Chereads / Ritual Bulan Darah / Chapter 13 - 13. Hati Yang Penuh Dendam

Chapter 13 - 13. Hati Yang Penuh Dendam

***

Hari menjelang senja saat aku melangkah menyusuri jalan setapak menuju kediaman Nenek Lintar. Aku melangkahkan kakiku cepat-cepat, ingin segera sampai di tempat Nenek penyihir yang baik hati itu. Nenek tua itu segera menyuruhku masuk sesampainya aku di depan pintu pagar rumahnya. Dia sudah menghidangkan teh dan ketela goreng di meja di depannya saat aku masuk, seakan sudah tahu akan kedatanganku ke rumahnya.

"Minumlah dulu dan makanlah. Aku tahu kau sangat haus dan juga lapar. Kau tadi belum makan siang kan?" tanyanya. Aku mengangguk mengiyakan.

Dengan segera aku minum teh hangat yang manis itu sampai habis lalu makan ketela goreng yang terasa sangat enak di lidahku. Atau karena aku kelaparan karena melewatkan makan siang tadi? Entahlah. Nenek Lintar hanya melihatku sambil tersenyum. Setelah makan dan minum sampai kenyang, bahkan Nenek Lintar sampai menambah teh di cangkirku dua kali, aku mulai bersiap mengatakan maksud kedatanganku ke rumah nenek berambut putih itu. Tapi sebelum aku bicara, nenek Lintar mengangkat tangannya menghentikanku.

"Aku tahu tujuan kedatanganmu ke sini Bulan, tapi aku tidak bisa. Tidak semudah itu kau bisa mempelajari ilmu sihir sekalipun kau sudah punya bakat alami. Butuh waktu puluhan tahun untuk mempelajari hal serumit ini." tolak Nenek Lintar.

Aku langsung kehilangan harapanku. Dan tiba-tiba aku teringat mimpiku saat Agni berada di atas tumpukan mayat dan genangan darah. Tiba-tiba hatiku terasa sakit dan sesak.

"Lalu aku harus bagaimana Nek? Apa aku harus membiarkan tindakan Agni? Apakah aku harus membiarkan penduduk desa itu mati? Apakah aku harus melihat kematian demi kematian tanpa bisa berbuat apa-apa? Seperti saat itu? Seperti saat teman-temanku mati satu persatu?" tangisku.

Aku menangis sedih. Air mataku tidak bisa aku bendung lagi. Sesaat Nenek Lintar menatapku lalu menghela nafas.

"Baiklah. Kau tunggulah sebentar di sini." Nenek itu bangkit dari duduknya.

"Nenek mau mengajariku? Syukurlaaah.. Terima kasih Nek.." ucapku senang. Hatiku langsung berseri-seri bahagia.

" Aku tidak akan mengajarimu." kata Nenek Lintar.

"Apaaa?!" kataku kecewa.

"Tapi aku akan ikut bersamamu. Kita harus cepat sampai di desa Karang secepat mungkin." kata Nenek Lintar lalu berjalan menuju ke kamarnya. Tiba-tiba aku teringat sesuatu.

"Tapi Nek. Nenek bilang Agni jauh lebih kuat dari Nenek dan Nenek tidak bisa.." aku tidak sanggup melanjutkan ucapanku.

"Kita tidak akan tahu sebelum mencoba kan?" jawabnya. Nenek Lintar tersenyum.

"Tapi Nek. Bagaimana kalau.." Aku tidak bisa melanjutkan ucapanku. Aku menggelengkan kepalaku menepis kemungkinan buruk itu.

Nenek Lintar menghampiriku lalu mengelus kepalaku pelan.

"Tekadmu yang kuat telah menyadarkanku Bulan. Kau yang tidak bisa ilmu sihir sama sekali saja berani menantang Agni. Kenapa aku tidak? Aku punya kekuatan dan kemampuan untuk melawan Agni. Lagi pula aku punya saudara di desa itu dan aku harus menyelamatkannya." kata nenek itu sambil tersenyum.

"Tapi Nek, kekuatan Agni sekarang jauh lebih besar. Bagaimana kalau Nenek nanti dicelakai olehnya atau lebih buruk dari itu?" Aku sangat cemas dengan segala kemungkinan buruk yang akan menimpa Nenek tua di depanku ini.

