***
Reza memacu motornya ke jalan dekat pantai yang biasanya digunakan untuk balap liar. Reza berkendara dari ujung barat pantai selatan di dekat muara sungai lalu memacu motornya ke ujung timur jalan pantai, tapi dia tidak melihat ada yang sedang mengadakan acara balapan. Apa sudah selesai balapannya? Batin Reza.
"Ini semua gara-gara paku pines sialan!" gerutu Reza kesal.
Sebelum sampai di jalanan pantai ini , Reza memang sempat harus mampir ke bengkel karena ban motornya yang tiba-tiba kempes. Saat diperiksa oleh montir ternyata ada paku pines yang membuat ban sepedanya bocor. Terpaksa Reza harus berhenti untuk menambal ban motornya. Dan itu menghabiskan waktu beberapa puluh menit sehingga dia tidak bisa menyusul laju motor Agni. Akibatnya dia ketinggalan acara balapan yang diikuti oleh Agni. Sekarang dia tidak tahu Agni berada di mana.
Reza memelankan laju motornya saat dia melihat beberapa pemuda sedang bergerombol di pinggir jalan di dekat jembatan. Tampak beberapa motor sport terparkir di sekitar mereka. Reza bisa memastikan bahwa para pemuda itu pasti teman-teman Agni saat balapan. Reza tersenyum lalu berhenti dan memarkir motornya di dekat para pemuda itu memarkir motornya.
"Maaf. Kalian teman-teman Agni kan?" tanya Reza pada para pemuda itu.
"Bukan teman juga sih, tapi kami memang kenal dengannya." jawab salah satu pemuda berkulit kecoklatan pada Reza.
"Lalu Agni-nya mana? Dia bilang tadi mau ke sini. Atau dia tidak jadi datang?" tanya Reza lagi.
"Sebenarnya dia tadi ke sini. Tapi hanya balapan sekali saja. Dia bilang dia sibuk hari ini. Lalu dia buru-buru pergi. Dia bahkan lupa membawa kamera videonya. Oya, kau temannya kan? Bisa nggak kau memberikan kamera ini padanya. Aku takut nanti malah rusak kalau aku bawa." Pemuda berkulit kecoklatan itu menyerahkan sebuah tas berisi kamera video pada Reza.
"Terima kasih ya. Kau sudah menjaga kamera ini. Nanti akan aku berikan pada Agni. Kalau gitu aku pamit dulu. Aku mau menyusul Agni."
Reza pamit lalu berjalan menuju motornya. Sesaat kemudian Reza sudah memacu motornya kembali ke kota.
...
Sementara itu Dina sampai di sebuah mall di tengah kota dan segera memasukinya. Dina lalu masuk ke restoran ayam goreng yang ada di dalam mall itu. Dina mengedarkan pandangannya ke arah para pengunjung mall dari tempat duduknya di dalam restoran ayam di sudut mall. Sesekali dia juga melihat para pejalan kaki yang lewat di depan jendela kaca restoran. Sekali lagi Dina menatap layar ponselnya melihat jam digital yang terpampang di layar ponselnya. Dina mendengus kesal. Sudah hampir setengah jam dia menunggu teman SMP-nya yang katanya mau menemuinya di tempat ini. Minuman yang dibelinya sudah hampir habis, begitu juga kentang gorengnya yang hanya tinggal beberapa batang saja. Dina mulai bosan menunggu. Lagi pula dirinya sudah janji pada Bulan untuk tidak akan terlalu lama bertemu dengan teman SMP-nya dan segera menemuinya. Baru saja gadis itu mau beranjak dari duduknya saat seorang gadis berambut ikal sebahu menghampirinya.
"Hai Dina! Akhirnya kita ketemu lagi. Maaf ya aku sedikit telat. Aku harus mengantar ibuku belanja dulu tadi. Maaf yaa." sapa gadis itu. Tapi suara ceria gadis yang barusan datang itu tidak bisa menghapus kekesalan Dina.
"Shelly! Kau pikir berapa lama aku menunggumu? Hah?" bentak Dina kesal.
"Maafkan aku. Sudah aku bilang kan aku harus mengantar ibuku dulu. Sekali lagi maaf yaa. Sebagai permintaan maaf aku akan mentraktirmu. Oke?" gadis bernama Shelly itu merayu. Dina hanya mendengus kesal.
