Jam dinding di kamar Adinata sudah menunjukkan pukul sembilan lebih dua belas menit. Adinata pulang dari rumah Abimanyu sekitar sepuluh menit yang lalu. Langsung membaringkan tubuhnya setelah tadi sempat berganti pakaian dan bersih-bersih di kamar mandi. Jika Bunda Singa itu tidak meneleponnya, mungkin Adinata masih berada dirumah Abimanyu. Bermain play station baru milik Abimanyu. Tak mengingat lagi bahwa esok masih sekolah. Untung saja untuk mapel esok hari tidak ada pekerjaan rumah yang ditinggalkan.
Adinata menatap ponselnya. Chat iseng yang dikirimnya kepada Zanna beberapa menit lalu tak kunjung mendapat apa-apa. Tandanya terlihat masih sama, centang satu. Seorang Zanna Faranisa tidak punya kuota atau bagaimana? Jelas itu membuat harga diri Adinata terusik. Apalagi pesan yang dikirimkan sudah tidak dapat ditarik kembali. Dan itu malah yang membuat Adinata tak bisa tertidur seperti biasanya. Rasa penasaran akan balasan dari gadis itu lebih kuat sehingga mengalihkan rasa kantuk yang biasanya sudah menyapa. Adinata sampai bolak-balik posisinya dari terlentang hingga tengkurap. Tangan gatal ini menghapus pesan dan menariknya. Tapi apalah daya, nasi sudah menjadi bubur. Penyesalan memang selalu datang belakangan.
Ini pertama kalinya Adinata mengirimkan pesan kepada Zanna dengan awal yang menggunakan kata hai. Sebelumnya Adinata hanya mengirim pesan kepada gadis itu jika terpaksa saja. Bukan Adinata tidak mau meng-chat duluan. Tapi rasanya berbeda, Adinata lebih suka melihat berbagai ekspresi Zanna secara langsung. Jika ia meng-chat, jelas tidak bisa Adinata melihat mimik wajah gadis itu. Membuat Adinata penasaran dan malah tidak bisa tidur. Tidak mungkin kan Adinata ke rumah Zanna hanya untuk hal sepele semacam itu? Mau ditaruh dimana muka Adinata Neandro nanti!
Namun, hal itu seakan teralihkan kala mendapatkan panggilan masuk melalui aplikasi WhatsApp. Nama serta profil yang terpampang membuat Adinata tak sabaran untuk menerima.
"Hai, Penggemar Cokelat yang cantiknya minta ampun."
Terdengar antusias, Adinata bahkan tersenyum lebar walaupun disebrang sana tak dapat melihatnya. Adinata terkekeh kala mendapat peringatan dari seberang. Memperingatkannya untuk mengucap salam terlebih dahulu. Adinata patuh, mengucap salam setelah mendapat teguran.
Posisi tengkurap kini menjadi terlentang. Guling yang sedaritadi ia dianggurkan kini sudah masuk dalam dekapan. Dipeluk erat, semakin erat kala mendengar suara tawa dari seberang. Adinata sangat merindukan sosok itu. Sudah beberapa bulan baik Adinata maupun sosok disebrang sana tak saling bertemu. Hal tersebut membuat seorang Adinata semakin kesal pada jarak yang seharusnya tak menjadi pemisah bagi ia dan sosok diseberang sana. Cuplikan di masalalu berputar begitu saja membuat Adinata tak tahan untuk tidak tersenyum. Membiarkan sosok disana bercerita panjang lebar dengan antusiasnya.
Bagaikan adegan dalam sinetron yang menayangkan kejadian di masalalu. Kenangan Adinata bersama sosok itu di suatu jalan kota Semarang. Menjadi fotografer dadakan demi sosok itu ia rela lakukan kala berwisata di kota Semarang. Banyak yang mereka kunjungi, namun Adinata tak mengeluh lelah. Rasanya sudah terbayar kala mendapat seulas senyum manis dari sosok itu. Sosok yang selalu ia kagumi.
Tak tahan lagi, Adinata mengubahnya ke panggilan Videocall. Mengabaikan ketidaksetujuan dari sosok di seberang sana. Adinata menggulum senyumnya kala panggilan Videocall itu diterima dengan cepat. Tangannya spontan melambai di depan camera. Seperti anak kecil memang, namun Adinata tak menghiraukannya. Hanya di depan sosok itu, sikap Adinata kecil muncul.
