Chereads / Ritual Bulan Darah / Chapter 5 - 5. Dewi Bulan

Chapter 5 - 5. Dewi Bulan

***

Aku dan Reza baru saja berjalan beberapa langkah menuju ke arah rumahku saat ada suara seseorang terdengar.

"Kau mengundang orang yang baru kau kenal ke rumahmu? Padahal aku, pacarmu sendiri belum pernah kau ajak?" tanya Bagas dengan wajah yang terlihat kesal.

"Hey!" Aku berteriak kaget saat Bagas tiba-tiba menggenggam tanganku. Aku berusaha melepaskan tanganku tapi Bagas mengeratkan genggamannya.

"Boleh aku ikut ke rumahmu juga, Bulan? Boleh ya?" pinta Bagas sambil memasang tampang memelas.

"Baiklah. Baik. Kau boleh ikut. Tapi.. Cepat lepaskan tanganku!" Aku mendelik kesal pada Bagas. Bagas segera melepaskan tanganku. Dia terlihat sangat senang.

"Apa bagusnya sih bisa datang ke rumahku?" tanyaku heran.

Aku melihat Bagas yang tersenyum-senyum bahagia dengan perasaan heran.

"Kau ini benar-benar polos ya?" Reza menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tertawa.

"Hey! Kalau begitu aku juga ikut ke rumahmu ya?" Tiba-tiba saja Dina muncul entah dari mana.

"Aku juga ikut!" Agni muncul juga yang disambut tatapan benci dari Dina.

"Kau mengikutiku ya?" tanya Dina galak.

"Aku tidak mengikutimu. Hanya arah jalan kita yang sama." elak Agni.

"Itu kan sama saja!" Dina berteriak.

Aku benar-benar bosan dengan tingkah mereka berdua yang mirip kucing dan anjing tiap kali bertemu.

"Kalau kalian masih bertengkar lebih baik kalian jangan datang ke rumahku! Ayo Reza!" Aku menarik tangan Reza.

ZIIINGGGG!!!

Suara berdenging itu terdengar memekakkan telingaku disusul sakit kepala yang amat sangat, jauh lebih sakit dari yang pernah aku rasakan sebelumnya. Rasanya kepalaku akan meledak saat itu juga.

"AAARGH!!" Aku berteriak di tengah rasa sakit di kepalaku.

Gambaran para gadis yang terbunuh di dalam mimpiku berkelebatan dalam penglihatanku. Mulai dari gadis berambut blonde panjang yang ada dalam mimpi seramku yang pertama kali dulu, disusul gadis cantik berambut ikal, lalu gadis manis berlesung pipi, kemudian gadis cantik dengan rambut hitam panjang. Kemudian berturut-turut muncul wajah gadis berwajah Cina, gadis berambut ikal panjang, gadis berambut pendek dengan tahi lalat di pipinya, gadis berambut merah, gadis kurus, lalu Lisa dan Ririn. Tubuh gadis-gadis itu bergelimpangan di tengah genangan darah di sekeliling tubuh-tubuh tanpa nyawa itu.

"Ka-Kalian semua..." Aku menatap mayat-mayat itu dengan ketakutan yang amat sangat. Tubuhku gemetar, air mataku bercucuran tanpa bisa aku tahan. Rasa sakit yang teramat sangat di kepalaku melengkapi penderitaanku.

"Ini mimpi.. ini hanya sebuah mimpi.." desisku sambil menggelengkan kepalaku.

Aku meremas rambutku mencoba mengurangi sakit di kepalaku. Tapi sayang rasa sakit itu dengan cepat menyapu habis kesadaranku hingga aku akhirnya pingsan.

Aku bangun di tempat tidur di dalam kamarku. Aku sedikit merasa senang dan lega karena aku yakin yang aku alami tadi hanya sebuah mimpi. Tapi saat melihat wajah Dina yang menyambutku dengan ekspresi cemas aku benar-benar yakin itu semua adalah kenyataan.

"Kau sudah sadar rupanya. Kau mau minum?" Dina menyodorkan segelas air putih kepadaku. Aku meminumnya seteguk lalu mengembalikannya pada Dina yang kemudian meletakkan gelas itu di meja kecil di samping tempat tidurku.

