Tak bisa lagi menahan rasa penasarannya. Zanna langsung bertanya begitu sudah masuk ke dalam mobil. "Mobil siapa, Bang?" tanya Zanna yang merasa tak asing dengan bagian luar maupun dalam mobil. "Mobil Bang Danu, ya?" tebak Zanna yang langsung dijawab anggukan oleh Elvano.
"Motor Bang Vano kemana?"
"Dirumah. Abang pikir hujannya bakal awet. Jadi, pinjem mobil Danu dulu. Kebetulan dia mampir kerumah." Elvano membasahi bibirnya sebentar. Kurang minum ternyata bisa membuat bibir pecah-pecah. Berdeham sejenak sebelum lanjut bicara. "Eh, tapi pas di tengah jalan hujannya malah udah reda," jelas Elvano.
Dan Zanna hanya mangut-mangut.
Sosok di halte yang tadi tengah bersama Zanna kini menjadi objek penglihatannya. "Tadi itu siapa? Kok sampe nungguin kamu gitu?"
Zanna menoleh setelah selesai memasang seatbelt-nya. Menatap Sang Kakak yang sudah menanti jawaban.
"Cuma teman."
Elvano menaikkan salah satu alisnya. "Sekedar teman? Mau nungguin sampe kamu dijemput? Laki-laki pula? Yakin?" tanya Elvano sembari mengencangkan seatbelt-nya sendiri. Zanna mendengus mendengar perkataan Sang Kakak yang mengandung lebih dari satu pertanyaan. Kebiasaan, kalau sudah penasaran apalagi mengenai adik-adiknya, Elvano bisa berlebihan.
Elvano menunjuk sosok Adinata yang masih berada di halte dengan dagunya. "Dia terus liatin kita. Dan masih ditempat yang sama. Padahal hujan udah cukup reda. Harusnya kan dimanfaatkan untuk segera pulang." Yang Elvano lihat sosok itu memang sedaritadi menatap kearahnya parkir. Bahkan saat Zanna menyebrang untuk menghampirinya, sosok itu tak mengalihkan pandangan.
Zanna ikut memperhatikan melalui kaca mobil yang sedikit basah. Mengeratkan jacket yang membalut tubuhnya. Zanna masih menatap objek yang sama.
Sadar Zanna mengikuti arah dagunya tadi, Elvano beralih memperhatikan jacket yang dikenakan Sang Adik. "Jaket cowok itu, kan?" tanya Elvano yang sudah mengetahui jawabannya. Elvano tahu betul, Zanna tak memiliki jacket semacam itu.
Tanpa mengalihkan pandangannya, Zanna menyahut dengan tidak menutupi kebenaran. "Iya, tadi dipinjemin."
Elvano tersenyum kecil. Mulai menyalakan mesin mobil. Elvano menoleh kembali kearah Sang Adik yang masih betah menatap objek tadi. "Jalan sekarang?"
Anggukan kepala merupakan jawaban dari Zanna yang Elvano tangkap. Tanpa buang-buang waktu lagi, Elvano mulai menjalankan mobilnya.
Elvano melirik kearah spion sebelah kanan. Sosok laki-laki yang tadi bersama Zanna kini mulai mengecil dalam spion. Tapi masih dapat Elvano lihat, sosok itu mulai meninggalkan halte.
Masih belum jauh dari halte tadi. Elvano menghentikan mobil pinjamannya ketika lampu lalu lintas yang semula kuning berubah menjadi merah. "Abang gak pernah melarang kamu pacaran," ucap Elvano tiba-tiba membuat Zanna yang masih menatap pemandangan luar jadi menoleh.
Menatap Elvano dengan salah satu alis yang terangkat. "Maksudnya?"
"Abang gak beranggapan kalau Zanna pacaran sama Adinata, kan?"
"Oh namanya Adinata." Elvano menekan tombol klakson begitu warna lampunya berubah dan mobil didepan malah diam, tak kembali melaju. Hujan kembali turun, tidak sederas tadi.
