Chereads / If Tomorrow We Meet / Chapter 6 - Scared

Chapter 6 - Scared

Pratinjau : "Saya akan bantu kamu hanya saja lebih baik kamu ikut saya, tinggalah bersama saya di apartemen saya". Kata Dana mantap.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Jani sengaja berhenti di green trees. Dia seolah-olah bersikap biasa saja, padahal dia sudah menggigil ketakutan. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 11 siang itu berarti hampir setengah hari dia diikuti. Untung saja hari sabtu dan seharian ini Jani menjalankan aktivitasnya dengan terus mencoba bersikap biasa saja. Pergi ke toko buku, makan di tempat langganannya, bahkan pagi hari dia sempat pulang ke rumah untuk mandi dan membereskan rumah.

Jani tidak berpikir akan memberitahu ayahnya karena ayahnya memiliki penyakit jantung. Tidak berniat Malam ini ayahnya bilang tidak langsung pulang setelah tutup toko lebih cepat karena akan pergi ke Bogor menjenguk sepupu Jani yang operasi akibat kecelakaan. Jani tidak bisa ikut karena harus menyelesaikan masalah disini. Tentu saja dia berbohong dan berkata harus masuk mendadak karena ada meeting mendadak.

Jani membawa beberapa pakaian yang akan dibawa untuk menginap di rumah temannya. Tentu saja Jani sudah pamit dengan ayahnya supaya ayahnya tidak khawatir kalau-kalau dia tidak bisa kembali kerumahnya lagi. Pikiran Jani sudah diluar kendali, dia takut kalau bandar narkoba itu nekat membunuhnya dan kakaknya. Dia sangat ketakutan dan merasa sendirian.

Jani kemudian masuk ke green trees, duduk dengan tenang sambil sedikit melirik ke arah laki-laki berjaket kulit yang ikut masuk dan kemudian duduk di belakang Jani. "Sial," batin Jani. Bahkan ponsel Jani sudah disadap oleh mereka.

"Jani?" sapa seseorang. Jani mendongakkan kepalanya.

"Mas Dana,"Jani tersenyum. Bahkan di saat mencekam seperti ini hanya dengan melihat senyum Dana bisa membuat Jani bernafas lega.

"Mau pesan apa? Biar saya pesankan," tawar Dana tersenyum ramah.

"Bisa diabetes gue kalau dia senyum terus begini," pikiran Jani teralihkan sejenak.

"Hei?" Dana mengibaskan tangannya ke depan wajah Jani yang melongo.

"Eh iya Mas, emm… saya pesan green tea latte aja Mas," jawab Jani cepat.

"Okay kamu tunggu disini ya, saya bilang waiternya dulu," kemudian Dana berjalan menghampiri meja bar.

Jani masih merasa takut. Dia ingin berbicara kepada Dana. Siapa tahu Dana bisa membantunya. Kenapa bukan Rangga? Karena hanya Dana yang saat ini bersamanya disini bukan Rangga.

Dana berjalan kearah meja dimana Jani berada sambil membawa nampan yang berisi 2 minuman. "Kok tahu saya pesannya yang dingin?" tanya Jani setelah menerima pesanannya.

"Waktu itu saya lihat kamu pesan yang dingin," jawab Dana sambil tersenyum.

"Terimakasih," kata Jani.

"You're welcome," balas Dana.

"Emm… saya mau ngomong sesuatu, tapi Mas jangan kelihatan aneh ya pokoknya pasang tampang sebiasa mungkin," kata Jani peduli setan dengan yang namanya baru kenal.

"Okay, so what's that?" Dana menjawab dengan dahi sedikit mengkerut.

"Saya diikutin laki-laki yang pakai jaket kulit yang duduknya di belakang saya, kakak saya disekap," tangan Jani mulai gemetar. "Saya habis dari tempat tersebut tapi sepertinya mereka tidak mau melepaskan saya begitu saja, kakak saya masih disana, saya harus lapor polisi tapi saya bingung karena sekarang Mas saja tahu saya diikutin dan ponsel saya disadap makanya tadi saya belok kesini," Jani menjelaskan dengan berbisik.

Dana seolah bersikap biasa saja sambil sedikit melirik laki-laki yang terpisah 2 meja dibelakang mereka. Dana sebenarnya sangat terkejut tapi dia mencoba tenang. Bahkan sangat tenang seperti tidak terjadi apa-apa.

"Memangnya apa motif mereka?" Dana bertanya.