"Kalau begitu aku beli makan dulu yaa. Kau tunggu saja di sini." pamit Shelly.
Shelly segera pergi ke konter restoran untuk membeli dua paket makan siang. Beberapa menit kemudian dia kembali membawa nampan makan siangnya diiringi seorang gadis pelayan restoran yang membawa nampan makan siang yang kemudian diletakkan di depan Dina.
"Shelly. Seharusnya kau memberi kabar kalau datang telat. Aku kira kau tidak jadi datang. Hampir saja aku pulang tadi." kata Dina. Dina mulai memakan ayam dari piringnya.
"Maaf. Habis tadi aku pikir belanjanya cuma sebentar saja. Tidak taunya ibuku malah memborong sayuran. Katanya untuk persediaan satu minggu." jelas gadis bernama Shelly itu.
"Kudengar sekarang kau sekolah di Jogja juga. Sejak kapan?" tanya Dina.
"Sebenarnya sudah hampir setengah tahun. Aku pindah setelah ujian tengah semester dua di kelas dua" jawab Shelly ragu.
"Apa kau bilang?! Sudah selama itu kau di sini dan kau tidak bilang padaku? Dan kau masih berani mengaku sebagai sahabatku?" Dina berteriak kesal.
"Maaf. Aku tidak bilang padamu karena aku pindah ke sini untuk bersembunyi dari pembunuh." jawab Shelly pelan, seakan takut ada seseorang yang mendengar suaranya. Meski begitu Dina tetap terkejut mendengar ucapan sahabatnya itu.
"Apa kau bilang? Kau bilang bersembunyi dari pembunuh?" Dina menatap Shelly dengan perasaan kaget bercampur penasaran.
"Sebenarnya 3 orang teman akrabku di sekolahku di Jakarta dulu terbunuh satu persatu. Ada juga 2 orang siswa sekolahku yang beda kelas denganku yang juga terbunuh, tapi saat itu aku sudah pindah ke sini. Sampai sekarang polisi belum bisa menangkap pelaku maupun mengungkap motif pembunuhan itu. Setiap hari aku selalu ketakutan. Karena itu orang tuaku memindahkan sekolahku ke sini. Dan mulai tahun baru kemarin keluargaku juga pindah ke sini." jelas Shelly.
"Aku jadi ingat teman-temanku itu." Shelly memandang layar ponselnya. Tampak foto beberapa anak berseragam SMU sedang tertawa gembira sebagai wallpaper-nya.
"Kami sangat dekat, seperti kita dulu. Walau mereka suka usil tapi sebenarnya mereka itu sangat baik. Mereka tidak pantas dibunuh dengan cara seperti itu." ucap Shelly sambil mulai menangis.
"Mereka dibunuh dan darahnya dimainkan untuk menggambar lingkaran di sekitar tubuhnya. Pembunuh itu benar-benar kejam dan sadis." Shelly tidak bisa lagi menahan tangisnya. Air matanya mengalir deras di kedua pipinya.
Dina kaget mendengar cerita sahabatnya itu. Apakah mungkin teman-teman Shelly adalah korban ritual seperti Lisa dan Ririn? Tapi semua yang diceritakan Shelly itu benar, berarti pembunuh teman-teman Shelly adalah penyihir yang sama yang telah membunuh Lisa dan Ririn. Dina menghapus air mata Shelly dengan tissue yang dibawanya.
"Aku ikut prihatin dengan nasib teman-temanmu. Maaf membuatmu sedih. Kamu yang sabar yaa." Dina mencoba menghibur sahabatnya.
"Oya. Apakah itu foto teman-temanmu? Boleh aku melihatnya?" ucap Dina sambil menunjuk ponsel Shelly.
Shelly hanya mengangguk lalu menyerahkan ponselnya pada Dina. Sejenak Dina mengamati satu persatu wajah dalam foto itu. Dina melotot kaget saat melihat wajah yang sangat di kenalnya.
"Ini siapa?" tanya Dina sambil menunjuk wajah salah satu siswa dalam foto di layar ponsel itu.
