Chereads / Ada Cerita / Chapter 5 - Sesuatu Yang Manis

Chapter 5 - Sesuatu Yang Manis

Zanna mengumpat kesal kala melihat pemandangan Adinata tengah berduaan dengan seorang siswi kelas sebelas. Berdiri di dekat pintu dengan posisi Adinata yang secara langsung bisa melihatnya. Mulut yang mulai meluncurkan kata-kata gombal serta pujian pada gadis itu membuat Zanna merinding. Entah sengaja atau tidak, yang pasti Zanna merasa Adinata memang sedikit mengeraskan suaranya. Jijik sendiri membayangkan apabila Zanna berada posisi gadis itu.

Tapi, kenapa pula pikiran itu muncul, pikir Zanna. Langsung ditepis segera. Dasar kembarannya Arlan!

Rasanya Zanna ingin sekali menendang Adinata saat itu juga. Sekalian ingin mempermalukan laki-laki itu jika Zanna berhasil melancarkan aksinya. Namun, berhubung ada sosok Arlan yang menuju kearahnya membuat hal itu menjadi urung. Zanna malah ingin segera melarikan diri.

Langkah Arlan yang semakin dekat dan senyum yang ditampilkan laki-laki itu membuat Zanna buru-buru berbalik badan. Bukan karena terlalu percaya diri, tapi bau-bau minta balikan bertambah kuat saat Arlan akhir-akhir ini kembali mengusik hidupnya.

Sayang, belum juga langkah pertama Zanna. Adinata memanggil, membuat Zanna menyatukan giginya, gemas dalam tanda kutip. Zanna yang sudah tak peduli dan terlalu kesal tanpa menoleh langsung saja pergi menghampiri Angela yang baru keluar kelas. Mengapit lengan gadis itu dan dibawa kabur.

Angela yang tak siap apalagi laju jalannya semakin cepat, langsung melayangkan protes tanda tak terima sekaligus bingung. "Woy! Mau dibawa kemana gue! Kantin sebelah kanan, Zanna. Napa lo bawa gue ke sebelah kiri!"

Zanna mengisyaratkan pada Angela untuk tidak banyak bicara. Angela mencibir. "Udah diem. Ke koperasi aja jajannya." Zanna melepaskan tangannya sembari menoleh sebentar ke belakang. Tersenyum kala ada teman yang menyapa.

Sementara Angela cemberut. Tapi tetap beriringan dengan Zanna. "Koperasi mahal tau. Seribu cuma dapet sosis. Walaupun gue kaya tapi lebih suka yang murah-murah, Na. Mengertilah," ucapnya.

"Yang kaya itu emak bapak lo. Lo tuh masih gembel," sahut Zanna santai tanpa melihat ekspresi Angela yang semakin cemberut. Zanna tak peduli dan malah menoleh sebentar ke belakang kembali. Saat sudah pandangan ke depan lagi. Otaknya mulai memikirkan sesuatu. Arlan berhenti dan tengah seperti berbincang dengan Adinata. Dalam kepala Zanna, ada pertanyaan yang sebenarnya membutuhkan jawaban.  Mereka membicarakan apa?

Angela yang tak tau apa-apa karena tadi tengah menunduk dan langsung ditarik, seperti orang polos. Menggaruk dahinya yang tak gatal. Melihat Zanna yang sudah dua kali menoleh ke belakang membuat rasa penasarannya muncul. Balasan akan ucapan Zanna sebelumnya sudah hilang.  "Lo kenapa sih?" Belum saja Angela sempat menoleh ke kebelakang. Kepalanya langsung dikembalikan lagi menghadap ke depan oleh Zanna. Itu yang membuat Angela malah semakin penasaran. "Ih kenapa sih?"

Zanna menggeleng. "Bukan apa-apa. Hari ini lo mau gue traktir."

Angela langsung sumringah. Menyengir dengan binar mata cerah. "Beneran?" Zanna mengangguk. "Sejak kapan gue bohong?

