***
Seorang gadis berlari ke arahku. Keringat membasahi wajahnya, atau air mata? Sebab dia tampak sangat ketakutan. Sesekali dia menoleh ke belakang seakan memastikan tidak ada orang yang mengikutinya tapi yang dilakukannya malah membuatnya terjatuh ke lantai. Dia memekik saat tubuhnya terhempas keras di lantai. Aku langsung menghampiri gadis itu.
"Mari saya bantu." Aku mengulurkan tanganku untuk membantu gadis itu berdiri. Tapi betapa terkejutnya aku saat aku berusaha memegang tangannya. Jari tangan dan telapak tanganku menembus tangannya. Tanpa sadar aku meloncat mundur menjauhi gadis itu. Aku sangat terkejut sekaligus ketakutan. Jantungku berdetak begitu kencang seakan mau melompat keluar dari rongga dadaku.
"APA KAU HANTU???!!!" Aku berteriak histeris. Tapi gadis itu seperti tidak mendengar suaraku sama sekali. Aku menatap gadis itu dari ujung kaki sampai ujung kepala.
"Toloong!" Gadis itu menangis sambil berusaha bangkit. Pada saat itulah seorang pria datang dari arah kegelapan. Dia mengenakan jaket merah besar yang lebih mirip dengan sebuah jubah dengan tudung yang menutupi kepalanya. Selain itu dia menggunakan penutup wajah. Hanya kedua matanya yang tampak bersinar berwarna kuning bagai mata seekor kucing yang bersinar di kegelapan. Gadis itu tersentak kaget dan langsung bangkit lalu berusaha lari. Tapi pria itu langsung mencekal tangan gadis itu.
"Lepaskan aku! Toloong!" Gadis itu memberontak. Dengan seluruh kemampuan yang dimilikinya dia berusaha membebaskan tangannya dari cekalan tangan pria itu.
"Hei! Lepaskan dia!" Aku berteriak dan memukul pria itu tapi hasilnya sama saja dengan apa yang aku lakukan pada gadis itu. Aku sama sekali tidak bisa menyentuh tubuhnya. Seakan tubuh mereka berdua terbuat dari udara yang bisa dengan mudah ditembus begitu saja. Atau mereka berdua ini adalah hantu? Aku benar-benar tidak mengerti.
Gadis itu terus berusaha melepaskan diri sambil berteriak minta tolong. Aku tidak bisa berbuat apapun untuk menolong saat pria itu menghempaskan tangan gadis itu hingga gadis itu terbanting ke lantai. Gadis itu menjerit kesakitan saat tubuhnya membentur lantai yang keras. Sebelum gadis itu sadar dari kesakitannya, pria itu menghampiri tubuh gadis itu dan berjongkok di sampingnya. Kemudian dia langsung mencengkeram leher gadis dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya mengambil sesuatu dari balik jaket besarnya. Gadis itu terbatuk-batuk karena tidak bisa bernafas. Dia berusaha melepaskan cengkeraman tangan pria itu dari lehernya dengan mencakar, memukul tangan yang mencengkeramnya dan semua yang sanggup dia lakukan untuk melawan dan membebaskan jalan nafasnya.
"Ahk!!" Tiba-tiba gadis itu menjerit tertahan dan matanya mendelik ketakutan melihat benda yang tiba- tiba sudah ada di tangan pria itu. Sebuah pisau berwarna keperakan. Aku kaget sekali melihatnya.
Sebuah pikiran buruk langsung terlintas di kepalaku. Jangan lagi! Batinku ketakutan. Seluruh ingatan tentang semua mimpi buruk terlintas di kepalaku bagaikan sebuah adegan dalam film yang diputar dan dipercepat dalam otakku. Mimpi buruk yang terus terulang bagaikan dejavu yang mengerikan. Dan aku tidak mau membiarkannya kali ini. Tidak akan! Tekadku.
