***
Aku memandang isi kulkas besar di dapur itu dengan perasaan bingung. Bukan karena kulkas yang ada di rumah yang aku dan Bagas tempati itu tidak ada isinya. Isinya bahkan seperti isi satu gerobak sayur dimasukkan ke situ. Lengkap dan melimpah. Tapi masalahnya adalah aku yang tidak bisa memasak. Aku jadi menyesal dulu jarang membantu Tante Ratih memasak, akibatnya aku tidak bisa memasak untuk suamiku. Padahal aku mau memasak makanan spesial yang bisa membuat wajah suamiku itu bahagia karena merasakan kelezatan masakanku.
"Kalau kau hanya melamun di depan kulkas begitu, sampai kapan pun masakannya tidak akan jadi."
Tiba-tiba suara Bagas terdengar di belakangku. Aku segera berbalik dan terkejut melihat Bagas berdiri bersedekap sambil menatapku.
"Sejak kapan kau datang? Kenapa aku tidak mendengarmu?" tanyaku.
"Sejak sepuluh menit yang lalu. Kau terlalu asyik menonton kulkas sampai tidak sadar suamimu datang dari kantor." jawabnya.
Bagas memang mulai bekerja di kantor cabang perusahaan ayahnya setelah menikah denganku sambil kuliah.
"Maafkan aku. Ya ampuun.. Aku bahkan belum memasak." kataku bingung.
Bagas hanya tersenyum. Suamiku itu memang tidak pernah mencelaku yang tidak becus memasak ini. Dia juga tidak pernah marah padaku.
"Sudahlah. Kita makan di luar saja. Oya. Aku aku akan mengajakmu ke restoran tempat yang sering aku datangi dengan mamaku sewaktu aku masih kecil dulu. Ayo." ajaknya.
Bagas menggamit tanganku lalu menarikku menuju keluar rumah. Aku menepis tangannya. Bagas menatapku.
"Aku ganti baju dulu. Kau lihat."
Aku menunjuk diriku sendiri. Berbanding terbalik dengan Bagas yang masih berpakaian kantor yang rapi lengkap dengan jasnya, aku hanya menggunakan babydoll warna biru muda dengan celana selutut. Bagas tertawa.
"Baiklah. Gantilah bajumu. Tapi cepat. Aku sudah lapar." katanya.
Aku segera lari ke kamar untuk ganti baju. Setelah siap kami pergi dengan mobil CRV hitamnya. Bagas mengendarai mobil hadiah pernikahan kami dari orang tua Bagas itu dengan tenang menuju ke utara keluar dari kota.
"Maaf." kataku.
Bagas menatapku sekilas. Wajahnya terlihat bingung.
"Kenapa kau tiba-tiba minta maaf?" tanyanya. Aku menghela nafas.
"Kalau saja aku bisa masak kita kan tidak perlu keluar untuk makan setiap hari. Aku bahkan menolak saat Tante Sekar menawari kita untuk mengajak koki rumahmu ikut ke rumah kita dengan alasan ingin mandiri. Aku dulu mengira memasak itu sangat mudah, tapi kenyataannya aku selalu membuat masakan keasinan, kemanisan atau bahkan gosong. Aku ini memang tidak tahu diri. Maaf." ucapku penuh sesal.
Aku benar-benar merasa tidak berguna. Seandainya saja memasak itu semudah menghajar orang dengan jurus karateku. Uh! Aku jadi rindu latihan karate.
"Sudahlah. Kau jangan merendahkan dirimu begitu. Nanti juga lama-lama kau bisa memasak. Lagi pula seperti sekarang ini juga tidak buruk kan? Kita jadi bisa pacaran tiap hari seperti ini. Dulu kan kita tidak pernah pacaran. Boro-boro pacaran, memegang tanganmu sedikit saja kau pasti menghajarku habis-habisan." Bagas pura-pura ngambek.
"Geh! Siapa suruh pegang-pegang? Bukan muhrim tau! Dosa!" jawabku membela diri.
Bagas tersenyum padaku. Aku tahu Bagas hanya menghiburku. Tapi aku lega Bagas tidak kecewa menikahi istri yang tidak bisa memasak sepertiku. Aku merasa beruntung menikah dengan suami yang penyabar seperti Bagas. Semakin lama aku semakin mencintainya. Aku memeluk pinggang Bagas dengan erat.