Angela berpikir sebentar. Lalu membalas. "Entahlah. Tapi sering, sih."

Zanna menyentil pelipis Angela sedikit keras membuat Angela kembali cemberut. "Enak aja!"

"Mau gak?"

Tapi kali ini hanya sebentar. "Mau!"

"Yaudah."

Angela langsung memimpin jalan di depan. Zanna melihat itu terkekeh, geli.

"Ngaku aja orang kaya. Traktiran masih doyan ternyata."

"Yang kaya emak bapak gua. Lo sendiri yang bilang."

Tawa Zanna pecah. Angela mencebikkan bibirnya. Namun tawa Zanna langsung lenyap kala ia mendadak menjadi pusat perhatian. Menggaruk tengkuknya salah tingkah sembari menyusul langkah Angela yang semakin cepat.

Sementara masih berada di sekitar kelasnya, Adinata berhasil menghentikan langkah Arlan yang hendak menyusul Zanna lagi.

"Lo ngebet banget balikan sama mantan? Cewek lo banyak, bro. Pacarin aja mereka. Gak usah repot-repot ganggu mantan."

Arlan mengernyit. "Masalahnya apa sih sama lo? Ikut campur mulu. Mending urus cewek lo," ucap Arlan sembari menunjuk gadis yang baru saja masuk ke kelas kembali. Gadis yang tadi berbincang sebentar dengan Adinata.

Suasana koridor yang ramai tak membuat keduanya bubar. Teman-teman Adinata juga malah menunggui di dalam kelas sembari dangdutan.

"Sayangnya, tadi bukan cewek gue. Gimana dong?"

Arlan tersenyum miring. "Yakin? Lo tuh sama aja kayak gue, Nat. Jadi jangan sok di depan gue."

Senyum miring itu dibalas senyuman tipis. "Beda dong. Gue bukan laki-laki yang malah mutusin ceweknya waktu dia udah ketauan punya cewek banyak," jawabnya tak ada emosi sama sekali. Kebalikan, Mas Bro!

Setelahnya, Adinata pergi meninggalkan Arlan yang kesal ditempat karena perkataannya bisa jadi didengar siswa-siswi lain.

Tidak hanya di lapangan, dalam hal seperti ini ternyata seorang Arlan memang mengesalkan.

Bagaimana bisa seorang Adinata dan Arlan itu sama?

Adinata jelas tak terima. Beda, jelas beda! Adinata tak sebrengsek Arlan!

#####

Peluh di dahi serta bibir yang kepedasan milik gadis cantik berbandana merah membuat seorang laki-laki menggelengkan kepala. "Mau sampai kapan bandelnya?" ucap laki-laki itu sembari menggeser minuman dingin miliknya pada gadis cantik tadi.

Si gadis cantik yang memiliki arti nama seorang putri akan selalu dicintai, hanya menyengir tapi tetap melanjutkan makannya setelah minum dua kali teguk. Mabella Putri namanya. Gadis cantik yang sering dipanggil Bella itu merupakan pacar dari salah satu anggota dari tim basket angkatan kelas 12.

"Eeeeh.... Sam, kok diambil sih!" Bella memprotes. Sam, yang maksudnya adalah Samudra itu hanya tersenyum lalu berdiri sembari membawa mangkok yang berisi kuah penuh saos dan satu bakso kecil. Bella segera mencegah saat Sam hendak melangkah lagi. "Mau kamu kemanain? Itu bakso aku belum habis. Kuahnya juga masih banyak."

Bella kekeh hendak merebutnya walau berkali-kali sudah dijauhkan. Sam berdecak pelan. "Jangan batu. Sekali-kali nurut sama pacar." Bella merengut sebal tapi patuh dan kembali duduk. "Aku gak mau kamu sakit lagi kayak minggu lalu gara-gara makan pedes terus," ucap Sam.