"JANGAAN!!" Aku berteriak sambil berusaha merebut pisau belati itu dari genggaman pria itu tapi sia - sia saja. Menyentuh saja aku tidak bisa apalagi merebutnya. Aku hanya bisa melihat gadis itu menangis dan menjerit ketakutan saat pria itu mengacungkan pisaunya tinggi-tinggi di atas tubuhnya. Pada saat itulah pria itu menoleh ke arahku. Aku kaget dan melompat mundur. Apakah dia tadi melihatku? Jantungku berdebar sangat kencang hingga aku takut orang itu bisa mendengarnya. Tapi sebelum rasa takut dan kagetku hilang, pria itu menghujamkan pisau itu ke dada gadis itu. Aku berlari secepat yang aku bisa untuk menyelamatkan gadis itu, tapi tanganku yang berusaha merebut belati dari tangan lelaki itu hanya menembusnya bagaikan udara.
"JANGAAN!!" Hampir bersamaan aku dan gadis itu berteriak. Tapi itu adalah jeritan terakhir yang keluar dari mulut gadis itu. Tubuhnya menggeliat-geliat kesakitan dan kakinya menendang ke segala arah beberapa saat sebelum tangannya yang mencengkeram tangan pria yang mencekiknya itu terkulai. Lalu tubuh kurus gadis itu diam tidak bergerak lagi. Untuk selamanya.
Air mataku mengalir tanpa bisa aku bendung. Rasa putus asa dan ketakutan terasa seperti sebuah batu sebesar gajah yang menghantamku dengan keras hingga aku jatuh terduduk dengan tubuh gemeter hebat. Nyawa seorang gadis melayang tepat di depanku dan aku tidak bisa berbuat apapun. Sama seperti sebelumnya.
Pria itu masih berjongkok di samping tubuh gadis itu. Dia menyelipkan pisau belatinya yang berlumuran darah itu ke ikat pinggangnya, lalu mengeluarkan sesuatu dari saku jaket besarnya. Sebuah cawan kecil berwarna perak, berbentuk seperti piala berukuran kecil. Dia lalu menggunakan cawan itu untuk mengambil darah yang masih mengalir dari luka di dada gadis itu. Bahkan membunuh gadis itu belum cukup bagi pria itu. Dan dia bahkan masih melakukan hal yang lebih menjijikan lagi. Aku benar-benar marah sekaligus takut melihat pria itu.
"DASAR MANUSIA BIADAB!! MENJIJIKKAN!!" Aku memaki pria itu. Pria itu menoleh padaku. Aku tersentak kaget. Tanpa sadar aku bangkit dan mundur selangkah. Apakah dia bisa mendengar suaraku? Atau dia bisa melihatku. Sudah dua kali ini dia melihat tepat ke arahku.
"Tentu saja aku bisa melihatmu." Pria itu dengan tenang meletakkan cawan kecil yang sudah dipenuhi darah gadis baru saja mati itu di lantai. Dia lalu bangkit dan berbalik ke arahku. Aku langsung memasang sikap waspada saat pria itu menghunus pisau belati yang ada di pinggangnya.
"Kau!" Pria itu menunjukku dengan ujung belatinya yang berlumuran darah.
"Sebentar lagi kau akan mati jika kau berani mencampuri urusanku lagi!" ancam orang itu sambil menunjukku dengan ujung pisau belatinya.
"Sebenarnya.. Aku ingin membunuhmu.. sekarang juga!" Tanpa peringatan pria itu melompat dan tiba-tiba sudah berada tepat di depanku. Dia langsung menusukkan belatinya ke arahku.
"JANGAAAN!" Aku menjerit ketakutan. Dengan spontan aku melindungi diri dengan menutupkan kedua tanganku di depan wajahku. Tapi orang itu menangkap tanganku.
"JANGAAAN! LEPASKAN AKU!!" Aku berteriak ketakutan sambil berusaha melepaskan tanganku dari genggaman orang itu. Tapi orang itu selalu berhasil menangkap tanganku lagi. Orang itu pasti benar-benar berniat membunuhku karena aku sudah menyaksikan aksi kejahatannya.
"Lepaskaan!!" jeritku sekencangnya. Aku makin ketakutan.
"Bulan! Bangunlah! Bulan! Ini Tante Ratih!"
