Zanna menatap sinis ke arah sosok pria yang sangat menyebalkan menurut versinya. Tangannya yang berada disamping mengepal erat. Namun, hanya sebentar, Zanna berhasil meredakan emosinya yang sudah terpancing beberapa menit yang lalu. Ikut angkat bicara bersama teman-teman sekolompoknya untuk menutup presentasi setelah pertanyaan-pertanyaan berhasil terselesaikan.
Zanna kembali ke tempat duduknya. Begitupun teman-temannya yang lain setelah membereskan alat-alat yang digunakan untuk presentasi. Zanna sudah tak peduli. Tugasnya hanya membacakan beberapa bagian lalu menjawab pertanyaan. Dan diluar tugas itu, rasanya malas untuk membantu. Apalagi jika mengingat kejadian belum lama itu.
Dalam tugas menjawab pertanyaan yang biasanya bisa dijawab tegas dan membuat penanya puas serta bungkam, namun kali ini tidak. Zanna yang dibuat bungkam tak bisa menjawab lagi. Pertanyaan yang diajukan sudah dijawab panjang oleh Zanna seakan belum memberi kepuasan untuk seorang Adinata Neandro, penanya terakhir yang berhasil membuat ia mengepalkan tangan. Berkali-kali didebat, berkali-kali juga ditanggapi dengan jawaban tenang. Teman-temannya tidak membantu banyak membuat emosi Zanna kala itu seperti dipancing. Untung saja, sang guru yang menjawabnya ketika Adinata kembali berulah. Seakan puas, Adinata diam dan mengucap terimakasih. Benar-benar minta Zanna bogem wajah itu.
Angela yang berada disebelahnya menatap takut-takut pada Zanna. Tahu betul kini Zanna tengah dilanda rasa emosi yang ditahan. Makanya, Angela diam bahkan sampai bel berbunyi menandakan jam istirahat terdengar.
Didepan sana, sang guru tengah memberikan kata-kata penutup untuk mengakhiri pertemuan pada hari itu. Keluar dengan barang bawaannya setelah itu.
"Na, kantin gak?" tanya Angela pelan pada Zanna.
Zanna mengangguk. "Iya, panas di kelas!" Beranjak dengan kasar sehingga bangkunya bergeser dan menimbulkan suara agak mengganggu. Angela menyusul dengan buru-buru. Dan itu tak luput dari penglihatan Adinata yang duduk tak jauh dari tempat duduk Zanna.
Adinata malah terkekeh geli melihatnya. Pemandangan seorang Zanna Faranisa yang tengah marah seakan menjadi hiburan tersendiri untuk Adinata.
"Lo cari perkara mulu sama dia," ucap teman sebangkunya. Adinata mengedikan bahunya, tak acuh. "Terhibur aja liat dia nahan emosi tadi." Jawabannya ringan sehingga gampang sekali meluncur.
"Awas suka."
Seketika tawa Adinata terdengar. Menggeleng-gelengkan kepala. Tersenyum miring. "Enggak akan," ucapnya mantap.
"Pasti udah direncanain, nih. Kelompok-kelompok lain yang maju, lo gak tanya tuh. Cuma pas kelompok Zanna tampil, lo tanya segitunya. Pakai didebat lagi." Suara belakang terdengar. Lagi, Adinata mengedikan bahunya lalu beranjak.
Rizky, teman sebangku Adinata bicara lagi kala melihat pria itu sudah hampir menghilang. "Mau kemana lo?"
"Kantin." Satu kata yang merupakan jawaban yang jelas membuat teman-temannya ikut beranjak dan menuju tempat yang sama.
Namun, teman-teman Adinata sendiri tau. Adinata tidak hanya sekedar ke kantin. Senyum kecilnya yang tampak seperti tengah menyeringai patut untuk dicurigai.
#####
Adinata mengernyit kala tak sengaja melihat Zanna tengah satu meja dengan sang mantan. Semakin tak mengerti kala Zanna tersipu malu lalu menabok lengan sang mantan yang masuk dalam kategori laki-laki playboy, salah tingkah. Langkah kaki Adinata mendekati mereka. Mengabaikan panggilan teman-temannya yang sudah menempati tempat biasa, pojok kantin.
"Weh, mencium bau-bau balikan, nih."