Adinata bahkan lupa bahwa ia tadi tengah menunggu balasan dari seseorang. Satu notifikasi masuk dari yang ditunggunya. Adinata mengabaikannya padahal tau jelas ada notifikasi masuk. Memilih fokus pada objek yang terpampang jelas di layar ponsel.
Adinata bahkan lupa akan rasa penasaran balasan dari pesannya itu. Sosok di seberang sana berhasil mengalihkan perhatian Adinata.
#####
"Abang."
Zanna melambaikan tangan pada Banyu, kakak keduanya. Segera menghampiri setelah berpamitan lagi pada Camelia yang masih menunggu di ambang pintu utama.
Zanna mencebik kala Banyu melakukan kebiasaannya. Rambutnya yang habis ia sisir menggunakan milik Camelia tadi jadi berantakan lagi. Banyu malah terkekeh membuat Zanna semakin kesal. Zanna menoleh cepat ke arah Camelia, memastikan apakah gadis itu masih menunggunya sampai benar-benar pulang atau sudah masuk ke dalam. Tak ada disana, pintu utama sudah tertutup. Zanna mengedikan bahunya tak peduli. Pasti itu bocah mau lanjut Videocall bersama sang pacar, pikir Zanna.
Bahagia sekali Zanna tadi kala bisa mengganggu orang lain yang tengah kasmaran. Sayang sekali, Angela pulang lebih dulu. Jika ia ada partner pasti akan lebih seru. Menganggu waktu Camelia bersama sang pacar ternyata menyenangkan juga. Bukan maksud Zanna menjadi pelakor, bukan. Itu hanya keisengan semata. Bukan karena yang lain. Hanya saja geli sendiri kala nada bicara Camelia menjadi manis dan manja ketika tengah berbincang dengan sang pacar. Sangat kontras saat bersama dengan dua sahabatnya. Kegalakan dan ketomboy-annya keluar. Tak peduli lagi mengenai image. Maka dari itu Zanna senang menganggu Camelia. Tapi jika dipikir-pikir, Camelia tidak pantas berbicara dengan nada manja seperti tadi. Zanna malah baru tau Camelia bisa menjadi gadis kalem walau hanya sesaat.
Sementara Banyu dibuat mengernyit melihat Sang Adik yang tengah melamun. Mata Zanna sampai tak berkedip dan tubuh gadis itu masih berdiri ditempat yang sama. Padahal Banyu sudah menaiki motornya serta telah menggunakan helm. Banyu menjawil adiknya. "Malah bengong. Mau pulang gak?" tanya Mas Banyu.
Zanna tersentak. Tersadar dari lamunan atas kejadian beberapa menit yang lalu. Banyu menyerahkan helm yang lainnya. Zanna menerima tanpa protes. Biasanya Zanna akan protes jika helm itu tidak berwarna merah muda. Zanna memiliki helm sendiri yang beberapa bulan lalu baru dibelikan oleh Bunda. Zanna memintanya karena ia sudah mulai belajar naik motor.
Tak menunggu lama, Zanna sudah naik dan duduk diboncengan. Memegang jaket kulit Banyu seperti biasa kala membonceng. Banyu juga hanya membiarkan. Bahkan malah sekalian menyuruh Zanna memeluk laki-laki itu dari belakang. Zanna jelas tidak setuju. Sangat menggelikan walaupun itu dengan kakak kandung sendiri. Masih membayangkannya saja sudah membuat bulu kuduk Zanna menjadi merinding. Apalagi kalau Zanna benar-benar melakukannya. Ah, menggelikan.
"Bang, Abang. Nanti mampir ke supermarket dulu ya. Yang deket sama rumah gakpapa. Yang ada di pinggir jalan raya sebelum lewatin SMA abang juga gakpapa. Terserah yang mana. Tapi pokoknya harus ke supermarket." ucap Zanna sedikit keras. Tubuhnya sudah condong ke depan tapi suara tetap masih dikeraskan. Zanna takut kalau Banyu tak mendengarnya dan nanti malah melewati begitu saja tempat yang ingin ia datangi sebentar itu. Atau mungkin nanti malah berhenti mendadak karena Zanna yang spontan berteriak kala hendak melewati. Berbicara terlebih dahulu dengan seseorang yang tengah mengendalikan kendaraan roda dua itu jauh lebih aman.
"Mau ngapain?" jawab Banyu dengan bertanya balik.
