***
Aku berlari ke sekolah karena aku takut terlambat soalnya aku bangun kesiangan. Entah kenapa semalaman aku merasa sangat gelisah. Aku merasa ada sesuatu yang sangat buruk terjadi hingga aku sulit tidur. Aku baru bisa terlelap menjelang pagi hingga aku merasa masih sangat mengantuk saat Tante Ratih membangunkanku subuh tadi, tapi aku kembali tertidur. Akibatnya aku bangun kesiangan.
Aku mempercepat lariku. Satu belokan lagi sampai! Batinku menyemangati diriku yang sudah sangat lelah karena lari dari rumah yang berjarak 250 meter dari sekolah. Tidak jauh memang. Tapi, coba saja jika kau berlari menempuh jarak 250 meter itu melewati gang–gang sempit, lalu pasar yang ramai pembeli, menyeberang jalan besar yang penuh sesak dengan kendaraan alias macet dan harus kau tempuh dalam waktu kurang dari 10 menit. Dijamin kau akan sampai ke sekolah dalam keadaan penuh luka dan berdarah–darah. Eh. Maksudnya bersimbah peluh dan air mata. Halah! Pokoknya gitu deh.
Aku sudah menebak saat aku sampai sekolah, gerbang pasti sudah ditutup sementara suasana sepi karena semua siswa sudah masuk kelas. Hanya tinggal Pak Satpam sekolah yang bermuka masam yang siap menyambut murid–murid yang terlambat, lengkap dengan berbagai macam hukuman yang siap dia hadiahkan bagi yang terlambat. Tapi ternyata dugaanku salah besar.
Saat aku tiba di sekolah, tampak teman–teman sekolahku masih bergerombol di depan gerbang sekolah. Semua orang terlihat bingung dan takut. Bahkan ada yang terlihat sedang bersedih dan menangis. Aku kaget saat sebuah mobil polisi dan ambulance memasuki halaman sekolah. Apa yang sebenarnya telah terjadi? Dengan tergesa aku memasuki gerbang sekolah, sambil melihat sekitar, mencari sosok yang aku kenal untuk aku tanyai.
"Bulan!"
Suara yang aku kenal memanggilku. Aku menoleh ke asal suara dan mendapati Dina berlari mengampiriku.
"Mata empat.. Dia benar-benar meninggal.. Bulan," kata Dina sambil terisak. Aku menatap Dina, tidak percaya dengan pendengaranku sendiri.
"Apa?! Kau bilang meninggal?!" tanyaku. Aku masih menatap Dina yang sedang berusaha menahan tangisnya.
"Mata empat meninggal, Bulan. Dia.. DIBUNUH! "
Aku terlonjak kaget mendengar kata- kata mengerikan itu meluncur dari mulut Dina.
"Kau.. hanya bercanda kan?" tanyaku ragu.
Aku berharap Dina menjawab iya sambil tertawa dan berkata "Hey! Aku hanya bercanda!" Tapi kenyataannya malah Dina menggelengkan kepalanya dengan wajah sedih.
"Dia sudah dibunuh dengan kejam, Bulan. Dadanya ditusuk dan darahnya berceceran di sekitarnya.. Aku tadi melihatnya Bulan.. Dia sudah benar–benar sudah mati.." jawab Dina.
Dina menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Dia mulai menangis hingga tubuhnya bergetar seiring isakan tangisnya yang semakin terdengar jelas.
"Hiks.. Dia tidak pernah menghina atau membalas perlakuanku padanya, Bulan.. Hiks-hiks.. Padahal aku selalu berlaku jahat padanya.. Aku bahkan tidak pernah berniat minta maaf padanya.. Aku benar–benar jahat padanya..Hiks.. Huaa!"
Dina benar–benar menangis sekarang. Aku tidak pernah melihat Dina menangisi seseorang hingga sesedih itu. Aku rasa saat ini dia merasa sangat merasa bersalah pada gadis berkaca mata itu.
