Jam menunjukan angka sepuluh malam, sementara Alsad dan Lusi baru saja tiba.
Mereka tadi sempat mampir untuk makan malam dulu, "Gue yakin ini akan kelar 3 jam lagi," kata Alsad.
"Hah!" Lusi menganga tak percaya.
Jika kelar malam bagaimana dengan mereka pulang, "Kalian keberatan nggak kalo tidur di rumah gue?" Galang menawarkan tempat.
Lagi pula jika mereka pulang jam satu malam akan berbahaya terutama untuk Eva, rumahnya yang paling jauh.
Eva terdiam, sementara Lusi menatap Eva. "Gue mau ngomong sama Eva dulu," Lusi menarik tangan Eva dan membawanya ke dekat balkon.
Sesekali Lusi memastikan agar Galang dan Alsad tak mendengarkan pembicaraannya dengan Eva.
"Kenapa, tuh?" Alsad langsung kepo.
Galang hanya mengedikan bahunya acuh, walaupun ia penasaran namun tak baik juga jika harus menguping pembicaraan Eva dan Lusi.
"Lo baik-baik aja, kan?" tanya Eva kepada Lusi.
Eva hanya menganggukan kepalanya, "Kita pulang aja kalo lo nggak nyaman," sambung Lusi kemudian.
"Gue udah minum obat, dan gue rasa nggak mungkin juga kalo kita nggak kerjain tugasnya sekarang. Gue nggak mau harus keluar dua kali," ujar Eva.
Lusi mendesah, "Kalo lo udah nggak nyaman, kita pulang," Lusi menwanti-wanti Eva.
Khawatir jika Eva akan ketakutan tidur ditempat yang asing, Eva hanya menganggukan kepalanya walaupun ia tak yakin nantinya.
Apakah ia bisa atau tidak, Eva hanya ingin menyelesaikan tugasnya setelah itu Eva hanya butuh obat agar dirinya tenang ketika semua orang telah tertidur.
"Udah ngobrolnya?" ledek Alsad.
"Apaan sih lo!" ketus Lusi.
Semua bahan telah Galang timbang, sementara Eva langsung saja duduk dan mulai untuk membuat sabun organiknya.
Galang yang menimbang, sementara Lusi dan Alsad yang mencatat dan memotret cara pembuatannya.
Tak ingin mengulur waktu lebih lama lagi, semuanya mulai sibuk rambut Eva yang diikat pun mulai tak beraturan sementara Lusi sesekali menguap sambil mencatat.
Alsad hanya memotret sambil berdecak karena beberapa foto tampak buram, Eva sesekali menggoyangkan kepalanya.
Karena anak-anak rambutnya tak terus saja mengenai wajahnya, sementara kedua tangannya sedang digunakan itu mencetak sabun organik.
"Va, gue benerin rambut lo, ya?" Galang yang sedari tadi melihat Eva pun merasa gemas ingin mengikat rambut Eva.
"Hmmm.." Eva hanya bingung, Galang adalah laki-laki yang pertama kali pernah memeluknya ketika pingsan. Galang juga laki-laki pertama yang menggendongnya.
Dan kali ini Galang juga laki-laki pertama yang mengikat rambutnya, "Tenang aja, bakalan pelan-pelan kok," Galang kemudian melepaskan sarung tangannya.
Kini Galang langsung berada di belakang Eva dan menarik ikat rambutnya itu, sementara Eva hanya bisa mengigit bibir bawahnya.
Ia masih ingat jika kadang-kadang ketakutannya terhadap laki-laki akan muncul namun anehnya ia selalu nyaman ketika di dekat Galang.
Tangan Galang begitu terampil menyatukan semua rambut Eva, sentuhan-sentuhan tangan Galang membuat tubuh Eva merinding namun terasa sangat nyaman.
"Selesai.." ucap Galang.
"Ma-ka-sih," Eva terbata-bata mengatakan itu.
Galang hanya tersenyum kemudian menatap Eva yang menatapnya, keduanya kembali melanjutkan mencetak sabun organik yang kedua.
Tak ada yang bersuara hanya pandangan mata Eva dan Galang yang sesekali saling mencuri-curi pandang satu sama lain.
Lusi telah tertidur diatas sofa begitu pun dengan Alsad yang telah mendengkur kencang.