Adinata duduk di sebelahnya Zanna. Tak memedulikan tatapan bak silet yang tertuju padanya dari arah samping. Menggerutu kesal pada Angela yang malah pacaran di meja lain dan meninggalkan Zanna hanya berdua dengan sang mantan. Jangan berbaik hati, Adinata bukan cemburu. Hanya saja dia juga tidak suka dengan pria dihadapannya ini. Musuh di lapangan yang siap untuk ia babat. Playboy songong yang hanya bisa mengandalkan kekuasaan keluarga dalam menjatuhkan lawan.
"Ngapain lo disini? Gabung sono sama temen lo. Jangan disini. Ganggu," ucap Arlan. Menatap sinis kearah Adinata yang malah dibalas dengan senyuman kecil.
"Sorry, tapi ini tempat umum." Adinata mengubah cepat senyum kecilnya menjadi menyeringai. Lalu menoleh ke samping. Zanna tengah mengaduk-aduk baksonya tanpa minat tapi lama-lama gerakan tersebut menjadi ganas. Tidak menyadari Adinata tengah memperhatikannya. Dari sikapnya, Adinata paham. Zanna juga terganggu akan kehadirannya.
"Lo ganggu privasi orang, Nata!"
Adinata menoleh kembali pada pria dihadapannya. Menampilkan wajah yang super santai. "Oh iya?" Adinata menoleh ke samping, tersenyum kala Zanna juga balas menatapnya. Mengelus kepala Zanna pelan. "Sorry," ucapnya sembari tersenyum kecil. Terdengar tulus.
Zanna mengerjab. Menepis tangan yang masih menempel di kepalanya. Zanna mendengus.
Kali ini, Adinata terkekeh kecil. "Lo sebenarnya yang ganggu." Tatapan beralih pada Arlan. Kekehan tersebut lenyap seketika. Arlan masih menatapnya seakan mengajak perang. "Ganggu ketenangan gue. Lagian udah mantan, kan? Mau ngapain? Ngarep minta balikan?" Adinata menjeda. Menyeringai lagi, lebih lebar dari yang sebelumnya. "Dia baik sama lo bukan berarti lo ada peluang buat balikan. Jangan ngarep."
Arlan tampak emosi ditempat. Tangannya yang berada diatas meja mengepal memperlihatkan urat. Tentu Adinata merasa puas. Namun, kepuasan entah mengapa sirna kala Zanna beranjak tanpa menyentuh makanan yang masih tersisa banyak. Mengundang rasa bersalah seorang Adinata hadir.
"See?"
Adinata menatap balik Arlan yang baru saja berucap. "Zanna bahkan terganggu akan kehadiran lo. Sadar diri itu penting, bro." Dan setelahnya Arlan pergi. Adinata tidak peduli.
Sadar akan Zanna yang masih makan sedikit membuat rasa bersalahnya semakin menjadi dan tak dimengerti. Tanpa menunggu lagi, Adinata segera keluar dari area kantin. Hendak menyusul Zanna yang sudah menghilang entah kemana.
Tanpa pikir panjang, langkah Adinata mengarah pada kelasnya sendiri. Hal itu tentu mengundang kecurigaan dari teman-temannya yang sedaritadi memperhatikan.
"Kok gue gak yakin ya, kalau Adinata gak naksir Zanna." Sambil bertompang dagu, Abimanyu berucap. Masih memperhatikan Adinata hingga benar-benar menghilang.
"Jangan percaya sama dia."
Haris mengangguk sembari melahap baksonya. Mengunyahnya cepat lalu ditelan. Baru berucap, "Dijamin, itu anak ada rasa sama Zanna. Mungkin kisah mereka sama kayak Alvaro dan Anggia di film Aku, Benci dan Cinta."
Abimanyu mendengus. Memukulkan botol minuman yang sisa setengah pada kepala pria itu. "Alah, sok lo."
#####
"Gue cariin dikelas. Ternyata disini. Kok lama banget? Sakit perut?"
Zanna yang baru saja keluar dari toilet cewek itu terlonjak kaget. Hingga mundur selangkah saking kagetnya akan kehadiran Adinata di dekat toilet cewek.
"Bukan urusan lo!"
Zanna berdecak kala langkahnya dihalangi oleh Adinata. Ia bergerak ke kanan, pria itu mengikuti. Ke kiri, pria itu juga mengikuti. Membuat Zanna berdecak sangat keras kali. Ada untungnya bel sudah berbunyi sekitar dua menit lalu. Koridor tak seramai waktu istirahat.