"Tapi itu masih satu baksonya. Mubazir tau. Aku makan sini." Bella berusaha meraihnya lagi. Sam mendelik penuh peringatan. "Baksonya aja yang dimakan. Janji!"

Sam tau nanti kejadiannya tidak akan seperti itu. Bella pasti juga akan menghabiskan kuahnya. Dan alasan Bella pasti adalah 'karena khilaf'. Sam sudah hafal. Dan bakso kecil itu akhirnya masuk dalam mulut Sam. Dimakan laki-laki itu dengan lahap membuat Bella menelan ludahnya.

Bibirnya melengkung kebawah. Bella menatap Sam dengan wajah melas. "Kok dimakan," rengeknya seperti anak kecil hendak menangis.

Sam hanya mengedikan bahunya lalu segera pergi. Hal itu membuat Bella semakin sedih. Dalam hatinya, "Bakso aku!"

Bella menyambar botol minuman tadi dengan kasar. Meminumnya dengan emosi karena masalah bakso barusan.

Ih mending tadi gak usah ke kantin sama Sam.

Masih meminum seperti orang kehausan sembari lanjut membatin.

Tau gitu mending ke kantin sama temen-temen.

Mana masih pengen lagi. Malah mau nambah tadi.

Bella hampir saja menyemburkan air minum itu ke depan jikalau mulutnya tidak cepat-cepat mengantup rapat. Tepukan dibahunya membuat kekesalan Bella meningkat. Menoleh cepat untuk mencari tau. Bella mendengus kala yang didapati adalah salah satu temannya.

Pelakunya kini malah cengingas-cengingis dan langsung duduk di hadapan Bella.

"Untung gak nyembur," kesal Bella. Meminum minumannya sekali lagi sebelum akhirnya botol ditutup rapat.

"Ayunda kemana?" tanya Bella pada Lolita, gadis yang jail padanya tadi. Pandangannya tak bisa untuk tidak teredar mencari keberadaan gadis yang bernama Ayunda. "Ke kantin sama dia, kan, kamu?"

Lolita mengangguk, tepat saat Bella yang kembali menoleh kearahnya. "Awalnya sih gitu. Tapi Ayu tadi ada urusan dulu sama anak sebelah. Gue tungguin agak lama sampai tadi sempet gabung sama geng Ratu tapi tetep aja gak dateng-dateng. Siomay gue udah sampai habis. Yaudah gue samperin lo daripada lama-lama sama geng itu," jelas Lolita.

Bella hanya menanggapinya dengan ber-oh-ria. Gantian Lolita yang celingukan. "Pacar lo mana?"

"Entah. Ilang paling," sahut Bella asal. Jangan lupakan mengenai kekesalan Bella karena masalah bakso tadi.

Lolita mengernyit mendengar ucapan Bella.

Dering tanda ada notifikasi masuk mengalihkan perhatian keduanya. "Ponsel kamu bunyi tuh."

"Bukan, gue gak bawa ponsel. Gue tinggal di kelas tadi. Ponsel lo kali, Bel."

Bella langsung mengecek ponselnya yang berada di saku baju seragam. Mengernyit kala ada satu notifikasi dari nomor yang sangat familiar dalam ingatan Bella.

"Siapa?"

"Adinata."

Bertompang dagu sembari masih menatap Bella yang mulai mengetik sesuatu. Jari-jari gadis itu mulai menari-nari dengan lincah diatas layar ponsel. Sudut bibir Bella juga sesekali terangkat membuat Lolita gatal untuk berucap, "Lo yakin gak baper sama dia?"

Bella diam. Masih sibuk menyelesaikan pesan balasan untuk nomor pengirim pesan itu. Baru menatap Lolita setelah pesan balasan itu terkirim. Ponselnya Bella simpan diatas meja. "Apa?" tanyanya karena tadi kurang fokus dan berakhir tidak menangkap apa yang dikatakan Lolita.

