Chereads / Diary Cia / Chapter 25 - Aku pembuah?

Chapter 25 - Aku pembuah?

"Apa yang kau lihat akan berbeda dengan yang kau dengar, maka dengarlah dulu sebelum menyimpulkan."

-adpdita-

PLAK!

PLAK!

"AGRHH... SAYA DIDIK KAMU SAMPAI SEBESAR INI BUKAN UNTUK JADI PEMBUNUH KEJI!" bentak mama usai menapar kedua pipiku.

Aku hanya diam menundukkan kepala sembari menangis, bukan karena mama menamparku atau membentak ku. Aku sudah terbiasa dengan dua perlakuan itu meskipun baru beberapa hari mama melakukannya.

Aku masih shock! Bahkan aku sangat shock sekarang ini. Kejadian yang ku alami begitu mendadak, akupun masih belum mempercayai kenyataan ini.

Flash back on!

Usai lelaki misterius itu pergi meninggalkan pekarangan rumahku, aku bergegas menuju kesana. Sebenarnya aku sangat takut bahkan tubuhku gemetar tiada hentinya, namun entahlah aku juga khawatir dengan apa yang ku lihat. Aku ingin memastikan langsung, bukan karena kepo atau ingin tahu namun aku sangat mencemaskan seseorang.

Langkah ku terhenti, betapa terkejutnya aku melihat mayat seseorang yang tak ku kenal dibelakang rumahku. Aku yakin lelaki tadi pembunuh nya, namun siapa dia? Kenapa ia melakukan nya di belakang rumahku? Ku ambil pisau yang telah berlumuran darah, pisau itu telah merenggut nyawa seseorang.

Ku telan ludahku dengan susah payah, sungguh mengerikan! Ini pertama kalinya aku melihat bagian dalam tubuh manusia. Jujur saja aku hanya sekilas melihat mayat tersebut, rasanya ingin muntah jika terus menatap usus yang keluar dari perut.

Tiba-tiba mama datang dari arah belakang, ia melihat ku tengah berdiri menatap seseorang yang telah hilang nyawanya dengan pisau bekas darah di tanganku. Mama juga sempat kaget melihat keadaannya yang sangat tidak wajar. Tanpa berpikir lama, mama langsung menyeretku masuk kedalam rumah,tepatnya di meja makan keluarga kami. Tentunya tanpa mendengarkan penjelasanku terlebih dahulu.

Flashback off!

"Saya kira kamu sangat menyayangi mamahmu ini, namu-"

"Mah.." ucapku dengan nada serak memotong perkataan mama.

"DIAM!" bentaknya.

Ku pegang dengan erat pisau yang masih berlumuran darah dipangkuanku, sangat erat! Aku tidak tahu harus menjelaskan bagaimana kepada mama. Faktanya, manusia akan mempercayai apa yang mereka lihat dibandingkan apa yang mereka dengar.

Mama merampas pisau yang tengah ku pegang dengan sangat kasar, bahkan mengenai sedikit tanganku sampai mengeluarkan darah. Sakit? Tidak! Bentakan dari mama lebih sakit dari pada luka gores.

Mama memandangku penuh dengan amarah. "Anak kurang ajar." ucapnya sembari mengarahkan pisau kepadaku.

Aku memejamkan mataku, rasanya jika aku mati sekarang tidak masalah. Bahkan mungkin aku akan merasa senang, aku tidak akan di bentak bahkan tidak akan di tampar. "Selamat tinggal bumi."

Aku terus menanti pisau menusuk ku hingga membuat nyawaku melayang, namun pisau tersebut tak kunjung menusuk ku. Aku menantinya sangat lama, aku juga tak mendengar suara mama, ku putuskan untuk membuka mataku.

Papa?

Papa menolongku? Papa menghentikan tangan mama? Kenapa? Bahkan ku kira kedua orang tuaku membenci ku. Terlebih lagi papa yang sangat tidak suka dengan sikap manja ku selama ini. Tapi mengapa ia menghentikan ku?

"Masuk kamar." ucapnya dingin dengan tampang seramnya.

"Tapi pah.. hiks.." ucapku lirih.

"MASUK!" bentak papa.

Ku paksakan diriku untuk berdiri kemudian berjalan menuju kamarku, lemah, lesu, tak berdaya itu yang sedang ku alami. Langkah demi langkah ku terasa sangat berat. Rasanya aku adalah manusia yang tengah berjalan di gurun pasir tenpa makan satu bulan. Ah, berlebihan! Namun begitulah adanya.