Seseorang menepuk-nepuk pipiku dan membuatku terbangun. Saat aku membuka mata aku mendapati wajah Tante Ratih yang melihatku dengan tatapan cemas. Aku mencoba mengatur nafasku yang masih tersengal.
"Kamu mimpi apa?! Teriakanmu terdengar sampai ke kamar Tante." Tante Ratih membelai pipiku dengan lembut.
Mimpi? Aku melihat sekitar dan ternyata aku berada di tempat tidur di dalam kamarku. Jadi pembunuhan gadis itu dan orang yang mencoba membunuhku tadi, semua itu hanya mimpi? Benar. Itu semua hanya mimpi dan aku aman di dalam kamar tidurku dan juga ada Tante Ratih di sini bersamaku.
"Syukurlaaah.." Aku langsung memeluk Tante Ratri dengan sekuat tenaga.
***
Aku sampai ke sekolah pagi-pagi sekali. Yah. Apa boleh buat. Setelah aku bermimpi mengerikan itu aku tidak berani tidur lagi. Aku takut mimpi itu datang lagi saat aku memejamkan mata. Jadi kuputuskan untuk tetap terjaga hingga pagi. Dan di sinilah aku, kepagian sampai ke sekolah yang masih sepi, hanya satu dua siswa yang mungkin mendapat giliran piket kelas dan Pakbon yang tentunya yang sudah hadir melaksanakan tugasnya di sekolah.
"Huaemmm.." Aku menguap sambil menutup mulutku dengan punggung tangan kiriku saat seseorang menepuk bahuku. Aku menoleh dan mendapati wajah manis Dina, sahabatku yang menatapku dengan kening berkerut.
"Kamu habis ngeronda yaa? Pagi - pagi sudah kayak buaya kelaparan." katanya sambil tertawa geli.
Aku hanya menatap wajah sahabatku itu sejenak lalu meneruskan langkahku tanpa menjawab. Dina masih berdiri menatap punggungku.
"Kau mimpi seram lagi ya? "
Pertanyaan Dina itu membuatku menghentikan langkahku. Aku berbalik dan menatap sahabatku yang berjalan perlahan menghampiriku. Aku heran padanya. Kenapa dia selalu tahu yang terjadi padaku sebelum aku mengatakan apapun padanya? Walaupun kami sudah bersahabat sejak kecil dan saling mengetahui watak dan kebiasaan masing-masing, tapi tetap saja aku merasa aneh. Aku bahkan curiga Dina adalah cenayang yang punya bakat penerawangan dan meramal atau hal semacam itu. Atau Dina memasang kamera cctv di kamarku mungkin? Oke. Yang terakhir itu mungkin agak berlebihan.
"Aku bukan cenayang dan tidak memasang cctv di kamarmu untuk mengawasimu kalau itu yang kau pikirkan." ucap Dina.
Aku mendelik kaget mendengar ucapan Dina itu. Tuh kan! Aku benar-benar curiga sekarang kalau Dina adalah seorang cenayang.
"Kau pernah cerita padaku kalau kau mimpi buruk beberapa dan setelah itu kau tidak tidur lagi gara-gara takut mimpi burukmu datang lagi jika kau kembali tidur. Kalau tidak salah sudah.. Mmm.." Dina tampak mengingat ingat.
"Oya. Sudah 8 kali kau mimpi melihat pembunuhan. Kalau ditambah ini jadi 9 kali." ucap Dina sambil menatapku.
Semua yang dikatakan Dina benar adanya. Sudah beberapa bulan ini, atau lebih tepatnya sembilan bulan kalau aku tidak salah menghitung, kenapa aku seperti orang hamil saja menghitung bulan? Yah selama itu aku mengalami mimpi-mimpi buruk. Mimpi yang sangat mengerikan sebenarnya. Mimpi tentang gadis-gadis yang dibunuh di depan mataku dengan cara yang hampir sama. Mereka ditusuk dengan pisau belati indah yang berwarna keperakan namun mematikan oleh seorang laki-laki yang selalu menyembunyikan wajahnya di balik penutup wajah. Aku seperti dipaksa menonton serial pembunuhan secara langsung tanpa bisa berbuat apapun untuk menolong para korbannya. Itu benar-benar siksaan yang sangat kejam bagiku. Dan aku hanya bisa menceritakan semuanya pada Dina, satu-satunya sahabatku yang aku percaya dan mempercayaiku. Dia adalah satu-satunya orang yang tidak akan mengatakan "Ah! Itu kan cuma mimpi. Hanya kembang tidur saja."