"Terima kasih." kataku. Bagas membelai pipiku pelan dengan tangan kirinya.
"Mungkin aku akan belajar memasak secara serius. Bisa kau minta koki rumahmu mengajariku mulai besok?" pintaku.
"Tentu saja." jawabnya.
Bagas mengecup kepalaku singkat lalu kembali berkonsentrasi menyetir. Setelah hampir setengah jam berkendara di jalanan yang sore yang padat, Bagas membelokkan mobil ke dalam sebuah restoran ayam terkenal. Restoran itu berupa rumah bergaya modern yang terlihat seperti dua rumah yang menyatu dengan cat merah menyala. Dia memarkir mobil di halaman restoran yang luas.
"Tempat ini jadi lebih besar dari saat aku dulu ke sini. Dulu restorannya hanya separuh dari tempat ini, dan di sebelah sana itu masih berupa kebun kosong." terang Bagas sambil menunjuk bagian restoran berjendela kaca tempat para pelanggan sedang menikmati makanannya di meja-meja bercat merah menyala. Restoran tampak penuh sore itu.
"Oya. Ke mana mereka?" gumam Bagas sambil melihat sekeliling.
"Kau mencari siapa?" tanyaku. Aku ikut melihat sekeliling, padahal aku tidak tahu siapa yang aku cari.
"Hey pengantin baruu!"
Suara yang sangat aku rindukan terdengar. Tampak sosok Dina keluar dari mobil Jazz biru milik Ryan. Sedetik kemudian si empunya mobil juga muncul.
"Dina!" jeritku girang. Aku berlari menghampiri sahabatku itu dan langsung memeluknya erat.
"Apa kabarmu pengantin baru?" goda Dina sambil menatapku usil.
"Sudah hampir empat bulan aku menikah, dan kau masih memanggilku begitu. Mentang–mentang kau sudah jadi anak kuliahan sekarang." aku manyun.
Sudah lama tidak berjumpa Dina masih saja senang menggodaku.
"Makanya kau ikut kuliah saja. Aku yakin suamimu itu masih kuat kalau hanya membayar biaya kuliahmu." kata Dina.
"Oh. Dia sebentar lagi masuk kuliah kok. Universitas Kehidupan Rumah Tangga dengan Jurusan Pendidikan Istri yang Baik." jawab Bagas sambil tertawa. Aku mendelik kesal padanya.
"Jadi sahabatku ini belum bisa menjadi istri yang baik ya? Kurasa bakatnya memang bukan menjadi seorang istri tapi bodyguard yang menghajar orang." kata Dina sambil tertawa geli.
Ryan tersenyum mendengar ucapan Dina. Aku kesal sekali. Aku segera membuang pandanganku dari ketiga orang itu ke arah pintu gerbang restoran. Tiba-tiba jantungku berdebar saat tanpa sengaja mataku melihat sosok yang aku takuti memasuki gerbang bercat merah itu. Orang itu adalah Agni. Aku sangat takut Agni akan melihatku jika dia tiba-tiba menoleh ke arahku, tapi ternyata tidak.
Agni berdiri di halaman restoran sambil menatap ke dalam restoran yang penuh dengan para pelanggan yang sedang menikmati makanan itu dengan pandangan marah dan benci. Tiba-tiba aku merasa takut saat kulihat Agni mengeluarkan belati perak dari balik jaket merahnya. Belati itu adalah belati yang pernah menusukku dan membuatku hampir mati karenanya. Agni mengarahkan ujung belatinya ke arah restoran. Belati perak di tangan Agni tiba-tiba bersinar terang membuat aku terkejut melihatnya. Rupanya belati itu berfungsi sebagai tongkat sihir bagi Agni. Dan sekarang dia mengarahkannya ke dalam restoran yang sedang penuh dengan pengunjung itu. Aku yakin apa pun yang akan Agni lakukan pada restoran itu, itu pasti bukan hal yang baik.
"Agni! Jangaaan!" teriakku.
Aku berlari ke arah Agni untuk mencoba menghentikannya. Tapi terlambat.
DUARRR!
