Marco baru saja selesai mandi, dia mengeringkan rambut dengan handuk kecil. Pria itu baru saja bersemangat menyambut wajah ceria chi yang menunggu ritualnya membersihkan badan tapi ternyata..
Marco tersenyum mendapati chi sudah tertidur di kursi, gadis itu tidur dengan tenang meski posisinya tak begitu nyaman. Marco mengangkat tubuh chi dengan kedua lengan nya, menggendong gadis itu seperti posisi pengantin baru menuju ranjang mereka.
Marco merebahkan tubuh chi di ranjang dengan sangat hati hati, dia tak mau mengganggu mimpi indah kekasihnya. Lihatlah wajah ceria itu. Dia menikmati lelap tidur chi, dia terus memandangi wajah chi.
"Kau cantik sekali" gumam Marco menatap wajah chi. Ujung telunjuknya menyusuri perlahan garis hidung chi dan berakhir di permukaan bibir mungil, dia mengelus lembut luka kecil yang dia buat di kulit tipis bibir Chi. Marco tersenyum kecil.
"Aku melewati hari yang sepi tanpa dirimu. Semenjak kau pergi dari panti aku terus murung dan membayangkan hari hari kita yang telah berlalu.." Marco berbicara pada Chi yang terlelap
"Aku sangat senang bisa melihatmu lagi Chi, aku berharap bisa terus berada di sisimu, menjaga dan memelukmu.." Marco merapikan rambut panjang Chi yang jatuh menutupi dahi. Dia begitu merindukan wajah ini. Berkali kali Marco mendaratkan kecupan seakan tak pernah cukup menghabiskan stok rindu yang terpendam.
Marco naik ke ranjang, dia bergabung di kasur yang sama, berbaring di belakang punggung chi. Marco merangkul pinggang ramping Chi dan menciumi rambut lurus yang wangi segar. Pria itu begitu menikmatinya.
"Aku sangat merindukanmu Chi ku" bisik Marco merebahkan kepala di samping Chi. Tangan hangatnya memeluk pinggang Chi. Sementara Chi bergerak dan memutar kepala, mereka saling berhadapan, gadis itu membalas pelukan Marco. Membuat Marco gagal tertidur.
Dia menyadari wajah Chi di depan mukanya, Marco mendaratkan kecupan sekilas di permukaan bibir Chi. Dia seakan tak pernah cukup menumpahkan banyak sentuhan pada Chi.
Marco membelai lagi rambut Chi. Menikmati wajah polos di hadapannya.
Tokk!!
Tokk!!.Tokk!!
Marco membulatkan mata, dia beranjak dari ranjang dengan sangat hati hati. Marco turun dari ranjang dan menatap wajah lelap Chi. Marco mengintip ada dua orang pria bertubuh tegap di luar sana dari balik tirai. Marco membuka pintu dan menutupnya perlahan.
"Marco, tuan Herman menunggu di rumah!" Marco tak bisa mengeluarkan kata kata, dia hanya meminta dua orang ini untuk menjaga volume suara mereka. Marco menempelkan jarinya ke bibir, kepalanya mengangguk perlahan.
"Tunggu sebentar" ujar Marco kembali ke kamarnya, dia menatap wajah Chi sekali lagi, dan mengecup kening gadisnya seakan untuk terakhir kali.
Pria itu menarik jaket dan menutup lagi pintu kamarnya.
"Ayo!" Ujar Marco mengikuti langkah dua orang bodyguard yang sudah dia kenal sebelumnya.
----
Dixter gemetar melihat banyak penjaga berdiri tegap dengan pakaian serba hitam.
"Lyn, coba liat deh!" Ujar Dexter dengan nada cemas. Lyn yang tadi menutup mata perlahan membuka kelopak matanya, dan pupil mata itu seketika membesar.
"Mati! Itu bokap gue udah pulang!" Seru Lyn panik. Dixter apalagi. Dia tak mau terlibat semakin dalam
"Yaudah, gue turun disini fix, lu puter balik aja!" Dixter mengangguk, dia menurunkan Lyn cukup berjarak dari penjaga gerbang rumah mewah gadis seksi ini.
Lyn merapikan penampilannya, dia mengatur langkah dan perlahan mendekati pagar rumahnya. Beberapa penjaga tak berani menatap wajah Lyn yang kian mendekat.
Belum juga tangannya menyentuh sensor pagar rumah, gerbang kokoh itu sudah bergeser, Lyn semakin terbelalak melihat ayahnya sudah berdiri dengan kedua tangan terkepal. Tatapan mata Herman yang tajam seakan siap menerkam anaknya sendiri. Lyn hanya tertunduk dan menelan ludah.