Dina menatapku seolah ingin mendengar aku mengucapkan sanggahan atau membenarkan. Aku hanya mendesah, lalu berbalik dan melangkah menuju kelasku. Saat ini aku terlalu lelah dan mengantuk untuk bercerita tentang mimpi mengerikan itu. Dina sepertinya mengerti jalan pikiranku seperti biasanya, dan hanya menjajari langkahku tanpa bertanya lebih jauh lagi. Pada saat seperti ini, aku sangat bersyukur memiliki sahabat cenayang seperti Dina. Aku hanya menurut saat Dina merangkul pundakku lalu menarik kepalaku untuk bersandar di bahunya. Aku melingkarkan tanganku di lengan gadis manis itu dan memeluknya erat. Aku jadi merasa tenang saat bersama sahabatku ini.
"Sangat menakutkan ya?" tanya Dina pelan seraya membelai rambutku.
"Banget!" jawabku singkat.
Dina mengantarku hingga aku duduk di mejaku di kelasku. Sesekali dia membelai rambutku. Aku bisa melihat dia sangat mencemaskan keadaanku.
"Aku tidak apa-apa kok. Kau sebaiknya segera ke kelasmu. Bukankah kau piket hari ini?" Aku mendorong Dina hingga ia terpaksa berdiri.
"Aku benar baik-baik saja. Tenanglah. Pergi sana!" Aku mengusir sahabatku itu. Dengan masih terlihat enggan Dina meninggalkanku. Saat mencapai pintu kelas Dina berhenti dan menoleh.
"Aku nanti ke sini saat jam istirahat." janjinya. Dina lalu pergi menuju kelasnya.
Aku merasa sahabatku itu terlalu perhatian. Aku benar-benar beruntung memiliki teman seperti Dina.
***
Hampir sebulan setelah aku bermimpi tentang pembunuhan itu, dan aku pun hampir melupakan masalah itu. Hari-hari ku diisi dengan kegiatan sekolah seperti biasa. Seperti hari ini, aku sedang berjalan dengan santai bersama Dina menuju ke kantin saat aku mendengar suara langkah orang berlari dari arah belakangku. Aku berniat menoleh untuk mencari tahu siapa yang berani-beraninya berlarian di koridor sekolah yang jelas-jelas merupakan perbuatan berbahaya dan terlarang di sekolah ini.
BRUAK!! Belum sempat aku menoleh, seseorang telah menabrakku hingga aku terjatuh dengan posisi seperti Superman yang sedang terbang. Memalukan sekali.
"Maaf.. Maafkan aku.."
Suara seseorang terdengar. Selanjutnya sepasang tangan dengan cepat memegang kedua lenganku dari belakang. Lalu aku merasa tubuhku terangkat ke belakang oleh sepasang tangan yang kemudian membuatku duduk. Sesaat kemudian seorang gadis berkacamata dengan rambut dikuncir kuda mengulurkan tangannya padaku, bermaksud membantuku berdiri. Aku menatapnya.
"Maaf. Aku tadi yang menabrakmu." ucap gadis itu.
Gadis itu terlihat takut. Aku tadinya ingin marah-marah tapi begitu melihat wajah gadis manis yang menatapku dengan wajah takut seperti itu membuat kemarahanku langsung hilang. Aku mendesah, lalu menyambut tangannya.
NGIIIIING!!!!
