Chereads / Ritual Bulan Darah / Chapter 11 - 11. Kehidupan Yang Baru

Chapter 11 - 11. Kehidupan Yang Baru

***

Aku mengira tadinya aku hanya pingsan karena terluka akibat luka tusukan di perutku. Aku sedikit kaget saat mereka bilang aku mengalami koma selama hampir satu bulan karena hampir kehabisan darah karena lukaku. Meskipun Bagas berhasil membawaku segera setelah Agni menusukku dan membawaku secepat mungkin ke rumah sakit, tapi karena jarak antara vila persembunyian Agni tempat dia menumbalkanku dalam ritualnya yang terletak jauh di luar kota, membuatku sedikit terlambat tiba di rumah sakit.

"Untung saja Bagas selalu memata-matai Agni, jadi dia langsung tahu saat penyihir itu membawamu ke tempat persembunyiannya. Jika saja Bagas tidak tiba tepat waktu, entah apa yang akan terjadi. Membayangkannya saja aku takut." Dina bergidik ngeri.

"Dina! Jaga bicaramu. Aku tidak suka." Bagas menatap Dina.

"Maaf. Aku hanya mau bilang pada Bulan kalau kau adalah penyelamat hidupnya." kata Dina.

"Dina benar. Dan aku sangat berterima kasih padamu." kataku sambil menatap Bagas. Pemuda itu hanya tersenyum.

"Oya. Bagas. Apa benar kau selalu memata-matai Agni? Tapi kenapa? Dan sejak kapan kau mematai-matainya?" tanyaku sambil menatap Bagas.

Sesaat Bagas terlihat kaget dengan pertanyaanku. Lalu wajahnya terlihat memerah.

"Itu.." Bagas tampak gugup dan malu.

Aku jadi penasaran. Dina apa lagi. Gadis itu langsung mendekati Bagas dan menatapnya lekat-lekat.

"Itu kan hanya pertanyaan biasa. Kenapa reaksimu seperti itu banget sih? Mencurigakan." Dina terus menatap Bagas.

"Aku memata-matai Agni sejak.." Bagas menghentikan ucapannya. Wajahnya terlihat merah.

"Sejak kapan? Kau ini bicara tidak jelas." Dina terlihat makin penasaran.

"Sejak aku.. sejak Bulan memukulku. Kau puas?" Bagas lalu memalingkan mukanya. Dia lalu duduk di sudut sofa dengan wajah merah.

Aku kaget mendengar jawaban Bagas itu. Sejak aku memukulnya? Itu kan setelah Bagas menciumku.. Aku langsung merasa sangat malu saat mengingat peristiwa itu. Wajahku langsung terasa panas. Aku yakin wajahku semerah wajah Bagas sekarang ini. Dina menatapku lalu menatap Bagas. Dia terlihat bingung melihat kami berdua yang tiba-tiba terdiam.

"Aku ingat sekarang. Waktu kita ke rumah Bagas, kau juga minta maaf karena kau telah memukulnya. Bulan! Kenapa kau memukul Bagas?" Dina menatapku dengan tatapan penuh selidik.

Aku diam saja. Mana mungkin aku bilang pada Dina kalau aku memukul Bagas karena dia sudah berani menciumku secara paksa. Memalukan sekali. Mau ditaruh di mana mukaku? Aku hanya mengusap wajahku dengan perasaan kesal bercampur malu.

"Karena aku telah berbuat kesalahan besar. Tapi aku rasa Bulan sudah memaafkanku, jadi kami tidak akan membahasnya. Benar kan, Bulan?" Bagas menatapku minta dukungan.

"Tentu saja." jawabku.

Tentu saja. Aku benar-benar tidak mau membahas hal memalukan itu lagi.

"Wah. Kenapa kalian jadi tiba-tiba kompak begini? Tapi bagus juga sih. Itu artinya kalian memang cocok satu sama lain. Iya kan Bagas?" Dina melihat Bagas sambil tersenyum penuh arti.

Tiba-tiba wajah Bagas memerah lagi. Aku mengernyitkan dahiku bingung melihat reaksi Bagas itu.

"Ada yang kalian sembunyikan dariku?" tanyaku.

Aku menatap Bagas dan Dina bergantian. Dina hanya tersenyum sementara wajah Bagas makin memerah.

"Sebaiknya kau mengatakannya, Bagas. Aku rasa sekarang adalah saat yang tepat." ucap Dina sambil terus tersenyum.