"Lo kenapa ganggu gue mulu, sih?!" ucap Zanna hampir membentak. Emosinya seakan dipermainkan. Zanna tidak menyukai itu.
"Lo ada niatan buat balikan sama Arlan, ya?" tanya Adinata, mengabaikan ucapan Zanna sebelumnya.
"Gak!"
"Terus kenapa dia ada di sana. Ketawa-ketiwi lagi. Bego jangan dipelihara. Udah pernah disakiti jangan mau diajak balikan."
Zanna menggeleng tak mengerti. Menatap kesal kearah Adinata. "Makasih atas pujiannya. Gue emang sebego itu." Namun, senyumnya malah terbit. Sangat kontras dengan ekspresinya.
"Gue gak setuju lo balikan sama dia."
Zanna mengedikan bahunya. "Gak ada yang nanya pendapat lo, sih."
"Lo bego atau gimana-----"
"Cermati baik-baik. Gue udah bilang, enggak! Siapa juga yang mau balikan sama dia!" potong Zanna cepat. Jawaban yang entah mengapa membuat Adinata mengembuskan napas penuh kelegaan.
Adinata menghadang kala Zanna melewatinya kala lengah. Zanna tak kehabisan akal. Menendang mata kaki Adinata membuat si empunya meringis. Namun, ternyata usahanya untuk lolos tak berhasil. Adinata berhasil menghadangnya kembali.
"Bisa gak sehari aja lo gak ganggu gue?" Adinata menggeleng polos. "Enggak bisa."
Zanna tak peduli. Masih berusaha menghindar dan ingin cepat-cepat kembali ke kelas. Namun, Adinata yang sialan itu malah mencekal lengan kirinya membuat langkahnya terhenti dan berbalik. "Apa?!"
"Pulang bareng gue."
Zanna menyeringai namun malah tampak manis di kedua mata Adinata. "Sorry, gak butuh tumpangan lo." Zanna menyentak kasar. Berjalan cepat setelah berhasil lolos. Adinata sengaja membiarkan. Dan sedikit mengerutuki mulutnya yang malah mengajak pulang bersama.
Kenapa yang keluar malah ajakan pulang bersama?
Aish, Adinata!!!
#####
Sosok artis Korea yang kini tengah membintangi sebuah drama ber-genre fantasi mampu mengeyahkan perasaan kesal Zanna. Binar mata serta senyum mesam-mesemnya muncul begitu saja kala sosok idola melakukan adegan romantis. Guling berwarna merah muda itu sampai menjadi korban atas kegemesan Zanna terhadap sang idola. Dua gadis yang menyandang sebagai temannya itu bahkan dibuat geleng-geleng dan sedikit menyingkir. Lama-lama kaki itu yang awalnya diam jadi bergerak-gerak hanya karena lagu dalam drama terdengar, seakan mendukung seorang Zanna mengalami rasa baper.
"Sejak kapan dia jadi se-alay ini waktu liat drakor?" bisik Camelia pada Angela. Gadis yang merupakan sahabat Zanna namun beda sekolah itu menatap tak menyangka pada Zanna yang heboh sendiri sembari terus menatap laptop. Ranjang yang tadinya tenang bahkan jadi bergoyang-goyang akibat tingkah Zanna.
Angela menghela nafasnya panjang. Sedikit merasa bersalah karena sudah memperkenalkan seorang Zanna Faranisa yang dulunya pecinta film barat pada dunia drama korea. "Gue jadi agak bersalah. Dulu dia nonton film barat gak sampai begini. Malah isinya tegang." Angela langsung bungkam kala Zanna menoleh dan menatapnya tajam.
Zanna bangkit dari posisi tengkurapnya membuat kedua sahabat yang berada dipinggir kasur itu mengernyit. Camelia sadar terlebih dahulu, ternyata episode yang tadi ditonton Zanna telah usai.
"Lo berdua ngapain minggir-minggir gitu?" Tanya Zanna polos. Tak menyadari bagaimana tingkahnya ketika menonton. Hal itu membuat Angela mencebikkan bibirnya. Untung saja gadis itu sudah menonton sampai tamat sebelum Zanna menonton. Jadi tidak begitu sedih karena tidak bisa menonton.
"Tuh gara-gara tadi yang nonton brutal," ucap Camelia membuat Angela menyengir. Camelia mendengus lalu bangkit dan mengambil laptop yang sudah hampir kehabisan baterai itu. Gadis itu merebut paksa kala Zanna menghalangi dan ingin mengambil alih. Batin Camelia menjerit, ini laptop siapa to!
