"Hidup ini begitu rumit, hingga tak memberi kesempatan untuk mengeluh."
-adpdita-
Aku mengehela nafas panjang setelah berdiri di depan sahabatku, ku tatap dalam-dalam wajah sahabatku. Tak masalah jika Kyra mengetahui masalah yang ku alami, namun aku belum tahu pasti apa yang terjadi pada kehidupanku. Jika nanti Kyra bertanya, harus ku jawab apa? Aku saja tak mengerti mengapa mama menamparku.
Kyra tersenyum tipis padaku, ia menatap ku bak orang yang bisa membaca pikiranku.
"Dari mana?" ucapnya.
Ku langkahkan kaki menuju tempat duduk favoritku dekat jendela sementara Kyra masih memandang ku berharap aku segera menjawab pertanyaan nya. Aku duduk sembari menatap kosong ke luar jendela.
"Rumah Vania." ucapku sembari tersenyum remeh.
Kyra menghembus nafas panjang, mimik wajahnya seketika berubah menjadi raut kecewa seakan tengah kesal dengan sesuatu. Ku senderkan badanku di jendela, aku menunduk sembari memejamkan kedua mataku.
"Gue bukan sahabat yang baik." ucap Kyra lirih yang masih bisa ku dengar.
Sontak aku membuka mataku, ku angkat kedua alisku sembari menatap kyra dengan bingung. Ada apa dengan Kyra? Mungkin kah dia juga akan meninggalkan ku? Sama seperti apa yang Vania lakukan. Namun aku tak mempercayai hal itu, pasalnya Kyra tak mungkin bersikap seperti itu. Meskipun dia ga ada akhlak namun aku sangat mempercayai ia sebagai sahabat terbaik ku.
Kyra menunduk kan kepala. "Gue tau... kehilangan sosok ibu itu sangat menyakitkan. Tapi... haruskah Vania berubah seperti itu?" ucap kyra, terdengar suara nya sangat sedih.
"Gue pernah janji sama Ma'e, gue akan jagain Vania. tapi.. hiks.. anak macam apa aku?" lanjutnya.
Deg!
Aku mematung setelah mendengarkan ucapan Kyra, aku teringat dulu aku juga pernah janji untuk selalu menemani Vania pada sosok perempuan yang kami panggil Ma'e. Ia adalah mama Vania yang telah meninggal dunia tahun lalu. Cairan bening mengalir di pipiku.
"Vania benar melakukan itu?" ucapku membuat Kyra mendongak, ia menatap ku dengan curiga.
"Lo udah tau?"
Tak ku balas ucapan Kyra, aku membuang mukaku kembali menatap kosong ke arah jendela. Ternyata Kyra sudah tahu sebelum aku mengetahuinya, wajar saja mereka kan satu kost. Apa Shasa mengetahuinya juga? Tidak mungkin, Shasa merupakan manusia paling bodoamat tentang masalah, apalagi jika berurusan dengan keluarga. Shasa tak akan pernah memikirkan masalah seperti itu.
"Gue kecewa sama Vania." ucap Kyra putus asa.
"Ra.. lo ga boleh gitu. Kita itu sahab-"
"SAHABAT? SAHABAT MACAM APA? AKU SUDAH MEMPERINGATKAN DIA. NAMUN SEE? WHAT HAPPENED?!" teriak Kyra memotong perkataan ku, sembari menatap kosong ke arah dinding.
"Ra, walopun kita tahu masalahnya. Namun kita ga tau apa yang ia rasakan. Gue yakin pasti sulit berada di posisinya."
"Gue bukan lo! Sekali gue kecewa, jangan harap minta belas kasih ke gue. Jangankah belas kasih, natap wajahnya aja gue jijik."
Begitulah Kyra, ia tak akan pernah mendengar penjelasan apapun ketika seseorang melakukan tindakan yang seharusnya tidak dilakukan. Apalagi yang di lakukan Vania sangat tidak wajar.
"Keluarga gue juga hancur. Tapi gue ga pernah jatuhin martabat gue sebagai wanita hanya demi mendapatkan cinta." ucap kyra semakin melemah.
"See! Gue dapat tumbuh dewasa tanpa seorang ayah.. hiks.." tangis Kyra semakin menjadi.
Aku berjalan menuju Kyra, ku peluk tubuh sahabku seraya memberikan nya kekuatan. Aku paham betul, Kyra sangat tertekan dengan kenyataan tersebut. Di luar ia akan tertawa dan berkelakuan bebas bak orang paling bahagia, namun nyatanya jika di dalam rumah ia selalu menangis.
"Lo tau ngga? Bapa pergi dari rumah dan Vania cuma diam."
"Ha-h?! Are u sure?" ucap Kyra sangat membantu ku terkejut.
Kyra hanya menghela nafas sembari mempererat pelukannya, nampaknya ia sedang sangat tepukul.
