Chereads / My playboy boyfriend / Chapter 15 - Tak ada pilihan.

Chapter 15 - Tak ada pilihan.

Lyn terbaring lemah di ranjang, Herman masih terlihat tegang duduk di kursi dimana putrinya terbaring dengan selang infus dan dokter yang masih memeriksa keadaan lyn.

"Dia kelelahan dan stress, kekurangan darah, kelelahan, kurang tidur, stress..." Ujar dokter seakan menegaskan kata katanya pada Herman.

"Dia harus beristirahat, bed rest, menikmati hari hari dengan ceria. Jangan berikan tekanan, gelombang emosi, tuntutan dan semua hal buruk yang bisa berpengaruh pada dirinya dan bayi dalam kandungannya" Herman menghela nafas berat. Inilah kenyataannya.

Seorang staff Herman masuk dan berbisik, membuat pria berusia lima puluh delapan tahun itu mengangguk dan mempersilahkan masuk

"Masuk!" Suara berat Herman terdengar jelas hingga keluar kamar.

"Aku akan menuliskan resep dan hingga beberapa Minggu ke depan sampai kondisi nona Lyn semakin membaik. Aku akan meninggalkan seorang perawat untuk menjaga kondisi nona Lyn, aku harus yakin jika putrimu dirawat dengan baik disini" Herman tak bisa menyangkal ucapan dokter. Putrinya jatuh drop seperti saat ini sedikit banyak karena dirinya. Herman menerima konsekuensi keadaan ini pada akhirnya.

Marco masuk dengan tatapan wajah bingung tapi juga cemas. Dia bingung dengan kehadiran Herman yang tiba tiba memanggil dirinya ke sini setelah tiga tahun lalu, Herman membuat kos kosan untuk harta Gono gini, dan meninggalkan Marco bersama mantan istrinya di sana agar tak kembali ke istana mewah ini.

"Marco.." lirih Herman melihat wajah Marco. Tiga tahun tak cukup merubah keadaan di antara mereka. Ya, sebenarnya sejak awal Herman tak pernah mau mengadopsi Marco. Keinginan kuat dan rayuan Mariam yang membuat nama Marco masuk ke dalam kartu keluarganya.

Marco menatap wajah pucat Lyn yang terbaring lemah.

"Kenapa dengan Lyn?" Tanya Marco tak mengerti. Dia tahu jika malam ini malam yang berat untuk Lyn tapi kenapa sampai seperti ini? Marco sulit percaya, dia berusaha menjaga Lyn meski dari jauh tapi kenapa adiknya ini sekarang terbaring lemah dengan selang infus.

"Baiklah, silahkan kalian selesaikan urusan kalian. Aku sudah menyelesaikan bagianmu. Tolong ingat pesanku bos. Jaga nona ini, dia sedang hamil dan butuh banyak ketenangan.." ucap pak dokter membereskan peralatannya. Dia menepuk pelan pundak sahabatnya Herman, mereka sudah lama bersahabat. Dokter David, dokter kepercayaan keluarga Herman.

"Aku mohon kau menjaga skandal ini" pinta Herman seakan memohon, David tersenyum simpel

"Dan tolong jaga putrimu, sudah ku bilang dia putrimu, kau sudah mengantongi sertifikat DNAnya kan!" David mencoba menegaskan kegalauan Herman. Berkali kali Herman meragukan hasil tes DNA, berkali kali pula David meyakinkan jika itulah kenyataannya. Kenapa Herman sulit sekali dilunak kan.

"Marco, aku percaya denganmu, jaga adikmu!" Ujar David mengangkat jarinya pada Marco, pria muda itu menautkan alis. Meski dia tak mengerti tapi dia mengangguk juga, membuat telunjuk David berganti jempol. Dia menyukai sikap Marco yang dewasa dan tenang.

"Keluar!!" Herman meminta staff penjaga dan perawat untuk meninggalkan keluarga inti saja di kamar Lyn. Tiga orang pekerja itu menurut dan keluar dengan langkah cepat. Herman menatap wajah Marco yang masih terus menatap Lyn.

"Apa kau tahu Lyn hamil?" Tanya Herman. Pupil mata yang membesar membuat Herman tak memerlukan jawaban Marco. Ya.. wajar saja tak tahu. Bahkan Herman lupa pernah membesarkan Marco. Jarak rumah dan gedung kosan yang dia bangun juga cukup jauh. Tak mungkin bagi Marco mengawasi Lyn seperti dahulu.

"Kau tahu kenapa aku memelihara banyak penjaga malam ini?" Marco menggeleng, tentu saja dia tak mengerti.

"Aku tak mau ada pria yang keluar masuk seenaknya ke rumah ini. Dan aku juga tak mau dia sedetik pun melangkah keluar dari gerbang rumah ini!" Suara Herman pelan tapi terdengar begitu keras. Ya perintah Herman terkadang tak masuk di akal. Seperti tuduhannya pada nyonya Mariam, seperti tak suka nya dia pada kedekatan Lyn dan Marco.

Pikiran Herman terlalu janggal untuk dikatakan normal. Setelah mengusir Marco lalu hari ini dengan tiba tiba dia menjemput Marco. Ada apa gerangan?

