Pratinjau : Sudah menjadi bagian masa lalu Jani dan sudah saatnya buku masa lalunya dengan Rangga disimpan. Jika untuk sekedar dibaca tidak apa tapi tidak untuk dirasakan.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
"Mau ngomong apa Jan? Oh iya by the way... kamu apa kabar?" jantung Jani seolah-olah berlomba ingin keluar dari dadanya.
"Gue baik Ga... emmm lo apa kabar?" Jani balik bertanya
"Gue nggak begitu baik hehehe besok ketemu aja gimana? Gue lagi buru-buru soalnya sekarang," tawar Rangga. Jani sedikit berpikir, bukankah malah lebih bagus kalau bertemu secara langsung?
"Boleh kok, besok ketemu di green trees gimana? Jam 5 sore pulang kerja," ajak Jani.
"Oke, see you there, Jan," Rangga langsung menutup teleponnya.
Jani menghela nafas lega. Sungguh, hatinya Masih berteriak meminta Jani mendengarkan alunan nada bass itu lebih lama lagi. Hatinya bahkan tau siapa yang dirindukan setiap kali Jani menghadapi masalah seperti malam ini.
Kemudian setelah beberapa saat Jani berhasil menetralisir ketegangannya dia tersadar oleh perkataan Rangga tadi di telepon. "Gue nggak begitu baik...." sesaat kemudian Jani merasa khawatir. Apakah Rangga sakit? Atau sedang dalam masalah? Ah itu sudah bukan urusan Jani lagi. Kemudian Jani memilih untuk tidur supaya tidak terlambat berangkat ke kantornya besok.
Setengah 8 pagi, Jani berjalan meMasuki lobby kantor dimana tempatnya bekerja sebagai HR staff. Sebuah perusahaan yang bergerak di bidang distribusi kosmetik kenamaan di Indonesia. Direktur utama perusahaan tempatnya bekerja dikabarkan sakit sejak sebulan lalu, oleh sebab itu kantor tidak terlalu mencekam seperti biasanya ketika direktur utama sering kali berkunjung ke kantor tersebut dan beberapa kali marah karena beberapa hal yang tidak sesuai ekspektasinya.
"Pagi Jan, lo tau nggak ada gosip baru lhoo," Rena yang adalah teman satu divisi dengan Jani langsung memberi tebak-tebakan yang Jani sering tidak tertarik.
"Nggak tahu Ren, lagian nggak penting. Yang penting sekarang buat gue mau bikin kopi soalnya mata gue berat," dengan langkah santai Jani memasuki pintu lift yang baru saja terbuka.
"Direktur utama kita nyerahin semuanya sama anaknya yang lulusan Aussie Jan," kata Rena.
"Apa lo bilang? Anaknya? Yang dulu pernah kesini? Yang gayanya sok ganteng itu?" sahut Jani tak percaya. Sungguh dalam benak Jani sosok anak dari sang owner memang ganteng tapi gayanya sok jadi buat Jani laki-laki itu jelas bukan tipenya.
"Kenalkan, beliau adalah anak dari Pak Efran, namanya Pak Arga. Beliau mulai hari ini yang akan menggantikan Pak Efran," jelas Pak Ibnu.
"Bakal lebih parah nih dari bapaknya," batin Jani.
Pukul 12 tepat Jani dan Rena sudah bersiap-siap keluar office untuk segera menuruti permintaan cacing-cacing yang sedari tadi meronta-ronta minta makan. Jani dan Rena memilih makan di kantin kantor yang terletak di lantai 1. Entah ada angin apa Jani teringat janjinya dengan Rangga. "Ah setidaknya gue harus pastiin kalau janji nanti sore beneran jadi," batin Jani. Jani mengetikkan satu kalimat dan segera mengirimkan ke nomor yang semalam ia telepon dengan hati berdebar. Belum ada sepuluh menit handphone Jani berbunyi. Dengan hati berbunga Jani segera membalas pesan dari Rangga.
"Kamu juga jangan lupa makan siang Ga, see you..."
Entahlah Jani seperti kembali ke zaman-zaman dia Masih melakukan pendekatan dengan Rangga. Rasanya Jani ingin mengungkapkan kerinduannya pada Rangga, hanya saja otaknya masih berjalan dengan baik sehingga dia tidak sampai mempermalukan dirinya sendiri.
"Lo kenapa deh dari tadi senyum-senyum, itu soto dimakan keleus," suara Rena membuyarkan pikiran Jani.
"Gue nggak kenapa-kenapa cuma rindu masa-masa dulu aja waktu sama Rangga hehehe," sambil nyengir kuda Jani segera menyendok makanannya.
"Hidup itu sekarang bukan kembali ke masa lalu atau masa depan, gue tau lo pasti masih mau deh kalau balik lagi sama Rangga," ujar Rena.