***
Semuanya telah rapih, sabun organik dengan wangi yang soft dan manis itu menguar diseluruh ruangan lantai dua.
Rasanya seperti berada di taman bunga, bahkan saking wanginya tubuh Galang terasa sangat relaks.
Eva telah menyusun semua presentasinya termasuk foto-foto yang tadi Alsad save, tak lupa Eva melihat catatan yang Lusi catat tadi.
"Mau minum kopi atau teh?" tawar Galang.
"Boleh," sahut Eva namun matanya tak terlepas dari laptop.
Galang turun menuju lantai satu, ekor matanya melirik jam dinding yang telah menunjukan pukul satu malam.
Rumah telah sepi semua penghuni telah tidur, hanya tinggal Galang dan Eva yang masih terjaga.
Dua kelas coklat hangat telah Galang buat, bibirnya sedikit tersenyum kemudian Galang segera menuju lantai dua rumahnya.
Eva baru saja menutup laptopnya, tubuhnya terasa sangat pegal luar biasa.
Eva kemudian bangun ia mengambil selimut dan menutupi tubuh Lusi, hal yang dilakukan oleh Eva itu tak luput dari pengamatan Galang.
"Kopi.." kata Galang.
Eva membalikan tubuhnya, kemudian menghampiri Galang yang sedang berdiri tak jauh darinya.
Satu cangkir gelas putih langsung saja berada di depan Eva, tanpa harus berlama-lama Eva mengambil segelas kopi dari Galang.
"Disana," Galang menunjukan balkon agar keduanya bisa menghirup udara malam yang dingin.
Eva meminum kopinya sedikit ia kemudian mengerutkan keningnya dan menatap Galang.
"Hahahaha.." Galang tertawa, tawanya itu ia atur sepelan mungkin agar tak terdengar oleh orang rumah.
"Ngeselin," satu kata yang membuat Galang semakin tersenyum senang.
Galang memajukan tubuhnya mendekat ke arah Eva, "Mau pukul?" tawar Galang.
Eva menggelengkan kepalanya, ia kemudian kembali menyesap coklatnya.
"Nggak suka coklat, ya?" tebak Galang.
"Hmm..lumayan kok," sahut Eva.
Hening sesaat, baik Galang dan Eva tak ada yang berbicara namun bisa udara rasakan bahwa keduanya telah mendekat satu sama lain.
"Va, gue boleh, kan? Kalo deket sama lo?" tanya Galang.
Kedua tangan Galang bermain-main di gelas, Eva hanya terdiam ia menatap langit malam yang gelap entah kenapa malam ini tak ada bintang satupun.
"Gue--," ucapan Eva terhenti.
"Lo kenapa suka menyendiri?" sambung Galang.
Ia ingin tau kenapa Eva lebih suka sendirian? Kenapa Eva lebih banyak menghabiskan waktunya dengan buku.
Banyak hal yang membuat Galang penasaran, Eva meletakan gelas disampingnya ditanya seperti itu Eva bingung harus menjawab seperti apa.
"Gue nggak mau bikin susah siapapun," jawaban Eva sangat-sangat ambigu.
Galang mengerutkan keningnya, sangat-sangat tak paham.
"Gue perhatiin lo nggak pernah bikin siapapun sulit, lo terlalu mandiri Eva. Lo butuh temen, lo jangan terus sendirian," ujar Galang.
"Gue hanya takut," cicit Eva.
"Gue bakal bantuin lo, gue bakalan ada disamping lo," mungkin Galang seperti memaksa namun Galang tak peduli karena ia hanya ingin tau tentang Eva tentang semua hidup Eva.
"Gue nggak bisa Lang, gue nggak mau," tolak Eva.
"Va, gue cuman pingin jadi temen lo. Nggak lebih, oke kalo lo nggak nyaman kita berdua aja yang tau, gue nggak bakalan maksa lo buat terbuka sama gue, tapi please ijinin gue jadi temen lo, ya? Setidaknya di luar sekolah," Galang seolah memohon.
Eva tak punya pilihan lain, satu anggukan kepala Eva membuat Galang bernapas lega.
Malam ini Galang bisa satu langkah dekat dengan Eva dengan gadis yang sulit didekati itu.
***
Bersambung.