Tiba-tiba telingaku seperti berdenging. Kepalaku terasa sangat sakit seperti mau meledak. Aku meremas kepalaku mencoba meredakan sakit di kepalaku. Sesaat pandanganku menjadi gelap, selanjutnya aku melihat gadis berkacamata di depanku itu sudah terkapar di lantai. Seorang laki-laki jongkok di samping tubuh gadis berkaca mata itu dengan sebilah belati perak di tangannya. Aku tersentak kaget dan juga ketakutan. Itu adalah lelaki yang ada dalam mimpiku. Lelaki yang selalu membunuh gadis-gadis dengan belati perak. Lelaki itu pasti datang untuk membunuh gadis berkaca mata itu!
"JANGAAAAN!" Aku berteriak histeris. Aku menarik tangan gadis berkacamata itu, mencoba menjauhkannya dari jangkauan lelaki itu. Aku tidak mau melihat pembunuhan lagi tanpa berusaha menghentikannya. Tapi rasa sakit di kepalaku benar-benar tidak tertahankan lagi. Mataku memburam. Aku terus menggenggam lengan gadis itu sekuat tenaga hingga aku jatuh pingsan.
Aku merasakan tepukan di pipiku yang membuatku membuka mata. Aku mendapati Dina memelukku dalam posisi duduk. Aku melihat sekitar, ternyata aku masih ada di tempat aku jatuh karena ditabrak oleh gadis berkaca mata tadi.
"Bulan. Kau sudah sadar?" Dina menatapku dengan wajah cemas.
"Hey! Lepaskan tanganku!" Gadis berkaca mata itu berteriak sambil mencoba melepaskan tangannya dari cekalan tanganku.
Aku kaget melihatnya. Barusan aku melihat gadis ini terkapar dan nyaris dibunuh kan?! Tapi kini gadis itu berdiri tegak di depanku sambil menatapku dengan pandangan.. err... kesal?
"Kau..?" Aku menatap gadis berkacamata itu dengan perasaan takjub sekaligus senang. Aku langsung berdiri dan memeluknya. Aku lega sekali dia tidak mati.
"Kau masih hidup. Syukurlaaah.." Aku memeluk gadis berkaca mata itu erat seakan dia adalah sahabatku yang baru kembali dari dunia kematian.
"Hey! Lepaskan aku!" Gadis berkaca mata itu berteriak sambil mendorong tubuhku hingga pelukanku terlepas. Gadis itu menatapku dengan pandangan aneh.
"Bulan. Kau tidak apa-apa kan?" Dina yang masih terlihat panik dan bingung dengan apa yang terjadi segera menghampiriku.
"Ya! Tanyakan padanya apakah dia normal atau berorientasi seksual menyimpang? Kenapa dia tiba-tiba memelukku?!"
Dina melotot mendengar pertanyaan dari gadis berkaca mata itu. Dengan wajah yang terlihat kesal Dina menghampiri gadis berkaca mata itu.
"Apa kau bilang? Bukannya kau tadi yang menabraknya terlalu keras hingga dia pingsan dan gegar otak? Soalnya yang aku tahu temanku ini normal dan lurus seperti penggaris besi 30 centi. Jadi, aku pikir aku akan mengajukan laporan kepada kepala sekolah dan walimu untuk minta pertanggung jawaban. Aku rasa itu akan jadi berita besar karena yang jadi berita adalah Pemred mading MATA yang terhormat. Dan semua itu adalah fakta dan bukan gosip murahan!" teriak Dina sambil bersedekap di depan gadis berkaca mata itu dengan sikap angkuh.
Belum Pernah aku melihat Dina berang seperti ini kecuali dulu saat dia diberitakan mendekati ketua OSIS agar terpilih menjadi pimpinan tonti oleh kolom gosip di MATA, nama mading sekolah kami. Aku tersenyum geli mengingat ada kakacauan besar di ruang redaksi mading akibat Dina melabrak penulis berita gosip itu sambil mengamuk. Saat itu suasana benar-benar heboh.
Aku menatap Dina dengan perasaan heran. Kenapa Dina harus marah-marah pada gadis berkaca mata itu. Tapi saat aku menoleh ke arah gadis berkaca mata itu aku jadi kaget. Efek dari ucapan Dina ternyata sangat dahsyat. Gadis berkaca mata itu terlihat sangat pucat. Keringat membasahi wajahnya, sementara tangannya mencengkeram roknya dengan kuat.