"Apakah kau yang mengantarku kesini?" tanyaku sambil menatap Dina.

"Bagas yang menggendongmu ke sini. Aku, Playboy gila itu dan juga Pemuda lumpur itu ikut ke sini. Lagi pula bukannya kau sendiri yang mengundang mereka kan?" Dina menjelaskan.

"Apakah Reza masih di sini?" tanyaku tanpa basa-basi.

"Kalau maksudmu pemuda lumpur itu, dia ada di ruang tamu bersama Bagas dan Si Playboy gila. Dia sangat mengkhawatirkanmu yang tiba-tiba pingsan di depannya. Jangankan dia yang baru pertama kali melihatmu pingsan, aku saja selalu ketakutan saat melihatmu pingsan." Dina tampak cemas melihatku.

"Kau melihat sesuatu saat memegang tangannya kan?" Seperti biasa, tebakan Dina selalu tepat.

"Reza harus menjelaskan semuanya padaku."

Aku bangkit dari tidurku lalu berjalan menuju ruang tamu diikuti Dina di belakangku. Saat aku sampai di ruang tamu, Reza tampak lega melihatku, begitu juga Bagas dan Agni yang duduk berdampingan. Aku lalu duduk di kursi yang ada di seberang meja di depan Reza.

"Siapa kau sebenarnya? Kenapa kau bisa tahu semua tentang teman kami yang terbunuh itu?" Aku menatap Reza dengan rasa penasaran sedangkan Reza tampak kaget dengan pertanyaanku.

"Apa maksudmu?" Reza sepertinya masih ingin menyembunyikan semua informasi yang dimilikinya. Padahal tanpa dia sadari dia sudah memberi tahu sebagian informasi yang diketahuinya saat aku memegang tangannya yang siang tadi.

"Sudah aku bilang bukan kalau aku tidak bodoh kan? Jadi sekarang katakan semuanya padaku. Bagaimana kau bisa tahu dan menduga menduga kalau orang yang membunuh teman-temanku itu adalah penyihir?" tanyaku lagi.

Sejenak Reza menatapku. Mungkin dia heran bagaimana aku mengetahui sebagian informasi yang dia coba sembunyikan. Aku menatap pemuda bernama Reza di hadapanku itu yang masih menatapku dengan wajah penasaran. Aku berpikir sejenak. Aku menghela nafas.

"Mereka adalah teman-teman kami, sahabat kami. Mereka sangat berarti bagi kami. Kami berhak mengetahui semua hal yang berkaitan dengan kematian mereka." kataku mencoba meyakinkan pemuda berambut model belah tengah itu.

"Lagi pula, mungkin saja teman kami yang lain juga diincar oleh pembunuh itu. Tolonglah kami Kak. Kami tidak ingin kehilangan teman lagi." Aku memohon.

"Jadi Kak Reza, maukah kau memberitahu semua yang kau ketahui tentang pembunuhan teman-teman kami pada kami?" tanya Dina ikut bersuara pada pemuda itu. Reza diam tidak menjawab.

Aku menatap Reza yang tampak sedang berpikir. Mungkin dia sedang menimbang untuk memberikan semua informasi yang diketahuinya padaku atau tidak. Dia pasti ragu-ragu saat ini. Bagaimanapun juga aku dan semua temanku hanya anak-anak SMU kelas dua yang kebetulan saja temannya terbunuh. Lagi pula kami baru sekali bertemu. Jadi untuk membeberkan sebuah informasi yang didapatnya dengan susah payah pasti Reza merasa sangat keberatan.

"Baiklah."

Jawaban Reza itu bagai setetes embun yang menyejukkan hatiku. Secercah cahaya harapan menyinariku.

"Apa yang ingin kau ketahui?" Reza menatapku.

"Kenapa teman-temanku dibunuh? Apa kesalahan mereka pada pembunuh itu hingga mereka dibunuh secara kejam seperti itu?" tanyaku penuh emosi hingga air mataku keluar begitu saja dari mataku.