"Oh. Dia itu bernama Agni. Dia itu sebenarnya murid baru pindahan dari Bandung. Meski begitu tapi dia langsung akrab dengan geng kami. Soalnya dia itu orangnya humoris dan lucu. Tapi dia itu seorang playboy." Shelly tersenyum saat bercerita tentang Agni. Tapi Dina langsung tegang mendengar apa yang diucapkan Shelly.
"Shelly. Apakah peristiwa pembunuhan teman-temanmu itu dimulai setelah kedatangan Agni?" tanya Dina.
Dina menunggu jawaban Shelly dengan perasaan was-was. Shelly tampak berpikir. Sesaat kemudian mata gadis itu terlihat membola.
"Kau benar. Kenapa aku baru sadar sekarang? Pembunuhan itu memang mulai terjadi setelah kepindahan Agni. Apakah... " Shelly terlihat kaget.
Dina langsung berdiri dari duduknya dengan panik. Dina mengembalikan ponsel itu ke tangan Shelly
"Apa kau berpikir Agni yang..." Shelly, gadis berambut ikal tidak sanggup meneruskan kata-katanya. Dia hanya hanya bisa menutup mulutnya dengan kedua tangannya dengan wajah ketakutan.
"Maaf, Shelly. Aku harus segera pergi." pamit Dina.
Dengan tergesa Dina segera meninggalkan Shelly yang masih duduk terpaku di kursinya.
"Ya Tuhan. Itu tidak mungkin kan?" ucap Shelly ketakutan.
Dina melangkah secepat mungkin keluar dari mall besar itu. Dengan perasaan yang sangat panik karena sangat mencemaskan keselamatan sahabatnya, Bulan. Dina segera menelpon seseorang.
"Ryan! Kamu lagi ngapain sih?! Cepat jawab teleponnya!" teriak Dina tidak sabar.
Dengan tergesa Dina segera menghentikan sebuah taksi dan menaikinya. Dia segera minta sopir taksi untuk menjalankan mobilnya secepat mungkin ke rumah Tante Ratih, tempat tinggal Bulan. Sesampainya di rumah di sana dia mendapati Ryan dan Reza.
"Ryan! Kenapa kau tidak menjawab ponselmu? Apa gunanya ponsel kalau kau tidak bisa dihubungi? Hah?!" Dina langsung mendamprat Ryan.
"Apa kau tadi meneleponku? Maaf, aku tidak dengar. Memangnya ada apa sih?" Ryan bertanya sambil mendongak menatap Dina yang masih berdiri berkacak pinggang dengan wajah marah.
"Memangnya kau lagi ngapain sampai tidak mendengar ponselmu?! Ada yang lebih penting dari menjawab telepon dariku?! Hah?" teriak Dina kesal. Ryan meraih tangan Dina lalu menariknya hingga Dina duduk di sampingnya.
"Maaf. Aku hanya lagi nonton video saja kok. Maaf yaa." Ryan membelai tangan Dina, tapi Dina menepisnya.
"Memangnya video apa yang kalian tonton?" Dina menatap Ryan. Lalu tiba-tiba Dina mendelik marah.
"Jangan bilang kalian sedang nonton video porno!" teriaknya marah. Ryan balik melotot.
"Enak saja! Tuh lihat sendiri." Ryan memegang pipi Dina lalu mendorongnya sedikit sehingga wajah Dina menghadap layar TV.
"Rekaman kamera itu milik Agni. Kemarin dia meninggalkannya dan seorang temannya menitipkannya padaku. Ternyata isinya kebanyakan adalah balapan yang diikuti Agni selama itu." terang Reza.
Di layar itu terlihat pemandangan jalan yang ramai dengan bayak anak muda. Mereka tampak bersorak-sorak seakan menyemangati orang yang sedang berlomba. Beberapa saat kemudian terdengar deru suara motor yang dipacu. Kamera menyorot beberapa motor yang di kejauhan. Mereka terlihat bersaing untuk melaju menjadi yang pertama. Dina melihat layar dengan serius.
"Lihatlah. Itu Agni. Dia berada di urutan ketiga." ucap Ryan.
