Pratinjau : Jani segera pergi dari tempat itu setelah mereka melakukan pengecekan terhadap ponselnya dan memberi tahu Jani bahwa Arjuna tidak akan selamat kalau dirinya melapor polisi.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
"Halo?" sekali lagi Jani mencoba tenang. Namun, belum juga ada yang menjawab telepon di seberang sana. Jani kemudian mematikan telepon tersebut sepihak.
Hatinya was-was. Ini sudah malam, nomor yang meneleponnya adalah nomor asing dan ketika Jani menyapa sebanyak dua kali orang di seberang telepon tidak juga menjawab.
Keesokan harinya Jani memacu motornya menuju alamat yang dituju. Hari sabtu jalanan cukup lengang. Mungkin yang lain sedang asik meringkuk di dalam selimut. Tapi tidak dengan Jani. Sungguh dia tidak bisa menunggu lama lagi. Dia bahkan hanya tidur 2 jam setelah itu dia memutuskan untuk bangun dan ke tempat yang disebut oleh sang penelepon tadi.
Jani tiba di sebuah perumahan ketika jam baru menunjukkan pukul 5.05 pagi. Dengan memberanikan diri Jani langsung membunyikan bel di depan gerbang sebuah rumah megah tersebut.
Tidak menunggu waktu lama keluar seorang laki-laki dengan tampang sangar serta jaket kulit yang melilit pada tubuhnya. "Nyari siapa?" tanya laki-laki to the point dengan suara garang.
"Saya nyari kakak saya pak, Arjuna namanya, boleh saya ketemu kakak saya?" Jani menjawab dengan lancar. Dalam benak Jani sudah tidak merasa takut lagi. Kini yang ia pikirkan adalah Arjuna. Entahlah, Jani hanya merasa ada yang tidak beres disini.
Setelah diperbolehkan masuk Jani disambut oleh seseorang yang entahlah Jani menduga bahwa laki-laki setengah baya yang sedang duduk di sofa ruang tamu tersebut adalah bos dari si laki-laki yang membukakan pintu untuknya. Dengan setelah baju yang sama yaitu jaket kulit hitam hanya saja laki-laki yang barusan mempersilahkan Jani duduk lebih tenang cara berbicaranya.
"Saya langsung saja. Maaf pagi-pagi begini saya menganggu bapak-bapak disini, saya mau bertemu kakak saya. Dan lagi, siapa yang tadi malam menerima telepon saya?" pertanyaan Jani langsung dijawab oleh bos disini (tebak Jani).
"Saya yang mengangkat teleponmu nona. Arjuna baik-baik saja disini. Ikuti bawahan saya, dia akan mengantarmu ke lantai 2 rumah ini untuk bertemu dengannya. Dengan syarat hanya 15 menit," tenang namun tegas laki-laki itu menjawab.
Jani diantar oleh orang yang berbeda dari yang membukakan pintu tadi. Entahlah, mereka berpakaian sama. Namun ada yang membedakan mereka. Yaitu mereka semua memakai kemeja dengan berbeda-beda tapi dengan jaket kulit hitam, celana hitam kain, dan sepatu fantovel hitam mengkilat.
Tepat di depan sebuah pintu kamar, Jani melirik ke arah pria yang mengantarnya ke lantai 2 tersebut. Dan saat pintu dibuka oleh laki-laki tersebut Jani menganga tak percaya. Dia membekap mulutnya kaget. Diam mematung beberapa detik sebelum sebuah suara menginterupsinya untuk segera masuk dan setelah Jani Masuk laki-laki itu mengunci kembali pintu kamar tersebut.
Air mata Jani lolos begitu saja ketika mendapati Arjuna dalam posisi tak berdaya di atas tempat tidur, bibirnya membiru dan dia terus saja menggigil. Arjuna tampak sangat kurus bahkan lebih kurus dari beberapa waktu lalu. Kantung mata yang menghitam dan bibir yang seperti terus bergumam.
Jani menatap nanar kakaknya yang saat itu tangannya diinfus. "Kak? Ini Jani kak. Kakak kenapa?" Jani menggenggam tangan Arjuna erat sambil menangis sesenggukan.
Arjuna membuka mata dan sejenak seperti mengingat wajah Jani. Dia tersenyum sambil meneteskan air mata. "Maaf bikin lo susah. Gue bakal ceritain semuanya ke lo. Tapi ada hal yang lebih penting dari itu. Tolong uang yang lo bawa kasihin ke laki-laki yang dibawah. Supaya gue bisa segera pergi dari sini. Maaf dek gue bohong sama lo, maaf," Arjuna menangis sesenggukan seperti halnya Jani.