"Mereka tidak bersalah sama sekali. Mereka itu dibunuh sebagai tumbal untuk sebuah ritual kuno yang disebut "Ritual Bulan Darah". Sebuah ritual terkutuk yang dilakukan oleh seorang penyihir untuk mendapatkan kekuatan dewa." jawab Reza yang membuatku dan semua yang berada di ruangan ini terdiam sesaat karena kaget.

"Aku serius. Tubuh teman kalian itu pasti ditemukan di tengah daerah yang terbuka, tanpa ada pohon atau bangunan yang menaunginya, kan? Lalu darahnya diambil untuk menggambar lingkaran yang putus. Aku berani bertaruh, korban sebelumnya juga ditemukan dalam keadaan seperti itu. Iya kan?" tanya Reza.

Pemuda itu menatapku lalu semua yang ada di ruangan itu satu persatu seakan meminta pembenaran. Kami semua sontak terdiam.

"Kalian semua diam. Itu berarti aku benar kan?" Reza mendesah.

"Kau pasti membaca semua itu dari berita di koran atau portal berita di internet kan? Sudah. Kalian jangan mendengarkan wartawan gadungan ini lagi!"

Suara Agni tiba-tiba memecah ketegangan di antara kami. Agni tampak sangat tidak suka dengan arah pembicaraan kami.

"Hal itu adalah informasi rahasia polisi, yang dilarang untuk disebarkan ke media massa. Kau tahu itu kan?" Reza menatap Agni.

"Kau bercanda? Hari gini kau masih percaya ada penyihir? Kau ini seperti bocah SD yang masih suka membaca buku fantasi. Sudah tua begini kau masih berada di dunia khayal seperti itu? Nggak salah?" Agni mencibir.

"Penyihir itu ada dan nyata. Aku pernah bertemu salah satunya." Reza ngotot dengan pendapatnya. Aku kaget mendengar ucapannya itu.

"Kau sudah pernah bertemu penyihir? Di mana?" tanyaku penasaran.

"Dia adalah adikku sendiri." jawab Reza tanpa beban.

"Adikmu penyihir? Benarkah? Apa kemampuannya? Meramal? Merubah sesuatu menjadi hewan? Terbang dengan sapu?" tanya Dina antusias.

"Dia bisa telekinetik. Dia pernah menghentikan motor yang melaju dengan kekuatannya saat dia melihat motor itu hampir menabrak anak kecil di depan rumah." Reza mengatakan hal itu tanpa beban. Sedangkan aku dan semua yang ada di ruangan itu ternganga heran.

"Kalau begitu pasti adikmu yang melakukan ritual gila itu. Dia kan penyihir." tuduh Agni.

"Itu mustahil. Dia bahkan ingin membuang kekuatannya itu." Kata Reza sambil menghela nafas.

"Kenapa?" tanyaku. Aku menatap Reza dengan perasaan heran.

"Adikku belum bisa menguasai kekuatan sihirnya itu. Pada suatu hari, saat terjadi gempa, adikku hampir saja tertimpa lampu kristal yang jatuh. Dia sangat panik dan ketakutan hingga dia reflek menangkis lampu yang jatuh itu dengan kekuatannya. Namun nahasnya lampu itu malah menerjang sepupuku yang kebetulan menginap di rumah kami hari itu. Kecelakaan itu menyebabkan sepupuku terluka sangat parah dan harus dirawat beberapa minggu di rumah sakit. Sejak saat itu adikku tidak mau menggunakan kekuatannya lagi." terang Reza panjang lebar.

"Terserah apa katamu wartawan gadungan." Agni bangkit dari tempat duduknya lalu berjalan ke arah pintu depan.

"Kau mau ke mana?" tanyaku pada Agni yang langsung berhenti dan menoleh padaku.

"Aku ada janji dengan Arga. Dia pasti sedang menungguku." kata Agni sambil tersenyum.

Arga. Nama itu mengingatkanku pada cowok bertampang berandalan di kelasku.

"Arga? Arga Dinata maksudmu?" Aku menatap Agni.

"Yups. Dia bilang akan mengajakku ke tempat asyik. Kalau tempat itu memang sangat menyenangkan seperti yang dia katakan, lain kali aku pasti akan mengajakmu Bulan. Sampai nanti semuanya." Agni lalu keluar dari rumah tanteku begitu saja.