Ryan menunjuk pengendara motor berwarna merah. Jaket yang dikenakannya berwarna hitam dengan strip berwarna merah sama dengan motornya. Agni juga mengenakan helm fullface warna merah, namun kaca depannya dibiarkan terbuka yang memperlihatkan mata dan hidungnya. Dina, Ryan dan Reza terus melihat sosok Agni dalam video itu. Beberapa puluh meter sebelum garis, motor Agni tiba-tiba melaju dengan sangat cepat dan meninggalkan pengendara motor lain, padahal kecepatan mereka juga sangat tinggi. Sesaat Agni tampak menatap ke arah kamera saat melewati garis finish. Dina terkejut saat melihat kilauan mata Agni saat menatap ke arah kamera. Para penonton bersorak menyambut kemenangan Agni.
"Agni menang lagi. Padahal kukira dia tadi akan kalah." kata Ryan.
"Hey! Bisa kau perlihatkan lagi saat Agni melewati garis finish tadi?" pinta Dina.
Dina mendekat ke arah layar TV. Reza segera memutar kembali video itu. Adegan dalam video itu lalu mulai bergerak saat Agni mulai mempercepat motornya meninggalkan motor lainnya.
"Stop!" teriak Dina saat video menunjukkan saat Agni menatap ke arah kamera. Dalam video itu mata Agni tampak bersinar bagaikan kucing dalam kegelapan.
"Itu!!" Dina menunjuk layar televisi dengan wajah ketakutan. Reza langsung berdiri dari duduknya
"Mata penyihir.." desis Reza.
"Di mana Bulan?" tanya Dina menatap kedua pemuda di hadapannya dengan wajah cemas dan ketakutan.
"Agni.. dia tadi kesini untuk menjemput Bulan. Katanya mereka akan jalan-jalan sebentar." jawab Ryan gugup.
"Apa?! Kenapa kau membiarkannya?! Sekarang Agni sudah mendapatkan Bulan!! Agni akan menjadikan Bulan sebagai tumbal ritual itu! Agni.. Dia akan membunuhnya!! Dia akan membunuh Bulan!!" teriak Dina histeris.
Ryan memeluk Dina dan berusaha menenangkan pacarnya itu tapi Dina terus berteriak dan menangis.
"Kenapa kita tadi membiarkannya membawa Bulan?" kata Reza seperti menyadari sesuatu.
"Apakah tadi Agni menghipnotis kita?" tanyanya bingung.
" Bahkan Tante juga terpengaruh. Tante membiarkannya membawa, Bulan" Tante Ratih yang tiba-tiba sudah ada di ruang tamu terlihat cemas. Reza membeku di tempatnya dan tidak bisa berbuat apa pun.
"Sebaiknya kalian tenang dulu. Dina. Tante mohon tenanglah. Dengan begitu kita bisa memulai mencari ke mana Agni membawa Dina." Tante Ratih membelai rambut Dina dengan lembut, hingga perlahan Dina mulai tenang.
Setelah Dina tenang dia mulai menceritakan tentang pertemuannya dengan teman SMP-nya yang ternyata adalah teman sekolah Agni saat di Jakarta. Dina bercerita tentang dugaannya bahwa Agni lah penyihir pembunuh itu setelah mendengar cerita kematian teman-teman dari Shelly, sahabat SMP-nya itu. Dan dugaan Dina diperkuat dari bukti video yang baru saja disaksikannya.
"Dia menangkap Bulan, Tante.." Dina memeluk Tante Ratih sambil menangis namun tidak lagi histeris seperti tadi.
"Kita akan mencari dan segera menemukannya Dina. Kita akan akan menemukannya." hibur Tante Ratih.
Tante Ratih berusaha tenang, padahal sebenarnya dia juga sama paniknya dengan Dina. Bulan adalah keponakan yang sudah dia anggap sebagai anaknya sendiri. Dan saat ini Bulan sedang ada di tangan orang yang sangat berbahaya. Dina melepaskan pelukannya dari Tante Ratih.
"Tante benar, dan kita akan membutuhkan semua bantuan yang ada." Dina mengambil handphonenya dan segera menelepon seseorang.
***
Tadi pagi Agni menjemputku dengan mobil jazz merahnya. Dia bilang ingin mengajakku jalan-jalan dan entah kenapa aku segera menyetujuinya begitu saja, walaupun rasanya aku seperti merasa telah melupakan sesuatu, sesuatu yang penting aku rasa. Padahal Reza dan Ryan, pacarnya Dina sedang berkunjung ke rumah. Bahkan Tante Ratih juga langsung mengijinkan saat Agni meminta ijinnya. Dan di sinilah aku. Duduk di samping Agni yang sedang konsentrasi menyetir. Cowok di sampingku itu terlihat senang. Dia terus menyanyikan lagu yang entah apa judulnya itu dengan riang.