Lyn mengikuti langkah Herman masuk ke dalam rumah. Gadis itu tak berani duduk meski ayahnya sudah lebih dulu duduk dan melipat kaki. Wajahnya yang tegang, rahangnya yang bergerak membuat lyn mau tak mau harus siap. Dua tahun lebih Herman meninggalkan rumah, dan kenapa harus malam ini dia kembali.
"Aku tak suka kau dekat dengan Marco, lalu kau mengambil pilihan pergi dengan pria lain?" Suara berat Herman membuat wajah Lyn seketika panik.
"Ada apa dengan pakaianmu itu? Kau seperti tak memakai apapun di dalam jaket itu!" Tuding Herman bengis. Dia begitu marah dan kecewa dengan perbuatan Lyn.
"Senang menikmati waktu bebas dan keluar malam dengan banyak pria?" Lyn tak menjawab dia memilih diam.
Diam lyn membuat Herman kian murka, pria itu menarik lengan putrinya kasar hingga tubuh ramping itu terjatuh menyentuh lantai. Lyn meringis dan menahan kesakitannya sendiri.
"Apa kau gila!! Apa kau jalang!! Apa yang kau lakukan selama ini!!" Pukas Herman emosi. Dia menunjuk kasar wajah Lyn di bawah kakinya.
"Pah, maafin Lyn pah!" Lyn meraih tungkai Herman, pria itu menghentakkan kakinya, dia sangat menyesal telah percaya pada anak gadisnya selama ini.
Herman bahkan mengirim Marco keluar rumah agar tak satu priapun bisa mendekati putri semata wayangnya. Tapi apa yang terjadi.
"Bahkan Marco tak cukup! Kau tidur dengan banyak pria di luar sana!" Teriak Herman murka. "Kau sungguh rendah, sama seperti betina yang melahirkanmu!!!" Herman mengangkat kaki, hendak menginjak tubuh Lyn yang terjerembab karena hentakan kaki pertama tadi.
"Pah, ampun pah!!" Lyn berusaha bangkit, tapi ujung pantopel Herman lebih dulu menginjak punggung tangan lyn. Pria itu tak sudi disentuh tangan kotor itu.
"Berapa kau menjual dirimu? Apa harta ku tak cukup untukmu!!" Hardik Herman masih belum puas.
"Harusnya ku kirim kau ke jalanan! Seperti indukmu!!" Hardik Herman membalikkan badan.
"Pa, maaf pa. Aku mohon jangan lakukan itu.." Lyn mulai menangis. Dia bisa merasakan kemarahan Herman, tapi bukan itu yang membuat air mata Lyn terus jatuh. Malam ini, selain kehilangan kepercayaan ayahnya, dia juga kehilangan ayah dari bayi yang akan tumbuh dalam rahimnya.
"Cih!" Herman membuang ludah. Dia mengangkat kedua lengan, bertolak pinggang.
"Lyn kau sungguh mengecewakan. Kau sepuluh bahkan seribu kali lebih buruk dari indukmu! Kau sangat mengecewakan.." lirih Herman dengan wajahnya yang merah, dia sudah berusaha menahan emosi yang membludak dalam kepalanya, tapi bagaimanapun Lyn adalah anak kandungnya.
Dulu dia membuang Marco karena anak itu hanya sebagai pancingan saja. Tapi ternyata istrinya hamil dan melahirkan lyn, Herman merasa mereka tak membutuhkan Marco. Tapi istrinya sudah terlanjur jatuh cinta pada anak panti yang selalu mereka kunjungi dulu.
Herman sejak awal tak suka pada Marco. Ditambah lagi seiring tumbuhnya Lyn, dia tak menyukai kedekatan Marco dan putrinya. Itu mengingatkan dia tentang kedekatan mantan istrinya dengan seorang staff kepercayaan nya dulu.
Hingga suatu hari, Herman memergoki istrinya dan staff itu duduk bercengkrama bersama. Sejak saat itu Herman menceraikan istrinya dan tak pernah menganggap wanita itu orang yang pernah menjadi bagian dalam hidupnya. Dan hari ini. Herman seakan mendapat kenyataan pahit.
Tingkah Lyn jauh dari keinginannya. Jangan jangan gadis ini juga bukan buah dari dirinya. Herman mulai ragu. Kelakuan Lyn mengingatkan Herman pada luka hatinya di masa lalu.
Herman mengeluarkan beberapa benda dalam koceknya. Dia melempar ke arah Lyn dengan murka.
"Katakan padaku, siapa yang menghamilimu?" Wajah mantan istrinya terbayang di belakang wajah Lyn. Suara gemelutuk gigi beradu terdengar jelas dari mulut Herman. Dia sangat membenci kejadian ini. Dan sekarang terulang lagi.
"KATAKANN!!" Teriak Herman memecah kesunyian pagi buta. Lyn gemetar dan jatuh pingsan.