"Kalau begitu aku juga pamit dulu, soalnya sudah malam. Terima kasih atas pinjaman bajunya Tante, pasti akan segera saya kembalikan." Reza meraih tas kameranya dan sebuah kantong plastik yang pastinya berisi bajunya penuh lumpur. Setelah itu berdiri

"Saya permisi dulu. Selamat malam semuanya." ucap Reza sopan.

Reza menyalami Tante Ratih dan kami semua lalu keluar. Setelah mengantar Reza ke depan pintu kami semua duduk kembali di ruang tamu rumah Tanteku. Tante Ratih menyuruh kami menikmati minuman dan makanan kecil yang disediakannya.

"Arga Dinata itu bukannya cowok berandal di kelasmu itu Bulan?" tanya Dina tiba-tiba.

"Iya." jawabku sambil mengambil segelas minuman dari nampan.

"Ku dengar Arga itu suka ikut balapan liar kalau malam hari. Apa mungkin dia mengajak Agni ikut balapan liar juga?"

Pertanyaan Dina itu hampir membuatku tersedak minumanku. Aku menatap Dina.

"Semoga saja tidak ya." kata Dina sambil tersenyum kecut.

Aku rasa rasa harapan Dina itu bagaikan debu yang sangat mudah diterbangkan angin kalau mengingat Agni yang selalu datang dengan motor sportnya dengan kecepatan tinggi tiap berangkat sekolah.

"Tapi aku dengar mereka bisa memenangkan taruhan uang yang sangat banyak kalau memenangkan balapan itu." Bagas tiba-tiba ikut bicara.

Semua yang ada di ruangan itu menatap Bagas penuh dengan tatapan yang seakan bertanya 'kok Bagas bisa tahu hal seperti itu? Atau jangan-jangan Bagas..

"Aku tidak ikut balapan itu kok. Sumpah." Bagas terlihat salah tingkah mendapat tatapan menuduh dari semua orang di sekitarnya.

"Aku hanya mendengarnya dari Daniel.. Daniel Mulyana, kau tahu? Cowok bermata sipit itu? Dia temannya Arga." Ucapan Bagas itu tidak bisa membuat kami percaya begitu saja. Apalagi Bagas juga selalu ngebut menggunakan motor sportnya saat berangkat sekolah.

" Aaarghh! Terserah kalian mau percaya atau tidak! " Bagas tampak benar-benar kesal.

***

Aku berdiri di depan gambar tubuh Ririn, lalu pandanganku beralih ke gundukan pasir di sekeliling gambar tubuh itu yang bagaimanapun kau melihatnya memang berbentuk lingkaran yang terputus ujungnya. Apakah yang semua yang dikatakan Reza itu benar? Kalau semua itu memang benar, itu berarti gadis-gadis yang dibunuh dalam mimpiku itu benar-benar dibunuh oleh penyihir itu? Lalu apakah akan ada korban selanjutnya? Apakah pembunuh itu masih berkeliaran di sekolah ini? Semua pertanyaan mengerikan itu berkecamuk dalam pikiranku. Bersamaan dengan rasa ketakutanku.

"Bulan? Kenapa kau ada di tempat ini?" Dina tiba-tiba muncul di depanku.

"Hey! Kenapa kau menangis?" tanya Dina dengan wajah cemas.

Dina segera menghampiriku lalu menangkup wajahku dengan kedua telapak tangannya. Dengan lembut dia mengusap air mata yang entah sejak kapan membasahi kedua pipiku.

"Aku takut Dina." Aku menatap wajah Dina.

"Aku takut ada teman kita yang akan jadi korban lagi." Aku berusaha menahan tangisku sebisa mungkin.

"Aku benar-benar takut." Akhirnya tangisku pecah. Aku memeluk tubuh Dina dengan erat. Dina meraih tubuhku ke dalam pelukannya.

Setelah semua usahaku untuk melindungi Ririn, pembunuh itu tetap berhasil membunuh temanku itu. Aku benar-benar merasa tidak berdaya melawan pembunuh itu. Aku merasa sangat putus asa dan ketakutan.

"Kalian berdua di sini rupanya. Bukankah kita tidak boleh ke sini dan merusak TKP?"

