Chereads / If Tomorrow We Meet / Chapter 9 - Closer

Chapter 9 - Closer

Pratinjau : Jani tambah bingung dengan sikap Dana yang seolah-olah ingin memberitahu papanya kalau mereka punya suatu hubungan.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Author POV

Jani akhirnya ditemani Dana pulang ke rumahnya dan mengatakan semua yang terjadi pada papanya. Jani tidak mungkin menutupi semua kejadian itu dari sang Papa dengan begitu lama. Suatu saat pasti akan terungkap juga.

"Kenapa nggak cerita ke papa?" Agung nampak sedih. Bagaimana bisa anak-anaknya diam saja dan tidak memberitahunya mengenai kasus yang menimpa Arjuna.

"Maaf pa, Jani cuma takut jantung papa kambuh lagi," Jani menjelaskan dengan sorot menyesal.

"Arjuna sudah aman, om. Untuk hukumannya kita harus menunggu hasil sidang," Dana menambahkan.

"Papa terlalu sibuk kerja sampai nggak tahu Arjuna jadi pemakai," Agung begitu terpukul. Dapat dilihat oleh mata Jani bahwa Agung berusaha tegar. "Kamu tinggal dimana kemarin?" Agung bertanya sambil menatap Jani.

"Eh… itu pa, sebenarnya aku numpang di apartemen Mas Dana. Kondisi nggak kondusif kemarin itu. Jaraknya juga deket banget sama kantor Jani pa," Jani tersenyum kaku. "Tapi papa tenang aja, Jani udah pindah kos kok tadi pagi," Jani menambahkan.

"Kenapa harus kos sih, dek? masalah udah selesai kenapa nggak pulang aja?" Agung sedikit menaikkan nada bicaranya.

Jani memang sudah lama ingin kos karena rumah ke kantornya memakan waktu 1 jam perjalanan, sedangkan Jani sering sekali berangkat mepet dengan jam masuknya.

"Papa pasti tahulah pa, kan Jani udah pernah bilang ke papa juga. Kos Jani deket apartemen Mas Dana jadi aman kok, pa," Jani tersenyum semanis mungkin.

"Om bisa percaya sama saya," Dana tersenyum tulus. "Saya akan jaga Jani dengan baik, om. Kalau perlu om boleh foto KTP saya kalau ragu-ragu," Dana baru akan mengeluarkan KTPnya, namun ditolak oleh Agung. Sedangkan Jani tambah bingung dengan sikap Dana yang seolah-olah ingin memberitahu papanya kalau mereka punya suatu hubungan.

Jani tidak habis pikir dengan Dana, laki-laki ini sekarang seperti sedang memberinya harapan. Padahal sudah mati-matian diriya menahan diri supaya tidak terlalu berharap pada laki-laki ini. Pesona Dana memang sangat luar biasa bagi Jani. Setiap hari bertemu dengan Dana membuatnya sadar bahwa dirinya memang benar-benar suka dengan Dana.

****

Jani tidak tahu lagi harus seperti apa sekarang. Setelah semalaman menelaah hatinya, dia mulai yakin bahwa dia kembali jatuh cinta. Jani sedikit takutakan hubungan percintaan. Alasannya masih sama seperti dahulu ketika ada banyak pria menyatakan cinta tapi dia menolaknya dengan tegas. Dia benci pengkhianatan.

Jani lagi-lagi berpikir malam itu. Sebersit rasa takut akan sakitnya patah hati. Dia merutuki kebodohannya. Bahkan dia sudah berhasil untuk menghilangkan perasaannya pada Rangga, sang pengkhianat. Dia tidak pernah dendam pada Rangga karena sudah menciptakan suatu rasa trauma akan kecewa sudah dikhianati. Awalnya dia memang sedikit gugup padahal baru membayangkan bertemu setelah perpisahan mereka. Namun saat benar-benar menghadapi Rangga, Jani berpikir ternyata dia seperti tidak memiliki rasa apapun. Kosong. Hanya seperti teman lama yang berjumpa kembali.

Jani memang tidak pernah memiliki dendam meskipun kepada orang yang sudah menyakitinya. Hanya saja trauma sudah dikecewakan dengan begitu hebat sampai sekarang masih melintas di otaknya. Meskipun tidak separah dulu hingga ada teman laki-laki mengajaknya jalan hanya berdua saja dia enggan.

Berbeda dengan sekarang, dia tengah duduk sambil menyesap coklat panasnya sambil menunggu seseorang yang tidak terasa sudah dua minggu tinggal satu atap dengannya. Tumben sekali Dana mengajaknya bertemu di café dekat kantornya sepulang bekerja bahkan tadi pagi Jani juga diantar bekerja padahal dia sudah menolak. Namun, Dana kekeuh ingin mengantarnya yang akhirnya membuatnya terus-terusan digoda oleh Rena.

