Chereads / Diary Cia / Chapter 19 - Cerita lama

Chapter 19 - Cerita lama

"Level tertinggi dari mencintai adalah merelakkannya."

-adpdita-

Matahari tampak sangat cerah, memancarkan sinar yang cukup menyengat dikulit padahal jam masih menunjukkan setengah sembilan pagi.

Namun hal tersebut tidak membuat orang-orang yang tengah berkerja di luar rumah mencari tempat untuk berteduh. Malah mereka tengah asik berlalu-lalang entah di jalan raya atau pekarangan pribadi.

Wajah mereka nampak senang mengerjakan tugas kerja masing-masing. Saling berbaur dengan yang lain. Hampir semua orang berkerjasama untuk meringankan pekerjaan.

Lain halnya dengan seorang gadis cantik yang sedang duduk di meja belajar nya sembari menatap ke sudut ruangan dengan tatapan kosong.

"Simbah... Cia kangen..."

Tanpa sadar cairan bening jatuh mengenai sebuah buku yang sedang dipangku Cia. Sebuah buku usang bercover coklat tua dan lembar kertas didalamnya pun sudah berubah warna menjadi kuning kecoklatan, menandakan buku itu sudah sangat tua.

Cairan bening semakin deras ketika Cia membuka lembar pertama dari buku itu, walaupun buku itu sudang sangat tua namun tulisan di dalamnya masih bisa di baca dengan jelas.

"Anneke Felicia cicit kesayanganku." gumam Cia sembari meraba tulisan tersebut, berharap ia dapat merasakan kasih sayangnya kembali.

Yah, buku itu adalah buku yang berisikan tentang seorang pria yang sangat senang atas kelahiran cicit pertamanya. Sebuah buku yang membuat Cia merasa bahagia terlahir didunia. Bagaimana tidak? Di buku tersebut tertuliskan rangkaian kata bahagia penuh syukur atas kehadiran Cia di dunia ini. Dari Cia terlahir didunia sampai berusia sepuluh tahun pria tersebut tidak pernah berhenti memperhatikan nya, ia selalu memberikan kasih sayang seutuhnya kepada Cia. Dan Cia menyebutnya dengan cinta pertama bahkan selamanya.

Sepuluh tahun yang lalu....

Seorang pria berusia enam puluh lima tahun telah selesai melaksanakan sholat subuh berjama'ah bersama seorang gadis yang masih berumur sepuluh tahun.

"Simbah.." panggil Cia dengan riang, tak lama kemudian pria tersebut membalikkan badannya dan tersenyum manis kepada Cia.

"Bedo'a dulu cantik." ucapnya sembari mengelus-elus kepala Cia yang sedang mencium tangannya.

Setelah usai berdo'a Cia memeluk erat Simbahnya, kemudian mencium kening nya yang sudah mengeriput.

"Cup.. mbah, Cia mau siap-siap berangkat sekolah." kata Cia dengan lembut.

"Jaga diri kamu cantik, simbah ngga bisa selamanya berada disampingmu." ucapnya membuat Cia terdiam kebingungan. Karena itu adalah sebuah kata yang tak pernah diucapkan simbah kepada Cia.

"Simbah sudah tua.. jadi wanita yang lembut yah." lanjutnya sambil tersenyum sembari mengelus-elus rambut Cia.

"Simbah jangan ninggalin Cia sendirian ya? Cia takut kalo sendirian."

Cairan bening keluar dari mata pria tersebut, jatuh tepat di telapak tangan Cia. Tetes air mata dengan sebuah senyum bahagia di bibirnya.

"Cicit simbah pasti jadi wanita yang kuat." ucapnya.

Cia tersenyum sembari menghapus air mata di wajah Simbahnya yang sangat ia cinati, ia selalu merasa baik-baik saja tinggal di dunia yang begitu menyeramkan bagi seorang wanita.

"Simbah mau tidur dulu ya."

....

Jam menunjukkan pukul sembilan pagi, semua murid tengah menikmati jam kosong dikarenakan seluruh guru tengah melaksanakan rapat bersama. Wajah mereka terlihat senang dan berseri. Saling bercanda tawa satu sama lain.

Lain halnya dengan Cia yang sedari tadi tengah gelisah, hatinya tiba-tiba terasa pilu, entah apa penyebabnya.

"HEH NGALAMUN AJA LO!" bentak teman sebangku Cia yang sedari tadi memperhatikannya.

