Pratinjau : Satu nama yang hingga saat ini masih sering menghampiri mimpinya.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Jani tidak dapat memejamkan mata barang 5 menit saja. Pikirannya Masih berkecamuk. Dia masih memikirkan laki-laki itu. Entahlah, Jani tidak tahu kenapa laki-laki itu sulit sekali dilupakan dan dia menyesal karena selama di green trees dia tidak berhenti menatap setiap gerak gerik laki-laki dengan kemeja digulung sampai siku tersebut.
Tok tok tok...
"Jan?" Jani jengah jika sudah mendengar suara kakak laki-lakinya mengetuk pintu kamarnya seperti ini. Jani sudah hafal dengan kakaknya, pasti ada maunya.
"Demi Neptunus ini sudah jam setengah 1 kak, jangan ganggu Jani, please!" Jani berteriak sambil menutup telinga dengan bantalnya.
Untuk sesaat tidak ada sahutan dari sang kakak. Baru 5 menit dia mencoba memejamkan mata tiba-tiba handphonenya berbunyi. Sebuah pesan line masuk.
"Gue butuh duit Jan, Netha Masuk rumah sakit"
"Bentar gue bukain pintu"
Jani langsung bangun dan berdiri dari ranjangnya setelah menatap chat dari Arjuna, kakaknya. Dia berjalan cepat ke arah pintu kamar dan membukanya dengan tergesa. Dia mendapati kakak laki-lakinya duduk di lantai dengan punggung menempel pada tembok dan muka ditelungkupkan pada kedua kakinya.
"Kak? Lo nggak apa-apa, kan? Ada apa? Kenapa bisa?" Arjuna menatap wajah adiknya dengan muka yang tidak bisa dibaca. Belum sempat dia menjawab Jani sudah bertanya lagi. "Lo pucat banget kak? Lo sakit? Kecapekan ya?" seketika Jani ikut duduk disamping kakaknya. Jani memang dekat dengan kakaknya. Dia hafal setiap tingkah laku kakaknya. Kecuali malam ini. Kakaknya diam saja dan hanya menatap lurus ke depan dengan bibir pucat. Jani tidak bisa menebak sebenarnya apa yang terjadi.
"Netha sakit jantung, dia butuh uang banyak buat operasi. Orang tuanya sudah berusaha ngedapetin uang banyak untuk Netha, tapi uang yg dikumpulin cuma cukup untuk perawatan Netha dan karena itu operasinya ditunda dek," Arjuna gemetaran dan sesekali membasahi bibirnya yang tampak pucat dan kering.
"Maksud lo Netha mau bedah jantung? Kok gue baru tau kalo Netha sakit kak? Lo gapernah bilang ke gue? Kenapa? Kenapa bisa Netha sakit jantung gini? Kalian kan udah 4 tahun pacaran," Jani terus mengintrogasi Arjuna.
"Gue juga nggak tau dek sejak kapan Netha sakit, yang jelas pas gue ke rumahnya ternyata dia udah 2 hari masuk rumah sakit. Gue ke rumahnya karena emang dia nggak pernah angkat telepon gue bbm nggak dibalas sms nggak dibalas selama satu minggu dek. Gue emang bukan cowok yang baik dek," dengan seketika Arjuna menangis sesenggukan di samping Jani.
"Udah jangan nangis nanti papa denger kak," kata Jani sambil menepuk punggung sang kakak.
"Lo bisa bantuin gue kan dek? Gue kepikiran buat pinjam uang papa tapi tau sendiri kan papa tokonya lagi sepi dek, kemarin juga habis uang papa buat benerin tokonya yang habis kebakaran."
Jani jadi ingat kejadian 4 bulan lalu ketika toko ayahnya di ruko pemuda terbakar akibat hubungan arus pendek. Papa Jani berjualan bahan-bahan bangunan dan tidak sedikit yang hangus sehingga papa Jani menghabiskan tabungan yang seharusnya digunakan untuk pernikahan Arjuna dan Jani kelak untuk membenahi tokonya.
"Lo butuh berapa kak?" tanya Jani serius.
"Gue butuh tambahan aja kok dek buat bantu orang tua Netha, gue butuh 10 juta dek," jawab Arjuna sambil menggigil kedinginan. Wajahnya pucat pasi, badannya kalau Jani amati semakin hari semakin kurus saja.
"Gue ada 3 juta kak, itu tabungan gue buat beli laptop soalnya laptop yang lama ngehang terus mau gue jual. Sisanya gue usahain dulu besok gimana kak?" kata Jani menenangkan.