"Agni. Sebenarnya kita mau ke mana sih?" tanyaku akhirnya.
Aku merasa sudah lama sekali dia membawaku dengan mobilnya. Saat aku melihat keluar jendela langit sudah mulai gelap.
"Jalan-jalan. Kita kan belum pernah jalan berdua seperti ini, padahal kita sudah lama pacaran. Lagi pula sebentar lagi kita sampai." Agni tersenyum sekilas padaku lalu kembali memandang ke jalan di depan.
Memangnya sudah berapa lama aku dan Agni pacaran? Tanyaku dalam hati dan anehnya aku bahkan tidak ingat. Aku menatap Agni yang masih tetap menatap jalanan di depan sambil menyetir, mencoba mengingat kenapa aku bisa pacaran dengan cowok di sampingku ini. Ku pandangi wajah mulus Agni yang tanpa jerawat itu. Kulitnya berwarna cerah meski tidak sampai sangat putih, hidungnya mancung dan mata berwarna coklat yang berkilat tajam. Wajahnya memang tampan. Apalagi di dukung rambut sewarna tembaganya yang ditata melawan gravitasi itu. Apa karena itu aku mau pacaran dengan cowok ini?
" Kenapa kau menatapku terus? Kagum pada ketampananku?" tanya Agni.
Agni menoleh sambil tersenyum. Matanya yang tajam dengan iris berwarna coklat tampak bersinar. Aku tertegun melihatnya. Entah kenapa sepasang mata yang bersinar itu terlihat sangat indah. Aku terpesona dan tidak bisa melepaskan pandanganku darinya. Sepasang telapak tangan besar menangkup wajahku.
"Ternyata kau ini cantik juga. Aku baru menyadarinya sekarang."
Agni menatapku sambil tersenyum. Aku merasakan tangannya membelai wajahku pelan. Lalu senyum itu tiba-tiba menghilang dari wajahnya. Raut wajahnya berubah menjadi dingin.
"Sayang sekali." kata Agni.
Dia melepaskan wajahku. Dia lalu membuka pintu mobil lalu keluar begitu saja.
"Ikuti aku." perintah Agni.
Entah kekuatan apa yang menggerakkanku. Aku segera keluar dari mobil dan mengikuti langkah Agni yang memasuki sebuah rumah besar berlantai dua. Aku terus mengikuti Agni yang berjalan terus melewati ruang tamu dan ruang tengah yang luas lalu terus keluar menuju halaman belakang rumah yang luas yang ditanami bunga-bunga. Aku masih terus mengikuti Agni yang berjalan di jalan setapak yang terbuat dari konblock . Di tengah halaman luas itu terdapat area luas berbentuk lingkaran berlantai batu alam. Di tengahnya terdapat sebuah meja batu besar berbentuk bulat dari marmer berwarna putih.
"Berbaring di sana, Bulan." perintah Agni.
Lagi-lagi aku hanya bisa menuruti perintahnya. Aku berjalan ke arah meja batu itu lalu naik ke atasnya dan kemudian berbaring di meja batu yang dingin itu.
Aku menatap langit yang berwarna biru gelap. Ada beberapa bintang yang mulai terlihat di sana. Entah kenapa tiba-tiba hatiku merasa sangat sakit, ada perasaan yang berkecamuk dalam hatiku yang aku sendiri tidak bisa mengingatnya. Hatiku semakin terasa sakit hingga air mataku mengalir deras membasahi wajahku. Aku bahkan tidak mengerti kenapa aku menangis.
"Tenanglah Bulan, rasa sakitnya tidak akan lama." ucap Agni sambil menatapku. Dia meletakkan telapak tangannya di dahiku.
"Tidurlah." perintah Agni.
Sesaat kemudian aku langsung merasakan kantuk yang luar biasa, kemudian aku langsung tertidur. Entah berapa lama aku tertidur, tapi rasanya sangat lama. Aku terbangun saat aku merasakan sentuhan di dahiku.