"Paansi! Lo mau gue jantungan hah?!" sinis Cia tak suka.

Cia melangkah kaki keluar dari ruang kelasnya memuju kamar mandi siswa yang berada di samping ruang kelasnya.

"Astaghfirullah, kenapa?" gumam Cia sembari membasuh muka dengan air kran. "Huftt... Tenang Ci!" lanjutnya sembari keluar dari kamar mandi.

Setelah Cia sampai di lorong kamar mandi, ia melihat seluruh teman kelasnya dengan jelas dari posisinya berdiri. Cia hanya acuh dan tak memikirkan lebih lanjut hal tersebut. Semampinya di kelas ia kembali melamun di tempat duduknya, sampai beberapa menit ia tersadarkan karena jari tangannya terasa perih dan mengeluarkan sedikit darah padahal tidak ada benda tajam yang dapat melukai jarinya disekitar nya duduk.

Cia menggerakkan kedua bola matanya memandangi seluruh isi kelas, suasana sama seperti yang ia lihat barusan.

"Hah!? Gimana gue bisa liat keadaan kelas dari kamar mandi? Tapi perasaan tadi gue lihat dengan jelas. Kok aneh... Rasanya tadi tembok pembatas ruangan kelas dengan kamar mandi ilang ya? Ah... apa mungkin cuma imajinasi gue ya?" batin Cia.

"Ck.." desak Cia.

Bel pulang sekolah berbunyi, semua murid bersorak bahagia karena pulang lebih awal hari ini. Sementara Cia hanya menghela nafas dan merapikan semua bukunya. Ia berlari menuju parkiran, mengambil sepedanya dan menggoesnya dengan cepat menuju rumahnya.

Hatinya semakin tak karuan, lima meter dari rumah terlihat bendera putih terpasang dipagar rumah Cia. Dengan berat hati Cia menaruh sepedanya dirumah tetangga sebelahnya, hatinya semakin berat ketika ia melihat orang ramai di halaman rumahnya. Nampak mama yang sedang menangis menunggu kepulanganku di depan pintu, tanpa berlama-lama aku langsung menghampirinya.

"Kenapa mah? Kok ramai?" tanyaku setelah sampai di posisi mama berdiri.

"Ka-mu yang...." belum sempat mama melanjutkan kalimatnya, Cia bergegas masuk kedalam.

Tubuhnya sangat lemas, rasanya nyawanya pun ikut keluar dari tubuhnya. Ia melihat seorang pria yang sangat ia sayangi sedang tertidur dan ditutupi kain putih.

"SIMBAH..." Teriak Cia sembari berjalan ke samping Simbahnya tertidur.

Sesampainya disamping Simbah, Cia sudah tak dapat merasakan apapun, tubuhnya mati rasa.

"Yang sabar." ucap pak ustad yang tengah mengkafani simbah.

"Simbah.. hiks.. Cia takut.. kata simbah tadi pagi cuma tidur kan? Tapi kenapa simbah ngga bangun.. hiks.. Cia udah pulang sekolah.. simbah jangan.. SIMBAAHH... AAA"

"Mama bangunin simbah, mama."

Seluruh orang yang berada di ruangan itu menangis menyaksikan Cia yang masih belum percaya jika simbahnya telah pergi.

"Pak ustad, tadi simbah bilangnya mau tidur.. hiks."

"Cia sayang sama simbah?"

"Sayang banget."

"Kalo gitu, Cia yang ikhlas. Do'ain simbah selalu agar simbah tenang disisinya."

Tangis Cia semakin menjadi, ia sangat tidak mau menerima kenyataan tersebut. Cia memeluk erat tubuh simbahnya yang telah di kafani, tidak ada rasa takut sedikitpun pada dirinya. Mama terus berusaha menenangkan nya, namun percuma.

"Sayang kita keluar dulu ya, biar simbah di sholatkan." ucap mama sembari mengelus-elus kepala Cia.

Mama memaksa Cia untuk pergi dari posisinya. Setelah berjalan beberapa langkah "Cia mau disini. Boleh kan mah?" tanya Cia yang masih meneteskan air mata. Mama hanya tersenyum dan mengangguk.

Cia berdiri di depan pintu, air matanya terus menetes sembari melihat simbahnya. Banyak keluarga nya yang menepuk pundak dan menyemangatinya, namun Cia tak menghiraukan mereka. Ia hanya mentatap simbahnya dengan derasnya air mata.

