ngga apa-apa, akunya aja yang kepagian datangnya."
"Tumben nyamper, ada apa?"
"Ngga ada apa-apa, pengen bareng aja."
"Dasar Farel! Kalau gitu sarapan dulu yu, ibu pasti sudah membuatkan sarapan,"
Farel mengangguk.
"Hayu."
Farel mengikutiku.
"Ayo sini sarapan dulu," ajak ibu.
"Terima kasih," ucap Farel.
"Tidak usah malu-malu ya, nak Farel," ucap ayah.
Farel mengangguk.
Kami pun sarapan bersama.
Saat aku dan Farel mau berangkat, aku tersadar bahwa ponselku tertinggal di kamar.
"Farel tunggu! Ponselku masih di kamar, aku ambil dulu ya," ucapku kemudian.
"Kebiasaan deh," sahutnya.
"Hehehe ... sebentar ya."
"Iya, udah sana."
"Ok."
Aku segera mengambil ponselku yang berada di meja belajar.
"Kei berhentilah jadi pelupa," gumamku.
"Fa—" ucapanku terpotong begitu melihat ibu menghampiri Farel. Spontan aku bersembunyi dibalik tembok.
"Kei masih belum tahu?"
"Belum tante, tante tenang saja."
"Syukurlah, tante ngga mau Kei sedih."
"Iya tante, Farel janji akan jaga Kei."
"Terima kasih ya, Nak."
"Iya tante."
Kini aku mulai bertanya-tanya. Apa maksud dari perkataan mereka?
Serasa udah aman, Aku menghampiri Farel.
"Farel yu berangkat," ucapku.
"Yu!"
"Ibu kami berangkat dulu ya," pamitku.
"Permisi tante," pamit Farel.
"Iya, hati-hati."
Kami membalasnya dengan mengangguk.
***
"Farel, aku penasaran sama sesuatu," ucapku tiba-tiba.
"Penasaran apa?" heran Farel.
"Kenapa aku ngga ingat masa-masa SMP? Padahalkan aku mengalami kecelakaan saat kecil," tanyaku dan Farel berusaha menyembunyikan wajah terkejutnya.
"Kalau sudah waktunya kamu akan sadar," ucap Farel dalam hati.
"Kamu lupa kalau kamu pelupa?" ucap Farel tersenyum jahil.
"Ah benar juga, aku lupa kalau aku pelupa. Aku saja ngga ingat masa-masa pusingnya menjalani Ujian Nasional."
"Kalau begitu janji ya ..." ujar Farel.
"Janji?"
"Iya janji! Kamu harus janji, apapun yang terjadi kamu harus kuat!"
"Maksud kamu?"
"Janji saja, kamu harus kuat!"
"Iya aku janji."
Farel tersenyum lembut.
Pada akhirnya Farel tidak menjawab pertanyaanku.
Satu hal yang pasti, Farel mengetahui sesuatu dan dia menyembunyikannya.
"Kei!" panggil Nadine.
"Kok kamu turun disini?" heranku.
"Aku ngelihat kamu Kei, jadi aku turun disini deh," jelas Nadine.
"Ngga masalah mau jalan kaki?" tanyaku.
"Ngga masalah, sekalian olahraga pagi," jawabnya enteng.
"Nadine, kamu ngga ada maksud tertentukan?" bisik Farel.
"Menurutmu?" balas Nadine tersenyum sarkas.
Nadine mempercepat langkahnya menyusul Kei.
Farel memperhatikan mereka.
"Kei, kamu ngga cape tiap hari jalan kaki?" tanya Nadine.
"Ngga, lagian rumah aku deket," jawabku.
"Setidaknya sesekali naik kendaraan gitu."
"Kalau ayahku tidak sibuk, aku diantar."
"Naik apa?"
"Motor."
"Kalau mobil?"
"Ngga berani gara-gara kecelakaan itu."
"Pantesan saja, kalau kamu takut coba deh lawan."
"Aku masih belum berani."
"Pelan-pelan aja, nanti pulang sekolah aku anter."
"Makasih udah tawarin aku, tapi aku ngga bisa."
"Ayolah Kei ... kamu har—"
"Cukup Nadine!" ucap Farel tegas.
"Ck, apaan sih ganggu aja! Aku kan mau bantu," bohong Nadine.
"Kalau mau bantu liat situasi dong!" ucap Farel sambil merangkulku.
Nadine membelalakkan matanya tak percaya ketika melihat mukaku pucat sekali.
"Apa aku keterlaluan? Ah, harusnya ngga dong! Kei harus merasakan apa yang aku rasa!" gumam Nadine.
Disamping itu Farel sudah membawaku ke UKS dan Mia mendengar pembicaraan mereka.
***
"Kei istirahat dulu ya. Nanti aku yang minta izin," ucap Farel khawatir.
"Ngga usah, aku masuk aja. Udah baikkan kok."
"Yakin?"
"Iya."
"Kalau gitu kamu disini sampe bel sekolah berbunyi, aku ambil air hangat dulu."
"Iya, makasih ya."
Farel tersenyum lembut.
"Sebaiknya aku tidak cerita soal penglihatan tadi." ucapku.
Penglihatan yang satu ini cukup unik, karena hanya ada aku dan anak laki-laki itu yang memamerkan puisi barunya.
"Hahaha ... maniak puisi," ucapku.
Aku memutuskan untuk memanggil laki-laki itu maniak puisi. Aku berharap suatu hari nanti bisa bertemu dengannya lagi.