"Kau tenang saja Bulan, Nenek tidak akan mati semudah itu. Lagi pula meski tidak pergi melawan Agni, nenek juga tetap akan mati. Tapi jika nenek pergi melawan Agni, Nenek akan mati sebagai pahlawan. Aku rasa itu bukan cara mati yang buruk. Iya kan?" Nenek itu mengusap rambutku dengan lembut. Ah. Aku makin tidak mau Nenek Lintar pergi melawan Agni.

"Nenek.." Aku memeluk Nenek berambut putih itu.

"Sudahlah Bulan. Nenek akan bersiap dulu. Kita harus segera berangkat. Teman-temanmu ada dalam bahaya sekarang." ujarnya yang langsung membuatku tersentak kaget.

"Apa maksud Nenek?" tanyaku pada Nenek tua. Tapi nenek itu hanya terdiam, sesaat kemudian matanya bersinar sambil memandang ke suatu arah.

"Kita harus cepat berangkat." kata Nenek Lintar .

***

Sementara itu, ratusan kilo meter dari kediaman Nenek Lintar, tepatnya di sebuah gedung apartemen di tengah kota Kembang, tampak Bagas dan Dina serta Ryan berdiri di depan sebuah salah satu pintu apartemen. Dengan tidak sabar Bagas memencet bel pintu. Beberapa saat kemudian pintu terbuka dan tampaklah wajah Reza, wartawan itu.

"Reza! Bulan hilang! Apakah dia ada di sini?" Bagas langsung bertanya tanpa basa-basi.

"Woow. Ada apa ini? Pagi-pagi begini ada tamu datang dari jauh?" Reza melihat tamunya satu-persatu.

"Sudah basa-basinya Reza. Apakah Bulan di tempatmu atau tidak? Sudah dua hari Bulan hilang. Kami benar-benar cemas!" desak Dina tidak sabar dan disetujui oleh Bagas.

"Bulan sudah dua hari hilang? Sebaiknya kita bicara di dalam." Reza segera menarik mereka bertiga masuk dan menyuruh mereka duduk di sofa ruang tamunya.

"Bulan dia tidak di sini tapi kemarin dia menelepon aku dan menanyakan letak Desa Karang." terang Reza.

"Desa Karang? Maksudmu desa tempat Kakeknya Agni di..." Dina tidak tega melanjutkan ucapannya.

"Benar. Dan sepertinya aku ingat sesuatu. Sebentar." Reza segera menghampiri sebuah meja kerja yang penuh dengan kertas dan dokumen. Dia lalu mengambil salah satu map di rak di atas meja kerja itu lalu membukanya dengan cepat.

"Ini dia!" serunya. Reza segera segera membawa map itu ke meja rendah di depan sofa.

"Besok adalah hari peringatan sebelas tahun kakeknya Agni meninggal. Dan aku rasa Agni akan merayakannya secara besar-besaran di desa Karang." katanya sambil bergidik ngeri.

"Apa maksudmu?" Bagas menatap Reza dengan perasaan tidak nyaman melihat ekspresi Reza itu.

"Apa kau pikir Agni akan membalas dendam pada pembunuh kakeknya yang ada di desa Karang besok ?" kata Ryan yang sejak tadi hanya diam.

"Apa pun itu pasti akan sangat buruk. Sekarang aku mengerti kenapa Bulan memaksaku untuk memberitahu alamat Desa Karang itu. Dia pasti tahu akan terjadi sesuatu di desa itu." Reza terlihat cemas.

"Kalau begitu kita harus cepat menyusul Bulan ke sana. Cepat berikan alamatnya Reza!" Bagas makin cemas pada keadaan Bulan.

"Baiklah. Aku akan mengantar kalian! Ayo cepat!" Reza segera bersiap. Selanjutnya mereka berempat pergi ke desa Karang, desa kecil yang terletak jauh di luar kota Kembang.

***

Agni melihat desa kecil bernama Desa Karang itu dengan tatapan penuh dendam. Meski sudah banyak berubah, namun jalan-jalan, rumah-rumah dan para penduduk desa yang hidup tenang dan damai di desa itu, seakan mengejeknya, mengejek kenangan mengerikannya atas kematian kakeknya di desa itu. Seakan kematian kakeknya bukanlah suatu peristiwa yang penting yang dengan mudah mereka lupakan dan melanjutkan hidup mereka dengan penuh kedamaian. Seakan membunuh seseorang dan mengusir sebuah keluarga adalah hal sepele seperti membuang sampah di selokan. Namun mereka tidak tahu, selokan itu akan segera penuh dengan perasaan sakit hati dan juga kemarahan hingga membuat dendam yang tertahan begitu lama akan meluap dan menenggelamkan mereka semua dan menghanyutkan mereka menuju kematian.