Jani meminum green tea latte-nya dengan sedikit tergesa. "Mereka jaringan pengedar narkoba dan kakak saya terlilit utang karena kakak saya makai. Sialnya kakak saya ketangkap," Jani terlihat membasahi bibirnya sebelum meneruskan penjelasannya. "Saya nggak pernah tahu kakak saya pemakai selama 6 bulan ini sampai kakak saya menjelaskan semuanya tadi di rumah itu," jelas Jani sedikit bergetar. "Kakak saya disekap karena kakak saya tahu tempat persembunyian mereka saat ini. Kakak saya sempat membuntuti setelah selesai bertransaksi sama mereka. Kata kakak saya mereka siang ini bakal pindah tempat lagi. Bantu saya Mas," mohon Jani.

Dana nampak berpikir. Dia menatap lurus kearah mata Jani. Dana tidak tahu kenapa dirinya malah harus melibatkan diri dengan masalah gadis di depannya ini. Bahkan mereka belum lama mengenal.

"Saya nggak berani bilang papa saya apalagi lapor polisi," Jani menambahkan. "Mereka ngancam kalau saya nekat…" Jani menelan salivanya mengingat gertakan bos pengedar narkoba yang pagi tadi ditemuinya. "…Kakak saya nggak akan selamat," mata gadis itu nampak berkaca-kaca. Perasaannya campur aduk.

"Saya akan bantu kamu hanya saja lebih baik kamu ikut saya, tinggalah bersama saya di apartemen saya," kata Dana mantap.

Jani membelalakkan matanya. "Maksud Mas Dana? Kita tinggal satu atap begitu?" Jani berkata tidak percaya. "Ini nggak lucu Mas, daripada saya jadi perempuan seperti itu lebih baik Mas Dana tidak perlu membantu saya," kata Jani sedikit emosi.

Apa Dana bilang? Tinggal bersama? Bahkan Jani bercumbu dengan laki-laki saja belum pernah dan tidak akan mau sebelum menikah. Tapi Dana? Memintanya dengan seenaknya untuk tinggal bersama. Dasar gila.

"Hahahahaha maksud saya bukan seperti itu," Dana terkekeh pelan. "Apa kamu pikir setelah kita berpisah mereka akan melepaskan kita berdua? Sekarang saja laki-laki yang mengikutimu bertambah satu dan saya juga pasti akan diikuti," kata Dana menjelaskan.

Jani tidak berpikir sejauh itu karena terlalu panik. Dia menatap Dana dengan sorot menyesal. Jani melibatkan Dana dalam masalahnya.

"Begini dengan kamu ikut saya kita berdua bisa saling menjaga apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, Jan. Kita sama-sama nggak tahu apa yang akan terjadi ke depan dan kapan kasus ini bisa selesai," kata Dana.

"Betul juga kata Mas Dana, ah gue terlalu bodoh dan terlalu percaya diri ckh!" Jani menatap Dana dengan dahi berkerut-kerut. "Okay saya ikut Mas saja kalau begitu," jawab Jani setelah berpikir.

"Good, sekarang ikut saya kembali ke apartemen. Motormu kamu titipkan saja disini nanti pakai mobil saya. Mana kuncimu biar saya minta waiter mengurus motormu dan membayar pesanan kita. Setelah aman biar pegawai saya yang antar motormu ke apartemen," kata Dana santai.

Mulai saat ini Jani harus mulai terbiasa dengan Dana. Mulai saat ini Jani akan sering melihat Dana atau mungkin malah setiap hari. Jani berharap tidak akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, yang malah bisa menambah daftar masalah hidupnya. Namun, hidup siapa yang tahu? Jani hanya bisa mengikuti apa yang sudah tertulis untuknya dan berusaha melewati dengan segenap kemampuan yang dia miliki. Jani harus bisa percaya dengan Dana. Dan juga masih banyak hal yang ingin Jani tanyakan kepada Dana tapi besok saja ketika keadaan sudah membaik.

Hal yang terpenting untuk Jani sekarang ialah, dia bisa mendapat perlindungan dari Dana. Seseorang yang bahkan baru dikenalnya. Seseorang yang dirinya sendiri tidak tahu sebenarnya berbahaya atau tidak. Seseorang yang dirinya tidak sadar bahwa telah masuk ke alam bawah sadarnya sebagai seorang pelindung. Menawarinya bantuan secara cuma-cuma. Ah, Jani terlalu banyak berpikir hari ini hingga membuatnya ingin berteriak saja.