Rena adalah teman curhat Jani ketika Jani gagal move on dari Rangga. Jani memang putus 2 tahun lalu tapi setelah itu waktu 1 tahun ia habiskan untuk menunggu Rangga yang suka datang pergi seenaknya tanpa status tanpa janji adanya suatu ikatan. Jani dengan sabar menunggu sampai akhirnya Rangga menjalin hubungan dengan Vita, entah siapa Vita Jani tidak tahu. Dia hanya berjumpa sekali ketika Rangga mengenalkan Vita padanya. Sejak saat itu Jani berusaha melupakan Rangga dan hanya akan menganggap Rangga teman tidak lebih.
"Gue nggak tahu apa gue masih ada rasa ke Rangga yang jelas gue masih ngerasa kangen dia kadang-kadang, Ren," jawab Jani sambil mengunyah tempe mendoan.
Rena meletakkan sendok dan segera meneguk es teh yang tadi dipesannya.Setelah menghela nafas Rena kemudian berkata, "inget Jan dulu lo putus sama Rangga karena dia selingkuh dibelakang lo berkali-kali, dan saran gue mantan yang udah kaya gitu ke lo dulu nggak baik buat di harapkan lagi. Ikuti alurnya ke depan Jan bukan ke belakang. Karena yang di belakang cukup buat jadi pelajaran lo untuk sekarang dan perjalanan hidup lo ke depan nantinya." Jani terpukau dengan kata-kata Rena.
Ada benarnya juga kata Rena. Dia tidak boleh lagi berharap pada Rangga karena Rangga sudah menjadi bagian masa lalu Jani dan sudah saatnya buku masa lalunya dengan Rangga disimpan. Jika untuk sekedar dibaca tidak apa tapi tidak untuk dirasakan.
"Saya boleh duduk disini?" Jani mendongak untuk melihat siapa yang berbicara.
"Oh iya silahkan pak Arga nggak apa-apa kok pak lagian kami cuma berdua, iya nggak Jan?" Rena menjawab dengan ramah.
"Duh pengen muntah gue lihat cowok sok ganteng gini" batin Jani tanpa sadar masih memandangi Arga.
"Jannnn kok lo diem aja sih!" Rena menyikut Jani sambil berbisik.
Seakan tersadar bahwa sedari tadi dia memandangi mata elang sang atasan, dengan terbata-bata Jani mempersilahkan sang atasan duduk. "Si… silahkan Pak," Jani tersenyum canggung.
"Terimakasih, saya Arga kalau boleh tau nama kalian siapa?" dengan tersenyum ramah Arga memperkenalkan diri.
"Saya Rena dan ini Jani pak," Rena menjawab sedangkan Jani terus memakan sotonya tanpa mau menjawab.
Rena dan Arga masih terus mengobrol sambil sesekali tertawa sampai jam makan siang selesai. Sedangkan Jani? Jangan ditanya. Ketika dia selesai dia segera pamit ke toilet karena entah kenapa dia malas dengan Arga yang dia dengar sesekali memuji Rena.
"Dasar perayu," batin Jani sambil berlalu.
Jani terburu-buru mengendarai motor matic-nya. Dia pandai dalam menyelip di jalanan. Belok kiri lurus sampai lampu merah belok kiri gang besar pertama belok dan sampailah Jani di Green Trees. Dia segera memarkirkan motornya dan melepas helm dengan tergesa.
Di dalam coffee shop tersebut sudah ada Rangga yang memandangi Jani masuk ke tempat itu dengan nafas tidak teratur. Celana jeans hitam kaos abu-abu sepatu kets dan ransel kecil. Khas Jani.
Dari jauh Jani melambaikan tangan setelah beberapa saat mencari tempat duduk Rangga. Rangga membalas lambaian tangan Jani dengan senyum ear to ear.
"Masih seperti dulu, manis," batin Rangga nelangsa.
"Sorry gue telat setengah jam, tadi motor gue mogok lagi, minta ganti," kata Jani sambil membenarkan rambutnya yang acak-acakan. Dia duduk di depan Rangga.
"Iya nggak apa-apa santai aja kali Jan, sama gue ini," jawab Rangga tanpa berhenti tersenyum hangat. Dengan mata yang masih sama saat terakhir mereka bertemu. Mendamba sosok Jani.
"Dulu kita duduk jejeran ya, Jan. Dulu saat kita masih pacaran. Sekarang kamu duduk di depan aku. Semua berubah dan aku... rindu kamu, Jan," batin Rangga sambil terus memperhatikan Jani yang sedang memesan minuman ke pelayan. "Aku harus dapetin kamu lagi gimanapun caranya," batin Rangga.