"Nanti kita datang kesana untuk minta maaf padanya. Oke? Sekarang tenangkan dirimu," ucapku sambil memeluk tubuh sahabatku itu yang masih bergetar karena tangisnya.
Keesokan harinya Lisa, nama gadis berkaca mata itu, dimakamkan di pemakaman umum di daerah yang tidak terlalu jauh dari rumah tempat tinggal orang tua Lisa. Hampir semua warga SMU Tunas Bangsa, sekolahku, ikut menghadiri acara pemakaman dan mengantar jenazah Lisa ke peristirahatannya yang terakhir. Dina tampak berdoa dengan sangat khusuk di depan pusara Lisa. Aku hanya bisa menunggui Dina dengan sabar di bawah pohon kamboja yang ada di makam itu.
Aku menatap pusara Lisa yang bertaburkan bunga mawar merah dan pink dengan perasaan tidak karuan.
***
Aku melangkah pelan di antara pohon–pohon pinisium yang tumbuh berjajar di halaman belakang sekolah. Di tengah halaman belakang yang itu terdapat lapangan volley sederhana yang masih berlantai tanah lalu di kedua sisi lapangan terdapat dua tiang net tanpa dihiasi jala. Sebenarnya tempat itu bukan lapangan volley yang sebenarnya karena lapangan volley sekolah ada di bagian lain kompleks sekolah. Lapangan itu sebenarnya adalah lahan yang rencananya akan di bangun sebuah lapangan basket untuk menggantikan lapangan basket indoor sekolah yang akan dialih fungsikan sebagai aula pertemuan.
Pada hari normal, saat jam pulang seperti sekarang, pasti banyak anak–anak yang bermain volley di tempat itu. Tapi saat aku sampai di sini, tak ada seorang pun berada di tempat ini, digantikan pita berwarna kuning yang ditempel dari tiang net, hingga ke sebuah tonggak yang tidak ada sebelumnya menuju tiang net volley di seberang lalu ke sebuah tonggak lain dan berakhir di tiang net volley membentuk sebuah kotak tidak beraturan. Itu adalah garis polisi yang menandai tempat ditemukannya tubuh Lisa, gadis manis berkaca mata itu. Aku dengar seorang anak kelas satu anggota klub basket yang menemukan tubuhnya saat dia akan latihan pagi yang tentu saja membuatnya berteriak minta tolong.
Aku berjalan mendekati tempat yang dibatasi garis itu lalu melompatinya untuk memasuki lingkaran itu. Ada gambar yang dibuat menggunakan cat semprot warna putih yang menggambarkan posisi tubuh Lisa saat ditemukan. Di sekitar gambar itu terdapat ceceran pasir yang warnanya berbeda dari tanah di sekitarnya. Aku yakin pasir itu digunakan untuk menutupi bercak ceceran darah Lisa. Aku mengamatinya dengan seksama, sekilas tumpukan pasir itu terlihat acak akan tetapi tidak. Tumpukan pasir yang berada sekitar satu meter dari gambar tubuh itu terlihat menyatu seperti jajaran pegunungan pasir kecil mengelilingi gambar tubuh Lisa. Tidak salah lagi, gundukan pasir itu membentuk lingkaran yang terputus. Aku tersentak menyadari sesuatu. Pembunuh itu menggunakan darah Lisa untuk menggambar lingkaran itu! Jantungku tiba–tiba bergemuruh menyaksikan kenyataan itu.
"Kejam! Sadis! Biadab!"
Kata-kata makian keluar dari mulutku tanpa bisa aku tahan seiring deraian air mataku yang langsung membasahi wajahku. Aku jatuh terduduk di depan gambar tubuh Lisa. Aku menangis dan terus menangis hingga sepasang lengan memelukku dari belakang. Aku mendengar isak tangis dari orang yang memelukku. Dina.
"Lisa selalu merasa dia adalah seorang wartawan sungguhan." Dina berkata disela isakannya.