"SIAPA YANG NGAJARIN KAMU JADI PEMBUNUH!?" suara itu sangat mengagetkan ku, aku tak mengerti! Yang tadi itu sebuah pertanyaan atau bentakan, jika pertanyaan kenapa harus pakai membentak? Apa tidak bisa berbicara dengan nada rendah?

"DIAM!"

Kali ini papa yang bersuara, aku menelan ludahku. Aku terbungkam, aku takut ketika papa sedang marah seperti ini. Tangannya mengepal, menatap mama dengan begitu tajamnya.

"Punya bukti apa kamu menuduh ia pembunuh ha?" ucapnya sembari menekan pipi mama dengan ibu jari dan jari telunjuk nya. Sangat keras! Hinga mama pun merintis kesakitan.

"Pah.. stop.. hiks.. ja-ngan kasar ke mamah."

"Masuk kamar." ucapnya dengan mata melotot seakan mau keluar dari tempatnya. Kalau sudah begini aku sudah tidak bisa berbuat apa-apa selain menuruti perintahnya.

Aku berjalan menunduk, melewati Sam yang tengah berdiri menyaksikan semua kejadian. Aku tak menghiraukan kehadiran Sam disana, yang ku inginkan sekarang hanyalah masuk ke kamar.

Masuk ke kamar!

Kamar!

Sudah itu saja, aku terkejut melihat sosok sahabat ku di depan pintu kamarku. Kyra mengetahui semuanya? Air mataku terus mengalir bak air terjun, badanku sangat lemas dan tak berdaya. Apa lagi sekarang? Kenyataan apalagi yang harus ku terima?

Sebelum Kyra berkata apapun, aku terlebih dulu angkat suara. "I'm fine. I want to be alone, I hope you understand." ucapku dengan suara sesak dan sangat berat sembari tersenyum tipis pada sahabat ku.

Kyra menepuk pundak ku seraya memberiku kekuatan. Ia membalas senyumku, lebih tipis dari senyum yang ku beri. "Don't wory, i here for u." ucapnya sembari menepuk pundak ku lebih keras!

"Tapi untuk sekarang gue beri waktu buat lo sendiri! Gue yakin lo kuat! Bersabarlah!" lanjutnya kemudian sosoknya sirna dari pandangan ku.

Aku merebahkan tubuhku di atas kasur ku, aku tidak tahu harus bagaimana? Otak ku tak bisa berpikir untuk saat ini. Aku hanya bisa menangis, menangis dan menangis. Sendiri di kamar! Mungkin sampai aku mati, atau bahkan sampai aku menjadi tulang? Lagian jika aku mati di kamar emang siapa yang akan tahu?

Cih!

Siapa yang memperdulikan ku sekarang ini? Tidak ada! Aku mentap tanganku penuh kebencian. Tangan ini telah di fitnah membunuh! Jujur dari pada di tuduh untuk sesuatu yang tidak pernah ku lakukan, lebih baik aku melakukan nya. Mengapa tidak? Melakukan atau tidak bagi mereka tetap sama! Mereka hanya menyimpulkan apa yang mereka lihat, bahkan sebelum menunggu penjelasan dariku.

Benda pipih di sebelahku berbunyi, tanpa berpikir lama aku langsung saja meraihnya. Ya! Aku akan menceritakan semuanya kepada Danil, ini sudah saatnya aku berbagi kesah dengannya. Benar bukan? Selama ini Danil tengah menunggu ku bercerita tentang masalahku bukan? Mungkin sekarang ini adalah waktu yang tepat.

Ku tulis nama Danil pada icon cari, tiba-tiba saja hatiku teriris dengan satu kenyataan lagi. Bukan hanya teriris bahkan mungkin sudah hancur. Air mataku terus menetes, bahkan lebih deras dari yang tadi. Dadaku sesak, aku sulit bernapas. Aku menangis namun tak ada suara tangisan yang bisa ku dengar, aneh! Tidak seperti biasanya.

Apakah ini yang dinamakan memangis dalam diam?

Menyakitkan! Lebih baik mencintai seseorang dalam diam saja! eh,, bercanda..

Ku lihat foto profil whattsapp Danil, sebuah foto yang sangat menyakitkan bagiku. Foto Danil yang tengah memegang plang bertuliskan Mt.Ciremai dengan pemandangan yang sangat indah dibelakang nya.. dan? Dan apalagi? Dan seorang wanita yang berada disampingnya, keduanya nampak sangat bahagia sembari memegang plang tersebut bersamaan.