"Kalian akan merasakan penderitaan yang kalian berikan pada Kakekku. Bersiaplah." Agni menyeringai. Lalu melayang pergi dari salah satu puncak bukit karang yang mengurung desa kecil itu.

Bagas, Dina, Ryan dan Reza tiba di sebuah penginapan sederhana menjelang tengah hari setelah melakukan dua jam perjalanan dari pusat kota Bunga. Penginapan itu terletak di depan pasar kota Kecamatan Batu, beberapa kilometer dari Desa Karang, penginapan terdekat dari desa Karang yang bisa mereka temukan. Penginapan itu adalah sebuah bangunan dua lantai dengan dua sayap. Lantai bawah sayap kanan bangunan itu, di sebelah lapangan parkir adalah restoran yang langsung berhadapan dengan bagian tengah lantai satu yang merupakan lobi hotel. Lalu di seberang lobi itu adalah meja resepsionis. Mereka segera memesan 4 kamar untuk mereka.

"Permisi, apakah ada gadis cantik berambut panjang berwarna kemerahan yang memakai wristban merah menginap di sini? Namanya Bulan. Dia datang kira-kira dalam dua hari ini." tanya Reza. Gadis petugas resepsionis hotel itu menatapnya lalu menghela nafas.

"Kami tidak bisa memberikan informasi tentang pelanggan kami pada sembarangan orang. Jadi maafkan saya." kata gadis itu tegas. Wow. Gadis yang disiplin, batin Reza.

"Oh, ya sudah. Soalnya dia itu adikku yang kabur dari rumah dan ingin ketemu neneknya di desa Karang. Tapi nenek bilang dia tidak menginap di sana. Aku rasa sebaiknya aku lapor polisi saja." ucap Reza.

Gadis itu tersentak mendengar kata-kata polisi. Kalau tamunya lapor polisi dan menemukan gadis yang dicari pemuda itu ada di penginapannya kan gawat. Bisa-bisa dia dituduh menyembunyikan gadis itu. Oh tidak.

"Lagi pula ini sudah dua hari." kata Reza lalu pura-pura akan pergi.

"Tunggu!" Gadis resepsionis itu memanggil Reza. Reza berbalik.

"Ada apa Nona?" tanyanya Reza pura-pura bingung.

"Aku mungkin bisa membantumu." kata gadis itu mencoba setenang mungkin. Reza tertawa dalam hati. Gadis yang polos, batinnya.

"Benarkah?" Reza berusaha menahan tawanya dan bersikap sepenasaran mungkin.

"Tentu. Aku bisa mencari tahu apakah adikmu menjadi tamu hotel ini atau tidak." jawab gadis itu. Dia segera mencari-cari data pengunjung penginapan di komputer di depannya. Setelah mencari beberapa saat gadis itu menatap Reza.

"Maaf. Tapi adik Anda tidak menginap di sini. Mungkin dia menginap di penginapan di kota." kata gadis itu.

"Begitu yaa. Terima kasih atas bantuan Nona. Nona sangat baik. Permisi." Reza memperlihatkan wajah kecewa pada gadis resepsionis itu sejenak.

Setelah selesai bersandiwara Reza berbalik pergi dari meja resepsionis dengan wajah senang. Reza menghampiri Dina ke restoran di depan lobi hotel itu. Gadis itu sedang duduk di kursi dengan meja untuk empat orang.

"Di mana Ryan dan Bagas? Kenapa kau sendirian? Mereka nggak lapar?" tanya Reza yang melihat Dina duduk sambil minum mocachino-nya pelan. Reza langsung duduk di kursi di seberang meja Dina.

"Mereka bilang mau mandi dulu. Nanti juga ke sini. "jawab Dina. Dina memperhatikan Reza yang kelihatan gembira.

"Kenapa kau terlihat senang sekali? Apakah kau berhasil mendapat nomor gadis resepsionis itu?" sindir Dina

"Sayangnya tidak. Tapi aku mendapat info kalau Bulan tidak menginap di sini. Itu artinya Bulan tidak ke sini. Bukankah itu artinya Bulan baik-baik saja? Iya kan?" jawab Reza yakin. Dina menggelengkan kepalanya.

"Itu hanya berarti Bulan belum sampai ke sini. Kau tidak tahu betapa nekatnya anak itu kalau sudah berniat melakukan sesuatu. Dan aku rasa kali ini berniat melakukannya sendiri, bahkan tanpa bantuan Bagas sekalipun." ucap Dina.