"Dia selalu mengecek kembali kebenaran berita yang ditulis oleh anggota redaksi mading yang dipimpinnya. Semua itu dia lakukan untuk mencegah peristiwa gosip yang dia tulis tentang aku tidak terulang lagi." Dina menangis semakin keras. Aku hanya terdiam mendengarkan.
"Berkali–kali Lisa meminta maaf padaku, Bulan. Sudah puluhan kali. Tapi aku tidak pernah menggubrisnya. Aku selalu menghinanya.. Bahkan saat di depan umum sekalipun. Lisa hanya melakukan sekali kesalahan tapi aku.. Aku selalu menghina dan meremehkan semua kerja kerasnya.. Padahal dia berhasil membawa mading sekolah kita menjadi juara pada setiap perlombaan mading yang dia ikuti. Bahkan malam itu Lisa masih mengerjakan mading di sekolah karena mading sudah mendekati deadline untuk terbit. Tapi aku.. "
Dina melepaskan pelukannya dan suara tangisnya terdengar makin keras. Saat aku berbalik aku mendapati Dina menutupi wajahnya sambil menangis. Tubuh Dina terlihat bergetar. Aku segera memeluknya.
"Aku belum minta maaf padanya, Bulan.. Aku jahat sekali padanya.. Apakah dia akan membenciku hingga sampai di dunia sana nanti?" tangis Dina.
Suara tangis Dina makin keras. Aku hanya bisa ikut menangis sambil memeluknya.
"Dina.. Kau.. Kalian kenapa menangis?"
Suara seseorang membuatku menoleh. Ryan, teman sekelas Dina sekaligus pacarnya menghampiri kami. Dina mendongakkan wajah menatap Ryan. Aku segera melepaskan pelukanku dan berdiri. Membiarkan Dina bangkit lalu menghambur ke pelukan Ryan dan menangis di dada sang pacar. Aku segera mengalihkan pandanganku dari mereka berdua ke arah gambar tubuh Lisa.
Lisa dibunuh malam–malam, di tempat sepi seperti ini dan tidak ada yang menolongnya. Aku benar–benar sedih memikirkan hal itu. Aku lalu teringat mimpiku yang memperlihatkan saat seorang lelaki membunuh Lisa. Bagaimana belati keperakan di tangan pembunuh itu menghujam ke dada Lisa. Bagaimana dengan kejamnya pembunuh itu mengambil darah Lisa dengan cawan berwarna perak lalu menggambar lingkaran mengelilingi tubuhnya yang tidak bernyawa lagi. Semua itu terlihat dengan begitu jelas dalam mimpiku seakan terjadi di depan mataku namun tidak bisa aku cegah atau pun aku hentikan. Sebuah mimpi yang sangat mengerikan.
Bukankah awalnya semua ini hanya mimpi? Hanya bunga tidur yang akan hilang saat aku bangun dan membuka mata? Tapi kenapa bisa berubah jadi kenyataan yang mengerikan seperti ini. Aku mendesah, mencoba menghilangkan perasaan yang mengganjal di hatiku, tapi tidak bisa. Yaa Tuhanku. Apa yang sebenarnya terjadi?
***
Hampir sebulan berlalu sejak peristiwa pembunuhan itu, yang disertai dengan kedatangan para wartawan yang ingin menulis peristiwa pembunuhan dari semua sisi membuat risih para siswa maupun guru dan wali siswa. Pertanyaan wartawan yang kadang terlalu pribadi atau menyinggung sisi sensitif korban benar–benar membuat siswa dan para guru kesal. Hingga akhirnya sekolah melarang sesi wawancara oleh para awak media di lingkungan sekolah. Para siswa yang semula menganggap wartawan sebagai sarana bagi mereka untuk jadi terkenal secara instan pun akhirnya tersadar bahwa bagi wartawan mereka hanya sebagai nara sumber bagi berita yang akan mereka jual tanpa memandang cara mereka mendapatkan beritanya meskipun dengan menyinggung masalah sensitif dan pribadi nara sumbernya.