Tiba- tiba Agni muncul bersama Bagas dan Ryan. Aku segera melepaskan pelukanku dari Dina. Cepat- cepat aku mengusap air mata di wajahku.

"Hey. Bulan ? Kau menangis?" Bagas terkejut melihatku.

Bagas segera menghampiriku lalu meraih kedua pundakku, lalu menatap wajahku. Dengan lembut Bagas mengusap air mata di pipiku dengan ibu jari kanannya. Aku sangat malu ditatap dengan jarak sedekat itu oleh Bagas. Aku mendorong tubuh Bagas pelan menjauhiku.

"Aku sudah tidak apa-apa." Aku mencoba tersenyum.

"Sebaiknya kita pergi dari sini. Tempat ini membuatku takut." ucap Dina. Dia melepas lengan Ryan lalu menghampiriku.

"Aku akan mengantar Bulan pulang. Ayo Bulan." Dina meraih tanganku lalu menarikku pergi meninggalkan tempat itu.

"Boleh aku ikut ke rumahmu, Bulan?" Bagas menatapku dengan wajah cemas. Aku tersenyum.

"Kalian semua boleh ikut ke rumahku. Aku sedang tidak ingin sendirian. Ayo." ajakku.

Bagas, Agni dan Ryan segera mengikutiku dan Dina yang telah melangkah terlebih dulu menuju rumah tanteku.

Sore itu ruang tamu Tante Ratih mendadak jadi ramai dengan kedatangan teman-temanku itu. Kami saling bercanda dan tertawa. Sejenak melupakan segala sesuatu yang menyangkut pembunuhan teman-teman kami. Sampai tiba-tiba lampu padam.

"Kyaa! Ryan! Kau di mana?" Dina reflek menjerit saat ruangan seketika menjadi gelap.

"Diam kau, Dina! Berisik sekali!" Suara Agni terdengar kesal, mungkin karena kaget mendengar suara Dina yang melengking itu secara tiba-tiba. Dalam kegelapan lagi.

"Kalian diam saja di situ, Tante akan menyalakan lilin. Tenanglah." Suara tante Ratih terdengar dari arah dapur.

"Hey! Lihat! Di luar terang sekali."

Suara Ryan terdengar dari ambang jendela. Entah sejak kapan dia berada di sana padahal sebelum mati lampu dia masih duduk berdampingan mesra dengan Dina. Kami semua perlahan bangkit lalu berjalan dengan hati-hati keluar.

"Waah.. Ternyarta ini malam purnama ya?!" teriak Dina.

Dina terlihat sangat takjub melihat bulan yang bersinar terang membuat suasana di luar rumah terang dengan cahaya kuningnya.

"Tanpa adanya lampu membuat bulan terlihat sangat terang." ucap Agni sambil menengadah ke langit, memandang bulan yang bersinar terang di sana.

Tanpa sadar aku ikut menatap piringan bulan yang bertengger dengan anggun di angkasa yang gelap, menyebarkan cahayanya yang mempesona semua yang memandanginya. Selanjutnya kami berada di halaman untuk menikmati panorama alam yang indah itu sambil melanjutkan obrolan kami.

"Apa kalian tahu? Bulan lahir pada saat bulan purnama seperti ini."

Tiba-tiba terdengar suara Tante Ratih. Kami semua menoleh ke arahnya yang sudah berdiri di tangga teras depan. Tanteku itu lalu duduk di tangga sambil memandang bulan.

"Benarkah itu. Ayo cerita dong, Tante." Agni tampak segera mendekati Tante Ratih dengan sangat antusias. Dia lalu duduk di hadapan Tanteku itu.

"Hari itu sejak siang langit tampak diselimuti mendung tebal. Kami semua menunggu dengan panik di depan ruang bersalin rumah sakit kota. Ibunya Bulan dibawa ke ruang persalinan sejak sore. Tapi belum juga terdengar suara bayi. Kami menunggu dengan gelisah. Lalu akhirnya, tepat tengah malam terdengarlah suara dari dalam ruang bersalin. Kami sekeluarga lega sekali dan juga sangat bahagia. Dan anehnya seolah seluruh alam juga ikut dalam kebahagiaan kami itu. Kalian tahu? Hari itu aku merasa sangat aneh, takjub sekaligus ajaib."

