"Apapun perubahan yang terjadi pada orang lain, jangan pernah kalian berasumsi buruk kepada dia apalagi jika kalian tidak mengetahui apa yang menjadi alasan dia berubah. Bukan kah kita sebagai manusia tidak boleh saling menilai? Tolong hargailah apalagi jika dia temanmu."
_adpdita_
PLAK!
"Masih ingat rumah?"
"Kenapa ga usah pulang sekalian?"
"Tampar lagi Cia, ma."
"Pah tampar pipi kiri Cia, hiks.. Tampar sesuka kalian." ucapku sembari menepuk pipi sebelah kiri yang belum memerah bermotif tangan.
PLAK!
Bukan, ini bukan papa yang menamparku. Papa masih terdiam menatapku dengan tatapan datar. Sementara mama, ia sudah dua kali menamparku malam ini namun terlihat jelas ia masih belum puas. Ia menatapku bak singa yang tengah kelaparan dan aku adalah makanannya.
"Masuk kamar." ucap papa tanpa ekspresi.
"Sampai kapan kalian giniin aku? hiks... mah liat Cia, salah apa Cia? hiks... pah kenapa mama nampar Cia? Kena-pa ka-lian tak mengizinkanku menjelaskannya? hiks... APA SALAHKU?"
PLAK!
Sudut bibirku mengeluarkan darah segar, aku tidak peduli. Bahkan luka itu tak terasa sakit.
"Saya bilang masuk. Jangan membantah Cia." ucap papa dengan tampang datarnya.
Ku langkahkan kaki dengan cepat menuju kamarku. Aku tak habis pikir, kenapa mereka tak mau mendengarkan ku? Padahal aku keluar hanya untuk membeli pulsa, mereka saja yang belum pulang kerja ketika aku pergi, dan pulang kerja sebelum aku pulang kerumah.
BRAG!
Ku tutup pintu kamarku dengan kasar, tentu saja aku juga langsung menguncinya. Ku hampiri kasur yang menjadi tempatku bersandar, lalu duduk meringkuk memeluk lutut. Aku mengeratkan pelukan ku.
"Agrrhh..." decakku frustasi.
Ku langkahkan kaki menuju sebuah laci yang berisikan sebuah pisau yang selama ini menjadi temanku. Senyum tipis muncul di sudut bibirku.
Aku mendudukkan diriku dipojok lorong kamar kesukaanku. Ku gulung baju panjangku dengan sangat hati-hati. Disana terdapat banyak luka gores yang sudah maupun belum kering.
Perlahan, aku menggerakkan pisau tajam itu di lengan kiriku. Darah segar keluar bersama derasnya cairan bening.
"Mah... Tatap mataku.. hiks... sekali aja mama dengerin Cia yang rapuh ini..."
"Mah... Peluk Cia. hiks..."
"Mah... Cia... hiks... kangen."
"Mah... Suapin Cia... hiks..."
"Mah... Usap rambut Cia..."
Isak tangisku menjadi nada di tengah keheningan ruangan. Satu bulan mama menamparku, mencaciku karena sebuah kesalahpahaman. Tak pantaskah aku untuk menjelaskan yang sesungguhnya? Kenapa mama begitu cepat membenciku?
Ku lempar pisau dengan asal, aku tidak perduli jika mengenai benda disekitar ku. Aku hanya takut menambahkan satu goresan lagi di lenganku.
Satu bulan? Itu artinya terdapat tiga puluh satu luka gores di bagian lenganku. Sakit? Tidak! Perlakuan mama lebih menyakitkan. Alay? Lebay? Ayo maki saja diriku dengan kata-kata itu. Walaupun aku sudah menjelaskannya, kalian tak akan pernah mengerti perasaanku, betapa hancurnya diriku saat ini.
Lemah? Memang! Aku memang orang paling lemah di dunia ini. Bodoh? Ah mungkin itu juga. Betapa bodohnya diriku yang melukai diri sendiri. Self injury! Depresi! yah itulah keadaan diriku yang mengidap penyakit sialan secara tiba-tiba.
Self injury adalah sebuah kondisi dimana seseorang melukai diri sendiri untuk melampiaskan emosi dan kesesalannya. Begitulah caraku melampiaskan emosiku. Meskipun setiap hari mama menampar dan membentakku, aku tidak bisa membencinya bahkan aku tak mampu melakukannya.
Aku kembali menatap setiap luka gores yang ku buat sendiri, cairan bening jatuh tepat di luka gores yang baru saja ku buat. Bibirku merintis, perih. Namun aku tak memperdulikan rasa sakit itu. Ku palingkan pandanganku menatap dinding dengan tatapan kosong.