"Sudah hampir saatnya Bulan."
Sebuah suara menyadarkanku. Aku membuka mata dan mendapati Agni berdiri di samping meja tempatku berbaring. Agni memakai jaket besar kemerahan, mengingatkanku pada sosok pembunuh dalam mimpiku. Dia melihatku dengan tatapan tajam. Aku langsung ketakutan melihat matanya yang bersinar. Mata penyihir! Agni adalah penyihir pembunuh itu! Aku jadi sangat ketakutan. Aku ingin bangkit tapi tubuhku tidak bisa bergerak. Aku ingin berteriak tapi tidak ada suara yang keluar dari mulutku. Hanya air mataku yang mengalir deras. Agni tertawa.
"Kenapa menangis? Bukankah selama ini kau mencari orang yang membunuh teman-temanmu? Seharusnya kau senang telah menemukannya, kan? Lagi pula kau akan segera bertemu dengan teman-temanmu itu." kata Agni dengan nada mencemooh.
Aku menatap Agni dengan perasaan marah. Bagaimana mungkin aku tidak menyadari kalau pembunuh yang selama ini kami cari ternyata ada bersamaku selama ini tanpa aku menyadarinya? Dan lebih parahnya aku pacaran dengannya. Ya, Aku pacaran dengan pembunuh dari teman-temanku.
"Sebenarnya aku juga tidak mau membunuh mereka, tapi aku harus melakukannya. Terutama dirimu Bulan." Agni membelai wajahku. Aku hanya bisa menatapnya dengan perasaan marah tanpa bisa berbuat apa pun.
"Padahal aku mulai menyukaimu." Agni mendekatkan wajahnya ke wajahku.
"Kau sangat cantik saat sinar bulan menyinarimu seperti ini." bisik Agni di depan wajahku. Jarinya menelusuri wajahku lalu menyentuh bibirku. Aku merinding ketakutan.
"Kau benar-benar cantik. Aku sepertinya jatuh cinta padamu, Bulan."
Agni lalu mencium bibirku sesaat. Aku sangat marah dengan perbuatan Agni itu. Ingin rasanya aku mendorongnya lalu menghajarnya. Aku bahkan ingin membunuh orang yang telah membunuh teman-temanku itu saat ini juga, tapi aku bahkan tidak bisa menggerakkan ujung jariku. Aku hanya bisa menatapnya dengan perasaan marah yang meluap-luap.
"Benar-benar sangat di sayangkan." Agni menatap wajahku sesaat lalu memandang langit.
Aku melihat ke langit di mana bulan yang terlihat berwarna kemerahan itu sudah mulai tertutup bayangan hitam. Gerhana bulan sudah hampir sempurna.
"Lihatlah itu, Bulan. Bulan darah yang mengalami gerhana. Ini adalah momen langka yang sangat ditunggu-tunggu oleh semua penyihir. Saat di mana penyihir bisa melakukan ritual dengan sempurna untuk mencapai kekuatan dewa. Ada penyihir yang menghabiskan seumur hidupnya untuk menantikan moment ini. Dan kau akan mati tepat di saat moment yang menakjubkan ini. Bukankah kau sangat beruntung Bulan?"
Agni berkata sambil memandang bulan yang mulai tertutup seluruhnya dan hanya memperlihatkan sebentuk lingkaran gelap dengan cahaya kemerahan yang berpendaran di sekitarnya.
"Bersiaplah Bulan. Kau akan segera bertemu dengan kedua temanmu itu." Agni mendekatkan wajahnya ke wajahku lalu mencium keningku sekejap.
"Sampaikan salamku pada mereka berdua." bisiknya sambil tersenyum mengejek.
Aku sangat marah tapi tidak bisa berbuat apa pun. Sesaat kemudian rasa marahku berganti ketakutan yang amat sangat saat Agni mengeluarkan pisau dari balik jaket besarnya.
"Penguasa kegelapan yang agung. Terimalah darah penjaga cahaya bulan ini. Terimalah persembahanku ini!" teriak Agni. Dia mengacungkan belatinya tinggi ke arah bulan yang gelap. Aku hanya bisa melihat kilatan belati membuatku semakin ketakutan.
"Terimalah!" teriak Agni sambil menghujamkan belati itu ke perutku.