Zanna mencebik, menatap Sang Kakak yang tak kunjung balik menatapnya. "Zanna gak pacaran sama dia, Bang. Jangan pikir macem-macem, ya." Zanna memperingati diakhir kalimatnya.
Elvano mengangguk asal. Dan kembali berucap dengan nada jail. "Kalau pacaran, inget batasannya."
"Abang!"
Zanna memasang mimik wajah kesal sembari bersedekap dada. Sementara Elvano malah terkekeh.
Selang beberapa detik mobil itu hening. Zanna masih kesal membuat Elvano tersenyum kecil. "Mampir ke toko roti yang biasanya dulu ya," ucap Elvano.
Masih belum mau menoleh, tapi tetap menyahut. "Mau ngapain?"
"Ambil pesanan."
"Pesanan apa?" Masih dengan nada yang datar.
"Brownis kukus rasa ketan hitam."
Zanna menggulum bibirnya. Senyumnya hampir saja terbit, namun teringat bahwa ia tengah kesal pada Elvano. Walau fakta sebenarnya kekesalan itu sudah lenyap ketika mendengar brownis kukus rasa ketan hitam disebut. Lagipula, Zanna sebenarnya hanya sedikit kesal pada Elvano. Tidak banyak, hanya sedikit.
"Buat siapa?" Zanna memalingkan wajahnya ke arah jendela. Masih sesekali menggulum bibirnya.
"Buat orang yang minta roti itu bulan lalu."
"Buat siapa?" tanya Zanna menuntut jelasnya. Menggulum bibirnya lebih dalam lagi. Binar mata bahagianya tak bisa ditutupi. Ketara, andai sang lawan bicara menatap Zanna.
"Alah pura-pura. Gak mau, abang belok ke kanan loh."
"Eh, lho." Zanna menoleh cepat. "Gak bisa dong. Kan udah dipesen." Zanna memainkan alisnya ketika berucap. Tak lupa bibir yang tak bisa untuk tidak tersenyum girang. "Ayo belok ke kiri!"
Elvano terkekeh ringan sembari membelokkan mobil pinjamannya itu ke arah kiri. "Lho bukannya tadi ngambek."
"Kan tadi. Beda dong. Tadi, ya tadi. Sekarang, ya sekarang."
"Jadi?"
"Udah enggak dong."
"Yakin?"
Zanna mengangguk dua kali dengan mantap. "Lagipula mana ada ngambek sama Bang Vano."
"Ah, masa?"
"Weh, iya."
"Kalau kemauannya udah keturutan aja langsung cengar-cengir."
"Ya, gakpapa dong."
Elvano tak lagi berucap. Seketika teringat akan ucapan Sang Ibu.
"Kamu itu pengganti ayah, Bang."
Dalam hati Elvano selalu berkata. "Abang akan selalu berusaha, Bun."
Elvano kembali menginjak rem dengan perlahan. Kembali, bertemu dengan lampu lalu lintas yang berwarna merah. Sekitar 20 detik lagi, lampu itu baru akan berubah kuning lalu hijau.
Tak terasa hujan sudah kembali reda. Walaupun jalanan masih basah dan aroma tanah masih tercium. Masih sekitar kurang lebih 8 menit untuk dapat tiba ditempat tujuan.
"Abang pesannya berapa?"
Elvano menoleh sebentar. "Dua box."
"Ih, makasih, Abang."
Melihat Sang Adik yang girang, tangannya spontan untuk mengusap kepala Zanna. "Tapi mie tetap disita."
Raut wajah Zanna langsung berubah. "Jangan diingetin, nanti Zanna ileran gara-gara gak bisa makan."
"Bisa, lho. Kata siapa gak bisa."
"Iya, tapi minggu depan."
Lima detik lagi lampu berubah. Elvano sudah bersiap-siap menancap gas. "Demi kebaikan kamu. Kebanyakan mie itu gak bagus."
"Iya, Abang."
Dalam perjalanan, keduanya mengobrol ringan. Sesekali Elvano bertanya mengenai hari ini ketika Zanna di sekolah. Namun, sering kali Zanna malah bertanya mengenai gadis yang tengah digosipkan dekat dengan Elvano. Sebenarnya Zanna sendiri tak tau, hanya dengar dari Bang Danu atau teman Elvano lainnya saja ketika sedang main kerumah. Dan yang menyebalkan ketika Elvano menjawab. "Abang gak suka sama dia."
