"Berbohong karena terpaksa, terpaksa karena keadaan, keadaan yang tak berpihak kepadaku."
-adpdita-
Mama membuka pintu kamarku, lalu memasuki ruang ternyamanku bersamaan.
"Mah.. mamah pernah boong ga ke papa?" tanyaku sambil menundukkan kepala.
Mama mendekati ku yang tengah duduk diatas kasur, sembari mengangkat kepalaku yang sedang menunduk. "Sayang, kamu boleh boong untuk menutupi lukamu, tetapi kamu jangan pernah boong tentang suatu kondisi yang melibatkan orang lain ya,, karena satu kebohongan akan disusul kebohongan yang lain." tutur dan jawab Mama sambil memeluk ku.
Aku hanya terdiam mendengar penjelasan dari mama, rasanya ingin sekali mengulang waktu. "Andai saja gue Nobita, pasti gue udah bisa nyuruh Doraemon buat putar waktu dan ga boongin Danil." batinku sambil menatap lulus ke tombok.
"Cia? Ada apa?" tanya mamah sembari mengusap lembut rambutku.
"Engga papa mah, biasa anakmu inih lagi kasmaran." tuturku sambari menatap mamah dengan penuh keyakinan.
Mama menatapku dengan senyum dibibirnya, ia senang akhirnya aku bisa move on dari mantanku. "Inget kata mama ya, NYAMAN ITU JEBAKAN!" tutur dan peringatan mama untuk ku.
Aku hanya tersenyum dan menganggukkan kepala, perbincangan kami terhentikan karena nada telfon di ponsel ku berbunyi.
"Mama ke ruang tv ya, mau nonton cowo ganteng." tutur mama usil sembari mencium pipiku.
Setelah mama menutup pintu kamarku dari luar, aku mengehela nafas panjang sembari menatap ponsel ku lalu menggeser icon telfon warna hijau.
"Jangan ganggu gue dulu." tuturku dengan nada malas.
"Tapi...." jawabnya yang ku potong dengan kata "Gue pengin sendiri."
Trutt...
Ku rebahkan badanku, lagi-lagi aku menghela nafas panjang. Pikirku sembari memikirkan perkataan mama yang melarangku untuk berbohong. "Apa gue bilang aja ke Danil? Kalo misal Danil marah... Agrrhhh..." ocehku sembari menggaruk kepalaku yang tak gatal bak orang gila.
Pikiranku terus terfokus kepada kebohonganku. "Eh, mending gue cerita ke sahabat gue aja kali ya, tapi mereka... Ah bodoamat lah yang penting gue bisa dapet sedikit solusi." tuturku dengan senyum.
Pelir.
Cia.
"Permisi penghuni hutan, gue mau cerita nih.."
Shasa.
"Mau chat? Telfon? Vc? Sok monggo."
Vania.
"Gue lagi di bioskop sama bebeb."
Cia.
"HAH!? Siapa!?
Kyra.
"Kudet lo. Tuh lo punya temen seperbucinan, baik-baik tuh kalean."
"Mau cerita apa lo?"
Cia.
"Gue boongin Danil."
Shasa.
"Soal apa?"
Cia.
"Tentang Kenzi."
Vania.
"Mampoosh."
Kyra.
"Bhahaha..."
"Lanjutin Ci, lo temen gue. Uda boong aja gapapa, enjoy ur life. Nikmati, syukuri, resapi."
"Selagi lo gabilang tentang Kenzi ke Danil, Lo aman."
Vaina.
"Otw lapor nih,bhahaha."
Sudah ku duga menceritakan perihal cinta kepada tiga sahabatku bukanlah solusi yang tepat, bukannya dapet solusi malah dalet motivasi mempertahankan kebohongan.
Ku peluk bantal guling disampingku dengan sangat erat, rasa penyesalan terus hadir dalam diriku. Pandanganku terus terfokuskan pada ponsel hitamku sembari berharap seseorang menenangkan diriku.
Drrtt...
Drrtt...
Drrtt...
Ponselku bergetar, ku lihat nama Kenzi di layar ponselku, sehabis Kenzi menelfonku beberapa menit yang lalu, ia mengirimkan pesan dan takku hiraukan pesan darinya.
"Ah, gue males banget ngobrol sama dia. Rese!" cetusku dengan kesal. "Tapi ngapainsih dia" cetus lanjutku sembari berfikir. "Apa gue cerita sama Kenzi aja.. emm, gue coba aja deh." tuturku sembari mengatakan telfon dari Kenzi.
"Lo kenapa?" tanya Kenzi melalui ponsel tanpa basa-basi.
"Gue..."
"Apa? Tadi yang main siapa? Lo marah? Lo.." pertanyaan Kenzi yang belum selesai karena terpotong oleh cetusan dariku.
"KOK LO BAWEL SI! BANYAK TANYA KEK WARTAWAN.. DASAR JERAPAH!." kesalku
"Huftt..." Kenzi mengehela nafas. "Salah gue apa, aneh lo! Dasar mak lampir!" ucap Kenzi yang membuat ku langsung mengangkat kedua alisku.
"Gini yah, pertama lo telfon gue pas Danil lagi main kerumah gue! Kedua, gara-gara lo! Gue jadi boongin Danil!" cetusku menjelaskan kesalahan Kenzi. Tanpa ku sadari, Kenzi sedikit tersinggung dengan perkataan ku, namun ia berusaha menutupi hal tersebut.