Bagas menatapku. Dia terlihat gugup. Berkali-kali kulihat dia menelan ludahnya. Bagas menarik nafas dan menghembuskannya perlahan, setelah itu dia terlihat lebih tenang. Bagas beranjak dari sofa tempatnya duduk lalu berjalan menghampiri ranjang rumah sakit tempatku berbaring. Dina tersenyum bahagia. Kenapa?

"Bulan. Aku tahu kau mengira bahwa selama ini aku menganggapmu sebagai Shelina. Apalagi sejak kejadian malam itu." Bagas menghela nafas.

Aku menatap Bagas. Bagaimana dia tahu perasaanku selama ini padanya?

"Aku mengakui bahwa kalian memang sangat mirip. Bahkan wajah kalian hampir sama. Aku sangat kaget saat Dina mengenalkan kita berdua pertama kali. Aku merasa Shelina hidup kembali dan aku merasa sangat bahagia. Awalnya aku memang menganggapmu sebagai Shelina, tunanganku, orang yang aku sayangi dan menyayangiku." ucap Bagas.

Aku menatap Bagas. Entah kenapa aku merasa sedih mendengar ucapan Bagas itu.

"Hingga saat kau memukulku malam itu. Pukulanmu itu membuatku sadar bahwa kau bukan Shelina. Kau adalah orang yang berbeda. Meski wajahmu sama dengannya tapi kau bukan dia. Kau adalah Bulan. Dan meski aku sadar kau bukan dia tapi aku terlanjur sayang padamu Bulan. Aku mencintaimu. Dan aku ingin selalu melindungimu. Meskipun nyawaku taruhannya. Itulah kenapa aku memutuskan untuk memata-matai Agni saat kau menerimanya menjadi pacarmu. Aku ingin tahu semua tentang Agni agar dia tidak bisa menyakitimu. Kau tahu kan dia itu terkenal sebagai playboy? Tapi aku tetap saja gagal menjagamu dan melindungimu." Bagas menghela nafas.

"Aku tidak menyangka Agni lebih berbahaya dari sekedar cowok playboy. Dia adalah pembunuh gila. Dan dia berhasil melukaimu, bahkan hampir saja membunuhmu. Kau tidak tahu betapa putus asanya aku melihatmu berbaring diam tidak berdaya. Seandainya saja kau tidak bangun lagi dan pergi meninggalkanku, aku tidak akan ragu lagi untuk segera menyusulmu. Aku tidak akan sanggup hidup tanpamu." ucap Bagas.

Wajah Bagas menunjukkan ekspresi serius yang belum pernah aku lihat sebelumnya saat mengatakan semua itu. Bagas meneteskan air mata. Aku kaget melihatnya. Begitu juga Dina.

"Aku ingin kau selalu ada di sisiku, Bulan. Karena itu.. Kau mau kan menjadi istriku dan hidup denganku?" tanya Bagas.

Aku terbelalak kaget mendengar ucapan Bagas. Apa dia baru saja melamarku? Apa aku tidak salah dengar? Aku menatap Bagas tidak dengan perasaan percaya.

"Waah.. So sweet." teriak Dina. Sementara aku masih diam terpaku karena kaget dan belum yakin dengan semua yang baru saja aku dengar.

"Kau tidak salah dengar, Bulan. Dia memang sedang melamarmu. Lalu apa jawabmu?"

Tiba-tiba Tante Ratih muncul di ambang pintu. Bagas tampak kaget dan langsung terlihat gugup melihat Tanteku itu. Sedangkan Dina hanya terkikik geli.

"Dina! Kau sudah tahu kalau Tante Ratih datang dari tadi?" tanya Bagas curiga.

"Iya. Makanya tadi aku bilang ini saat yang tepat padamu." tawa Dina senang. Bagas hanya mendelik dengan wajah memerah.

"Tante. Aku harus menjawab apa?" tanyaku pada Tante Ratih bingung.

Tanteku itu hanya tersenyum. Dia membelai rambutku dengan lembut.

"Tanyakan pada dirimu sendiri Bulan. Bagaimana perasaanmu padanya? Apakah kau akan bahagia saat bersamanya? Hanya kau yang tahu jawabannya. Tante hanya mengingatkanmu, jika kau menerimanya maka kau akan menghabiskan seumur hidupmu bersamanya. Pikirkanlah dulu sebaik-baiknya. Baru setelah itu kau menjawabnya." kata Tante Ratih.