Ah, Zanna ingin segera melihat Elvano menggandeng pacarnya lalu dibawa ke rumah. Dari zaman kapan tau, seingat Zanna, Elvano tidak pernah membawa teman ceweknya kerumah. Kecuali, ketika menduduki bangku SMU, itupun hanya sekedar belajar kelompok.
Mengingat kala itu, Zanna jadi teringat akan sesuatu. "Bang, Kak Dewi kabarnya gimana?"
"Dewi?"
Zanna mengangguk kepalanya. "Iya, Kak Dewi. Cewek yang suka sama Abang itu loh."
"Gak tau. Gak peduli juga."
Tampang juga kedikan bahu yang tampak memang tidak peduli membuat Zanna menepuk dahinya. Prihatin akan Elvano yang masih saja terkesan tidak peduli akan lawan jenis. Tentu itu sudah terkecuali bunda serta adiknya.
"Kenapa emang?"
"Nggakpapa, sih."
Sebenarnya Zanna hanya ingin tau saja kabar gadis yang dulu sempat pernah dianggapnya akan menjadi calon kakak ipar. Baik hati, suka memberi, suka mengajak Zanna jalan-jalan, pengertian. Zanna suka heran pada Elvano yang masih saja kala itu tidak peduli akan rasa suka Dewi pada laki-laki itu. Padahal sudah tampak jelas jika gadis yang sering disapa Dewi itu menyukai Elvano. Zanna saja yang waktu itu masih duduk di bangku sekolah dasar bisa langsung jatuh hati. Sedingin itukah Elvano pada gadis-gadis di luar sana? Ah, mungkin memang iya.
Tepat, sesuai perkiraan. 8 menit kemudian, Zanna dan Elvano sampai di depan toko roti yang dituju. Mobil pinjaman Elvano sengaja diparkirkan di pinggir jalan bukan tempat parkiran. Sebab, memang hanya mengambil pesanan lalu bayar. Dan selesai.
Makanya dari itu Elvano menyuruh Zanna untuk menunggu saja di mobil.
"Gak mau. Mau ikut," rengek Zanna kala sudah membantah ingin ikut tapi malah semakin tidak diizinkan.
"Tunggu dulu di mobil. Cuma ngambil sama bayar habis itu selesai. Pulang," kata Elvano dengan suara khas-nya.
Zanna mengkerucutkan bibirnya. Tapi tetap mengangguk walaupun dengan berat hati.
Elvano tersenyum. "Tunggu sini." Bergegas pergi untuk mengambil pesanannya kala sudah mengucapkan dua kata tadi.
Ditinggalkan sendirian di mobil bukanlah suatu yang Zanna harapkan. Zanna hanya mendengus sebal tapi tetap diam. Lagi-lagi seperti itu. Tangannya langsung hendak mengambil ponsel yang tadi disimpan dalam saku baju seragam. Gerakannya terhenti seperti tengah dipause. Matanya tertuju pada satu fokus. Jacket milik Adinata masih melekat ditubuhnya. Zanna terdiam. Tangannya kembali pada semula. Menatap pemandangan luar dari kaca depan mobil. Perkataan dari Adinata sebelum ia tadi meninggalkan halte kembali teringang.
"Kalau diajak balikan sama Arlan, jangan mau."
Kala itu Zanna mengernyit tapi dalam hati terselip rasa sebal. Dengan gamblang Zanna berkata, "Ya siapa juga yang mau!" Diakhir terkesan ngegas tapi Adinata malah terkekeh.
"Jangan pernah mau mengulang kesalahan yang sama. Kesalahan itu diperbaiki bukan diulang."
Andai saja kala itu Zanna tidak malah terbengong. Ingin rasanya membalas begini, "lo kenapa sih?"
Sayangnya, setelah sadar dari keterbengongan, Zanna malah disuruh cepat-cepat menghampiri jemputannya.