Sebuah ledakan terdengar sangat keras seperti ledakan bom ketika sinar terang yang keluar dari belati milik Agni menerjang restoran itu. Tubuhku terlempar ke samping karena terhantam gelombang energi ledakan itu. Aku merasakan tubuhku menabrak bagian depan sebuah mobil lalu terbanting ke tanah. Kurasakan benda-benda terlempar dan mengenaiku. Aku merasa tubuhku seperti dilempari dengan batu-batu dan juga benda lainnya.
Aku bangun dengan kepala yang terasa sangat sakit dan mataku berkunang-kunang. Untuk beberapa saat aku hilang arah. Aku bahkan tidak bisa mendengar suara apa pun dari sekitarku karena suara dengingan di telingaku.
Aku mengerjapkan mataku beberapa saat hingga pandanganku sedikit jelas. Perlahan aku mulai menyadari keadaan sekitarku. Aku mendapati diriku terkapar di dekat sebuah mobil. Seluruh tubuhku terasa sakit dan ada beberapa bagian yang terasa perih. Setelah mengumpulkan kekuatanku aku lalu duduk dan melihat sekitar.
Bunyi bangunan yang roboh dan jeritan para pengunjung restoran maupun orang-orang di sekitar restoran yang menyaksikan ledakkan itu terdengar memekakkan telinga. Kulihat debu dan puing-puing restoran berserakan di sekitarku dan di seluruh halaman restoran. Orang–orang bergelimpangan dengan luka-luka berdarah di tubuh mereka dan ada sebagian yang mulai bangkit dengan wajah kesakitan dan kebingungan juga ketakutan. Kepulan debu dan asap membumbung dari restoran yang telah roboh itu. Percikan api terlihat dari bagian yang tadinya adalah bagian dapur restoran. Suara jeritan dan rintihan minta tolong terdengar dari dalam reruntuhan restoran.
Bagas! Aku langsung teringat pada suamiku itu. Bagaimana keadaan Bagas? Apakah dia terkena ledakan itu?! Perasaan cemas dan ketakutan akan keselamatan Bagas langsung membuatku panik. Kepanikanku bahkan mengalahkan rasa sakit yang tadi aku rasakan di seluruh bagian tubuhku.
"Bagas!" jeritku.
Aku segera mencari cari sosok suamiku itu, dan aku sangat lega menemukannya sedang berjalan tertatih menghampiriku dengan jasnya yang kini terlihat lusuh dan kotor. Bagas tampak terluka di bagian kaki kirinya, tapi aku rasa tidak parah. Di belakangnya kulihat Dina dituntun oleh Ryan. Aku senang mereka tidak terluka parah.
"Ya Tuhan!! Bulan! Kau.. Kepalamu berdarah!" seru Bagas panik.
Bagas menyentuh kepalaku. Dia tampak berjengit kaget melihat telapak tangannya yang penuh darah.
"Aku tidak apa-apa." kataku tersenyum menahan rasa sakit di kepalaku. Bagas memelukku erat.
"HAHAHAHA!"
Terdengar suara tawa mengerikan yang membahana seperti menggunakan pelantang. Itu adalah suara Agni. Aku melihat sekeliling mencari sosoknya. Aku melihat Agni berdiri tegak di depan reruntuhan restoran yang mulai tebakar itu. Suara jerit ketakutan minta tolong terdengar dari reruntuhan itu.
"LIHATLAH, WIGUNA! LIHATLAH KEMATIAN DARI KETURUNANMU INI! INILAH BALASAN ATAS PERBUATANMU PADA KAKEKKU! HAHAHAHA!" Agni berteriak lantang sambil tertawa puas.
Agni berbalik dan tanpa sengaja dia melihatku. Dia tampak sedikit kaget. Lalu berjalan menghampiriku. Bagas memelukku erat dan menggunakan tubuhnya untuk menyembunyikanku, sementara Ryan dan Dina berdiri menghalangi Agni untuk mendekatiku. Agni tertawa.
"Kau jangan mendekat!" teriak Bagas sambil terus memelukku.
"Ternyata kau yang membawa Bulan waktu itu Bagas! Dan kau berhasil menyelamatkan nyawanya. Hebat. Jadi sekarang kau sudah berani melawan perintahku yaa? Bagus sekali." Agni tertawa.
"Apa maksudmu?" tanyaku sambil menatap Agni.