Dina menjadi sangat gelisah. Dina yakin Bulan berniat melakukan tindakan yang sangat berbahaya untuk menghentikan Agni hingga tidak mau melibatkan siapa pun.

"Sudahlah. Bisakah kita tidak membahas penyihir jahat itu? Bisakah kita tidak ikut campur lagi masalah yang bisa membahayakan nyawa kita?"

Tiba-tiba Dina teringat ucapannya saat mereka membahas soal Agni ketika di rumah sakit. Apakah karena itu Bulan memutuskan untuk menghadapi Agni sendirian?!

"Itu Dia!" teriak Dina tiba-tiba. Reza mendelik kaget.

"Bulan bermaksud untuk menghadapi Agni sendirian." lanjutnya.

"APA?!" teriak Bagas kaget. Tentu saja. Bagas yang baru saja datang dan langsung mendengar hal mengerikan itu dari mulut Dina.

"Kenapa kau bisa mengira Bulan melakukan hal seperti itu! Itu kan sangat berbahaya!" teriak Bagas cemas.

"Mungkin dia mendapat mimpi atau firasat tertentu. Lalu dia berniat mencegah hal buruk itu terjadi." kata Dina.

"Dan melakukannya sendirian? Tanpa memberitahuku? Suaminya sendiri?" teriak Bagas emosi. Bagas terlihat frustasi. Dia merasa tidak dipercaya oleh istrinya sendiri.

"Mungkin semua karena ucapanku. Ucapanku waktu di rumah sakit dulu saat kubilang kita tidak usah membahas tentang Agni dan tidak ikut campur suatu hal yang bisa membahayakan nyawa kita." jawab Dina sambil menunduk.

"Lalu apa hubungannya dengan kepergian Bulan?" tanya Bagas bingung.

"Aku rasa mulai saat itu dia tidak mau melibatkan kita pada urusan Agni lagi karena bisa membahayakan nyawa kita." jawab Dina. Dia hal itu membuat Dina merasa sangat bersalah pada Bulan.

DUAAARRRRR!!

Tiba-tiba suara sebuah ledakan terdengar dari luar restoran. Semua orang yang berada dalam restoran itu langsung menghambur keluar, mencoba mencari tahu penyebab ledakan besar yang baru saja mereka dengar. Mereka langsung terkejut dengan pemandangan yang mereka lihat. Pasar tradisional kota kecamatan Batu yang tadinya ramai dengan pengunjung kini tampak bagaikan lautan api. Bangunan ruko yang berjajar di depan pasar tampak mulai runtuh di lalap api. Kerusakan terparah terjadi di ruko paling luas yang merupakan gabungan tiga ruko yang dijadikan sebuah sebuah showroom motor. Tempat itu hancur dengan lantai dan atap yang berlubang sangat besar, seakan seseorang baru saja meledakkan bom di tengah ruko itu. Api berkobar melalap motor-motor, dinding dan juga sisa atap. Sementara itu lidah api setinggi genting tampak terlihat dari dalam tengah pasar disertai asap yang membumbung tinggi. Sesekali masih terdengar ledakan dan bunyi bangunan yang runtuh dari dalam pasar. Orang-orang berlarian berusaha menyelamatkan diri mereka dari api, bahkan ada yang berlari dengan tubuh terbakar. Jeritan dan teriakan minta tolong terdengar memilukan berasal dari dalam pasar dan juga orang -orang yang melihat kebakaran itu.

"Yaa Tuhaan!" Dina langsung jatuh terduduk dengan air mata yang berderai dari kedua matanya. Ryan segera menghampiri dan memeluknya.

Bagas dan Reza terpaku memandang pemandangan mengerikan itu. Keduanya kaget melihat sesosok berjaket merah terbang melayang meninggalkan pasar yang terbakar itu.

"Agni.." desis Bagas.

Reza menatap sosok Agni yang terlihat terbang semakin jauh. Reza benar-benar shock melihat hasil perbuatan Agni yang sangat mengerikan itu. Tapi Reza dengan cepat menguasai dirinya dan melihat sekitar. Saat dia menemukan gadis resepsionis yang sedang terpaku memandang ke arah pasar lalu menghampirinya.

" Maaf Nona Resepsionis" panggil Reza. Gadis itu tampak kaget lalu memandang Reza.