Drama Korea ternyata sangat berbahaya untuk Zanna yang baperan!
"Mau gue isi daya dulu. Gak liat lo udah sekarat nih," ucap Camelia gemas. Camelia menjauh untuk mengisi daya laptop pada colokan yang terletak di kamar.
"Nanti liat lagi, yak."
"Ogah!" Camelia membalas cepat membuat Zanna berdecak kecil.
Namun, merasa tak masalah dengan penolakan Camelia. Zanna beralih pada Angela yang malah mendadak sibuk dengan ponselnya. Belum sempat berujar menyampaikan. Zanna sudah disembur oleh perkataan Angela yang kelewat ngegas.
"Lo ngapain terima ajakan Arlan, hah?!"
Zanna mengerjab ditempat membuat Angela memutar bola matanya dan Camelia yang baru saja bergabung hanya menaikkan salah satu alisnya. "Lo tau darimana?" tanyanya tak menyangka. Lalu detik berikutnya, Zanna menatap penuh curiga pada Angela. "Lo buka ponsel gue, ya!" Itu bukan pertanyaan namun pernyataan berupa tuduhan. Zanna melirik kearah ponselnya yang berada diatas nakas. Lalu jarinya menunjuk kearah Angela. "Lo beneran buka ponsel gue, Ngel?!"
"Gila! Enggak!" Angela membela dirinya. Menunjukkan ponselnya sendiri didepan wajah Zanna. Membuat Zanna memundurkan wajahnya sembari mendengus. "Kak Banyu bilang ke gue. Arlan yang curhat." Angela menjeda sebentar. Menarik ponselnya. Lalu berucap lagi, "Ngapain lo iyain ajakan mantan lo yang playboy itu, hah?!"
"Daripada repot," jawab Zanna kelewat santai.
"Sebentar." Camelia angkat bicara. "Arlan mantan Zanna waktu kelas 11?" Angela yang mengangguk mewakili Zanna.
"Gila gak sih tuh bocah! Ngapain diiyain coba. Dilabrak pacar-pacarnya baru tau rasa!"
"Biarinlah. Biar tau rasa kalau baper lagi."
"Gue yang gak terima! Dia nangis-nangisnya ke gue. Lo mah enak, dia gak nangis-nangis ke elo. Lah gue? Mentang-mentang satu gang dia setiap mewek, galau, langsung lari ke gue."
"Yaudah sih, pahala dengerin derita orang."
Terus. Terus. Terus.
Zanna masih diam, jadi penonton. Sangat kesal pada kedua temannya yang membicarakannya didepannya tanpa tau malu. Seakan dirinya tidak ada disana.
"Eh ada orangnya, ya. Lupa." Camelia bersuara.
Zanna menggerutu kesal setengah mati dalam hati. "Bukan, ini setan!"
Zanna beranjak menuju ke sofa, tempat dimana para cemilan berada. Tadi sebelum menonton, Camelia menyediakan cemilan tapi malah mereka anggurkan dan diletakkan begitu saja di atas sofa. Untung saja cemilan itu berada di dalam toples tertutup. Jauh lebih aman.
"Lanjutin mbak-mbak ngerumpinya. Aku liatin sambil ngemil, gakpapa. Dosaku mbak-mbak tanggung semua. Lega aku."
Mendengar itu membuat Angela dan Camelia menyemburkan tawa. Tak tahan akan Zanna yang mengatakan dirinya dan Angela dengan sebutan mbak-mbak.
Begitu Zanna duduk di sofa dan memangku cemilan, menghadap ke arah teman-temannya, dengusan berat keluar sebagai penanda kekesalan.
"Batalin aja sih, Na!" Kalimat perintah dilayangkan Camelia yang mulai menghampiri. Disusul Angela.
Zanna mengangguk sembari menjentikkan jari telunjuk dan ibu jarinya. "Gampang."
"Gila! Pemberi Harapan Palsu tingkat kurang ajar," cetus Angela sembari tertawa.
Zanna ikut tertawa begitu juga dengan Camelia.
Hingga tiba-tiba suara dari luar kamar terdengar.
"Kalian ngapain ketawa-ketawa? Udah selesai belajarnya emang?"
Camelia, sang pemilik kamar mengumpat pelan dan spontan bangkit. "Mampus!"
Langkah kaki yang menuju ke kamar itu terdengar jelas. Membuat ketiganya gelagapan.