Tante menatap bulan sambil menerawang. Kami semua menatap wajah Tanteku sambil menahan nafas, menunnggu apa yang akan dia katakannya selanjutnya.

"Apa Tante??" Agni tampak sangat penasaran.

"Malam itu.. sesaat setelah Bulan lahir, mendung di langit dengan cepat menghilang diterpa angin yang tiba-tiba berhembus kencang. Tirai mendung yang menutupi langit dengan kesuraman itu tiba-tiba menghilang lalu dan digantikan dengan keindahan cahaya bulan yang ternyata pada saat itu sedang purnama penuh sama seperti malam ini." Suara Tante terdengar bergetar.

"Tapi keindahan itu juga membawa kesedihan. Ibunya Bulan meninggal sehari setelah melahirkan karena pendarahan hebat yang dialaminya selama persalinan." Perlahan air mata mengalir dari kedua mata Tante Ratih. Agni menoleh padaku.

"Tante.." Aku jadi merasa sedih melihat Tanteku itu menangis. Mataku mulai terasa panas. Akhirnya aku ikut meneteskan air mata.

"Tante jangan sedih lagi.. Lihatlah. Bulan jadi ikut menangis juga." ucap Agni sambil meraih tangan Tante Ratih lalu menggenggamnya lembut. Tante Ratih menatapku sambil mengusap air mata di wajahnya.

"Maaf. Aku jadi merusak suasana ceria ini dengan cerita sedih." Tanteku itu berusaha tersenyum.

"Jadi karena itulah dia diberi nama Bulan?" tanya Agni. Tante Ratih melepas tangannya dari genggaman Agni.

"Itu benar. Ibunya Bulan yang sempat sadar dan menggendong Bulan terpesona saat melihat bulan purnama yang terlihat dari jendela ruang inapnya. Dari situlah dia memberi nama pada Bulan." Tante menghapus air mata di wajahnya.

"Aku pernah dengar cerita, anak yang dilahirkan pada saat bulan purnama akan dilindungi oleh Dewi Bulan, dewi yang menjaga kegelapan malam agar tidak bisa menguasai dunia. Kau beruntung Bulan." ucap Dina sambil menepuk bahuku.

Seandainya saja yang dikatakan Dina itu benar. Aku memang butuh perlindungan itu saat ini, perlindungan yang sangat kuat untuk menghadapi pembunuh kejam yang mengincar nyawa para gadis yang tidak bersalah.

"Aku masuk duluan ya. Tante tidak kuat menahan dinginnya udara malam, tidak seperti kalian anak muda. Tante permisi ke dalam dulu." pamit Tante Ratih.

Setelah itu Tanteku lalu bangkit, berdiri dari duduknya, lalu masuk ke dalam rumah.

"Iya juga. Kenapa jadi dingin ya? Masuk yuk." Ryan meraih tangan Dina dan mereka pun masuk ke rumah sambil bergandengan mesra. Dasar pasangan tukang pamer! Aku memaki dalam hati.

"Issh! Aku tiba-tiba kebelet." kata Agni.

"Tante! Toiletnya di mana?" teriak Agni sambil masuk ke dalam rumah.

Aku hanya tersenyum geli mendengarnya lalu kembali memandang bulan di langit. Warna cahayanya seakan menyinari seluruh kota menjadi terang dan berwarna kekuningan, meski tanpa adanya lampu listrik yang menyala.

"Benar-benar indah." gumamku tanpa sadar.

"Tapi kau lebih indah. Kau jauh lebih indah."

Suara Bagas yang tiba-tiba sudah ada di sampingku membuatku sedikit kaget. Saat aku menoleh aku mendapati Bagas sedang menatapku. Aku jadi berdebar saat Bagas menatapku dengan sorot mata lembut sambil tersenyum. Apa sejak tadi dia menatapku seperti itu? Aku jadi salah tingkah saat Bagas tidak juga mengalihkan pandangannya dariku. Lagi pula apa-apaan yang barusan dia katakan itu? Siapa yang dia bilang indah tadi?

"Kau lah yang sangat indah, Bulan. Kau cantik."