Sholat telah selesai, beberapa pria dari keluarga ditemami pak ustad di komplek Cia menempatkan posisi mereka untuk memasukkan simbah ke dalam keranda. Cia melangkah kaki menghadapiri mereka.

"Sebentar." ucap Cia sembari menghapus air matanya.

"Simbah.. yang tenang ya.. Cia sayang simbah." ucap cia tepat disamping telingga simbahnya, kemudian cia mencium pipi simbahnya untuk terakhir kalinya dengan memaksakan senyum dibibirnya.

"Mah Cia ikut ke makam ya?" pinta cia memohon.

"Jangan nangis ya? Janji?"

"Janji." balas Cia sembari tersenyum.

....

Pemakaman telah selesai, Cia tengah duduk di kasur simbahnya. Ia masih merasakan sakitnya kehilangan seseorang yang sangat ia sayangi. Cia melihat sebuah buku berwarna coklat di samping nya, ia mengambil serta membuka buku tersebut. Sebuah buku catatan milik simbahnya yang menceritakan tentang dirinya selama sepuluh tahun.

Setelah selesai membaca buku catatan milik simbahnya, Cia memeluk erat buku tersebut dengan perasaan sedikit lega. Betapa senangnya hatinya membaca seluruh perasaan bahagia simbahnya bersamanya.

Satu hari yang tidak pernah Cia bayangkan dalam hidupnya adalah hari ini, hari dimana ia kehilangan rumahnya untuk mengadu kesah. Seseorang yang selalu menjaga dan memberinya perlindungan dari dunia yang jahat telah tiada. Sebuah cinta dan kasih sayang yang tidak ia dapat dari sosok yang dinama kan Ayah, ia dapatkan dari dalam diri Simbah nya. "Menjadi kuat adalah hal yang bisa membuat Simbah merasa senang di alam sana." Hanya Kalimat tersebut yang menjadi bekal hidup Cia dari detik itu.

"Aku sayang simbah! Aku harus ikhlasin dan terus mendo'akannya." ucapnya mengeratkan buku yang tengah ia peluk.

Ia merebahkan tubuhnya yang sangat lelah dikasur tersebut, tanpa menunggu lama ia langsung tertidur.

....

"Huftt... Simbah yang tenang yah." bantin cia sembari tersenyum.

"Kenapa sayang?" tanya mama dengan cemas karena melihat ku menangis, entah dari kapan ia datang Cia tak menyadarinya.

"Eh, mama. Kok tiba-tiba dikamar Cia?" ucap Cia kemudian menatap wajah mama dan membuatnya tertunduk. "Ci-a ka-ngen sim..." lanjutnya, belum sempat Cia menyelesaikan kalimatnya. Mama memeluk Cia dengan erat.

"Mama ngga bisa gantiin kasih sayang simbah buat Cia." kata mama sembari meneteskan air mata.

"Mamah... kasih sayang mamah melebihi segalanya buat cia." kata Cia sembari melepas pelukan dari mama dan mengusap pipi mama yang basah karena air mata.

"Cia sayang mama." ucap Cia dengan senyum di bibirnya.

"Aku harus jadi wanita kuat. Aku harus buktiin ke simbah kalo cicitnya ini adalah wanita kuat seperti yang ia katakan." batin Cia.

Drttt...

Dering ponsel Cia berbunyi membuat fokus kedua wanita itu terakhir, mama mencium kening cia kemudian meninggalkan Cia di kamar.

"HAH!? 35 panggilan tak terjawab." ucap Cia kaget

"MAK LAMPIR! GUE TELFON DARI TADI NGGA DI ANGKAT! BARU BANGUN PASTI! CK!" desak kesal Kenzi setelah Cia menangkat telfonnya.

"Hmm..."

"HM? CUMA HM? HEH LO LAGI NGAPAIN SI! GUE DARI TADI TELFON LO!"

"Brisik ih." kata Cia, suaranya terdengar sngat serak, menandakan ia habis menangis.

"Are u oke?" kata Kenzi dengan lemut.

"Hah?"

"Lo kenapa? Abis nangis?"

"Kok lo tau?" jawab Cia dengan heran.

"Dari suara lo udah jelas banget lo abis nangis. Ada apa cerita sama gue."

"Gapapa."

"Kata bapa aku, kalo cewe bilang ngga papa itu tandanya sedang hancur. Kenapa?"

"Gue keinget alm. Simbah." kata Cia diiringi cairan bening.