Jani mengamati dari jendela café. Orang berlarian menghindari gerimis. Ada yang berjalan santai karena membawa payung. Ada yang berteduh di depan toko seberang jalan. Dan sesaat kemudian dia tersenyum. Matanya langsung berbinar saat melihat laki-laki yang ditunggunya sedikit berlari masuk ke dalam café.

"Kamu sudah lama?" tanya Dana tanpa basa-basi.

"Eumm belum Mas baru sekitar 15 menit, ayo Mas duduk," jawab Jani sedikit gugup. Seperti remaja yang sedang jatuh cinta, Jani sedikit canggung berbicara pada Dana. Padahal ini bukan kali pertama mereka duduk berhadapan. Setiap pagi dan malam mereka pasti makan berhadapan di apartemen Dana. Bahkan mereka sudah 2 kali menonton film di ruang TV apartemen Dana saat Dana sedang tidak bekerja di ruang kerjanya. Ya, memang hanya pagi dan malam waktu Jani bertemu dengan Dana dan 2 kali waktu bersama menonton film. Tapi Jani seolah seperti anak SMA. Wajahnya juga merona. Tanpa Jani sadari, seulas senyum melengkung di bibir laki-laki di hadapannya. Dana seperti sedang melintasi waktu dimana dia juga melihat tingkah laku yang sama pada wanitanya. Sore itu adalah kali pertama Dana mengajak Jani bertemu. Entahlah, laki-laki itu hanya sedang rindu pada wanitanya.

"Kamu berapa bersaudara?" Dana sepertinya lupa bagian ini padahal Jani pernah mengatakannya. Dia juga penasaran dengan keluarga Jani tentu saja. Karena wanita itu tidak pernah menceritakan tentang keluarganya secara detail. Tepatnya, mereka tidak pernah memiliki waktu untuk saling mengenal satu sama lain. Biasanya hanya obrolan ringan sehari-hari.

"Saya dua bersaudara Mas, papa saya single parent setelah mama saya meninggal akibat kanker payudara," Jani menjawab tanpa beban.

"I'm sorry to hear that, Jan," ucap Dana tulus.

"That's okay Mas, lagipula saya sudah biasa mandiri dan saya juga sudah biasa dengan keadaan saya. Eumm mungkin Mas Dana pikir saya akan lebay seperti di sinetron," Jani tersenyum geli.

"Maksud kamu?" Dana benar-benar tidak paham.

"Ya saya merasa sedih saat kangen mama, hanya saja saya merasa mama lebih baik disurga jadi nggak perlu merasa sakit lagi. Lagipula mama saya meninggal saat saya berusia 2 tahun. Tidak banyak memori yang saya dapat dari mama, karena saya diasuh oleh pengasuh dari saya lepas asi usia 6 bulan kalau kata papa," Jani berkata dengan tanpa beban. "Oiya Mas Dana berapa bersaudara?" Jani bertanya balik.

Mereka mengobrol sampai tak terasa waktu menunjukkan pukul setengah 8 malam. Mereka juga sekalian makan di café tersebut supaya sampai apartemen mereka langsung bisa rebahan kalau kata Dana. Dari obrolan itu Jani tahu sedikit tentang keluarga Dana. Karena Dana hanya menjelaskan sangat sedikit tentang keluarganya, tidak seperti Jani tadi. Selebihnya obrolan mereka mengenai hal-hal lain seperti bagaimana membuat kopi yang enak menurut Dana.

Pulang ke apartemen bersama Dana, dalam satu mobil yang sama. Jani akan mengira sangat mengasyikan. Tapi Dana sibuk menyetir dalam diam. Mereka pulang dalam keheningan. Hanya sesekali Jani bertanya dengan ceria untuk membuat suasana tidak kaku dan berujung Dana yang akan menjawab dengan singkat, hanya 'ya', 'tidak', 'oh' atau 'hm'. Dana membuat Jani jengah dengan sikapnya. Aneh sekali seorang Dana ini. Jani merasa tidak mengatakan hal-hal yang menyinggung atau melampaui batasan tapi Dana sekarang seolah sedang mengacuhkannya.

Setelah dirasa Jani bahwa Dana sedang lelah karena seharian bekerja, dia memutuskan diam sampai tiba di apartemen. Mengucapkan terimakasih dan berlalu masuk ke kamarnya. Setidaknya sedikit demi sedikit Jani tahu beberapa hal tentang Dana. Setidaknya dia merasa lebih dekat karena obrolan mereka sudah dibumbui dengan pertanyaan mengenai hal-hal pribadi seperti keluarga, meskipun tidak banyak tapi mampu membuat Jani merasa senang. Hah! Baru begitu saja sudah bahagia, bagaimana kalau mereka jadian atau lebih hebatnya Dana melamar Jani?