Zanna hampir tidak mendengarnya karena bisingnya yang ditimbulkan kendaraan lain. Sudah keluar gang rumah Camelia membuat mereka mulai berada di jalan raya.
"Ada pokoknya. Anak laki-laki gak boleh tau," sahut Zanna. Udara malam yang terasa menenangkan bagi Zanna membuat ia tersenyum kecil. Angin yang menerpa wajahnya dan pemandangan sekitar. Zanna menikmatinya.
Banyu masih fokus pada jalanan. Tapi otaknya sudah menebak apa yang dimaksud Zanna. Dengan sifat jahil yang tak bisa dijauhkan dari nama seorang Banyungga Dewa, laki-laki itu berucap lancar tak ada beban. "Roti Jepang ya? Mau dong."
Mendengar itu Zanna langsung histeris sendiri. Memukul punggung Banyu dengan keras secara spontan. "Abang!"
Banyu tertawa mendengar respon sang adik. Pengendera lain sampai dibuat menoleh karena itu. Zanna yang sadar langsung terdiam. Menundukkan kepalanya sembari menggerutu kesal. Zanna sebenarnya itu seorang yang pemalu, tau!
"Kamu mau beli, kan? Abang mau pesen juga dong."
Seakan belum puas, Banyu masih saja menggoda membuat Zanna mencubit pinggang laki-laki itu. Banyu sampai meringis. Masih untung tidak sampai oleng. Ketahuilah, cubitan Zanna itu ganas dan terasa panas setelahnya. Banyu sudah menjadi korban gadis itu entah keberapa kalinya. Tapi sangat ampuh, Zanna menjadi senang. Banyu jadi terdiam. Cubitannya memang bisa diandalkan.
Tiga menit kemudian mereka sudah sampai didepan supermarket. Zanna langsung melepaskan helmnya lalu segera turun dan meminta
Banyu untuk menunggu sebentar. Banyu hanya mengangguk sembari memajukan motornya untuk mengisi tempat yang ada didepan. Setelah helm dititipkan pada Banyu, Zanna bergegas masuk ke dalam supermarket. Banyu tadi sempat pesan sesuatu sebelum sampai di tempat tujuan. Zanna berusaha mengingatkannya kembali. Lupa karena tadi keasikan menikmati pemandangan sepanjang jalan.
Berada di deretan makanan kesukaannya membuat Zanna bingung sendiri. Mau beli semua itu jelas tidak mungkin. Bisa kena omel semua orang rumah nanti. Zanna tak segera memutuskan, ia malah mengambil ponselnya yang berada di dalam sling bag. Menghidupkan data internetnya. Zanna masih biasa saja. Namun detik berikutnya, Zanna mengerutkan keningnya, tak mengerti. Ada satu notifikasi dari nama Adinata menyempil diantara notifikasi lainnya. Membuka lalu membacanya. Kerutan di dahi itu semakin menjadi kala Zanna membaca chat tersebut. Merasa aneh, tapi Zanna tetap membalasnya.
Begini balasan dari Zanna.
What?
Disertai stiker bertuliskan kata apa yang diikuti tanda tanya.
Tanda kirim pesan sudah Zanna tekan. Pesan pun terkirim secara otomatis.
Entah mengapa status online itu tapi tak kunjung tandanya berubah menjadi centang dua biru membuat Zanna kesal sendiri. Ah, Zanna lupa. Adinata itu satu tingkat lebih rendah dari Arlan bagi seorang Zanna Faranisa. Jelas pasti masih sibuk membalas chat dari cewek-ceweknya. Mengumbar kata manis dimana-mana tapi mengakui mereka hanya sekedar teman. Zanna tidak percaya. Tampang-tampang macam Adinata Neandro itu patut dicurigai sebagai playboy cap kakap. Tak peduli lagi, Zanna memasukkan ponselnya kembali ke dalam sling bag tanpa mematikan data internet. Memperhatikan lagi baik-baik mana yang akan ia beli. Tak sadar ada notifikasi baru saja masuk.
#####
Zanna tersenyum sembari menenteng sekantong plastik dari supermarket tadi. Meletakkan sandalnya pada rak plastik khusus sepatu dan sandal yang berada di pojok dekat pintu. Melangkah masuk, tak lupa mengucapkan terimakasih pada Banyu karena sudah membukakan pintu terlebih dahulu. Banyu hanya mengangguk sebagai balasannya.