"Jangankan menang debat, nawar cabai dipasar aja gue kalah." tutur Kenzi.
"Ngeselin lo! JERAPAH!"
"Ya emang si leher gue panjang. Tapi ngga sepanjang jerapah juga kali MAK LAMPIR!"
"Serah"
"Danil siapa si? Pacar lo?"
Pertanyaan Kenzi membuatku berfikir. "Em.. Danil? Pacar? Ishh.. gue sama dia cuma deket. Tapi deket ngga ya.. deket mungkin." tuturku bak orang gila yang sedang berbicara.
"Aneh lo!"
"Huufttt....." Ku hela nafas panjang, ku tatap buku kesayanganku di meja belajar. "Hmm.." gumamku sambil tersenyum sembari mematikan telfon dari Kenzi.
Dengan senang hati, aku berjalan menuju meja belajarku. Memegang buku dan polpoint, menggores halaman kosong menjadikan halaman berisi curhatan serta perasaan yang sedang ku alami.
Menulis merupakan pelampiasan kekecewaanku, lembar demi lembar ku gores dengan bolpoint, ada rasa tenang tersendiri bagiku dikala sedang menulis. Rasa kecewa, pilu, sedih, kesal, beban, semua akan terasa ringan bagiku setelah mengungkapkannya di buku kecilku. Lembar demi lembar ditemani tetesan air bening yang terus mengalir dengan sendirinya.
***
"Gue ketiduran pas nulis?" tanyaku pada diri sendiri.
Ku langkahkan kaki menuju kasurku untuk melanjutkan tidurku, langkahku terhentikan ditepi kasur, tepatnya didepan ponselku. Ku lihat Danil menelfonku. Senyum dibibirku tumbuh dengan sendirinya.
"Lama angkat telfon nya." ucap Danil membuat ku tersenyum lebih lebar.
"Diem aja teruus."
"Cia abis tidur, capeeee." tuturku bak orang kecapekan.
"Iya sana tidur, Danil juga mau tidur. Cape abis apel." ucap Danil.
"Selamat tidur juga."
Berat rasanya untuk bersikap biasa aja kepada Danil, pikirku hanya bimbang. Aku tak bisa menentukan harus jujur atau tetap berbohong kepadanya. "Boong.. jujur.. boong.." tuturku sambil menghitung kesepuluh jariku yang berakhir pada kata "jujur". "Agrhh... Tidur aja deh, masalah itu gue pikirin besok!" kesalku pada diri sendiri sembari bersiap-siap untuk tidur.
"Jerapah! Lo ganggu banget si!" ketusku pada Kenzi setelah mengangkat telfonnya.
"Sorry, ada yang mau gue tanyain." ucap Kenzi dengan nada pelan. "Are u okey?" lanjutnya.
"No!"
"Cuz?"
"Lo pikir aja deh. Gue gasuka boong!" kataku kesal dengan Kenzi. Entahlah, aku juga tidak bisa menyalahkan dirinya karena ini murni kesalahan ku. "Lo ga salah, gue..." aku terdiam, bibirku tak bisa melanjutkan kalimat yang ingin ku sampaikan.
"Gue ada lagu buat lo. Ini tuh lo banget" tuturnya membuatku heran. "hmm?" gumamku.
"Eh, maksudnya lo pasti ngerasain ini banget." jelasnya.
Kenzi langsung memainkan gitarnya, ia meng intro lagu yang akan dinyanyikannya untukku. "Judulnya lagi ceneng." ucapnya.
"Lagi ceneng?"
🎶 🎶 🎶 🎶
Aku tertawa mendengarkan lagu yang dinyanyikan oleh Kenzi, bukan karena suaranya melainkan lirik yang ia nyanyikan membuat ku geli dan ingin tertawa.
"Liriknya bikin sendiri?" tanyaku setelah Kenzi selesai bernyanyi.
"Iya, khususon buat lo." jawabnya.
"Boong, buktinya?"
"Itu liriknya gue ngarang sendiri. Gatau gimana caranya, gue cuma liatin foto lo, terus terucap deh lirik tadi." jelasnya panjang lebar yang hanya ku jawab "hm.." dengan suara datar.
"Gue minta maaf ya ci, lo kalo ada apa-apa cerita aja ke gue." tutur Kenzi membuat terkekeh. Bagaimana tidak? Ia merupakan sosok yang sangat menyebalkan bagiku.
"Hahaha, mana mungkin gue cerita ke jerapah kek lo." jawabku sembari mengejek Kenzi.
"Ya dari pada lo pendem sendirian kan? Kalo bisa dibagi sama gue, kenapa ga bagi bagi aja? Kan biar ringan." tutur kenzi yang mampu membuatku terdiam membisu. Tentu saja, Danilpun tidak pernah mengatakan demikian. Danil hanya berusaha membuatku nyaman dan tidak pernah memaksa ku untuk bercerita kepada nya.
"Dalam hubungan itu cuman dua pilihan. Ditinggalin atau ninggalin." lanjutnya.
"Hm... Lupain aja deh, gue males bahas gituan." ucapku dengan nada putus aja.
"Ci? Sebagai permintaan maaf gue, gimana kalo kita naik gunung? Lo mau ga? Biar lo bisa nenangin diri lo gitu." tutur dan pertanyaan kenzi membuat heran, karena setahuku dia merupakan tipe cowo pendiam.
"Emm.. ternyata lo care juga ya." tuturku.
"Jangan salah kan diriku, salahkan saja keadaan kita."
-Cia-