"Jadi kau belum tahu yaa? Bagas dulu adalah budakku yang patuh. Dialah orang yang membunuh Lisa dan Ririn. Kedua tangannya itu lah yang mengambil nyawa teman-teman kalian. Dan kalian malah bersama dengannya? Teman macam apa kalian ini, heh?" cibir Agni. Bagas tampak gelisah.
"Kau yang membunuhnya! Kau menumbalkan mereka! Kau biadab!" jeritku histeris. Agni hanya tertawa.
"Masih galak seperti biasa. Tapi itulah yang aku sukai darimu, Bulan." Agni tersenyum padaku, tapi senyumnya itu malah membuatku takut.
"Jangan dekati Bulan!" Bagas menatap Agni tajam. Agni tersenyum.
"Bulan itu pacarku. Kenapa aku tidak boleh mendekatinya? Heh?" Agni melihat Bagas dengan tatapan tajam.
Matanya bersinar terang. Aku takut Agni akan melukai Bagas dengan kekuatan sihirnya. Agni mengalihkan pandangannya padaku yang meringkuk dalam pelukan Bagas menahan sakit di kepala dan sekujur tubuhku. Sesaat dia terlihat kaget, mungkin karena dia melihat darah yang mengalir dari luka di kepala dan sekujur tubuhku. Sesaat kemudian mata Agni itu meredup dan kembali normal.
"Saat ini aku tidak punya waktu bermain dengan kalian. Dan kau! Bagas!" Agni menunjuk Bagas dengan belatinya.
"Jagalah Bulan baik-baik karena aku sangat menyukainya. Kalau urusanku sudah selesai, aku pasti akan menjemputnya." perintah Agni pada Bagas.
Agni tersenyum lalu sekejap kemudian tubuhnya bersinar lalu perlahan-lahan melayang naik ke udara.
"Sampai jumpa, Bulan." Selesai berkata begitu tubuh Agni tiba-tiba bersinar terang lalu menghilang.
Kami semua sangat kaget melihatnya. Agni bisa terbang dan menghilang? Itukah kekuatan dewa.
Tidak lama kemudian orang-orang sekitar restoran berdatangan untuk menolong, begitu juga mobil polisi dan ambulance. Aku lega sekali Agni sudah pergi. Selanjutnya aku pingsan karena rasa sakit di kepalaku.
***
Semua korban ledakan restoran dibawa ke rumah sakit oleh petugas medis yang datang menolong dan mengevakuasi korban. Bagas, Dina dan Ryan ternyata hanya luka ringan. Tapi Bulan masih belum sadar dari pingsannya. Kemungkinan disebabkan karena luka di kepalanya akibat benturannya dengan mobil sewaktu tubuhnya terlempar akibat ledakan itu. Hal itu membuat Bulan harus dirawat beberapa hari di rumah sakit. Dan tanpa mereka duga Reza ternyata merupakan salah satu pengunjung restoran yang meledak itu. Tapi untungnya dia masih berada di dalam mobilnya di parkiran hingga dia tidak terluka. Reza mengikuti mereka berempat ke rumah sakit saat dia melihat Bulan di bawa petugas medis dengan ambulance.
"Bagaimana keadaan Bulan ?" tanyanya cemas.
"Dia masih belum sadar, jadi dokter masih belum tahu kondisinya." jawab Bagas sedih.
"Oya. Kenapa kau tiba-tiba muncul. Aku kira kau akan menghilang karena takut pada Agni." kata Dina ketus.
"Aku sibuk dengan skripsiku akhir-akhir ini, tapi sekarang tinggal menunggu sidang saja. Tapi saat aku melihat berita banyak pembunuhan yang cukup aneh akhir-akhir ini, aku mulai menyelidikinya dan menemukan fakta yang tidak menyenangkan." ujar Reza. Dina, Bagas dan Ryan saling pandang.
"Sebenarnya fakta apa yang kau bicarakan? Apakah ada hubungannya dengan Agni?" tanya Dina.
"Itu benar. Dan kedatanganku ke restoran sebenarnya bertujuan untuk memperingati pemilik restoran itu. Tapi aku datang terlambat." ucapnya sedih.