Jani menggeleng kuat, "cerita ke gue kenapa lo bisa disini kak, kenapa lo jadi kayak gini?" tanya Jani.
"Gue terjerat narkoba, dek," kata Arjuna.
"Maksudnya lo makai?" Jani setengah tidak percaya.
Arjuna mengangguk sebagai jawaban. "Gue buntutin mereka karena penasaran setelah gue selesai transaksi bayar sebagian utang gue ke mereka dan sialnya gue kepergok," Arjuna tampak terbatuk-batuk.
Jani miris melihat kakanya menjadi seperti sekarang. Dia tidak menyangka sama sekali kakaknya yang dia tahu bekerja sebagai marketing di salah satu toko elektronik yang tergolong besar dan terkenal di kotanya telah terjerat narkoba. Bagaimana bisa? Apa ada masalah yang membuat Arjuna sampai lari ke barang haram tersebut? Apa Netha tahu? Begitu banyak pertanyaan dalam benak Jani yang membuat gadis tersebut melihat ke arah sang Kakak dengan sorot prihatin. Jani memfokuskan pendengarannya dengan baik. Berusaha mencerna setiap kalimat yang keluar dari mulut Arjuna.
"Gue makai narkoba udah 6 bulan ini. Maafin gue dek," Arjuna terus saja menangis. "Gue sampai utang ke mereka karena waktu itu tabungan gue udah habis buat lamaran gue sama bantu Papa benerin toko meskipun nggak banyak. Mereka bilang siang ini bakal pindah tempat. Gue nggak tahu nasib gue bakal gimana," Arjuna menjelaskan sambil menerawang.
"Sekarang gue harus gimana kak biar lo bisa keluar dari sini?" Jani ingat bahwa hanya punya sedikit waktu. Dia tidak ingin waktunya habis tanpa tahu bagaimana jalan keluar untuk Arjuna bebas atau apa yang harus dia lakukan setelah ini. Sejujurnya Jani sungguh takut.
"Uang yang lo pegang kasih ke mereka, kemarin gue udah kasih mereka cuma masih kurang. Setelah lo kasih uang ke mereka lo pergi dari sini dan lapor ke polisi. Gue nunggu disini, dek. Please sekarang lo keluar dari sini," kata Arjuna menjelaskan.
Jani bangkit tanpa berkata apapun dan memeluk Arjuna. "Jaga diri baik-baik, gue sayang sama lo," Jani meneteskan air mata pedih. Kemudian dia bergegas pergi untuk menemui laki-laki yang dimaksud Arjuna.
Jani turun ke lantai 1 rumah tersebut dimana orang yang dimaksud Arjuna sedang duduk santai dengan cerutu di tangannya. "Ini uang untuk bayar semua utang-utang kakak saya, tolong segera lepaskan kakak saya," amplop coklat diletakkan Jani tepat di meja depan laki-laki yang Jani kita adalah bos disini.
"Hahahaha kamu memang adik yang baik rupanya. Ada syaratnya sebelum kamu keluar dari sini anak manis," Jani mendengus saat laki-laki itu memanggilnya anak manis. Hey! Jani sebenarnya jijik mendengar kalimat itu!
"Arjuna akan tetap ditahan disini selama satu minggu sampai kami memastikan bahwa kalian berdua tidak akan bertindak macam-macam atau lebih tepatnya kamu yang pasti mau melapor ke polisi? Hahahaha silahkan pergi sekarang anak manis hahahaha!" kalimat dan tawa laki-laki itu membuat Jani muak.
Jani segera pergi dari tempat itu setelah mereka melakukan pengecekan terhadap ponselnya dan memberi tahu Jani bahwa Arjuna tidak akan selamat kalau dirinya melapor polisi.
Nafas Jani memburu. Jantungnya berdetak lebih cepat. Rasa marah, kecewa, takut, sedih dan muak semua berbaur menjadi satu. Dia pergi dari tempat tersebut denga hati dan pikiran yang tidak menentu. Dia membelah jalanan namun bukan dia tidak tahu bahwa ada yang mengikutinya. Dia melirik ke spion ada sebuah motor hitam berada di belakang Jani. Jani tahu tidak akan mungkin mereka melepaskan Jani begitu saja.
Semua sudah terjadi. Jani akan menjalani. Menghadapi meskipun rasa takut luar biasa lebih dominan saat ini. untuk membawa motor saja rasanya dia beberapa kali akan oleng sampai dua kali di marahi oleh pengendara lain. Jani harus berani, ada Arjuna yang sedang menunggunya.