Aku menatap Bagas yang juga sedang menatapku penuh harap. Pemuda tampan itu terlihat gugup. Aku melihat Bagas dari atas ke bawah. Dari rambutnya yang hitam dengan poni pendek yang menghiasi dahinya, wajahnya yang tampan dan kulitnya yang putih, serta tubuhnya yang tinggi dan tegap. Baru aku sadari Bagas terlihat lebih kurus dari sebelumnya. Pasti karena dia selalu begadang menungguiku di rumah sakit selama sebulan ini hingga tidurnya terganggu dan pola makannya tidak beraturan.

Begitu banyak yang telah Bagas lakukan dan korbankan untukku. Dia bahkan berani mempertaruhkan nyawa untuk menerobos tempat tinggal Agni hanya untuk menyelamatkan aku. Itu adalah bukti bahwa dia sangat mencintaiku. Terlepas dari apakah dia mencintaiku sebagai Shelina atau sebagai diriku, tapi semua yang Bagas lakukan untukku adalah nyata. Dan itu membuatku terharu. Bagaimana mungkin aku akan menolak orang seperti itu? Meski saat ini aku belum mempunyai perasaan apa pun pada Bagas, tapi aku yakin, perasaan itu akan dengan mudah tumbuh di hatiku. Bagas mempunyai semua hal baik yang bisa membuat orang mencintainya, termasuk diriku. Seiring kebersamaan kami nanti aku yakin cinta akan tumbuh di hatiku. Seperti pepatah Jawa yang berbunyi "witting tresno jalaran soko kulino". Cinta tumbuh karena terbiasa. Benar kan?

"Aku menerimanya Tante. Aku bersedia jadi istrinya." jawabku mantap.

Dina langsung bersorak. Bagas tampak terlihat lega dan bahagia. Tante Ratih langsung memelukku erat.

"Putriku sudah besar dan akan menikah. Tiba-tiba aku merasa sudah tua." canda Tante Ratih. Aku tersenyum mendengar ucapan Tanteku.

"Bahkan aku yakin Tante Ratih akan segera menjadi nenek tidak lama lagi." Dina menyeletuk. Aku mendelik pada Dina. Dina hanya tertawa.

"Iya kan Bagas?" tanya Dina pada Bagas. Wajah Bagas langsung memerah.

"Aku rasa aku tidak keberatan. Aku juga sudah tidak sabar menimang seorang cucu."

Tiba-tiba Tante Sekar datang dengan membawa ponsel pintarnya lalu menyorotkan kameranya pada Bagas yang dengan cepat menutup wajahnya yang memerah.

"Tante hentikan!" teriak Bagas sambil terus menutupi wajahnya.

"Woo. Sudah mau menikah masih malu-malu begitu. Ayo tunjukkan wajahmu Bagas. Ini akan aku kirimkan ke papa dan mamamu lhoo. Biar mereka percaya bahwa kau benar-benar sudah melamar Bulan dan akan segera menikahinya. Dengan begini mereka pasti tidak punya alasan lagi untuk tidak pulang kan?" kata Tante Sekar sambil terus menyorotkan kameranya pada Bagas. Bagas mendelik menatap Tantenya.

"Jadi Tante sudah merekamku dari tadi?" Bagas menatap Tantenya tidak percaya.

"Tentu saja. Aku kan datang bersama Bu Ratih tadi." jelasnya.

Aku dan Bagas terbelalak kaget. Itu artinya Tante Sekar merekam dari awal dong.

"Bagus kan. Rekaman ini bisa jadi kenangan kalian nanti." Tante Sekar tersenyum

"Kalau masih kurang kalian bisa minta rekamanku tuh." kata Dina.

Dina menunjukkan handphonenya yang diletakkan di depan televisi. Layarnya tampak menyala memperlihatkan pemandangan seluruh ruangan karena posisinya yang agak jauh sehingga memungkinkan kamera menyorot seluruh aktifitas di sekitar ruang inapku. Aku heran. Sejak kapan Dina meletakkannya di sana? Aku benar-benar tidak menyadarinya.

"Ow! Kau anak yang pintar. Nanti kirimkan ke Tante yaa." seru Tante Sekar girang.

Tante Sekar tampak senang sekali. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat semua tingkah mereka. Namun mulai saat itu, mereka adalah keluargaku. Keluarga yang aku sayangi.