Sangat menyebalkan, kini malah semua itu menjadi bahan utama yang ada dalam pikiran. Entah bagaimana dan mengapa kata-kata terus mengiang walau sudah berusaha diusir dengan mengalihkan perhatian. Kalimat yang bermaksud lain, Zanna yakin itu.
Tapi, siapa yang mau balikan sama Arlan?
Zanna bahkan tidak pernah berpikiran seperti itu. Hatinya sudah menolak keras kehadiran seorang Arlan kembali. Kepercayaan yang sempat Zanna percayakan ada laki-laki itu telah lenyap. Bahkan perasaannya pun ikut lenyap akibat kehancuran kepercayaan itu.
Mendadak itu semua buyar karena ketukan yang terkesan buru-buru. Zanna menoleh ke kiri untuk memastikan. Kening Zanna dibuat berkerut karena kaca jendela itu langsung menampilkan seorang gadis. Wajahnya begitu dekat dengan kaca membuat Zanna tak mengerti ada apa. Apalagi tatapan yang tampak marahnya itu membuat Zanna benar-benar tak mengerti. Zanna tak mengenal sosok itu tapi sosok itu terkesan tengah marah?
Ada apa sebenarnya?
Kejadian tak terduga lainnya, pintu mobil dibuka dan Zanna diseret keluar dengan tidak sopan. Zanna hanya diam membeku kala itu. Otaknya seakan kalah akan rasa bingung yang semakin menjadi.
"Lo siapa?!!!"
Dua kata bernada tinggi itu menyapa telinga Zanna membuatnya sedikit meringis. Hendak menyahut sopan karena didepannya tampak lebih tua, tapi belum juga melaksanakan. Sosok gadis itu kembali berucap marah.
"Jawab!!! Lo siapa?!!!"
Zanna sungguh malu. Menjadi pusat perhatian adalah hal yang tak pernah Zanna inginkan.
"Jawab!"
Nada itu semakin tinggi. Zanna sampai menutup matanya karena terkejut. Rasanya ingin menangis. Zanna berusaha melawannya. "Mbak, sebentar. Saya sebelumnya gak----"
"Ngapain di mobil cowok gue?!"
Perkataan Zanna dipotong begitu saja.
Zanna hendak berucap membantah. Namun, lengannya sudah dicengkeram erat oleh gadis itu. "Selingkuhan, kan, lo?!"
Zanna merasa orang-orang yang menyaksikan semakin banyak. Ingin melawan tapi apakah tindakan Zanna akan dibenarkan? Di depan umum?
Hingga ada yang datang dan menjauhkan gadis itu dari Zanna. "Sabar, Mbak. Kalau ada apa-apa selesaikan dengan baik-baik," ucapnya. Dia adalah seorang laki-laki yang sepertinya sudah menginjak kepala dua.
Gadis tadi malah menggeram kesal. Matanya masih memancarkan kemarahan yang Zanna sendiri tak tahu alasannya.
"Dia itu selingkuhan, Mas! Selingkuhan pacar saya!"
Ada lagi yang mendekat. Nafas Zanna mulai tak beraturan. Rasa kesal dan ingin menangis jadi satu. Kebiasaan Zanna jika kesal tapi tak bisa ia lampiaskan. Akhirnya hendak menangis.
"Ada apa ini?!"
Suara Elvano terdengar. Malah membuat setetes air mata Zanna jatuh dari tempatnya. Zanna memalingkan wajah ke samping agar tidak dilihat Elvano dan yang lainnya.
"Loh Elvano?" Tak melihat, tapi dari nada bicara gadis tadi seperti terkejut. Zanna menoleh kearah gadis itu setelah air matanya dihapus cepat. Tatapan Zanna langsung jatuh pada Elvano yang sudah tepat berdiri di sampingnya.
Mimik wajah Elvano tampak langsung berubah. Zanna tersenyum sembari menggeleng kecil. Seakan memberitahu pada Sang Kakak bahwa ia tidak apa-apa.
"Ngapain lo pake mobil cowok gue? Danu mana?" Nada itu sudah terkesan biasa.