Aku tersentak saat rasa sakit yang teramat sangat menyerang perutku. Nafasku tersengal, seluruh tubuhku bergetar. Aku mulai merasakan cairan mengalir membasahi perut dan punggungku. Rasa sakit, kemarahan dan ketakutan memenuhi pikiranku.
"Terimalah persembahanku ini!" teriak Agni.
Agni mengacungkan belati yang berlumuran darahku ke arah bulan. Sesaat kemudian tiba-tiba angin bertiup kencang, mendung mulai bergulung di langit dan membentuk pusaran di sekitar piringan bulan yang gelap. Suara petir menyambar-nyambar dengan keras.
"Wahai penguasa kegelapan! Terimalah darah para cahaya penjaga ini!"
Sesaat setelah ucapan Agni itu, ada beberapa cahaya merah di sekelilingku terlihat muncul lalu bagaikan cahaya senter yang berwarna merah menyorot ke arah piringan gelap bulan, yang kemudian membuat bulan yang semula gelap tiba-tiba bersinar merah bagaikan darah. Petir menyambar-nyambar semakin keras di langit disertai angin yang menderu kencang.
Saat aku lihat cahaya-cahaya merah itu berasal dari cawan-cawan berbentuk seperti piala kecil yang ditata melingkar di meja sekeliling tubuhku. Aku terbalalak. Cawan itu adalah cawan berisi darah yang diambil Agni dari para korban yang dibunuh Agni sebelumnya.
Sebuah cahaya merah menyilaukan bersinar dari arah bulan merah darah lalu menyorot turun ke arah tubuh Agni diiringi cahaya petir yang menyambar-nyambar. Cahaya itu menyelimuti tubuh Agni. Agni tampak tertawa senang.
"Sekarang aku mempunyai kekuatan dewa!" teriaknya senang.
Tubuh Agni tampak berpendar kemerahan seperti warna darah. Perlahan tubuh Agni mulai melayang.
"Aku adalah dewa! Tidak akan ada yang bisa melawanku. Akan aku hancurkan mereka yang telah menyakitiku!" teriaknya lantang. Tiba-tiba cahaya terang bersinar dari tubuh Agni.
Aku hanya bisa memandang tubuh Agni yang yang bersinar melayang-layang di udara tanpa bisa berbuat apa pun. Aku menangis di antara perasaan marah dan kesakitan. Tubuhku semakin terasa lemas, dan mataku terasa semakin berat, mungkin aku karena mulai kehabisan darah.
Aku merasa ajalku sudah dekat. Saat itu aku begitu putus asa dan mulai bertanya apakah ini adalah akhir dari hidupku? Dibunuh dan menjadi tumbal ritual gila yang dilakukan oleh pacarku sendiri? Benar-benar sebuah akhir yang menyedihkan. Saat aku mulai kehilangan harapan dan juga kesadaranku, seseorang tiba-tiba menghampiriku.
"Aku datang Bulan.. Aku datang menyelamatkanmu.."
Sosok Bagas muncul dan langsung mengangkat tubuhku.
"Kita harus segera pergi sebelum penyihir itu menyadarinya." bisik Bagas.
Selanjutnya aku merasakan goncangan yang terus-menerus. Bagas pasti membawaku sambil berlari. Aku menatap wajah Bagas yang terlihat sangat panik di atasku.
"Ya.. Tuhan.." aku mengerang.
Rasa sakit di perutku makin terasa hingga air mataku terus mengalir. Namun perlahan rasa sakit itu menghilang seiring dengan wajah cemas Bagas yang juga menghilang dalam kegelapan yang tiba-tiba menutupi mataku.
Apakah aku sudah mati? Apakah aku tidak akan bertemu Bagas, Dina, dan semua teman sekolahku serta orang yang aku kenal lagi? Apakah aku bahkan tidak bisa bertemu dengan Tante Ratih lagi? Padahal aku belum bilang kalau aku sangat menyayanginya. Aku juga belum bilang kalau aku sangat berterima kasih padanya yang telah merawatku seumur hidupku dan menjadi ibuku. Ya Tuhanku. Tolong sampaikan rasa sayang dan rasa terima kasihku ini kepada Tanteku yang baik hati itu. Aku mohon dengan sangat padamu Tuhan.
Bersambung..