"Vania pernah bilang, pendapat nya tidak pernah di hargai. Ia tidak di beri kesempatan untuk ikut mempertahankan keluarga nya. Lo tau? Kaka ipar Vania." Kyra melepaskan pelukan ku, ia menatap tajam diriku.
"Ternyata, ia pemabuk, suka judi, kasar... pantas saja as-et keluarga vania menipis. Ia juga tak pernah mendapatkan kasih sayang dari keluarganya setelah Ma'e pergi. Vania hancur, i know but i don't know! Gue gatau harus bagaimana." lanjutku.
"Kita emang salah, tapi Vania lebih salah. Right? Jujur aja Ci, gue ga ada niatan sedikitpun untuk membenci Vania. Gue juga merasa sakit ketika mendengar tentang keluarganya." ucap Kyra.
"Sudah lah Ra, gausah di pikiran. Jalani dulu, bagaimana kedepannya biar terus mengalir seperti biasanya."
"Aku harap Natan bisa jadi rumah buat Vania yah." ucap Kyra sembari tersenyum miring.
"Semoga!" jawabku penuh keyakinan.
Aku dan Kyra sama-sama diam, sekarang kalian tahu bukan kenapa Vania melakukan hal tak wajar itu? Natan datang dikehidupan Vania yang hampir redup, ibaratnya Natan itu sebuah pelangi setelah hujan lebat. Untuk saat ini hanya Natan alasan Vania kuat menjalani kehidupan, namun mereka hanya sepasang kekasih. Mereka bisa saja terpisahkan, apakah Vania lupa jika masih ada tuhan? Ataukah ia lelah menjalani kehidupan nya? Ah sudahlah, tugasku hanya menjaganya namun aku telah gagal, aku tak bisa menjaga Vania. Hanya Natan saat ini rumah Vania, tempatnya berbagai keluh kesah.
"Gue keluar dari pelir." ucap Kyra dengan tatapan kosong.
"Gue juga." ucapku sembari tersenyum tipis pada sahabat ku.
Kami tidak meninggalkan Vania, kami hanya ingin dia tahu jika ia tengah salah mengabil jalan, jika dengan cara baik-baik Vania tetap saja tak mengerti. Bukankah pergi akan menyadarkan seseorang? Aku dan Kyra berharap setelah kami pergi, Vania akan mengerti. Bukankah seseorang akan berarti ketika telah pergi.
"Maaf, kami bukan sahabat yang baik. Bahkan kami tak bisa bertahan kokoh. Sahabat macam apa? Kami tak pantas di anggap sahabat. Egois! Maafkan kami Vania.. semoga kau mengerti. Semoga Natan dapat menyatukan keretakan yang ada di kehidupan mu."
_Diary Cia_
"Ra, lo mau makan?"
"Boleh."
Ku langkahkan kaki menuju dapur untuk mengambil kan makanan untuk Kyra, ku amati keadaan sekitar. Aku takut bertemu dengan mama, aku tak ingin ia menamparku lagi. Mungkin kali ini dunia tengah berpihak padaku, tak ada seorang pun di rumah kecuali aku dan Kyra.
Aku tersenyum tipis. "Cepat membaik, mah.. pah.. Cia kangen." gumamku sembari mengambil piring. Nampaknya Kyra belum mengetahui apa yang terjadi di keluarga ku, aku senang. Aku tak bermaksud menyembunyikan masalahku, namun waktunya belum tepat untuk ku menceritakan nya pada Kyra. Bahkan jika aku mengatakan itu akan membuat benda pikiran Kyra, mungkin aku tidak akan pernah mengatakan apa yang terjadi pada Kyra.
Bagaimana pun, aku masih beruntung. Hidupku jauh lebih beruntung dari Kyra, apalagi Vania. Mungkin dengan datangnya masalah pada persahabatan kami adalah sebuah pertanda untukku tetap bersyukur? Ya! Aku tidak seharusnya aku mengeluh. Masalah di keluargaku hanyalah masalah sepele.
Aku berjalan ke arah tudung saji untuk mengambil nasi, tak sengaja aku menoleh ke jendela dapur. Nampak seorang berpakaian serba hitam tengah berdiri membelakangi ku. Aku tak bisa melihat wajahnya, kostum yang ia kenakan sangat rapat hingga aku tak bisa mengenalinya.
Ku amati gerak gerik pria tersebut, ku tak pernah melepaskan pandanganku sedikit pun. Ada rasa takut di hatiku, entahlah diriku menjadi kacau, aku gelisah. Hingga pria tersebut melangkah pergi.
"Astaghfirullah..." ucapku sembari mendekap mulutku sendiri. Aku tak percaya dengan apa yang tengah ku lihat. Tubuhku gemetar tak karuan, nafasku tercenga. Aku tak bisa melakukan apapun selain mematung.
[TO BE CONTINUED]
adpdita~