"Katakan dengan jelas! Sebenarnya apa yang terjadi?" Dina berteriak marah. Reza terlalu bertele-tele menurutnya.
"Sebenarnya, pemilik restoran itu adalah salah satu sasaran Agni. Juga puluhan orang lainnya yang telah dibunuh oleh Agni. Belum lagi orang tidak bersalah yang ikut menjadi korban. Kalau dihitung mungkin mencapai ratusan orang, belum termasuk orang yang terluka."
"Agni telah membunuh ratusan orang? Jadi mimpi Bulan menjadi kenyataan? Ya Tuhan!" Dina menutup mulutnya karena terlalu kaget.
"Tapi kenapa Agni melakukan hal seperti itu? Bukankah dia sudah berhasil memiliki kekuatan dewa? Atau dia melakukan ritual gila lainnya?" tanya Ryan. Ryan jadi sangat geram.
"Bukan ritual. Tapi balas dendam. Balas dendam atas kematian kakeknya." jelas Reza.
"Ayah Agni sudah meninggal sejak Agni masih kecil. Agni dan ibunya lalu hidup bersama dengan kakeknya yang merupakan salah satu orang pintar tersohor di kampungnya. Sejak itu kehidupan Agni bergantung pada Kakeknya karena ibunya harus bekerja ke kota. Saat Agni berumur tujuh tahun, orang-orang kampung menangkap kakeknya Agni dengan tuduhan telah membunuh gadis-gadis yang ditemukan mati dibunuh secara aneh. Sama seperti yang terjadi pada teman kalian itu."
"Apakah kakek Agni juga seorang penyihir?" tanya Dina penasaran.
"Iya. Hal itu diketahui penduduk setelah menggeledah rumah kakek Agni dan menemukan beberapa cawan perak berisi darah para korban. Mereka lalu mengarak kakek Agni dari rumahnya ke balai desa. Di sepanjang jalan mereka memukuli dan menelanjanginya untuk mempermalukannya di depan umum. Dan puncaknya, para warga yang sudah kalap itu membakar kakek Agni hidup-hidup di depan mata Agni yang waktu itu masih duduk di bangku kelas satu SD."
Bagas, Ryan dan Dina melotot kaget mendengar cerita Reza itu. Dina sampai merasa mual membayangkan perasaan Agni waktu itu.
"Kejam sekali mereka." Dina bergidik.
"Ternyata Agni itu kasihan juga yaa." sahut Ryan.
"Tidak hanya itu. Mereka juga mengusir seluruh keluarga Agni dari desa itu dan mengancam akan membunuh mereka jika tidak mau pindah." tambah Reza.
"Lalu apakah darah yang ditemukan di rumah kakeknya Agni itu benar darah para gadis itu?" Ryan menatap Reza penasaran.
"Polisi yang menyelidiki membenarkan hal itu setelah mengujinya. Lima cawan darah itu memang darah milik lima orang gadis yang mati terbunuh sebelumnya." terang Reza.
***
Aku menatap ujung belati perak yang berkilat di tangan lelaki bertudung itu dengan perasaan takut yang luar biasa. Belati itu pernah bersarang di perutku, melukaiku dan hampir mengambil nyawaku. Tubuhku gemetar dan nafasku langsung tersengal. Keringat dingin mengalir deras membasahi tubuhku. Semua pikiran buruk segera memenuhi otakku.
Tiba-tiba orang itu mengacungkan ujung belatinya ke arahku. Setetes darah menetes dari ujung belati itu. Aku melangkah mundur saat orang itu berjalan ke arahku. Aku lalu berbalik dan kemudian berlari dari kejaran orang berkerudung itu. Berlari dan terus berlari hingga kakiku terantuk sesuatu hingga membuatku jatuh.
"Aaah!" Aku menjerit kaget saat tubuhku jatuh menimpa sesuatu.
Aku bangun dan sangat kaget saat aku sadar aku jatuh menimpa tubuh seseorang. Aku bangun dan beringsut menjauhi tubuh itu hingga punggungku menabrak sesuatu. Aku menoleh dan terkejut mendapati seraut wajah berkulit pucat membiru dengan tubuh kaku tergeletak di belakangku.
"Mayat!" jeritku.