"To-Tolong jangan lakukan itu.. Aku mohon.. Aku minta maaf atas ucapanku tadi. Mu-mungkin sebaiknya kau periksakan temanmu ke-ke rumah sakit sekarang. A-Aku akan mengganti se-semua biayanya. Ta-Tapi aku mohon jangan kau laporkan peristiwa ini.. Aku mohon.." pinta gadis itu dengan suara tergagap.
Gadis berkaca mata itu terlihat sangat ketakutan. Dengan tangannya gemetar, dia mengambil dompet dari saku seragamnya dan mengambil semua uang yang ada di dalamnya dan langsung menyerahkannya pada Dina. Aku terkejut melihat berlembar-lembar uang ratusan ribu di tangan Dina. Gila! Berapa uang saku gadis berkaca mata ini?! Dia pasti anak orang kaya. Dan kenapa juga Dina menerima uang itu! Ini adalah pemalakan! Dan pemalakan adalah termasuk tindakan bullying! Sepertinya Dina sudah keterlaluan deh! Aku baru saja akan membuka mulutku untuk menolak uang dari gadis itu saat Dina menutupkan telunjuknya di bibirku agar aku tidak bicara.
"Baiklah kalau kau memaksa, aku menerimanya. Tapi kalau kurang aku akan minta lagi!" ucap Dina sambil menepuk-nepuk uang di tangannya dengan gaya meremehkan.
"Kalau begitu saya permisi dulu, bila ada perlu saya ada di.."
"Aku tahu di mana tempatmu!" potong Dina cepat.
"Ba-Baik. Aku pergi dulu." Gadis berkaca mata itu terlihat begitu ketakutan dan seakan ingin segara pergi dari hadapan Dina secepat mungkin.
"Pergilah! Aku juga tidak mau melihat wajahmu lebih lama lagi!"
Begitu mendengar jawaban Dina, gadis itu langsung lari secepatnya dari hadapan Dina. Dina tersenyum puas melihat gadis berkaca mata yang lari seperti dikejar anjing gila. Gadis itu bahkan sempat jatuh dan beberapa kali hampir menabrak siswa yang berpapasan jalan dengannya. Aku menoleh ke arah Dina.
"Balas dendam itu memang terasa manis ya?! Khukhukhu.." Dina tertawa seperti Mak Lampir. Aku bergidik ngeri melihat seringai jahat di bibir Dina saat menatap uang di tangannya.
"Di-Dina.. Kau-Kau.. tidak apa-apa kan?" Aku menatap Dina dengan perasaan horor. Tiba - tiba pikiranku langsung menyimpulkan bahwa:
"GYAAA! DINA KESAMBEEET!" Aku berteriak histeris.
Hampir saja aku lari tunggang-langgang menyusul gadis berkacamata itu kalau saja Dina tidak menangkap pergelangan tanganku dan menghentikan acaraku untuk lari ngibrit ketakutan. Perlahan aku menoleh ke arah Dina yang memegang erat pergelangan tanganku dengan perasaan takut. Tapi saat akhirnya aku melihat wajah Dina, ternyata sahabatku itu sedang tersenyum manis sambil mengipasi wajahnya dengan uang pemberian gadis berkaca mata tadi.
"Mau ku traktir tidak?" tanyanya.
Aku hanya bisa menghela nafas prihatin setelah Dina menerangkan secara panjang kali lebar dan dikali tinggi tentang apa yang disebutnya sebagai 'balas dendam' dengan volume yang menurutku berlebihan atas perbuatan gadis berkaca mata padanya dulu. Ingat tidak saat aku menyinggung soal 'gosip di kolom mading sekolah?' Usut punya usut, ternyata penulisnya adalah gadis berkaca mata yang barusan diancam oleh Dina. Ralat! Maksudku dirampok. Dan saat ini aku ikut menikmati hasil rampokan itu berupa traktiran steak lezat di restoran dekat sekolah. Dekat itu maksudnya 2 kali naik bus plus 15 menit jalan kaki, ditambah acara bolos sekolah segala. Hadeeh!