"Aku tak mau nama keluarga ini rusak!" Ya Herman hanya memikirkan status sosial yang dia bangun sejak lama.

"Aku tak akan mengulang kesalahan yang sama seperti saat aku mengampuni Mariam dan mengusirnya dari sini" sebetulnya dia tak pernah mengampuni Mariam, Herman hanya mengusir Mariam dari hidupnya dan tak bisa menerima kenyataan jika dia masih mencintai mantan istrinya itu. Marco sangat mengerti itu. Tapi Herman tak akan pernah sekalipun menurunkan kadar egonya.

"Aku akan membuat pilihan untuk Lyn" marco menautkan alis tak mengerti.

Bersamaan suara berat Herman dan tatapan heran Marco, Lyn membuka matanya perlahan.

"Pa.." lirih Lyn pelan.

"Marcoo.." gumamnya berusaha menggaris senyum dengan sulit, dia senang melihat Marco ada di sisinya.

"Aku akan membuat pilihan untukmu!" Tegas Herman melihat putrinya sudah tersadar. Dia sudah melupakan pesan dokter David bahkan belum sampai satu jam.

"Menggugurkan bayi itu, atau menikah"

Lin menghela nafas berat, sementara Marco hanya menyimak saja. Dia menunggu keputusan terbuka dari herman menghadapi masalah keluarga kali ini, apakah sama seperti sebelumnya, atau sedikit lebih baik. Ya, Marco tak mau berekspektasi tinggi.

"Kau hanya boleh memilih, membuang kandunganku itu atau menikah dengan Marco!"

Apa! Marco menoleh dan menatap wajah serius Herman. Apa dia tak salah dengar. Lyn mengangkat lengan dengan infus disana. Gadis itu menyeka wajahnya dan gemetar.

Tepat seperti dugaan. Inilah keputusan yang bisa dibuat oleh Herman, membuat sudut bibir Marco tertarik sinis. Apa apaan ini! Jadi inilah alasan kenapa dia dipanggil kesini!

"Marco, kau mau menikahi Lyn kan? Kau tak mungkin membiarkan nama keluarga ini tercoreng?" Bukankah masih ada pilihan pertama? Kenapa Herman membuat kesimpulan sendiri.

"Setidaknya aku bisa sedikit lebih tenang jika Lyn ada bersama denganmu. Kau bisa menjaganya lebih baik dari diriku" sejak kapan pandangan Herman berubah? Bukankah dia tak menyukai kedekatan kakak adik Marco dan Lyn.

"Aku akan mengatur semuanya. Jika kau menikahi Lyn, aku akan mengosongkan posisi strategis untukmu setelah wisuda" Marco tersenyum lagi.

Dia tak mengerti, jadi ini sejenis negosiasi? apakah ini juga bagian dari strategi bisnis. Entahlah. Yang jelas.. baik Marco atau pun Lyn, mereka seakan tak punya pilihan lain.

"Aku ingin istirahat dan sarapan.." gumam Herman meninggalkan kamar Lyn. Pria itu mengusap kasar wajahnya, dia tak tahan lama lama berada di ruangan ini.

Marco menarik kursi dan duduk di samping Lyn.

"Bagaimana keadaanmu?" Tanya Marco membenarkan selimut Lyn.

"Entahlah, aku merasa sangat buruk" gumam Lyn dengan suara lemah yang gemetar.

Marco bisa melihat luka di punggung tangan Lyn.

"Apa sesuatu terjadi denganmu, kenapa tanganmu berdarah?" Marco mencari sesuatu di loker lemari tepat berada di sebelah ranjang Lyn. Pria itu mengambil kasa dan mencuci dengan alkohol.

"Apa dokter David tak melihat lukamu?" Marco berdecak kesal melihat punggung tangan Lyn masih dibiarkan terluka dengan darah yang mulai mengering.

"Aku menyimpannya, aku tak mau dokter David dan Herman terlibat perdebatan" ujar Lyn menjelaskan kecemasan Marco.

"Kau harusnya membiarkan mereka berdebat dan baku hantam, seperti aku dan Abra tadi malam.."

"Aku mohon Marco, berhenti menyebut namanya"

"Sorry.."

Marco meraih tangan Lyn dan mulai mengelap luka lecet di punggung tangan Lyn. Dia membubuhkan cairan pengering luka dan meletakkan dengan perlahan tangan Lyn di tepi tubuhnya.

"Apa benar kau hamil?" Lyn sebenarnya enggan menjawab, tapi wajah penasaran Marco jelas menginginkan kebenaran.

"Sayangnya, iya" Marco membanting tubuh di kursi. Dia terlihat cemas tapi juga kesal.

"Aku sudah memperingatkanmu sebelumnya Lyn!" Omel Marco kesal, tapi wajah tampan itu malah membuat Lyn terhibur. Gadis itu tertawa diantara air mata yang mengalir dari sudut matanya.

"Kau tahu! Aku baru saja menemukan cintaku, dan aku harus menikah denganmu"

"Maafkan aku Marco.." ah! Marco kesal sendiri.