Aku langsung berdiri. Aku melihat sekitarku. Tubuh–tubuh pucat dan beku bergelimpangan di sekelilingku. Lelaki, wanita, pemuda dan pemudi, anak-anak dan bahkan bayi tergeletak tidak bernyawa. Darah mengalir dari luka-luka di tubuh mereka. Mengalir, menyatu dan membentuk genangan darah di bawah kakiku. Aku gemetar ketakutan.
"Mereka mati karena kesalahan mereka."
Sebuah suara terdengar. Aku menoleh ke arah asal suara. Sosok bertudung itu berdiri melayang di atas tumpukan mayat. Perlahan membuka tudungnya memperlihatkan wajahnya. Wajah tampan dengan mata coklat yang bersinar dengan rambut jabrik berwarna tembaga. Wajah Agni. Tak ada senyum atau ekspresi apa pun di wajah itu. Sangat tampan sekaligus juga dingin dan kejam pada saat bersamaan. Semua keceriaan di wajahnya yang selama ini terlihat ternyata hanyalah topeng. Dan topeng itu sudah dibuangnya.
Agni melayang mendekatiku dan berhenti di depanku. Jaket besarnya tampak berkibar pelan. Matanya yang bersinar menatapku. Mendadak tubuhku terasa kaku, aku tidak bisa bergerak sedikit pun. Agni menggerakkan tangannya lalu tiba-tiba tubuhku melayang ke arahnya dan berhenti tepat di depannya.
"Sambut tanganku, Bulan."
Agni mengulurkan tangannya padaku. Aku menatap Agni dengan perasaan takut.
"Jadilah pendampingku.. Atau kau mau bergabung dengan mereka di bawah sana?" tanya Agni sambil menyeringai.
Aku menatap mayat-mayat yang bergelimpangan di dalam genangan darah di bawah kami. Pemandangan itu sungguh mengerikan. Tubuhku gemetar hebat karena ketakutan. Air mataku mengalir deras tanpa bisa aku tahan.
"Tolong hentikan semua ini, Agni.. Aku mohon.." pintaku. Aku menangis ketakutan.
"Bulan! Tenanglah.. Aku di sini.. Aku di sini.."
Aku mendengar suara Bagas juga tepukan di pipiku. Aku membuka mata dan aku melihat suamiku itu sedang menatapku dengan wajah cemas.
"Bagas!" jeritku.
Aku bangun lalu memeluk tubuh Bagas erat. Mencoba menghilangkan ketakutanku dari pemandangan mengerikan yang aku lihat tadi. Aku memejamkan mataku erat, mencoba menghilangkan bayangan tentang mimpiku barusan yang mengerikan itu. Aku memeluk tubuh Bagas dengan sangat erat hingga aku bisa merasakan detak jantung Bagas dengan sangat jelas. Juga hangat pelukannya yang perlahan-lahan membuatku tenang.
Setelah perasaan takutku hilang, aku perlahan membuka mataku. Aku sedikit kaget melihat wajah Dina dan Ryan berdiri di belakang Bagas yang sedang aku peluk. Aku bahkan melihat Reza bersandar di pintu. Aku segera melepaskan Bagas dan melihat sekeliling dengan perasaan bingung. Tidak ada Agni, tidak ada mayat-mayat dan darah.
"Ini.. di mana?" tanyaku bingung.
"Rumah sakit. Kau terluka saat Agni meledakkan restoran lalu mereka membawa kita ke sini. Kau ingat?" tanya Dina. Dina segera mendekati ranjang tempatku duduk.
"Rumah sakit?" tanyaku memastikan. Aku melihat sekeliling ruangan dengan aroma obat itu. Ini memang rumah sakit. Jadi yang aku lihat tadi hanya mimpi saja, batinku. Aku menghela nafas lega.
"Bagaimana perasaanmu?" tanya Dina.
"Aku sudah tidak apa-apa. Apakah korbannya banyak? Maksudku di restoran itu." tanyaku. Aku teringat mimpiku barusan.
"Yang meninggal ada 12 orang dan puluhan lainnya luka-luka. Sudahlah. Jangan pikirkan itu." jawab Dina cepat.
Aku mengiyakan ucapan Dina. Aku melihat Reza. Pemuda itu tersenyum kepadaku.