Peristiwa pembunuhan itu sangat berdampak pada kegiatan belajar di SMU Putra Bangsa, sekolahku. Belum adanya tersangka dari penyelidikan polisi, serta motif pelaku kejahatan yang belum terungkap menimbulkan ketakutan dan kegelisahan pada siswa, guru, staff maupun wali siswa. Mereka semua cemas dengan keselamatan para siswa SMU Putra Bangsa dan seluruh penghuni di dalamnya. Sekolah merespon dengan merekrut 2 orang satpam tambahan untuk menjaga keamanan sekolah. Sementara beberapa wali siswa mulai kembali mengantar jemput anaknya seakan anaknya masih berstatus murid taman kanak–kanak, tanpa menghiraukan protes dari anak–anaknya. Bahkan ada juga wali siswa yang memindahkan anaknya ke sekolah lainnya demi keselamatan anaknya.
Meskipun masih ada siswa dekat Lisa yang masih berkabung, suasana sekolah mulai kembali normal. Garis polisi di lapangan volley sudah dibuang jauh–jauh. Lapangan basket yang baru sudah dibangun di tempat itu bahkan sudah diberi lantai semen lengkap dengan garis lapangannya dan ring basket baru dengan warna oranye menyala untuk menghilangkan kesan angker dan menambah semangat klub basket untuk berlatih. Meskipun begitu, sekolah mulai membatasi waktu kegiatan ekstra kulikuler dan klub di lingkungan sekolah. Jika sebelumnya sekolah mengijinkan kegiatan klub sampai malam asalkan mendapat ijin dari guru pelatih kegiatan ekstrakurikuler dan guru penanggung jawab klub, tapi sekarang semua kegiatan sekolah dibatasi hanya sampai jam 5 sore. Tapi para siswa sudah mulai bisa beraktifitas dengan tenang seperti biasa.
Seperti sore ini, ruang klub seni lukis yang berada tidak jauh dari lapangan basket tampak sangat ramai. Itu disebabkan karena kedatangan semua siswa kelasku, kelas XII IPSb ke ruang klub seni untuk merayakan ulang tahun teman sekelasku, sekaligus ketua klub seni lukis, Ririn. Kalian jangan heran, meski Ririn mempunyai penyakit matre yang akut, tapi dia punya bakat luar biasa dalam melukis.
Jika gadis berambut model Dora the Explorer bernama Ririn itu mulai melukis, dijamin semua bakal kagum dengan hasil karyanya yang bergaya surealis. Dia pernah melukis satu sandal berwarna merah kucel yang terhanyut di angkasa berwarna gelap yang diberinya judul "terpisah". Lain waktu dia melukis seorang gadis yang sangat cantik terbang dengan sayap capung mungilnya sambil membawa senapan besar Andre Kolarof seri 47 alias AK47 yang ditembakkan ke arah kerumunan orang di bawahnya. "Malaikat kematian." Itulah judul lukisan yang diberikan Rini yang membuat orang-orang yang melihat lukisannya itu dengan mendelik dengan wajah heran dan bingung. Dan masih banyak lagi lukisan Ririn lainnya yang tidak kalah menarik. Tak heran jika Ririn sering memenangkan perlombaan melukis yang sering dia ikuti. Entah dari mana ide–ide aneh itu Ririn dapatkan. Padahal aku pikir yang ada di otak Ririn itu hanya cara mendapatkan duit saja.
"Selamat Ririn. Semoga panjang umur dan tambah sukses!"
Teriak teman–teman sekelasku ditambah anggota klub seni lukis. Mereka membawa kue tart dan makanan kecil dan satu dus minuman kotak.
"Wah. Terima kasih banyak semuanya!" jawab Ririn.
Ririn terlihat tersenyum gembira melihat kedatangan teman–teman sekelasnya itu. Tapi sekejap kemudian senyuman di wajahnya lenyap berganti dengan wajah curiga. Dia melihat teman-teman sekelasnya dengan tatapan menyelidik.