"Sebaiknya Nona segera menghubungi pemadam kebakaran, polisi dan rumah sakit terdekat. Banyak yang memerlukan pertolongan di sana!" ucap Reza. Gadis itu mengangguk lalu berlari ke meja resepsionis. Reza menatap showroom motor yang sudah hampir habis terbakar.

"Apakah itu sasaran Agni? Maksudku showroom motor itu?" Suara Bagas mengagetkan Reza.

"Aku rasa begitu. Sebaiknya siang ini kita segera ke desa Karang dan mengingatkan semua orang di sana. Sebelum semuanya terlambat." jawab Reza.

Reza segera berjalan kembali ke dalam kamar hotel untuk mengambil barang-barangnya. Bagas melihat pasar yang makin habis terbakar. Orang-orang tampak berdatangan menolong korban kebakaran, yang lain mencoba memadamkan api dengan peralatan seadanya. Beberapa menit kemudian sebuah mobil pemadam kebakaran datang dengan sirine meraung-raung. Disusul beberapa mobil polisi dan ambulance.

Bagas, Reza, Dina dan Ryan menuju desa Karang dengan dua mobil. Bagas dan Reza berada di mobil crv hitam milik Bagas dan Ryan berdua dengan Dina dengan mobil jazz birunya. Mereka tiba di desa Karang kurang lebih satu jam kemudian. Mereka berhenti di balai Desa Karang yang berupa bangunan semacam joglo besar dengan tiang-tiang besar yang dihiasi ukiran kayu. Balai desa itu berseberangan dengan sebuah lapangan sepak bola lengkap dengan gawang dan joging track berkonblock di sekelilingnya. Di sekeliling lapangan itu tampak beberapa pohon trembesi besar memayunginya yang membuat suasana lapangan tampak teduh. Bagas dan Ryan memarkirkan mobil mereka di pinggir lapangan di bawah salah satu pohon trembesi itu.

"Apa mungkin Bulan langsung ke sini ya?" tanya Dina setelah mereka turun.

"Itu mungkin saja. Dia itu orang yang tidak sabaran kalau sudah ada maunya." jawab Bagas.

"Waah-waah! Lihatlah! Siapa ini?" Tiba-tiba sebuah suara yang sangat mereka hindari terdengar menghampiri.

"Agni!" jerit Dina kaget melihat Agni yang tiba-tiba saja sudah berdiri di depan mereka.

Bagas, Reza dan Ryan langsung memasang sikap waspada. Ryan menarik Dina ke belakang tubuhnya.

"Budakku dan teman-teman bodohnya!" kata Agni menghina.

"Hey! Siapa yang kau bilang bodoh! Hah?" Dina meradang. Ryan langsung mencengkeram lengan Dina.

"Untuk apa kalian ke sini? Mau mengantarkan nyawa kalian? Hahaha!" tawa Agni memenuhi udara.

"Agni! Di mana Bulan? Apakah dia bersamamu?" tanya Bagas tanpa basa-basi.

"Apa yang kau bicarakan? Bulan? Bukankah kau aku suruh untuk menjaganya? Dan sekarang kau kehilangan dia? Kau benar- benar bodoh rupanya!" teriak Agni.

"Aku tidak butuh teriakanmu! Katakan di mana Bulan? Apakah kau menyembunyikannya? Apakah kau yang membawanya?" tanya Bagas dengan tidak sabar. Dua hari bagi Bagas sudah terlalu lama untuk berpisah dari Bulan yang sangat dia cintai.

"Jadi kalian pikir aku yang menyembunyikannya? Kalian ini memang bodoh?" umpat Agni.

"Apakah itu benar? Apakah Bulan bersamamu?" Dina bertanya dengan penuh kekhawatiran.

Dina benar-benar takut Agni menangkap sahabatnya. Agni diam. Sesaat matanya bersinar. Dia lalu menoleh ke suatu arah lalu tersenyum.

"Dia tidak bersamaku. Tapi sebentar lagi dia akan ke sini." jawab Agni tenang.

"Apa maksudmu? Apa Bulan tidak bersamamu? Apa kau menyembunyikannya?" tanya Dina.

"Bulan sedang menuju ke desa ini. Dia bersama seseorang. Mungkin beberapa menit lagi dia akan sampai." jawabnya. Agni kembali menatap keempat mantan temannya itu yang membuat mereka kembali bersikap waspada.

"Kita akan menunggu Bulan bersama-sama di sini. Jadi kalian berdiri diam di sana sampai Bulan datang. Oke?"