"Oya. Reza apa kabar? Kenapa kau tiba-tiba datang? Bukankah kau sedang mengerjakan skripsimu? Apa sudah selesai?" tanyaku. Reza tertawa.
"Pertanyaanmu banyak sekali. Baiklah. Skripsiku sudah selesai dan hanya tinggal menunggu sidang. Dan aku kesini sebenarnya ingin memperingati pemilik restoran yang meledak itu tentang kedatangan Agni. Tapi aku terlambat." terangnya.
"Jadi kau tahu Agni akan meledakkan restoran itu?" tanyaku kaget.
"Bukan begitu. Aku hanya tahu kalau pemilik restoran itu adalah sasaran yang akan dibunuh oleh Agni. Tapi aku tidak menyangka Agni akan meledakkan seluruh restoran itu untuk melaksanakan niatnya itu. Apalagi saat itu kau ada di sana Bulan." kata Reza sambil menatap Bulan.
"Apa maksud ucapanmu itu?" Bagas menatap Reza.
"Agni menyukai Bulan, jadi aku rasa tidak mungkin dia akan melakukan sesuatu yang bisa membuat Bulan celaka. Bukan bermaksud menyinggungmu, Bagas. Aku rasa kau dan Agni mempunyai selera yang sama. Agni juga menyukai tunanganmu yang dulu kan?" Reza balik menatap Bagas. Aku , Dina dan Ryan menatap Reza.
"Apa kau bilang? Dari mana kau tahu hal itu?" Bagas terlihat terganggu dengan apa yang di dengarnya barusan.
"Aku ini wartawan Bagas. Salah seorang teman Shelina yang aku wawancarai menyebut Agni sebagai salah satu sahabat Sellina. Tapi saat aku mewawancarai temannya yang lain ada yang bilang Agni memang menyukai Shelina walaupun tunanganmu itu hanya menganggapnya sebagai sahabat dan tidak lebih." jelas Reza.
Bagas tampak sangat kesal mendengar penjelasan Reza.
"Waktu itu sebenarnya Agni tidak bermaksud menjadikan tunanganmu sebagai tumbal. Sasarannya adalah seorang gadis bernama Sarah. Apa kau ingat? Dia adalah sahabat tunanganmu. Mereka lahir di bawah bintang yang sama. Bahkan tanggal lahir mereka berurutan. Aku baru menyadari hal itu akhir-akhir ini ketika melihat sikap Agni pada Bulan."
Bagas segera ingat gadis berambut ikal yang selalu bersama Shelina yang tiba-tiba dipaksa pindah oleh orang tuanya ke Jogja setelah terjadi banyak pembunuhan di sekolahnya. Tentu saja dia ingat karena waktu itu Shelina memaksanya untuk mengantar tunangannya itu ke stasiun kereta mengantar kepergian sahabatnya itu.
"Jadi aku benar-benar kaget saat melihat Bulan sampai terluka separah ini karena tindakannya." lanjut Reza.
"Sebenarnya Agni tidak melihatku waktu itu." jelasku pada Reza. Bagas mendengus kesal.
"Tidak mau melukai Bulan kau bilang? Dia menumbalkan Bulan untuk ritual setan itu dengan menusuknya! Si Brengsek itu hampir membunuhnya! Dan kau bilang dia tidak mau melukai Bulan?! Kau ini gila atau bodoh?!" Bagas berteriak marah pada Reza. Aku terlonjak kaget. Aku langsung memeluk Bagas.
"Bagas.." Aku menyurukkan wajahku di dada bidang Bagas. Aku bisa mendengar detak jantungnya yang cepat, nafasnya juga menderu. Dia pasti sangat marah.
"Maaf. Aku tidak bermaksud membuatmu marah, Bagas." Reza meminta maaf.
"Tapi mencari gadis yang lahir saat bulan purnama tidak semudah mencari gadis dengan zodiak tertentu. Orang tidak mencatat tanggal kelahiran berdasarkan umur bulan kan? Kecuali kau hidup di Arab yang memang menggunakan sistem kalender bulan. Dan kebetulan saat itu Tante Ratih bercerita kalau Bulan lahir pada saat bulan purnama. Aku rasa itu hanya kebetulan yang sangat tidak menguntungkan bagi Bulan." lanjut Reza. Bagas menatap Reza dengan tatapan tajam.