"Kei kenapa senyum-senyum?" tanya Farel yang baru saja tiba.
"Eh? Ngga apa-apa. Aku cuma senang ada kamu disisiku."
"Iya dong, cuma aku doang yang bertahan dekat kamu."
"Hahaha ... terserah kamu deh."
"Nih diminum."
Aku meminum air hangat dan membaringkan tubuhkan sebentar.
"Aku harap kita selalu bersama seperti ini," ucapku sebelum tertidur.
"Maafin aku ya Kei, aku terpaksa. Aku harus menjauhkan kamu dari Nadine," ucap Farel.
Samar-samar aku mendengar ucapan Farel.
"Rupanya kamu membiarkan dia tidur atau dipaksa tidur?" sindir Nadine.
"Diamlah kau!"
"Ngga udah galak-galak sama aku."
"Pergilah sebelum aku membentakmu."
"Kamu ngga cocok marah. Farel yang aku kenal itu lembut, baik hati dan murah senyum."
Farel masih bersabar.
"Oh aku lupa, jangan terlalu berharap pada Kei. Sudah terlihat jelas bahwa perasaanmu tidak akan tersampaikan."
"Kamu tidak tahu apapun."
"Oh ya? Semua orang tahu kok kamu suka sama Kei. Makannya kamu selalu menjaganya."
"Kamu salah."
"Oh ya? Kalau begitu, berhentilah jadi pelindung Kei dan bantu aku mengembalikkan ingatannya!"
"Ngga bisa! Aku ngga mau dia ingat!"
"Oh baiklah, aku akan selalu menganggu Kei," ucap Nadine berlalu.
"Nadine ..." lirih Farel yang pada akhirnya mendudukan dirinya di kursi.
"Mia kamu ngapain disitu?" tanya Azza heran.
"Aku mau nengok Kei, terus pas aku mau masuk udah ada Farel. Kei beruntung ya punya Farel," ucap Mia.
"Kalau begitu aku izinkan saja Kei. Ayo Mia bentar lagi masuk," ajak Azza.
"Iya."
Disisi lain Nadine menyadari kehadiran Mia. Nadine sadar bahwa kabar Kei sakit belum diketahui siapapun selain Nadine dan Farel. Itu berarti Mia mendengar semuanya.
"Bisa dimanfaatkan nih," gumam Nadine.
***
"Hahaha ... terus gimana?"
"Masa sih?"
"Terus apalagi?"
Perlahan Kei terbangun.
"Kalian bicarain apa sih? Asik banget," ucapku begitu bangun.
"Kei!" ucap Shella, Mia dan Nadine.
"Gimana udah baikkan?" tanya Mia.
"Udah kok, kalian nemenin aku?" tanyaku balik.
"Kita baru nemenin kamu kok, soalnya Farel yang nemenin kamu," jelas Shella.
"Jadi dia bolos?" tanyaku lagi.
"Izin jagain kamu," sahut Nadine.
"Ciee ... perhatian banget Farel sampe rela bolos," ledek Mia.
"Izin bukan bolos," ralatku.
"Udah ngga usah ngelak lagi. Kamu suka sama Farel bukan?" ledek Mia lagi.
"Berhentilah Mia. Kamu membuat Kei ngga nyaman, Kei baru saja bangun," ucap Shella.
"Jangan serius-serius Shella, nanti temen kamu berkurang lho," ledek Mia.
"Udah udah, kok Shella kena juga sih?" bela Nadine.
"Hehehe ... habisnya seru," balas Mia.
Shella hanya mengabaikan mereka.
"Kei beneran udah baik-baik aja?" tanya Kei memastikan.
"Udah kok, ini jam istirahatkan? Ke kantin yu!" ucapku.
"Ayo, kita makan dulu," balas Shella.
"Kalian duluan saja, aku sama Mia mau ke toilet dulu," ucap Nadine.
"Ok deh," balasku.
"Kok Deja Vu ya?" ucap Shella.
Aku terkekeh mendengar ucapnya.
"Karena mereka sudah pergi, aku langsung ke intinya," ucap Nadine.
"Apa?"
"Aku yakin kamu pasti mendengar ucapanku bahwa aku ngga suka sama Kei."
"Tentu saja, kamu mengatakannya saat aku sudah keluar dari toilet."
"Kamu juga bukan? Karena kamu suka sama Farel."
"Bagaimana kamu tahu?"
"Mudah saja, kamu selalu memperhatikan Farel jika ada di dekat Kei."
"Kamu salah paham, aku hanya kagum dengan wajahnya yang tampan."
"Ngga usah munafik. Kamu iri sama Kei yang dekat dengannya, makannya kamu ledek dia habis-habisan bukan? Kadang aku tidak mengerti dengan sikapmu," jelas Nadine santai.
"Baiklah ... kalau begitu. Apa yang harus aku lakukan?"
"Dekati Farel, buat dia jauh dari Kei. Bukankah ini bagus? Kamu bisa dekati Farel dan aku bisa membuat Kei menderita."
"Boleh juga."
"Ah satu lagi, bantu aku untuk membuatnya menderita."
"Ok, aku setuju."
"Perjanjian telah dibuat!"
"Tunggu! Bagaimana hubungan kalian bertiga?"
"Penasaran?"
Mia mengangguk.
Nadine tersenyum sinis, "nanti juga kamu tahu," ucapnya berlalu.
***