Aku keluar dari rumah sakit dua minggu setelah aku sadar dari koma, namun harus tetap periksa rutin dan melakukan fisioterapi. Setelah tiga bulan terapi aku dinyatakan sembuh total, tapi Bagas melarangku berlatih karate dan hanya membolehkan aku olah raga ringan saja. Aku, Dina, Ryan dan Bagas pindah sekolah untuk menghindari Agni. Aku masuk sekolah tepat saat akan ujian akhir. Beruntung Bagas selalu memaksaku belajar bersamanya saat aku masih di rumah sakit. Setelah berjuang melalui tes dan ujian, aku, Bagas, Dina dan Ryan akhirnya lulus. Ryan dan Bagas lulus dengan nilai bagus berkat kepintaran mereka, Dina mendapat nilai lumayan karena mendapat tentor bagus yang telaten mengajarinya, yaitu Ryan. Sedangkan aku yang dasarnya kuat di otot, walau sekarang aku meragukan kekuatan ototku itu, mendapat nilai pas-pasan. Aku merasa miris melihat angka yang tertulis di lembar nilaiku itu.

"Tenang saja. Nilaimu itu sudah memenuhi syarat kok." kata Bagas sambil tersenyum. Aku menatap Bagas bingung.

"Kata Tante Ratih syaratnya aku boleh menikahimu itu adalah kau lulus SMA. Beliau tidak mensyaratkan nilaimu harus bagus, yang penting kamu lulus. Jadi syaratnya sudah terpenuhi." kata Bagas enteng.

Aku kesal sekali mendengar ucapan Bagas itu. Kesannya kok aku itu bodoh banget sih.

"Aku tau aku bodoh, tapi bisa tidak jangan terlalu frontal begitu!" kataku kesal.

Bagas segera memelukku. Aku mendelik kaget. Jantungku langsung berdebar kencang merasakan tangan dan tubuh hangat Bagas yang melingkupiku.

"Maaf. Aku hanya terlalu senang karena kita akan segera menikah." Bagas mengecup kepalaku singkat.

"Iih! Kau selalu mencari kesempatan!" teriakku.

Aku segera melepaskan diri dari Bagas. Aku mencoba menenangkan debaran jantungku yang selalu menggila tiap Bagas menyentuhku. Apa mungkin aku jadi punya penyakit jantung semenjak dekat dengan Bagas? Entahlah.

"Sudahlah! Ayo kita segera pulang. Mereka pasti sudah menunggumu untuk dirias."

Bagas segera menggandeng tanganku lalu menarikku menuju mobil blazer hitam yang telah menunggu di seberang jalan di depan sekolah. Aku baru ingat hari pernikahan kami akan di selenggarakan pada malam saat hari setelah kelulusanku dan Bagas. Jantungku langsung berdebar kembali karena gugup.

Upacara pernikahan dilaksanakan di sebuah gedung pertemuan yang tidak terlalu besar namun tampak berkelas. Gedung itu berbentuk rumah joglo yang mewah. Ruangan bernuansa tradisional Jawa itu ditata seperti suasana restoran keluarga. Secara keseluruhan tempat duduk para tamu undangan dibagi dua, yaitu tempat undangan pihak keluarga mempelai pria dan undangan keluarga mempelai wanita. Meja untuk tempat ijab kabul diletakkan di tengah-tengah agar terlihat dari kedua sisi baik dilihat dari tamu undangan keluargaku maupun dilihat dari sisi tamu undangan keluarga Bagas. Tempat duduk diatur melingkari meja-meja agar para tamu mudah berinteraksi dengan tamu lainnya.

Tante Sekar hanya mengundang keluarga dan kerabat dekat, dan dengan luar biasanya Tante Sekar bisa memaksa Tuan Besar Surya Pratama dan Nyonya Besar Riyanti Pratama, itu adalah panggilan yang diberikan oleh Tante Sekar untuk mama dan papanya Bagas, untuk datang meninggalkan semua kesibukan dan pekerjaannya di luar negeri. Tante Sekar sesedikit mungkin mengundang relasi bisnis maupun rekan kerjanya maupun relasi bisnis orang tua Bagas. Begitu juga Tante Ratih, dia pun hanya mengundang saudara dan kerabat dekat kami saja. Hal itu memang disengaja oleh Tante Sekar, penanggung jawab acara pernikahan ini untuk menghadirkan suasana hangat dan kekeluargaan. Dia sengaja melakukan itu agar Bagas bisa melupakan kehidupannya selama ini yang sepi dan jauh dari kedua orang tuanya yang sibuk bekerja dan tidak selalu ada menemaninya.