"Mas, Mbak. Kalau ada masalah tolong diselesaikan baik-baik," ucap laki-laki tadi. Elvano mengangguk dan mengucap kata maaf pada orang-orang sekitar.
Orang-orang tadi akhirnya menjauh dan pergi. Tapi rasa malu Zanna masih juga ada. Kejadian tak terduga tadi langsung berseliweran di kepalanya. Seakan tak mau untuk begitu saja dihilangkan.
Menatap sebentar gadis tadi yang kini tengah juga menatapnya dengan tatapan tampak bersalah. Sayangnya, Zanna tak peduli dan langsung memasuki mobil. Mengabaikan tatapan Elvano yang mengarah kepadanya. Mengabaikan pula apa yang dikatakan Elvano pada gadis itu. Yang Zanna tau, gadis tadi tampak berkaca-kaca sebelum akhirnya pergi.
Zanna tak peduli. Tak mau peduli. Matanya tertutup rapat-rapat. Berusaha menenangkan diri sembari mengeratkan jacket yang masih membalut tubuhnya.
"Jangan dipikirin."
Andai dua kata itu mudah Zanna lakukan. Andai dirinya bukan tipe orang pemikir. Pasti rasa pusing tak mendadak menghampirinya. Andai dan hanya andai.
#####
Zanna keluar dari mobil lebih dulu. Mengabaikan Elvano yang memanggilnya. Langkahnya terus menuntun untuk maju dan memasuki rumah. Kejadian yang cukup memalukan bagi Zanna masih membekas dalam ingatan. Cap pelakor yang terselip dari maksud kata selingkuhan itu masih terngiang. Walau Zanna tidak seperti itu, tapi pasti ada beberapa yang salah paham kala melihat tadi. Apalagi Zanna malah diam dan tak berusaha menjelaskan. Andai waktu bisa diulang, Zanna akan lebih berani lagi untuk melawan. Andai kejadian itu tidak di depan umum, pasti mulut Zanna sudah membantah keras. Dan andai gadis tadi tidak lebih tua darinya, Zanna tidak akan berpikir mengenai sopan santun lagi.
"Weh adik gua balik."
Zanna mendongak kala mendengar suara Banyu. Pintu rumah sudah tinggal tiga langkah lagi, tapi kehadiran Banyu kini menghalanginya. "Minggir!"
Banyu mengernyit mendengar nada dari suara Zanna. Jika dilihat-lihat, wajahnya tampak lelah. Banyu langsung menoleh ke belakang, menatap Elvano untuk mencari tau. Elvano mungkin memang tak berucap, tapi Banyu dapat menangkap perkataan laki-laki itu melalui gerakan bibirnya.
"Biarkan masuk."
Banyu menangkapnya seperti itu. Membuat Banyu bergeser untuk memberi jalan Zanna.
Kebingungannya bertambah kala Zanna hanya masuk dan diam. Biasanya langsung berteriak mengucap salam dan memanggil Sang Bunda. Elvano mendekat, Banyu langsung bertanya. "Tuh bocah kenapa, Bang?"
"Ada sedikit masalah. Kesalahpahaman." Jawaban itu tak menyurutkan kebingungan Banyu. Malah kini ditambah dengan rasa penasaran juga sedikit kekhawatiran. "Danu mana?" tanya Elvano.
"Tadi pergi pake motor lo."
"Kemana?"
"Gak tau deh mau kemana. Itu abang gak bilang sama gue. Izin sama pamitnya aja sama Bunda. Padahal baru gue tinggal mandi bentar. Dah ilang aja."
Mendengar penjelasan dari Banyu membuat Elvano menghembuskan nafasnya berat. Hal itu diperhatikan oleh Banyu. "Ada masalah apa sih?"
"Kesalahpahaman."
Masuk begitu saja setelah mengucapkan kata itu. Banyu gemas. Dan berujung penasaran sekarang.
Dalam hatinya, sebagai seorang Kakak juga ingin tau apa yang terjadi pada Zanna.
Ada yang salah?
Menurut Banyu, tidak.
Menyebalkan!