"Lo gak baper sama sahabat lo itu? Secara dari cerita lo kayaknya dia sweet banget."

Bella menggeleng mantap sembari tersenyum. "Gak dong. Dia itu udah kayak saudara aku. Gak ada kata baper. Lagian juga ya, aku udah punya pacar."

"Yakin?"

Senyumnya melebar membuat mata Bella menyipit. "Yakin."

Lolita tak berucap lagi karena sosok Sam yang mulai menghampiri keduanya.

#####

Cuaca memang tak bisa ditebak. Semua memang adalah kehendak Sang Pencipta. Jika tadi siang masih panas, mungkin saja sorenya akan turun hujan. Seperti sore ini, hujan turun dengan deras.

Zanna terjebak di sebuah halte yang tak jauh dari sekolah karena hujan. Ekstra kurikuler pada hari kamis yang selalu diikutinya membuat Zanna pulang sore. Angela telah pulang duluan bersama Pras. Zanna ditinggal begitu saja oleh pasangan itu. Menyebalkan, memang. Tapi Zanna biarkan saja. Jika marah atau protes, salah satu diantara mereka pasti akan menyahut begini, "Makanya punya pacar."

Keinginan Zanna untuk tidak mau memiliki pacar dulu karena ingin fokus pada sekolah membuatnya masih betah menjomblo.

Sering kali pula Angela serta Camelia tidak percaya mengenai alasan Zanna. Dan malah menyimpulkan yang lain.

"Halah paling juga gak mau pacaran karena trauma."

Begitu jika kata Camelia.

Zanna tak bisa mengelak karena itu juga tak salah. Itu menjadi salah satu alasannya.

Hujan tak kunjung reda. Belum ada tepat pukul 5 sore tapi langit sudah agak gelap karena hujan. Zanna berkali-kali dibuat mengusap kedua tangannya untuk mencari kehangatan. Hanya ada dirinya di halte tersebut.

Sudah sekitar lima belas menit Zanna di sana. Dan sudah sekitar lima menit yang lalu, Zanna mengirimkan pesan pada abang-abang agar dijemput. Yang langsung di sanggupi oleh Elvano, Kakak pertamanya.

Lama-kelamaan, hujan yang jatuh pada bumi serta bau tanah basah menuntun Zanna untuk terhanyut. Melamun, menghadirkan sekelebat bayangan kejadian pada masa lalu.

"Ayah, hujannya delas banget," ucap Zanna kecil yang waktu itu masih duduk dibangku kelas satu sekolah dasar. Huruf 'r' saja masih dibaca 'l'.

Ayah Zanna hanya tersenyum sembari menatap putrinya yang berada dalam gendongan. "Anna takut sama hujan?"

Zanna kecil menggelengkan kepalanya. Tangannya mengadah untuk menyambut air hujan yang akan menyentuh kulit. Zanna kecil tertawa kala Ayah malah membawanya mendekati hujan. Namun tetap tidak keluar dari zona koridor. "Anna gak takut hujan, Ayah. Tapi nanti kalau hujan-hujanan baju Anna bisa basah," ucap Zanna waktu itu dengan wajah polosnya membuat Ayah gemas. Tidak tahan untuk tidak mencubit gemas pipi gadis kecil itu.

"Anna akan selalu menjadi putri kecil ayah."

Zanna kecil itu menoleh sembari mengerjab. "Tapi Anna memang masih kecil, Ayah."

Perlahan Zanna tertarik dalam dunia nyata. Lamunan itu lenyap. Tapi ingatan mengenai masa kecil masih berseliweran di kepalanya.

"Putri kecil."

Senyum Zanna terbit walaupun tipis. Namun, matanya berkaca-kaca. Tepat saat Zanna mendongak untuk menghalau air matanya yang hendak meluruh, sebuah motor matic berhenti di sekitar halte. Pengendara motor itu turun setelah melepas helm-nya dan taruh diatas motor. Tapi tidak melepas jas hujan yang melekat pada tubuhnya. Langsung menghampiri Zanna dengan sedikit buru-buru.