Aku memandang Bagas yang mengenakan pakaian adat jawa berwarna putih dengan hiasan berwarna emas dengan kain batik berwarna krem sebagai bawahannya. Baju itu yang terlihat serasi dengan kebaya putih panjangku yang berbentuk gaun dengan bordiran emas dengan hiasan payet dan manik yang indah berkilauan dengan kain batik berwarna krem sebagai bawahanku. Bagas terlihat sangat tampan hingga aku malu dan tidak sanggup memandangnya terlalu lama. Jantungku berdebar sangat kencang hingga aku takut orang-orang mendengarnya. Aku menundukkan wajahku.

"Wah. Kau ini melihat Bagas seperti orang yang sedang jatuh cinta saja." goda Dina sambil cekikikan. Aku hanya mendelik kesal pada sahabatku itu.

"Jangan-jangan kau baru sadar kalau Bagas itu tampan lalu jatuh cinta padanya?" ucap Dina dan kemudian tertawa semakin keras.

Aku melotot pada Dina takut Bagas mendengar omongannya itu. Aku lalu melihat ke arah Bagas yang sedang menatapku sambil tersenyum. Debaran jantungku terasa makin kencang. Aku langsung menunduk tidak berani melihat wajah Bagas lagi.

"Jangan menunduk begitu. Kau punya wajah sangat cantik. Jangan disembunyikan."

Entah sejak kapan Tante Ratih berdiri di depanku. Dia mengangkat daguku hingga aku mendongak menatapnya.

"Tante bisa saja." Aku jadi malu dipuji seperti itu.

"Kalau dia tidak cantik aku tidak akan melamarnya kan Tante? Soalnya kalau dinilai dari prestasi sekolahnya, Bulan tidak terlalu pintar juga kan?" Bagas menatapku sambil tertawa.

"Kau mau mengejek nilaiku lagi?" Aku mendelik marah pada Bagas. Aku masih kesal dengan ucapannya siang tadi.

"Hey! Belum menikah kalian sudah bertengkar. Sudahlah. Ayo ke sana. Mereka sudah menunggu kalian." seru Tante Sekar yang tiba-tiba datang ke kamar tempat kami dirias.

Tante Sekar segera membawaku dan Bagas ke ruang utama dan mendudukkan kami di hadapan penghulu yang sudah menunggu kami untuk melaksanakan ijab kabul. Karena ayah dan ibuku sudah meninggal dan aku tidak punya kerabat lelaki yang berhak menikahkanku, pak penghulu bertindak sebagai wali untuk menikahkanku.

Aku duduk bersanding dengan Bagas dengan hati berdebar karena terlalu gugup. Bagas menatapku sejenak sambil tersenyum. Dia pasti melakukannya agar aku tidak terlalu gugup dan dia berhasil. Aku balas tersenyum padanya. Upacara pernikahan kami berlangsung khidmat. Ijab kabul dilakukan Bagas dengan lancar. Setelah mengumumkan Bagas dan aku sebagai suami istri, penghulu lalu berdoa untuk kami berdua dan diamini oleh semua tamu undangan. Sebagian tamu undangan tampak terharu menatap kami. Bahkan Tante Ratih menangis tersedu, begitu juga Tante Sekar. Tidak ketinggalan Mamanya Bagas dan juga Papanya.

"Semoga kau bahagia nak. Mama baru sadar kau sudah sangat dewasa dan sudah menemukan pasangan hidupmu. Maafkan mama, nak." Mamanya Bagas memeluk Bagas sambil menangis sesenggukan. Dia tampak sangat sedih dan terharu.

"Sudahlah Ma. Semua sudah terjadi. Aku tidak apa-apa kok. Lagi pula mulai sekarang aku tidak akan kesepian lagi. Jadi mulai sekarang, kalian bisa pergi ke mana pun kalian mau untuk berbisnis dengan tenang." jawab Bagas enteng.

Mamanya langsung melepaskan pelukannya dari Bagas lalu menatap putranya itu dengan tatapan tidak percaya. Tiba-tiba tangisnya meledak, wanita anggun yang berwajah mirip Tante Sekar itu lalu menubruk suaminya, papanya Bagas, lalu menangis meraung-raung. Aku mendelik pada Bagas.

"Apa? Aku kan hanya mengatakan yang sebenarnya?" ucap Bagas tanpa rasa bersalah.

Aku hanya menghela nafas. Hari ini aku baru menyadari bahwa Bagas, di balik ketampanan wajah dan kebaikan hatinya, punya sifat terlalu berterus terang. Tapi aku harus bisa menerima dan menghadapinya. Mulai sekarang dia adalah suamiku, seseorang yang akan selalu bersamaku menempuh kehidupan kami yang baru.

Bersambung..