" Kau kenapa?" tanyaku heran.
"Kalian tidak akan menyuruhku untuk membayar semua ini kan?" tanya Ririn penuh curiga.
Sesaat kami semua terdiam dan saling pandang mendengar pertanyaan Ririn itu. Lalu kemudian..
"Bwahahaha!"
Serentak kami yang ada di ruang seni lukis tertawa keras sambil menyumpah–nyumpahi Ririn dengan kata–kata seperti dasar matre, pelit, perhitungan, dan sebangsanya. Setelah puas tertawa dan mengejek, mereka menyuruh Ririn meniup lilin berbentuk angka satu dan tujuh yang diletakkan di atas kue tart lalu menyanyikan lagi ulang tahun untuk Ririn disusul ucapan selamat dari semua yang hadir.
"Selamat Ririn. Semoga tidak matre dan pelit lagi." ucap salah satu teman sekelasku diiringi tawa dari teman lainnya.
"Mana mungkin! Kalau tidak matre bukan Ririn namanya." sahut Agni. Ririn mencibir Agni.
"Ririn tetap saja Ririn." gerutuku sambil menghampirinya.
"Selamat ya Ririn, semoga tambah pinter melukisnya dan sukses selalu." ucapku. Aku mengulurkan tanganku untuk menyalami Ririn.
"Terima kasih Bulan." jawab Ririn tersenyum lalu menggenggam tanganku.
ZIINGGG!!! Tiba–tiba telingaku berdenging keras hingga kepalaku terasa sangat sakit.
"AAAARRGH!" Aku menjerit kesakitan. Aku meremas kepalaku yang terasa seperti mau pecah. Lalu sosok seorang lelaki membawa belati tiba–tiba muncul di depanku dengan posisi membelakangiku.
"KAU! " Aku menjerit kaget. Orang itu.. Lelaki itu adalah pembunuh itu! Dia datang! Dia melangkah maju mendekati Ririn.
"JANGAN!" Aku berteriak panik. Dengan menahan kesakitan dari kepalaku aku merangsek maju, mengejar pembunuh itu yang terus mendekat ke arah Ririn. Aku mencoba mencekal tangan pembunuh itu untuk menghentikan pembunuh itu dari niatnya membunuh Ririn.
"HENTIKAN! AKU MOHON!" teriakku.
Aku mencengkeram tangan pembunuh itu dengan sekuat tenaga. Kepalaku makin terasa sakit hingga mataku mulai kabur. Air mataku mengalir deras.
"JANGAN LAKUKAN LAGI! AKU MOHON PADAMU!" Aku meraung sambil berlutut.
Aku berteriak dan menangis sambil menahan sakit di kepalaku yang sekarang menjalar hingga belakang leher dan punggungku. Aku tidak tahan lagi. Pandangan mataku benar–benar kabur dan kesadaranku mulai memudar. Lalu semuanya gelap.
Aku membuka mataku dan langsung tahu aku sudah terbaring di ranjang di ruang UKS. Lagi. Aku langsung ingat kejadian sebelum aku pingsan tadi. Aku melihat pembunuh itu mendekati Ririn. Kejadian ini sama dengan kejadian yang aku alami sebelumnya dengan Lisa. Aku melihat pembunuh itu membunuh Lisa sebelum kejadian itu benar–benar terjadi. Dan barusan aku melihat pembunuh itu mendekati Ririn. Apakah itu artinya Ririn yang akan dibunuh selanjutnya? Kalau semua itu benar, apa yang bisa aku lakukan untuk menyelamatkan Ririn. Walaupun aku bisa sedikit karate, apakah bisa aku menggunakannya untuk melindungi temanku itu kalau musuh yang aku lawan tidak jelas begini. Aku makin ketakutan saat membayangkan peristiwa mengerikan yang terjadi pada Lisa akan dialami oleh Ririn. Aku benar–benar merasa sangat takut hingga tanpa sadar air mataku sudah mengalir deras dari wajahku.
"Bulan.."