"Berani-beraninya mata empat itu menggosipkan diriku mendekati Ketua OSIS untuk menjadi ketua tonti!" Amuk Dina sambil mengunyah daging steaknya dengan penuh nafsu. Nafsu makan maksudnya. Pantas saja kalau lagi menimbang badan di UKS beratnya naik terus. Tapi dengan wajah tanpa rasa bersalah Dina selalu menjerit histeris melihat angka timbangan badannya terus bertambah. Dasar nggak sadar diri!
"Padahal kan aku mendekati Rio, Ketua OSIS yang dulu untuk memacari adiknya, Ryan, yang sekarang jadi pacarku." Dina melanjutkan.
"Ooo.. Aku baru tahu kalau Ryan pacarmu itu adik Ketua OSIS yang dulu." jawabku.
Tapi kemudian aku menyadari ada info yang aneh dari ucapan Dina itu. Jadi Dina, anak yang selalu berusaha mendirikan klub cepat pulang dari jaman SMP, mati-matian latihan baris-berbaris sampai malam hanya untuk pedekate sama Ryan yang kini jadi ketua OSIS itu?
"Eh!? APA?!" Aku melotot ke arah Dina yang masih mengunyah steaknya dengan tatapan penuh nafsu pada steak yang ada di piringku, soalnya steak di piringnya sudah habis. Dengan serta merta aku melakukan manuver penyelamatan steak milikku dari serangan garpu Dina yang membabi buta.
"Dina! Pesan lagi sana kalau masih lapar! Uang dari Mata Empat itu kan masih banyak!!" Aku berlari mengitari meja untuk menghindari kejaran Dina yang kalap karena kelaparan. Dina menghentikan larinya.
"Oo iya ya?" Dina tampak baru sadar lalu memanggil pelayan untuk pesan dua porsi steak lagi. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala menatap sahabatku itu dan hanya dibalas senyum manisnya yang malah terlihat menyeramkan. Habisnya dia tersenyum pada steak di piringku sih.
Aku jadi kasihan mengingat wajah gadis berkaca mata tadi saat Dina mengancamnya. Benar-benar memelas deh. Tapi wajahnya saat gadis mata empat itu terkapar dalam mimpiku tadi lebih menyedihkan.. Eh?! Tunggu dulu! Biasanya aku melihat hanya adegan pembunuhan hanya dalam mimpiku saja. Tapi kenapa aku tadi melihatnya??
"Apakah tadi aku tidur sambil jalan yaa??" gumanku lirih. Tapi meskipun sangat pelan Dina ternyata mendengarnya. Dia menatapku dengan tatapan menyelidik.
"Sekarang kau jalan sambil tidur juga? Ini mulai serius, Bulan. Kau harus ke psikiater." ucap Dina sambil menatapku cemas.
"Aku tidak tahu, Dina. Apakah aku tadi tertidur saat bertemu gadis mata empat itu? Benarkah? Tapi aku merasa sadar sepenuhnya kok. Tapi kenapa aku melihat mimpi itu? Ini sangat aneh.." ucapku bingung. Aku jadi tidak mengerti apa yang sudah terjadi.
"Tunggu dulu, Bulan. Apa kau tadi bilang kau melihat mimpimu saat sadar? Kapan?" tanya Dina. Dina memegang erat tanganku sambil menatapku dengan ekspresi penasaran.
"Tadi di sekolah saat mata empat itu menabrakku dan aku jatuh. Lalu saat aku memegang tangannya yang membantuku berdiri. Ya. Aku rasa tepat saat aku memegang tangannya aku melihat mimpi itu. Mimpi tentang pembunuhan itu. Tapi aku yakin aku tidak tidur atau pingsan. Tapi kenapa aku bisa melihatnya? Atau jangan-jangan aku mulai berhalusinasi? Aarghh! Aku benar-benar pusing!!" teriakku sambil meremas rambutku dengan perasaan kesal campur bingung.