"Nggak apa-apa dek, tabungan gue juga cuma sekitar 2 jutaan. Masih belum cukup dek," kata Arjuna
"Yaudah kakak balik tidur lagi aja gue juga mau tidur, besok pagi gue transfer ke rekening lo ya... yang sabar kak gue masuk dulu," Jani berjalan masuk ke kamarnya.
Setelah menutup pintu kamar, Jani menghela nafas lelah. "Kemana nyari uang segitu dalam waktu singkat? Gajian masih lama pula," Jani bergumam dengan pikiran melayang. Dia berjalan menuju ranjang dan segera mengambil handphone miliknya. Setelah memilih-milih kontak akhirnya dia memberanikan diri menghubungi nomor seseorang dari masa lalunya. Rangga. Hanya satu nama itu yang saat ini terbayang.
Entah setan dari mana sehingga Jani berani menghubungi sang mantan kekasih yang dulu sempat mencampakkannya. Rangga. Satu nama yang hingga saat ini masih sering menghampiri mimpinya. Rangga. 2 tahun telah menemani langkah Jani. Dulu. Dulu sekali.
Jani tidak menyangka bahwa Rangga akan menkhianati kisah mereka saat itu. Kenangan dengan Rangga begitu membekas dan sulit untuk dilupakan. Tidak mudah untuk berpura-pura baik-baik saja di depan laki-laki yang kini sudah menjadi mantan tersebut. Bagaimana dirinya bisa baik-baik saja ketika begitu banyak kenangan yang masih sering menari-nari dan bermain di otaknya?
Mereka berdua sama-sama sudah mengenal keluarga masing-masing. Hanya saja, mengenal keluarga belum tentu akan berjodoh. Jani selalu menanamkan dalam hatinya bahwa aka nada laki-laki yang lebih pantas bersanding dengannya kelak, entah kapan. Sampai saat ini jantung Jani masih suka sekali berdetak tidak karuan ketika mendengar nama Rangga. Mereka berteman tentu saja. Mereka juga baik satu sama lain. Tapi, tidak ada yang tahu bahwa jani diam-diam masih sedikit berharap pada mantannya tersebut.
Konyol sekali! Dirinya seperti tidak punya muka kalai sampai berani menelepon Rangga. Sudah menjadi mantan. Menunggu lama namun tidak membuatnya kembali dijadikan kekasih oleh Rangga dan sekarang Jani ingin menelepon untuk meminta bantuan menyelesaikan masalah kakaknya.
Jani menggenggam erat ponselnya. Menimbang-nimbang lagi apakah ini keputusan yang paling tepat. Namun tidak ada keputusan lain yang sekarang ini dapat diambilnya kecuali Rangga. Jani memang memiliki sahabat-sahabat, namun mereka semua anak rantau kecuali Reza. Hanya saja, Reza juga bukan dari kalangan berada seperti Rangga. Kenapa Jani selalu kembali kepada pemikiran menghubungi Rangga? Takdir apa yang sebenarnya diciptakan untuknya?dirinya bahkan tidak enak hati meminjam bantuan pada para sahabatnya, kenapa dengan Rangga malah dirinya seperti tidak memiliki malu begini?
Membulatkan tekad Jani akhirnya memencet tombol hijau guna menyambungkan telepon dengan Rangga.
"Halo?" suara bass seorang laki-laki di seberang sana membuat sesuatu dalan dada Jani seketika berdegup tak tentu arah.
Setelah mengatur nafas supaya tidak terlihat gugup, Jani memberanikan diri menjawab dengan sekali tarikan nafas, "Halo Rangga gue mau ngomong sesuatu."
"Jani?" Rangga, laki-laki yang berada di seberang telepon seperti terkejut menemukan Jani tengah meneleponnya di malam hari seperti ini.
"Iya Rangga ini gue, Jani."
"Gue kayak mimpi dengar suara lo," Rangga terdengar terkekeh di seberang telepon.
"Lo nggak mimpi Rangga, please nggak usah hiperbola gitu deh!" Jani nampak salah tingkah sendiri
Jani berusaha sekuat tenaga meredam detak jantungnya. Apakah menerima telepon darinya merupakan sebuah ketidakmungkinan dalam hidup Rangga? Apakah Rangga sedang membuat joke? Sama sekali tidak lucu! Menurut Jani, kalau memang Rangga masih mencintainya sudah sejak lama rang akan kembali mengejarnya. Atau minimal mencoba memperbaiki komunikasi mereka. Hey! Mereka sudah sangat lama tidak mengobrol. Hanya sekedar saling sapa ketika berpapasan di jalan. Tidak lebih.