Aku membelai punggung Bagas dengan lembut. Mencoba meredakan amarahnya. Aku selalu takut saat Bagas marah. Wajahnya tampak mengerikan dan terlihat seperti orang lain. Makanya aku tidak pernah suka melihatnya marah.
"Oya Reza. Apakah ada orang lain lagi yang akan menjadi sasaran Agni? Bukankah kita tidak bisa membiarkan mereka begitu saja? Paling tidak kita bisa memberi peringatan pada mereka." tanyaku sambil menatap Reza.
"Semua sasaran Agni adalah para penduduk desa Karang tempat tinggal kakeknya. Dia membunuh semua orang yang terlibat dalam peristiwa pembakaran itu dan keturunan mereka, tak terkecuali orang yang sudah pindah keluar desa seperti keluarga Pak Wiguna, pemilik restoran yang sudah pindah ke sini bertahun-tahun lalu." jelas Reza.
Semua orang di ruang inapku tampak terdiam mendengar penjelasan Reza. Mereka semua tampak tidak nyaman atmosfer berat akibat pembicaraan ini.
"Sudahlah. Bisakah kita tidak membahas penyihir jahat itu? Bisakah kita tidak ikut campur lagi masalah yang bisa membahayakan nyawa kita?" ucap Dina sambil menghela nafas lelah.
Aku menatap semua yang ada. Bagas terlihat masih murung, mungkin dia teringat Shelina, dan aku bisa mengerti perasaannya. Dina dan Ryan tampak sudah lelah. Hanya Reza yang terlihat biasa.
Pemuda itu pasti sudah terbiasa dengan persoalan berat seperti ini. Apalagi sebagai wartawan, Reza pasti hafal dengan segala persoalan hidup yang menjadi sumber tulisannya, bertemu berbagai macam karakter sebagai pelakon atau korban dalam beritanya dan berbagai situasi yang menyertainya. Tapi bagiku, Bagas, Dina dan Ryan yang baru saja lulus SMA, persoalan Agni adalah persoalan yang sangat berat, bahkan menyangkut keselamatan nyawa kami dan orang-orang di sekitar kami bahkan khalayak ramai. Persoalan Agni mampu menggoncangkan hati dan pikiran kami dengan berbagai ketakutan dan kecemasan yang ditimbulkannya. Aku bisa mengerti semua itu. Tapi meski begitu aku bertekad untuk tidak tinggal diam. Aku akan berusaha menolong orang-orang yang diincar Agni. Meski tanpa bantuan teman-temanku dan bahkan suamiku sendiri. Aku tidak mau membebani mereka lebih dari ini.
"Tentu saja. Kita lupakan Agni. Toh dia juga tidak mengincar kita lagi. Kecuali Bulan tentunya." kata Reza dengan nada bercanda.
"Apa kau bilang?" Bagas berteriak marah.
"Sudahlah, Bagas. Reza hanya bercanda saja." leraiku.
"Siapa bilang? Aku tadi dengar Agni bilang akan menjemput Bulan. Iya kan Ryan?" Dina menambahkan sambil menahan tawa.
"Iya. Aku mendengarnya. Kurasa Bagas juga dengar. Iya kan?" tanya Ryan tersenyum geli.
"Kalian ini memang menyebalkan!!" Bagas benar-benar marah.
"Tenanglah Bagas. Aku akan bilang pada Agni kalau aku lebih memilihmu daripada dia. Lagi pula kita kan sudah menikah. Dia tidak mungkin mau pada wanita yang sudah punya suami kan?" kataku menenangkan Bagas.
"Oya? Jangan lupa cinta itu buta. Tidak memandang status orang itu menikah atau belum, gadis atau janda. Lagi pula ada yang bilang kalau orang yang sudah menikah itu terlihat lebih seksi karena aura kedewasaannya terpancar keluar." sahut Reza sambil tertawa, disusul kikikan geli Dina dan tawa Ryan. Bagas menatap semuanya dengan wajah merah padam tapi hanya diam.
"Bisakah kalian berhenti menggoda suami tercintaku ini. Atau kalian mau merasakan jurus karateku?" kataku sambil menatap Reza, Dina dan Ryan dengan tatapan mengancam. Mereka langsung terdiam mendengar ancamanku.
Bersambung..