Suara seseorang terdengar. Sesaat kemudian muncullah Bagas dengan wajah yang terlihat cemas di samping ranjang tempatku berbaring. Aku langsung bangkit dari tidurku dan memeluk tubuh Bagas. Aku memeluknya erat menyalurkan rasa takutku. Mencoba mencari perlindungan dari semua perasaan takutku di dada yang lebar dan bidang itu.
"Bu.. Bulan?"
Bagas pasti kaget saat aku memeluknya sambil menangis. Mungkin Bagas merasa aku adalah cewek agresif karena memeluknya tanpa permisi seperti ini, tapi untuk saat ini aku tidak peduli. Ketakutanku mendominasi perasaanku hingga logika dan kesopananku pun terabaikan. Aku terus memeluk Bagas dengan erat sampai sebuah suara terdengar.
"Aku rasa ruang UKS tidak disediakan untuk berpacaran," kata suara itu.
Aku terlonjak kaget mendengarnya. Aku segera melepaskan pelukanku dari tubuh Bagas. Aku menoleh ke arah sumber suara dan mendapati Agni sudah berdiri sambil menatapku dan Bagas bergantian dengan wajah tidak suka. Aku merasa tidak nyaman dengan sorot mata Agni yang seakan menusuk itu.
"Maaf kan aku." ucapku gugup.
"Kami tidak pacaran. Bagas tidak bersalah. Aku tadi yang memeluknya." Aku jadi merasa sangat bersalah pada Bagas.
"Maafkan aku, Bagas." ucapku sambil menundukkan kepala.
Tiba–tiba aku merasa sangat malu dengan tindakan yang kulakukan barusan. Aku memeluk tadi Bagas dengan sangat erat. Urgh! Mau ditaruh di mana mukaku yang saat ini terasa sangat panas. Aku menutup wajahku yang terasa basah. Aku bahkan lupa kalau aku tadi habis menangis. Aku segera mengusap air mata di wajahku dengan telapak tanganku.
"Jangan mencemaskan hal itu. Apakah kepalamu sakit sekali hingga kau menangis seperti itu?" tanya Bagas dengan nada cemas.
Aku mendongak dan menemukan Bagas menatapku. Dia terlihat khawatir.
"Aku.. sudah tidak apa-apa." jawabku. Aku mencoba tersenyum
"Benarkah? Syukurlaah."
Bagas terlihat lega. Dia lalu mengambilkan segelas air putih di meja dan memberikannya padaku. Setelah aku minum Bagas langsung mengambil gelas dari tanganku.
"Terima kasih." ucapku lirih.
Bagas lalu berjalan menuju meja untuk meletakkan gelas. Aku melihat keluar jendela. Cahaya matahari yang berwarna oranye menyoroti halaman. Pasti sudah lewat jam 5 sore.
"Semua pasti sudah pulang. Aku sudah merusak suasana pesta ulang tahun Ririn." kataku.
Aku menghela nafas. Rasa bersalah menggelayuti pikiranku.
"Sebenarnya teman–temanmu dari klub seni lukis tadi melanjutkan pestanya setelah mengantarmu ke sini. Setelah itu mereka ke sini, bermaksud untuk menungguimu di sini sampai kau sadar. Tapi Bu Isti menyuruh mereka pulang jam 5 tadi. Tapi jangan khawatir, aku sudah menelpon Dina kok. Sebentar lagi dia pasti datang menjemputmu." Agni menerangkan. Dia meletakkan tasku di sampingku.
"Lalu.. Kenapa kau masih ada di sini?" tanyaku pada Bagas.
"Sebenarnya aku sekarang ikut ekstra basket, dan hari ini kami ada latihan. Lalu aku melihat anak–anak seni membawamu yang sedang pingsan ke sini. Saat latihan selesai aku ke sini dan melihatmu pingsan sendirian tanpa ditemani siapapun." Bagas menjelaskan. Dia lalu melemparkan tatapan mata yang seolah bertanya 'kenapa kau meninggalkan Bulan sendirian' kepada Agni.