"Na, mau pulang gak?"

Mendengar hal itu, Zanna menoleh ke arah kiri untuk memastikan. "Adinata?"

Bukannya menjawab. Adinata malah mengerutkan keningnya melihat mata Zanna yang memerah. "Nangis?" tanyanya pelan.

Zanna menoleh ke arah lain. Matanya diusap sedikit kasar. Sial, kenapa harus baper sih, batinnya.

"Enggak!" Masih belum menoleh. "Ngapain lo disini?" Zanna baru menoleh setelah sempat mengembuskan napasnya pelan agar sedikit lega.

Adinata tidak percaya tapi juga tak lagi membahasnya. "Gue tadi nongkrong di warung Babe." Melepas jas hujannya. Hal itu tak luput dari penglihatan Zanna. Setelahnya, Adinata ikut duduk di sebelah Zanna. "Ini tadi mau pulang. Terus liat lo. Gue samperin deh. Mau bareng?"

Zanna tersenyum sembari menggeleng. "Tumben lo baik sama gue."

Adinata dibuat terkekeh mendengar itu. Sembari melipat jas hujannya yang masih basah, Adinata menyahut, "Gue selalu jahil sama lo bukan berarti gue jahat." Adinata balik menatap Zanna kembali. "Lagian kalau gak jahilin lo itu gak asik, Na. Hidup gue kayak ada yang kurang gitu."

Berdecak kesal, tak bisa dipungkiri Zanna terpancing. "Nyebelin tapi," sahutnya. Dan Adinata malah terkekeh.

"Mau bareng gak?" Adinata kembali menawari. Jawaban Zanna masih sama yaitu gelengan kepala. "Loh kenapa?"

"Gue udah minta jemput sama abang."

Adinata manggut-manggut. Hujan mulai reda tapi angin yang berhembus malah semakin kencang. Udara menjadi semakin dingin. Adinata masih mengamati Zanna yang sudah berpaling ke arah lain.

Tanpa sepengetahuan Zanna, Adinata pergi menuju motor yang terparkir dibawah pohon besar. Mengambil jacket kulit kesayangannya di dalam jok motor. Dan ganti menyimpan jas hujannya dalam jok. Adinata segera menghampiri Zanna lagi sambil menenteng jacket itu.

"Pake nih jaket gue." Jacket itu disodorkan ke arah Zanna setelah Adinata duduk kembali.

Zanna menoleh bingung. "Buat apa?"

"Buat dipakailah. Katanya pinter."

Adinata menyampirkan jacketnya pada Zanna karena tak kunjung diraih oleh gadis itu.

"Perbaiki itu letak jaketnya. Gue takut kena sembur kalau nyentuh-nyentuh. Ntar dikira modus lagi." Adinata tertawa pelan. Dan Zanna hanya mendengus sembari membenahi letak jacket Adinata. Melepas sebentar tasnya yang menjadi penghalang. Lalu memakai jacket tadi. Terasa jauh lebih baik.

"Lo gimana?" tanya Zanna.

Adinata menyahut begini, "Lo lebih penting."

Bisakah Zanna katakan ini adalah sesuatu yang manis?

Berada di satu tempat bersama Adinata tanpa ada keributan. Bukankah hal itu langka?

Dan jantung Zanna yang berdebar-debar saat Adinata kembali menoleh dan tersenyum. Zanna tak mengerti. Apakah hal itu terjadi karena sebelumnya Adinata selalu menyebalkan?

Zanna tak tau arti sebenarnya dari debaran itu. Yang pasti, hal yang dilakukan Adinata kali ini adalah sesuatu yang manis. Setidaknya untuk kali ini.

Tawaran.

Jacket.

Juga senyuman.

Yang lebih-lebih penting, ada apa dengan Zanna?

Mengapa bisa sebaper itu?