"Sebelum tamparan ini membekas di pipiku. Boleh kah aku bertanya apa alasan tamparan tersebut mendarat di pipiku?"
-adpdita-
Matahari perlahan sirna di telan awan hitam, keadaan menjadi sedikit gelap padahal jam menunjukkan pukul sebelas siang. Perlahan hujan kecil mengguyurku, nampaknya bumi mengerti apa yang tengah ku rasakan.
"Mau pake mantel dulu?" ucap Kenzi menyadarkan ku dari lamunan.
"Hah? Cari SPBU terdekat, nanti kita istirahat sekalian berteduh." jawabku.
Aku kembali menatap jalanan sekitar, meskipun gerimis mengguyur namun masih banyak pengendara di jalan. Pikir ku masih tertuju pada sosok Danil, bagaimana perasaan nya? Apakah dia marah? Atau mungkinkah dia cemburu?
Seribu pertanyaan bersarang diotakku, namun lagi-lagi pertanyaan di benakku akan runtuh dengan sebuah argumenku "Lah? Emang gue siapanya Danil? Ck.." Pertanyaan dan argumen tersebut terus terngiang di kepalaku, membuat ku menjadi pusing. Perjalanan jauh membuat ku letih, terlebih lagi aku tidak suka bau kendaraan seperti bus dan truk. Mencium bau kedua kendaraan tersebut bisa membuat ku mual bahkan muntah. Ya begitulah, aku suka mabuk jika berkendara menggunakan bus. Rasanya sangat tidak enak, namun aku senang karena mamah akan selalu mengelus-elus kepalaku sepanjang perjalanan. Huft.. kali ini aku berpetualang sendiri, tidak ada mama yang mengelus-elus kepalaku.
Seseorang tiba-tiba menepuk pundak ku dari belakang, sontak aku menghendus kesal. Pasalnya ia sangat membuat jantung ku berdegup dengan kencang.
Hingga ia melontarkan sebuah kata yang mampu membuat rasa kesalku perlahan runtuh. "What wrong? Kalo mau cerita ada gue." Yap! Suara milik Kyra sahabatku. Wajar saja bila ia bertanya demikian, pasalnya sedari kejadian di puncak aku hanya diam. Aku tak tau harus bagaimana, ingin rasanya aku menjelaskan kepada Danil mengenai Kenzi. Namun apakah dia butuh penjelasan ku? Lagipula aku bukan siapa-siapa dia bukan? Meskipun begitu, aku tetap merasa bersalah. Sungguh ini rasa yang membingungkan.
Tak ku jawab pertanyaan Kyra, ku raih tangannya dan memaksanya berjalan mengikuti ku untuk menuju taman SPBU. Kami duduk di sebuah kursi berwarna putih yang ada di taman tersebut. Ku letakan kepalaku di bahu Kyra, secara otomatis ia mengelus-elus kepalaku seraya memberi kekuatan untukku. Ya, Kyra mungkin sahabatku yang paling engga nyabang kalo di ajak ngobrol, namun ketahuilah ia merupakan sahabatku yang paling respect padaku.
"Kenapa?" ucapnya.
"Ko-k gue ga en-ak ya sama Da-nil." jawabku dengan agak gemetar.
"Soal Kenzi?"
Ku balas pertanyaan Kyra dengan helaan nafas kasar. Nampaknya Kyra pun tak dapat memberikan solusi, pasalnya ini murni salahku. Jika saja aku bisa menjaga hati untuk Danil, hah? Jaga hati? Danil saja tak pernah memberikan hatinya untukku? Benar bukan? Memikirkan hubunganku dengan Danil hanya membuat ku pusing. Aku tidak yakin jika dalam diri ini ada sebuah rasa untuknya. Cinta? Rasanya sangat malas untuk membahas hal tersebut. Luka kemarin aja belum sepenuhnya sembuh, ngapain harus nyakitin diri lagi dengan adanya cinta baru?
Sebuah uluran tangan mendarat di hadapan ku. "Sholat yuk, lo butuh penenang." ucapnya sembari menggenggam tangaku, berjalan meninggalkan Kyra seorang diri.
"ASTAGHFIRULLAH! gini nih kalo aqiqahnya pake domba hago.." teriak Kyra.
Sontak aku dan pria di hadapanku terkekeh dengan ucapan sahabat ku. Ia memang sangat pandai perihal menghibur, namun diantara kami Kyra lah yang paling sering memikirkan omongan orang akan dirinya. Insecure? Tidak percaya diri? Bukan kan itu yang sering di rasakan kaum hawa?
Pria itu kembali melangkahkan kaki menuju masjid, tentu aku sangat kesulitan mengimbangi langkahnya, pasalnya tinggiku hanya sebatas pundaknya.
"Kenzi ih, pelan-pelan.." rengekku dengan wajah cemberut. Yah, kalian pasti sudah tau jika pria itu adalah Kenzi.
"Abisnya si lo sedih mulu." ucapnya tanpa memandangku.