"Aku tidak meninggalkannya sendirian! Tadi ada Bu Isti ada di sini. Makanya aku kembali ke kelas untuk mengambil tas milik Bulan." teriak Agni. Agni tampak sangat kesal mendapat tatapan menuduh dari Bagas.
"Saat Bu Isti datang dia menyuruhku pulang tapi aku tidak tega membiarkanmu sendiri di sini. Aku boleh menungguimu saat aku bilang bahwa aku.. " Bagas menghentikan ucapannya.
Bagas tampak ragu–ragu sambil menatapku. Aku balik menatapnya dengan penasaran dengan apa yang akan dia katakan.
"Aku.. Aku bilang bahwa kita pacaran pada Bu Isti."
Aku terkejut mendengar ucapan Bagas. Begitu juga Agni.
"Apa kau bilang? Beraninya kau mengakui Bulan sebagai pacarmu! Kenapa kau berbuat lancang seperti itu?!" teriak Agni.
Agni menyemburkan kemarahannya pada Bagas, sementara Bagas hanya pasrah saja menerima kemarahan Agni. Sesaat aku menatap Bagas yang terlihat merasa bersalah padaku. Seharusnya Bagas tidak perlu merasa seperti itu. Aku tahu dia hanya tidak mau membiarkan aku sendirian di ruang UKS. Aku menghela nafas.
"Aku sangat berterima kasih padamu, Bagas. Maafkan aku. Karena aku kau jadi berbohong. Aku juga membuatmu terlambat pulang." kataku.
"Bulan? Kau tidak marah padaku?" tanya Bagas.
"Bulan! Kenapa kau tidak marah padanya. Dia sudah mengaku-aku sebagai pacarmu!" Agni masih saja membahas hal itu.
Bagas menatapku dengan sorot mata yang tidak aku mengerti artinya. Aku hanya menghela nafas menanggapi pertanyaan Agni.
"Sudahlan Agni. Tidak usah dilanjutkan lagi. Lagi pula, kenapa juga kau marah kepada Bagas karena hal seperti itu?" tanyaku. Agni terdiam mendengar pertanyaanku itu.
"Karena aku suka padamu, Bulan. Aku lah yang harusnya jadi pacarmu." ucap Agni.
Agni mengatakan ha itu sambil menatapku dengan wajah serius. Tapi aku yang terbiasa melihat Agni yang cengengesan dan tidak pernah serius malah merasa sangat geli melihat wajah serius Agni itu. Aku tertawa.
"Sudahlah, Agni. Cukup bercandanya. Kau pikir dengan memasang muka seperti itu aku akan percaya gombalanmu? Hah?" Aku kembali tertawa.
"Lagi pula, bukannya kau baru seminggu jadian sama.. errmm.. siapa cewek yang kelas sebelah yang berambut merah itu? Oya. Maya. Iya kan?" Aku mengusap air mataku yang keluar saat aku tertawa tadi.
"Aku akan memutuskan Maya kalau kau mau jadi pacarku, Bulan." ucap Agni sambil berjalan mendekatiku.
"Menjauh dari temanku, Playboy gila!"
Suara menggelegar Dina terdengar berbarengan dengan bunyi derap sepatu Dina saat memasuki UKS dengan setengah berlari. Tiba-tiba saja Dina sudah berdiri di antara Agni dan ranjang tempatku duduk. Aku menghela nafas. Kalau dibiarkan terjadi maka pertengkaran Dina melawan Agni tidak akan selesai hingga besok lusa. Aku merosot turun dari ranjang UKS yang memang agak tinggi itu, lalu memakai sepatuku. Bagas menyambar tasku dari ranjang dan menyerahkannya padaku.
"Sebaiknya kita pulang sekarang." putusku.
Aku berjalan keluar UKS ditemani Bagas tanpa mempedulikan Dina dan Agni yang mulai saling melemparkan tatapan bengis.
Bersambung..