Setelah berkata begitu Agni mengacungkan ujung pisau belati peraknya yang entah sejak kapan sudah berada di genggaman tangannya. Selarik cahaya biru keluar dari belati itu dan mengenai ketiga pemuda dan seorang gadis di depannya. Sesaat tubuh mereka diselimuti cahaya warna biru.

"Apa yang kau lakukan pada kami?!" teriak Dina berang.

"Rasanya tubuhku jadi berat sekali!" Ryan mencoba mengangkat kakinya tapi tidak bisa.

"Tubuhku terasa kaku dan tidak bisa di gerakkan." Bagas mencoba menggerakkan jari tangannya yang terasa sangat kaku.

"Tentu saja kalian tidak akan bisa bergerak. Kalian akan jadi batu setelah ini. Hahaha!!" tawa Agni terdengar sangat jahat.

Bagas, Dina Ryan dan Reza kaget. Mereka akan jadi batu? Yang benar saja. Ini jaman modern dan Agni menyihir mereka serupa dengan Malin Kundang yang durhaka pada ibunya? Yaa Tuhan. Kalau ada orang lain yang melihat patung mereka nanti, pasti orang tua dan kerabat mereka pasti akan sangat malu.

"Kau biadab! Lepaskan kami! Kami tidak pernah berbuat jahat padamu! Kenapa kau berbuat seperti ini pada kami!" jerit Dina histeris.

"Tentu kalian semua punya kesalahan padaku. Kau! Wartawan yang suka mencampuri urusanku!" Agni menunjuk Reza.

"Apa kau bilang? Kau itu pembunuh! Mana mungkin aku membiarkanmu!" teriak Reza.

"DIAM!" teriak Agni.

Seketika itu juga Reza membatu. Tubuhnya benar-benar berubah menjadi batu dan berwarna kelabu. Bagas, Ryan dan Dina terbelalak kaget melihat kejadian itu. Ketakutan segera memenuhi diri mereka hingga dada mereka sesak.

"Kau! Pria tidak berguna yang hanya bisa selalu mengekor dan membeo kata pacar bawelnya. Kau membuatku malu sebagai sesama pria. Sebaiknya kau diam selamanya." ucapnya pada Ryan. Seketika itu juga Ryan membatu menyusul Reza.

"Dan kau.." Agni berbalik lalu menunjuk Bagas dengan belatinya.

"Kau budak pembangkang."

Agni berjalan menghampiri Bagas. Bagas yang sebagian kakinya sudah membatu tidak bisa bergerak dan melawan saat Agni mencekik lehernya hingga Bagas tersengal kehabisan nafas.

"Kau sudah berani merebut Bulan dariku!" Agni mengeratkan cekikannya.

"Hentikaaaan! Agni aku mohon hentikan! Jangan sakiti Bagas!" Dina berteriak panik melihat Bagas yang terlihat tersiksa karena tidak bisa bernafas.

"Kenapa kau menyakiti Bagas! Kau bahkan tidak benar-benar menyukai Bulan kan?! Bukankah kau hanya mendekatinya untuk menjadikannya tumbal?! Cepat hentikan Agni! Lepaskan Bagas!" teriak Dina putus asa.

"Diam kau cewek bawel! Suaramu membuat telingaku sakit!" teriak Agni.

Agni menunjuk Dina dengan belati peraknya. Sinar yang memancar dari belati itu langsung mengubah Dina menjadi batu. Bagas menatap teman-temannya yang membatu sambil tersengal. Agni tersenyum mengejek.

"Sebentar lagi kau akan berakhir sama dengan mereka Bagas. Lalu aku akan menghancurkan tubuhmu di depan Bulan." ancam Agni.

"Kau memang brengsek. Aku tidak akan membiarkanmu menyakiti Bulan lagi.. aku.. akan melawan.. mu.." ucap Bagas terbata sebelum akhirnya pingsan.

"Ck. Dasar lemah. Begitu saja sudah pingsan." ejek Agni.

Agni lalu melepaskan tubuh bagas begitu saja hingga tubuh itu jatuh terkapar di rerumputan. Perlahan-lahan tubuh Bagas berubah menjadi batu seperti teman-temannya.

"Berani sekali kalian melawanku. Padahal kalian tidak punya kemampuan apa-apa. Dasar orang-orang bodoh yang lemah."

Agni menatap tubuh mantan teman-temannya yang sudah membatu dengan tatapan meremehkan.

"Cepat kemari Bulan. Lihatlah teman-teman bodohmu ini sudah menunggumu. Kita lihat apa yang bisa kau lakukan untuk menghadapiku."

Bersambung..