Tentu aku sangat kesal padanya, jelas-jelas dia bersalah. Sikapnya padaku itu terlalu berlebihan, ia selalu memperlakukan diriku seperti pacarannya. Dasar Kenzi, semakin membuat ku pusing saja. Ya emang si, dia selalu ada ketika aku bersedih dan ia juga selalu menengakanku, namun aku malah tidak suka dengan sikapnya.
Usai melaksanakan sholat, kami mempersiapkan diri untuk melanjutkan perjalanan. Nampak jelas wajah bahagia dalam diri mereka, beda halnya denganku. Kepalaku pusing, aku merasa sangat cape, rasanya aku sangat ingin merebahkan badanku disitu. Wajahku pucat, lesu, tak ada semangat dalam diriku.
"Semangat dong!" ucap Kenzi sembari mencubit kedua pipiku.
"Kenzi ih, lepasiin. Ma-lu tau.." ucapku sembari melihat sekitar.
"Senyum dulu." ucapnya sembari melempar senyum iseng.
"Ciss.." ucapku sembari tersenyum paksa.
Tanpa kami sadari, Mila sedari tadi memperhatikan kami. Mungkin bukan sedari tadi, bisa jadi semenjak Kenzi datang kerumahku Milla suda memantau kami. Huft... Menyebalkan bukan? Untuk apalagi kalau bukan menceritakan ku kepada Danil.
"Namun menurut ku jika ingin mengenalku, dengarkan aku bukan orang lain, apa yang ku rasakan tidak lah sama dengan apa yang mereka lihat."
_Diary Cia_
"Gue sama Dina misah disini ya? Kita mau langsung pulang." ucap Mila pada kami.
"Lah kok pulang? ucap teman Kenzi bingung.
"Rumah gue deket ko dari sini." ucapnya sembari melambaikan tangannya meninggalkan kami. Wajar saja jika kami berpisah dengan Mila, rumahnya aja di Jogja. Mas iya dia mau ke Bandung lagi orang rumahnya aja di Jogja.
Setelah Mila dan Dina hilang di hadapan kami, tanpa berlama-lama kamipun melanjutkan perjalanan kami. Perjalanan kami masih sekitar lima jam untuk sampai di Bandung.
....
Plakk...
Sebuah tamparan mendarat di pipiku.
"GA USAH PULANG SEKALIAN!" bentak mama mengagetkanku.
Carian bening mendarat di pipiku, aku tak tau kenapa mama menaparku padahal aku baru saja sampai. Aku pun tidak tau apa yang terjadi ketika aku pergi dari rumah. Aku terdiam kebingungan, menahan sakit di pipiku. Sakit bekas tamparan mama memang tak terasa begitu sakit, namun hati terasa begitu ngilu. Pasalnya ini pertamakalinya mama membentak bahkan menamparku. Tentu saja aku sangat binggung bukan?
Sementara Kenzi hanya diam dan juga bingung. Dia juga tidak tau harus berbuat apa, tentu kalian bisa merasakan bagaimana asing nya Kenzi di keluarga kami bukan? Kalau aku jadi diapun aku hanya bisa diam tanpa berkutik.
"MASIH INGET RUMAH?" bentak mama sekali lagi membuat cariran bening mengalir semakin deras. Sementara bola mata mama sekilas menatap pria di sebelahku.
"GA USAH NANGIS!" bentaknya lagi sembari berjalan menuju hadapan papa.
"Lo pulang Ken, hiks.." ucapku pada Kenzi.
Kenzi mengelus-elus bekas tamparan di pipiku. "Are u okey?" ucapnya yang hanya ku balas dengan anggukan.
"Nanti cerita ya sama aku." ucap Kenzi kemudian pergi dari ruang tengah rumahku.
"Cia masuk kamar." ucap papa dengan wajah datarnya.
"Ta-pi..."
"MASUK!"
Ku langkahkan kaki menuju kamarku, kemudian aku menguncinya dari dalam. Ku rebahkan badanku di kasur.
PRANG...
Terdengar suara benda di lempar ke lantai berkali-kali, suara debat antara suami-istri terdengar hingga menusuk hatiku. Aku tak pernah berada di dalam posisi ini, aku sangat takut. Dulu ketika ayah dan ibuku cerai aku masih berusia tiga tahun. Aku saat itu belum tahu apa-apa, bahkan sekarang aku juga tisak tahu wajah ayahku seperti apa. Kata tetanggaku si ayahku itu ganteng, ah aku tak pernah menghiraukan ucapan mereka tentang ayahku. Lagipula aku bisa hidup tampanya, benar bukan? Tapi mau bagaimana dia tetap ayahku, aku hanya mampu mendo'akannnya. Ku raih bantak gulingku, ku peluk dengan sangat erak.
"Hiks... Kenapa mah? Pah? Apa yang terjadi?"
"Sebelum mamah menampar pipi ini, bolehkan Cia minta alasan kenapa mamah memberi tamparan ini? hiks.."
Hay! Ini udah mulai konflik ya temen-temen.. gimana menurut kalian?
Spam komen yuk!
[TO BE CONTINUED]
adpdita~