Aku tak berani menatap darah terlalu lama, jujur saja aku juga takut dengan darah bahkan sangat takut. Namun mirisnya darah kini telah menjadi saksi bisu dari setiap penderitaan yang ku alami. Hasrat untuk menggores lenganku semakin hari semakin meningkat, tentu saja karena perlakuan mama.
Aku tak pernah merasa kesakitan kala aku menggoreskan pisau di lenganku. Bahkan aku melakukannya dengan sangat hati-hati, meskipun kadang aku menggoresnya terlalu panjang. Aku takut, jika aku salah menggores apalagi sampai mengenai urat nadi.
Cih!
Aku tak akan melakukannya, aku masih ingin hidup meskipun tidak berguna.
Beberapa hari yang lalu, aku sempat hampir menggores urat nadiku karena emosi yang tak bisa ku kontrol, untung saja waktu itu Sam mengetuk pintu kamarku dan menyadarkan diriku.
Aku bersyukur masih diberi kesempatan untuk tetap hidup. Dan lagipula ketika aku meninggal, siapa yang akan berduka? Mungkin ketika itu terjadi mama akan merasa bahagia karena tak lagi melihatku yang ia anggap sebagai pembunuh keji.
Dering ponselku memecahkan lamunanku. Ku tatap ponselku, terdapat foto Kenzi di layar ponselku. Aku tersenyum miring, kemudian kembali menatap dinding dengan tatapan kosong.
Yap! Kenzi dan Kyra selalu menghubungiku setiap harinya. Tentu Kenzi sangat tidak mengerti pada diriku, aku tak ingin menceritakan semuanya pada Kenzi. Bagiku cukup Kyra saja yang mengetahui tentang hidupku.
Menghidap self injury dan depresi, ah mungkin tak ada yang bisa menerima diriku. Pernyataan konyol yang ku buat sendiri itu membuat ku mengasingkan diri dari semua orang, tetangga, teman kelas bahkan orang-orang yang mengenalku.
Terakhir aku mencoba bergaul seperti biasanya dengan teman-teman kelasku yang menjadi famous di sekolah, mereka memperlakukanku bak orang asing. Apalagi dengan penampilanku yang bak orang gila kala itu. Aku juga sempat membaca beberapa chat lia dan teman-temanku.
Masih ingat Lia?
Satu kenyataan pahit lagi dalam hidupku. Huft.. Semoga ini yang terakhir.
Flashback on!
Pukul 15.00 aku tengah melaksanakan istirahat sore di tempat pkl ku, tiba-tiba ponsel Lia berbunyi, terdapat pesan dari grup yang tak berisikan diriku. Aku melihat ada namaku disana, tentu saja aku sang pemilik nama langsung kaget.
Kenapa namaku disebut?
Kenapa mereka bikin grup tanpa diriku?
Bukankah pertanyaan itu hanya bisa terjawab jika aku membuka grup itu?
Tanpa berfikir lama aku langsung saja mengambil ponsel Lia, mungkin saja bumi sedang berpihak padaku. Ku lihat Lia tengah tertidur dengan pulasnya.
Aku tersenyum miris setelah membaca seluruh pesan yang ada di grup. Ternyata grup itu dibuat khusus untuk membicarakan diriku.
Cih!
Teman macam apa?
Katanya akhir-akhir ini aku sombong, aku berubah, mereka membenci keadaan diriku yang sekarang bahkan mereka sepakat untuk menjauhiku. Bagaimana bisa mereka mengataiku seperti itu? Padahal dua tahun bersama, aku tak pernah menceritakan beban hidupku pada mereka tapi dengan mudahnya mereka membenci dan menjahiku dengan alasan konyol itu.
Yang ada dipikiranku saat ini hanya satu, apa mereka tak pernah berfikir jika aku punya beban hidup? Aku tau semua orang punya beban hidup masing-masing, namun pantaskah seorang teman bersikap seperti itu?
Cih!
Aku bukan temannya, nyatanya mereka tak mau mengerti bahkan tak ada satupun diantara mereka yang menanyakan kabarku, atau menanyakan beban hidupku. Padahal aku selalu respect kepada mereka semua, tapi tak ada satupun yang membalasnya.
"Ck... Gue ga butuh temen yang model beginian!" batinku kesal.
Flashback of!
Sekarang kalian tahu kan kenapa aku depresi? Bahkan mengidap self injury. Ya! Ditengah badai seperti ini tak ada satupun yang menemaniku, bahkan aku tak punya teman untuk berbagi masalahku.
Ku gerakan kakiku menuju wastafel untuk membersihkan sisa darah di lenganku. Perih! Rasa itu timbul setiap kali aku mencuci bekas goresan pada lenganku.
