"Dibalik kenzi yang selalu membuatku kesal, ternyata dia satu frekuensi denganku. Dan berbicara dengannya itu nyambung."
-Cia-
"Ci.. kok nangis lagi si?" kata kenzi dengan sangat lembut.
Hiks.. hiks.. hiks.. tangis Cia semakin mengeras, membuat hening perbincangan mereka.
"Cia?"
"Hm"
"Kalo lagi ngga baik-baik aja, cerita ke gue. Cerita aja apa yang lo rasain sekarang. Lo jangan sungkan untuk cerita sama gue." ucapnya yang mampu membuatku membuka mulut.
Senang rasanya ada yang ingin mendengarkan kesedihan ku, apalagi aku yang jarang sekali menceritakan kesedihan ku kepada orang-orang terdekat ku. Entahlah, rasanya aku tak pernah ingin menjukukkan kesedihanku kepada teman-temanku apalagi mama dan keluarga ku. Aku yang biasanya enggan untuk bercerita, sekarang dengan mudahnya melontarkan apa yang kurasakan.
"Gue kangen simbah.. hiks.. gue ngerasain sakitnya kehilangan ketika umur gue sepeluh tahun. Bagi gue dia segalanya.. hiks.. gue bisa ngerasain yang disebut cinta pertamanya oleh seluruh wanita yang beruntung mempunyai ayah. Gue dari kecil ga pernah tau bapa gue siapa.. hiks.. mama sama bapa berpisah sejak gue usia dua tahun."
"Ken! Lo tau ngga? Gue percaya adanya cinta di dunia ini karena kasih sayang dari dia.. hiks.. tapi semenjak ia pergi, gue ga pernah cerita sakit yang gue alami ke siapapun. Lo orang pertama yang denger cerita gue.. hiks.. gue pengin ketemu simbah lagi. hiks.."
"Baca surah yassin yuk? Buat simbah lo? Kita do'ain simbah sama-sama. Mau?" pinta Kenzi membuat cairan bening menetes semakin deras.
"Kenapa nangisnya makin kenceng? Gamau ya?" kata Kenzi dengan khawatir.
"Gue mau. Gue wudhu dulu."
Dengan cepat Cia melangkah kaki menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu, setelah selesai mengambil air wudhu Cia memakai mukenanya dan mengambil Al-Qur'an di rak bukunya. Ia kembali duduk di meja belajar. Terlihat di ponselnya, Kenzi sudah siap dan sedang mengunggu Cia, sementara Cia sedang membuka Al-Qur'an dan mencari jus 22 tepatnya Surah Yasin.
Cia pov.
Setelah aku dan Kenzi selesai membaca Surah Yasin, perasaan ku menjadi lega. Rasanya rinduku terobati meski tidak bertemu.
"Ternyata lo bisa nangis juga ya. Em... terdengar aneh si." kata Kenzi yang ku artikan sebagai olokan.
"MAKSUD LO APA!" kesalku.
"Gue kira tuh lo wanita yang suka marah-marah, super rempong, gabisa diem dan selalu heppy."
"Judes akut." lanjutnya.
"HEH! DENGERIN YA! gue gini gini masih punya hati ya, gue juga bisa nangis kek semua orang. Ya walopun jarang si, tapi kalo gue ngelakuin hal yang salah pasti nangis tapi diem-diem di kamar nangisnya. Biar orang-orang taunya gue bahagia, haha." jelasku panjang lebar.
"Iya-in dah biar seneng."
"Eh, btw lo kan punya banyak temen, punya sahabat juga. Tapi kok lo ga pernah cerita kesedihan lo si? Padahal ga baik lo mendem kesedihan sendirian." tanya Kenzi membuatku tersenyum meringis.
"Em.. gimana ya? gue bingung kalo mau cerita beban hidup gue, takutnya malah jadi beban bagi mereka. Gue tau kok setiap orang punya masalah hidup sendiri, gue ga mau aja ngebebanin mereka dengan beban gue." jelasku.
"Nah karna itu, ga semua orang peduli dengan beban hidup lo meskipun itu temen deket lo, sebagian mungkin hanya ingin tau. Ada baiknya juga si lo memendam kesedihan." kata Kenzi.
"Gue si bodoamat. Ada yang mau cerita, gue dengerin. Kalo mereka minta solusi, ya gue kasih masukan."
"Life is simple." lanjutku.
"Sempurna." kata Kenzi membuatku mengakat kedua alisku. "Tapi karena sekarang ada gue, kalo ada apa-apa cerita ya ke gue." lanjutnya.
Author : emang bener kan ya? wanita cuma butuh rumah buat mengadu keluh kesah.
"Dih emang lo siapa gue?" ketusku.
"Emang harus jadi bagian dari hidup lo dulu baru mau cerita?"
"OMG! gue mau ke rumah Kyra dan Vania. Lo si, kan jadi lupa!" sewotku karena melupakan pekerjaan yang harus ku lakukan hari ini untuk menita izin.
Ku putuskan sambungan telfon dari Kenzi, meskipun aku masih mendengar kekesalanya padaku karena aku menyalahkannya. Ku ambil jaket dan langsung bergegas menuju parkiran, mengendari "jaks" sepeda motor favoritku semejak aku berusia delapan tahun.
Author pov.
Cia bergegas menggunakan sepeda motornya kerumah Vania dan Kyra yang jaraknya tidak jauh dari rumahnya. Cia meminta izin kepada orang tua Vania dan Kyra untuk pergi mendaki besok. Orang tua Vania dan Kyra sudah begitu akrab dengan Cia, bahkan mereka sudah menganggap Cia sebagai anaknya sendiri. Jadi jika Cia yang meminta izin pasti akan mendapatkan izin dengan mudah.