Belajar bersama kan sebenarnya hanya alasan!
#####
Adinata menggeleng kala disodorkan sebatang rokok. Ia bukan seorang perokok. Wanti-wanti sang Bunda dari ia menginjak bangku sekolah menengah pertama masih teringat jelas. Wanti-wanti yang disertai pelototan terbayang juga tongkat kayu dalam genggaman tiba-tiba membuat Adinata mengedikan bahunya, takut sendiri. Senakal-nakalnya seorang Adinata Neandro masih akan tetap takut pada ibundanya tercinta. Bunda Singa, julukan yang diberikan Adinata pada sang Bunda. Ayahnya saja takut jika sudah dipelototi.
Adinata tersentak kala bahunya ditepuk. Lamunannya mendadak hilang. Ia menoleh sembari menaikkan gitar yang melorot dalam pangkuannya.
"Main catur gak?" Adinata menggeleng. Masih ingin tetap berada di balkon rumah milik Abimanyu.
Abimanyu tak memaksa. Ia masuk sendiri dan bergabung bersama yang lain. Mereka bertiga tengah menonton film sembari bermain catur. Hal yang membuat Adinata geleng-geleng kepala. Sudah menebak apa yang akan terjadi. Televisi yang menonton orang main catur!
Menikmati hembusan angin malam yang semakin mendingin. Tangannya tak diam. Memetik gitar sesuai dengan kunci yang baru ia hafal beberapa hari yang lalu. Hembusan angin itu semakin kencang saja. Namun, malah membuat Adinata memejamkan matanya. Menikmati.
Hingga lagi, seliweran tak terduga dari adegan beberapa jam yang lalu muncul tanpa diminta.
Cuplikan saat mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan dimana Adinata berdiri dan bertanya. Dan Zanna Faranisa menjawab dengan berusaha tenang. Adinata sebenarnya tau, gadis itu menahan kesal. Tak tau mengapa, bagian yang dipresentasikan kelompok Zanna membuat dia bertanya. Dan jawaban Zanna yang belum cukup memuaskan membuat dia mendebat. Bukan sengaja sebenarnya, namun jawaban dari gadis itu kurang ia setujui. Hingga dua kali ia mendebat lagi. Adinata akui, Zanna Faranisa itu adalah gadis yang memiliki otak cerdas. Pandai juga dalam bicara didepan publik.
Kemenangannya menjadi suatu kebanggaan tersendiri kala berhasil membuat Zanna bungkam. Sebelumnya, Zanna selalu bisa menjawab pertanyaan yang diajukan kala presentasi dengan tepat. Adinata membuktikan bahwa ia dapat mengalahkan seorang Zanna Faranisa.
Dilanjut cuplikan dimana Zanna dihadang dan ditawari pulang bersama dengan Arlan. Entah mengapa membuat Adinata sedikit terusik. Untung saja gadis itu segera ditarik oleh Angela membuat Arlan tidak berusaha mengejar. Sekali lagi, jangan berbaik hati pada Adinata. Ia bukan cemburu. Hanya saja, sebenarnya Zanna itu masih polos dalam dunia percintaan. Jadi, sedikit tidak terima jika Arlan menjadikan gadis polos itu korban lagi.
Sadar akan adegan itu semua tentang Zanna, Adinata menggelengkan kepalanya. Berusaha mengenyahkan.
"Gila tuh cewek! Mampir mulu!"
Adinata mengacak rambutnya, lagi. Mulai fokus pada gitar. Memetik hingga menimbulkan suara yang pas dengan setengah lagu yang ia nyanyikan pelan.
Setelahnya, ia putuskan untuk mengakhiri permainan gitar itu. Masuk kedalam lalu meletakkan pelan gitar itu di atas sofa. Memperhatikan sekilas teman-temannya yang malah fokus pada permainan catur. Tebakan Adinata tidak salah. Televisi yang menonton manusianya.
Bergabung dengan mereka setelah mengambil ponselnya yang tadi tengah mengisi daya. Tidak ikut bermain, Adinata lebih memilih memainkan ponselnya. Walaupun sudah diajak, Adinata menolak. Sesekali melihat televisi yang tengah memperlihatkan adegan kejar-mengejar.
Satu ide terlintas. Adinata segera melakukannya. Hingga tanda centang satu tampak setelah pesan berhasil terkirim.
Adinata
Hai, Zanna Faranisa.