Ku tatap diriku pada cermin di meja rias, tempat kesukaanku untuk melihat diriku namun sekarang tidak. Ku tatap kondisiku, rambut acak-acakan, mata panda dan juga sembab. Ah, rasanya aku seperti melihat orang gila. Tapi aku tidak perduli dengan kondisi fisik ku.
Ku langkahkan kaki menuju kasur empukku, aku sangat butuh istirahat, Ku rebahkan tubuhku, rasanya seluruh badanku remuk. Ku tarik selimut sampai menutupi kepala. Ku minum tiga obat tidur sekaligus, aku ingin tertidur selama beberapa hari tanpa ada gangguan dan selama satu bulan ini aku tak pernah bisa tidur jika tidak di bantu dengan benda kecil itu.
.....
Author pov.
Matahari memancarkan sinarnya, cahaya masuk melalui lobang kamar Cia. Jam menunjukkan pukul 08.00 pagi, namun gadis malang itu masih tertidur dan enggan untuk membuka matanya.
Terasa usapan lembut disemurai coklat milik Cia, sebuah perlakuan yang tidak pernah Cia dapatkan selama satu bulan ini. Dapat Cia rasakan dari usapan tersebut, jika itu adalah usapan tanda kasih sayang. Masih ada yang menyayangi Cia? Ah, mungkin hanya mimpi. Lagian siapa yang mengusap rambut dan menyayangi Cia saat ini?
Perlahan Cia membuka kelopak matanya yang sangat berat, entah sudah berapa lama ia tertidur. Untung saja dirinya tengah libur pkl selama empat hari. Cia membulatkan matanya dengan sempurna setelah membuka mata dan sosok yang ia lihat di pandangannya.
"Kenzi?" gumam Cia lirik khas orang baru bangun tidur.
Kenzi hanya tersenyum dan terus mengusap semurai coklat milik gadis yang tengah ada dihadapannya. Kini posisi mereka dengan Kenzi yang tengah duduk ditepi kasur dan bersandar dikepala kasur. Sementara Cia tengah berbaring disebelah Kenzi dengan selimut yang menutupi tubuhnya sampai leher.
Ah, sudah seperi sepasang suami istri yang baru menikah saja.
"Nga-pain? Ha'a?" ucap Cia sembari menguap.
"Cantik apalagi kalo udah mandi." ucap Kenzi sembari tersenyum manis dab terus mengusap Cia.
Cia memejamkan matanya, rasanya ia tak ingin bangun. Sungguh ia sangat rindu perlakuan seperti ini, ia rindu usapan lembut dari tangan seseorang. Nyaman.. Ya! Itu yang tengah ia rasakan sekarang.
"Kenapa tidur lagi hmm?" ucap Kenzi sembari mengangkat satu alisnya.
"Nyaman." ucap lirih Cia yang masih bisa didengar oleh Kenzi.
Sontak Kenzi tersenyum penuh kemenangan mendengar kata nyaman dari mulut gadis cantik itu. Gemas, ya! Kenzi gemas dengan gadis yang ada dihadapannya sekarang. Rasanya ia ingin meremukan tulang gadis yang telah mengatakan kata nyaman.
"Kenzi!" pekik Cia karena Kenzi mencubit kedua pipinya.
"Mandi atau gue remukin tulang lo?" Mendengar ucapan dari Kenzi membuat Cia langsung membangunkan badannya, dan mengambil posisi duduk menghadap Kenzi.
"Jahat." ucap Cia sembari membangunkan bibirnya.
Kenzi terkekeh, bukannya merasa kasihan, dirinya malah semakin gemas dengan gadis yang ada di hadapannya sekarang.
"Lo jahat, satu bulan jauhin gue." ucap Kenzi dengan mimik kecewa namun berniat untuk meledek Cia.
"Ga pernah kasih kabar, gue nyariin lo tau! Pas gue tanya Kyra lo kemana, katanya gue disuruh ngasih waktu lo buat sendiri. Mana bisa Mak lampir! Kalo ada gue kenapa harus sendiri." lanjutnya namun kali ini Kenzi benar-benar khawatir dengan kondisi Cia yang tak pernah mengasih kabar padanya.
"Eh, g-ue ma-ndi du-lu ya?" ucap Cia terabata-bata dan langsung melangkah kaki menjuju lemari untuk mengambil baju.
Kenzi hanya menatap Cia dengan rasa aneh dan penuh tanda tanya. Namun yang ada dipikiran Cia kali ini adalah kenapa Kenzi datang kerumahnya? Ada urusan apa?
Yup, 50 komentar baru lanjut next chapter ya?
[TO BE CONTINUED]
adpdita~