....
Setelah usai dari rumah Vania dan Kyra, aku kembali memasukan jaks kedalam garasi rumahku. "Yap jaks! Selamat beristirahat." ucapku pada jaks bak orang gila yang sedang berbicara.
Ku langkahkan kaki menuju kamarku, langkahku terhentikan ketika berada di ruang tamu. Ku angkat kedua alisku.
"Ci." sapa salah satu wanita yang sedang duduk di kursi tamu.
Sapaannya membuat ku semakin bingung, aku tak bisa menebak siapa wanita yang tadi menyapaku. Jelas saja aku tak mengenalinya, wanita itu memakai pakaian syar'i dan menggunakan cadar. Sementara wanita yang disebelah nya memakai style umum wanita, namun wajahnya sangat asing bagiku.
"Gue Mila. Ini temen gue Dina." jelasnya membuat ku terkejut.
"Astaghfirullah, Mila! Kenapa ga bilang mau kesini?" ucapku.
"Eh sorry, gue pengen kasih kejutan kek Danil waktu itu." ledeknya.
"Paansi. Masuk ke kamar gue yuk." ajakku.
Kami bertiga langsung bergegas menuju kamar ku, dan aku memutuskan untuk mandi karena aku merasa risih dan cape. Lagi pula ini sudah jam setengah tujuh, sementara kedua temanku juga ikut mandi secara bergantian.
Usai melaksanakan sholat isya kedua temanku bercerita tentang banyak hal kepadaku, tepatnya si Mila menceritakan Danil dan mencoba meyakinkan aku sekaligus Dina kalau Danil itu sangat cocok denganku. Ya begitulah Mila. Tanpa sadar jam menunjukkan pukul sembilan malam, aku menyuruh kedua temanku untuk tidur karena pasti lelah mengendarai sepeda motor dari Jogja ke Bandung.
Ku ambil ponselku didalam tas kecil yang tadi ku kenakan untuk pergi kerumah dua sahabatku, ku taruh ponselku di kasur dekat Mila. Ku langkahkan kaki menuju lemari untuk menyimpan tas ku.
"Ci, Kenzi telfon." ucap Mila karena ponselku tiba-tiba hidup tanpa bersuara. Mila menatap ku dengan heran. "Danil juga pernah cerita Kenzi ke gue." lanjutnya.
"Oh ya? gue angkat telfon dulu ya." kataku.
Ku ambil ponselku dan merebahkan badanku di kursi kesayanganku. Nyaman! Itulah yang kurasakan setelah merebahkan badanku.
"Lama." ucapnya.
"Kenapa telfon?" tanyaku.
"Ohiya lo udah packing belum?" pertanyaan Kenzi membuatku kaget.
"Astaghfirullah gue lupa." gumamku yang masih terdengar oleh Kenzi.
"HAH! LO LUPA? H-1?" kesal Kenzi.
Aku lupa menceritakan pendakian ku besok pada Mila. "Bego." ucapku sembari mengelus-elus kepalaku yang tak gatal.
"Mil?"
"Gue besok mau ke Andong lo mau ikut ga?" tanyaku penuh kebingungan.
"Andong? Emang boleh? yang lain setuju kalo gue ikut? Terus persiapan nya gimana?" tanya Mila memastikan apakah semuanya akan baik-baik saja jika ia ikut.
"Aman, lo tidur gih." jawabku sembari mengacungkan jempol pada Mila.
"Mil? Lo ngomong kesiapa si?" tanya Kenzi kebingungan.
"Mila, dia itu temen gue dari Jogja. Ketemu waktu pendakian Slamet kala itu, dia rombongan Danil. Dia kesini barengan Dina temennya tadi sore." jelasku agar Kenzi tidak bertanya ini itu.
"Kebetulan banget! Ada dua temen gue yang mau ikut ke Andong. Makannya gue telfon lo." jelas Kenzi memberitahu maksudnya menelfonku. Entahlah sepertinya semesta sudah merencanakan itu untukku.
"Dan tadi Vania chat gue, katanya temennya ikut biar ga ganjil cewenya." lanjutnya.
"Berarti total dua belas? Cewe enam? cowo enam?" tanyaku memastikan.
"Iya, kek perdana angkatan ya? gila!"
"Tenda aman?"
"Aman bos."
Jam menunjukkan pukul setengah sebelas malam, aku dan Kenzi masih bertelfon membahas persiapan pendakian besok dan membahas sesuatu yang tidak penting.
"Gue suka denger lo ketawa ceria, gitu terus ya Ci? Sampe kapanpun!" kata Kenzi membuatku semakin tertawa.
"Emang ketawa gue sebagus itu apa? sampe bisa bikin lo seneng." gurauku.
"Ketawa itu bagus, tapi jangan lama-lama nanti gue jatuh cinta." ucap Kenzi yang ku anggap sebagai lelucon.
Tanpaku sadari Mila mengawasi ku dari tempat tidurnya.
"Selamat tidur juga, jerapah." ucapku sambil tetawa kemudian mematikan telfon dan langsung menutup kedua bola mataku.
Ohiya, buat yang tanya Danil. Dia lagi berlayar ya, jadi aku sama dia ga komunikasi dan dia ga muncul beberapa chapter. Soal Danil menceritakan aku kepada Mila, itu karena mereka bertemu di kedai mata angin. Yap, itu kedai favorit mereka.