Aku kaget mendengar ucapan Bagas itu. Apa dia juga bisa membaca pikiranku seperti Dina? Kenapa dia langsung menjawab pertanyaan yang hanya ada dalam otakku.

"Tidak usah bingung begitu. Kita ini kan punya ikatan batin yang kuat. Aku bisa mengerti apa yang kau pikirkan tanpa perlu kau katakan."

Aku mendelik mendengar jawaban Bagas itu. Lagi-lagi Bagas menjawab pertanyaan dalam pikiranku.

Tiba-tiba Bagas meraih kedua pundakku dengan kedua tangannya lalu memutar tubuhku hingga kami berhadapan. Bagas membelai wajahku pelan.

"Aku sangat merindukanmu.. Shelina." ucap Bagas.

Apa? Shelina? Apa tadi Bagas memanggilku Shelina? Atau aku hanya salah dengar?

" Siapa mmmh?!!" Belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, tanpa berkata apa pun Bagas mendekatkan wajahnya dan menempelkan bibirnya di bibirku. Aku terbelalak kaget. Bagas menciumku! Dengan gerakan reflek aku mendorong Bagas.

"A-Apa yang barusan kau lakukan?! Hah?!" Aku menatap Bagas dengan rasa marah yang mulai memenuhi diriku. Jantungku pun berdebar sangat kencang. Aku mengusap bibirku dengan punggung tanganku, mencoba menghilangkan sensasi yang terasa saat Bagas me.. me-menciumku!?

"Aku.. Itu.. Karena kau terlihat.. sangat.. Aku-Aku.." Bagas terlihat sangat panik dan bingung. Wajahnya merah dan berkeringat.

"Kau! Kau cowok brengsek!" teriakku sambil menampar wajah Bagas sekuat tenagaku karena tidak dapat menahan amarah yang meluap-luap dalam dadaku.

Bruakk! Bagas jatuh terjungkal ke belakang. Tubuhnya menabrak tempat sampah yang terbuat dari plastik di belakangnya hingga tempat sampah itu hancur. Sampah tersebar di sekitar tubuh Bagas.

Aku melihat Bagas yang terkapar kesakitan sambil memegangi pipinya dengan perasaan geram sekilas lalu masuk ke dalam rumah. Aku langsung masuk ke kamar mandi dan membasahi wajahku dengan air di wastafel. Berkali-kali aku membasahi wajahku dengan air untuk meredakan emosiku dan debaran jantungku yang sangat kencang. Berani sekali Bagas melakukan hal seperti itu padaku. Menciumku! Kami bahkan tidak pacaran atau punya hubungan apa pun. Dia pikir aku cewek murahan yang bisa dicium oleh sembarangan lelaki apa? Bisa-bisanya aku pernah berpikir kalau dia itu pemuda yang manis.

"Dasar Kurang Ajar!" Aku berteriak di melampiaskan kegeramanku.

"Bulan? Kau kenapa kau berteriak keras sekali? Kau baik-baik saja kan?"

Suara tante Ratih terdengar di luar pintu kamar mandi. Aku menghela nafas berkali kali untuk menenangkan diri. Setelah aku bisa menguasai emosiku aku segera membuka pintu kamar mandi dan tersenyum pada Tante Ratih yang berdiri di depan pintu kamar mandi.

"Aku tidak apa-apa, Tante." jawabku.

Aku lalu melangkah dengan perasaan segan ke ruang tamu. Sebenarnya aku benar-benar malas melihat Bagas sekarang ini. Tapi mau bagaimana lagi. Aku lah yang mengundang Bagas dan yang lainnya ke sini tadi. Tapi saat aku sampai di ruang tamu Bagas tidak ada. Aku melirik pintu depan. Aku menduga dia pasti masih terkapar di halaman akibat tamparanku tadi. Biar dia tau rasa. Siapa suruh melakukan perbuatan nista seperti itu padaku?!

"Kalau kau mencari Bagas, dia sudah pulang saat kau ada di toilet tadi. Dia bilang ibunya mengharuskan dia untuk segera pulang." Dina menjelaskan padaku tanpa aku tanya. Aku jadi yakin kalau Dina itu benar-benar cenayang yang bisa membaca pikiranku.

Bersambung..