"Besok kamu masih sekolah, gak lupa, kan?"
Suara berat itu terdengar membuat Zanna mendengus. Langkahnya sudah semaksimal mungkin ia pelankan. Zanna pastikan sudah tak menimbulkan suara. Memang benar kata Banyu, Kakak pertamanya itu memang hebat. Peka luar biasa.
Banyu yang sedaritadi mengekori dan ikut melangkah pelan-pelan itu tersenyum geli. Sudah menduganya. Walaupun Sang Kakak duduk menghadap televisi dengan posisi yang berarti memunggungi mereka. Tetap saja peka akan pintu yang terbuka atau tertutup.
Banyu mendekati Zanna lalu berbisik dengan nada mengejek, "harusnya tadi abang kasih tau, ya. Gak akan berhasil rencana kamu."
Jika tadi Zanna mendengus kini mencebik. Hendak menabok Banyu tapi laki-laki itu keburu pergi dan bergabung dengan kakak pertama mereka, Elvano Bagasditya.
"Bunda kemana, Bang?" tanya Banyu setelah duduk di sebelah kiri Elvano. Menyadari jika ia tidak melihat keberadaan Bunda yang biasanya masih menonton acara televisi.
Zanna yang juga baru bergabung jadi celingukan. "Udah tidur, Bang?"
Elvano mengangguk tanpa mengalihkan perhatiannya dari acara televisi yang tengah menayangkan siaran langsung sepak bola. "Tadi katanya pusing jadi abang saranin buat tidur aja."
Zanna duduk di sebelah kanan. Ikut memperhatikan acara televisi, hanya sebentar karena Zanna tidak begitu suka acara sepak bola. "Udah minum obat?" Zanna meletakkan belanjaannya ke atas meja. "Enggak mau katanya. Tau sendiri Bunda kalau cuma pusing gak bakal mau disuruh minum obat," jawab Elvano.
"Eh, Bang. Gue pergi bentar, ya."
Elvano langsung menoleh kearah Banyu. Laki-laki itu menyengir kala Elvano melirik jam dinding. "Tau sudah jam berapa?" Banyu mengangguk sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Benar juga kata Zanna. Aura kebapakan Elvano kuat juga ternyata jika sudah dalam keadaan seperti ini. Banyu saja mungkin yang baru menyadarinya. "Tau. Janji deh gue pulang sebelum jam sebelas."
"Lama amat sampe jam sebelas."
Banyu langsung melotot kearah Zanna yang baru saja berucap. Gadis itu malah mengedikan bahunya tak acuh. Lalu pandangannya kembali kearah Elvano. "Ya, Bang?" ucap Banyu memelas.
"Jam sepuluh pulang. Setengah jam lebih lima menit lagi sudah harus sampe rumah," tegas Elvano membuat Banyu mau tak mau menuruti daripada nanti malah repot. Urusan tepat waktu sampai rumah itu gampang, begitu pikir Banyu.
"Jangan bolehin, Bang. Mau balapan itu."
Banyu mendelik tak terima. "Boong banget. Jangan percaya. Gue mana pernah ikut balapan. Itu tuh Zanna beli mie pedes lima, Bang. Udah dilarang tetep aja dibeli," adunya kemudian.
Zanna jadi gelagapan. Elvano mengalihkan pandangannya ke arah Zanna. "Bener?"
Belum juga menjawab, Banyu sudah menyerobot. "Marahin aja, Bang. Marahin aja. Sebagai kakak yang baik hati gue ikhlas adik gue dimarahin. Udah ya, gue pamit. Assalamualaikum!" Setelahnya Banyu melarikan diri. Padahal Zanna sudah siap melayangkan tabokan maut.
"Waalaikumsalam." Elvano geleng-geleng kepala melihat adik laki-lakinya yang hampir menginjak usia 22 tahun itu masih saja kekanakan.
Kemudian beralih lagi pada Zanna. "Mana mie nya?"
"Ehm itu di plastik."
Elvano mengangguk dan langsung mengambil sekantong belanjaan Zanna.
"Bang, Zanna beliin Abang Vano jajan loh. Dua jajan besar. Ambil aja. Gakpapa."
"Makasih. Tapi tetep mie-nya abang sita. Seminggu hanya boleh makan 1 kali mie."
Ileran deh Zanna. Sudah terbayangkan bagaimana rasanya makan mie itu. Sayang, tak jadi kenyataan dalam waktu dekat ini.