Tunggu dulu? Foto kapan?

Usai kejadian di puncak Andong membuat Danil kesal. Bagaimana tidak? Kenzi sangat berlebihan, sontak saja membuat Danil naik darah. Siapa juga yang tidak marah jika di khianati seperti itu. Tapi? Siapa yang mengkhianati? Bahkan aku dengan Kenzi hanya berteman saja.

Ya seperti itulah, manusia hanya mempercayai apa yang mereka lihat bahkan sebelum mendengar. Usai kejadian itu, Danil pergi mendaki ke gunung Ciremai. Aku tahu hal yang ia lakukan ketika keadaan hati tengah berantakan hanyalah mendaki gunung Ciremai. Aku tak tahu apa alasannya, namun aku memahami nya.

Aku tersenyum tipis melihat foto tersebut, "Aku memang bukan wanita yang tepat untuk berada di samping nya."

Nampaknya akupun sama dengan yang lain, menyimpulkan yang ku lihat tanpa mau mendengar. Tapi? Haruskah aku mendengar Danil? Haruskah aku bertanya? Tidak! Bahkan untuk apa aku bertanya, aku dan dia hanya sebatas angin yang lewat.

BRAK!

Ku lempar dengan sembarang benda pipih tersebut, tak peduli jika pecah ataupun rusak. Keadaan ku untuk saat ini lebih rusak. Aku menutup kepala ku dengan bantal, kata pembunuh terus terngiang-ngiang di kepalaku. Sementara mulutku terus berkata "Bukan aku mah! Bukan!"

Rasanya kepalaku ingin meledak! Melakdaklah! Meledak saja jika bisa. Ku bangunkan tubuhku dengan susah payah, aku berjalan sempoyongan bak orang mabuk. Ya! Aku mabuk kenyataan.

Aku berjalan menuju pintu, pintu sebuah lorong rahasia, tak ada yang mengetahui nya selain diriku dengan mama. Lorong tersebut tak begitu besar, hanya berukuran bak kamar mandi milik rumah kalian. Mungkin ukuranya hanya 4X3 meter.

Aku sengaja membuat lorong tersebut, tak ada yang istimewa dari lorong tersebut. Di dalamnya hanya terdapat satu sofa hitam dan satu westafel, dengan dinding yang berwarna abu-abu. Ya! Sebuah lorong yang ku kenakan kala sedang galau. Dulu waktu putus dengan mantan pacarku, aku hanya menghabiskan waktu di dalam sana. Soal westafel, itu aku gunakan untuk cuci tangan tentunya. Kenapa di ruangan itu? Ya, aku malas keluar dari ruangan jika kala sedih dan ada sebuah kewajiban bagiku di kala galau.

"Jangan mau bersedih jika tidak ditemani makanan."

_Diary cia._

Westafel tersebut sering aku gunakan untuk cuci tangan sebelum ataupun sesudah makan. Sekarang kalian tahu kan? Namun mungkin benda itu akan beralih fungsi.

Sebuah tindakan muncul di kepalaku, lantas aku berlari menuju dapur. Meskipun lemas seperti tak bernyawa namun aku masih bisa berlari. Aku mengambil pisau yang tadi ku temukan, tak lupa juga mencucinya hingga bersih.

Aku tersenyum tipis melihat pisau dihadapanku, sangat tajam dan ujungnya lancip dengan warna silver khas pisau, memperindah penampilan saja. Entahlah, aku tertarik dengan pisau dihadapanku.

Tanpa berlama-lama aku langsung kembali menuju lorong kamarku, tentu saja semua pintu dan jendela aku kunci. Dikala suasana hati seperti ini aku sangat tidak ingin di ganggu.

Aku mulai melakukan hal yang sebelumnya hanya khayalan ku saja, ku tekan ujung pisau di lengan kiriku membuat satu goresan. Darah segar keluar daritanganku kemudian mengalir dan jatuh di lantai. Jangan tanyakan pedih atau tidaknya, kalian sudah tahu rasanya. Namun bagiku itu tak berasa, sakit yang ku alami akibat kesalah pahaman dari mama jauh lebih menyakitkan.

Jangan jadi silent reader's ya sahabat Cia. Luv u🖤

[TO BE CONTINUED]

adpdita~