Dina menatapku. Tidak. Lebih tepatnya mengamati sambil mengerutkan keningnya. Mungkin memikirkan semua yang aku katakan barusan. Mungkin Dina memang harus berpikir ekstra keras saat mencerna ucapanku yang nggak jelas dan kacau seperti barusan. Mungkin itu memang gaya bicaraku saat panik atau aku memang sudah mulai gila. Entahlah.
"Jadi saat kau memegang tangan mata empat kau langsung melihat mimpimu? Mimpi tentang pembunuhan itu?" tanya Dina penuh selidik.
"Iya." jawabku.
"Mimpi yang sama atau berbeda dari yang alami sebelumnya?" tanyanya lagi.
Aku mengingat-ingat sebentar.
"Agak berbeda sih." Aku mulai mengingat lagi mimpi-mimpiku yang menyeramkankan itu.
"Apanya yang beda?" Dina terlihat makin penasaran.
"Orang yang dibunuh dan yang membunuhnya." jawabku.
Aku mengingat kembali sosok pembunuh yang selama ini kulihat dalam mimpiku dan membandingkannya dengan sosok pembunuh yang aku lihat saat menggenggam tangan gadis berkaca mata a.k.a. Si Mata Empat menurut istilah Dina. Seenaknya saja Dina membuat nama panggilan ya? Nggak pake acara syukuran lagi. Nggak sopan banget anak ini! Abaikan.
"Apa maksudmu?" Dina mengernyitkan alisnya.
"Dalam mimpiku sebelumnya, aku tidak kenal sama sekali dengan gadis-gadis yang terbunuh. Pembunuhnya walaupun wajahnya selalu tertutup tapi aku yakin itu adalah lelaki yang sama yang membunuh 9 gadis sebelumnya karena aku hafal perawakan lelaki itu dan juga cara dia berjalan. Tapi dalam mimpiku barusan, gadis yang dibunuh adalah Mata Empat dan pembunuhnya.."
"YESS! Mata Empat mati. Aku senang mendengarnya meski itu hanya dalam mimpi." Dina memotong penjelasanku dengan bersorak girang.
"HUSHH!" Aku menyembur sambil menjitak kepala Dina. Aku benar-benar merasa jengkel dengan ucapan Dina yang sudah sangat kelewatan itu.
"Kau tidak boleh menyumpahi orang seperti itu, Dina! Apalagi dia sudah mensponsori pesta steak kita ini." teriakku sambil melotot pada Dina, mencoba menekankan petuahku padanya.
"Maaf.." Dina terlihat menyesal. Aku mendengus kesal.
"Silahkan. Ini pesanan Nona." Seorang pelayan datang mengantarkan dua porsi steak yang disambut suka cita oleh Dina. Dengan membabi buta Dina mulai memakan steaknya. Aku melihat kelakuan Dina itu dengan perasaan cemas. Aku takut Dina bener-benar kesambet. Kesambet setan kelaparan. Buktinya hanya dalam hitungan menit saja dua porsi steak itu sudah berpindah ke dalam ke perut Dina. Aku sampai menganga takjub melihatnya.
"Aku sudah kenyang. Sekarang lanjutkan ceritamu tadi." Dina menatapku dengan tampang polos padahal dia baru saja memakan tiga porsi steak. Tiga porsi, Bro!
"Woi! Cepat cerita! Aku penasaran gila ini. Kok malah bengong sih?" Dina menjitakku, mungkin membalas jitakanku sebelumnya.
"Iya-iya! Sakit tau! Pokoknya, mimpiku itu memang mirip, tapi pembunuh lain." Aku menjelaskan sambil mengusap bekas jitakan Dina di kepalaku yang agak sakit.
"Apa kau yakin?" Dina menatapku penasaran.
"Aku yakin. " jawabku sambil mengingat-ingat ciri pembunuh dalam mimpi-mimpiku itu. Pembunuh sebelumnya bertubuh sedikit lebih kurus dan lebih tinggi. Sedangkan pembunuh yang tadi kulihat saat menyentuh tangan gadis mata empat bertubuh tinggi juga tapi bentuk tubuhnya lebih proporsional.
"Aku benar-benar yakin mereka orang yang berbeda." gumanku pelan.
Bersambung..