Chereads / Ritual Bulan Darah / Chapter 6 - 6. Deathlist

Chapter 6 - 6. Deathlist

***

Suara bel tanda jam istirahat berbunyi nyaring. Hampir semua siswa SMU Tunas Bangsa menghela nafas lega setelah 3 jam pelajaran menguras energi mereka. Saatnya mengisinya kembali hanya dengan sekedar beristirahat dan bercanda dengan teman-teman atau pergi ke kantin untuk mengisi perut kelaparan yang sudah menjerit ingin diberi makan sepertiku. Tapi langkahku terhenti saat aku melihat sosok Reza, wartawan sekaligus penulis itu, menurut ceritanya sih. Soalnya aku belum pernah membaca buku bertuliskan namanya sebagai pengarang. Apalagi aku memang tidak suka membaca. Hihihi.

Reza tampak keluar dari ruang TU sekolah dengan muka masam. Aku mengubah arah langkahku yang akan menuju kantin menjadi menghampiri Reza.

"Kak Reza? Ngapain ke sini?" tanyaku tanpa basa-basi. Reza menoleh ke arahku.

"Mencari informasi tentu saja. Tapi gagal." Reza tersenyum kecut.

"Informasi apa? Mungkin aku bisa membantu?" tanyaku penasaran.

Tentu saja aku penasaran. Bagaimana tidak? Aku bisa memastikan bahwa informasi yang dicarinya pasti menyangkut masalah kasus pembunuhan Lisa dan Ririn. Jadi aku akan dengan senang hati membantunya, dengan begitu Reza juga akan membantuku juga. Pertukaran yang adil kan? Sementara itu Reza hanya diam mendengar pertanyaanku. Aku mendengus.

"Kak Reza lapar tidak? Temani aku makan yuk?"

Tanpa menunggu jawaban Reza aku segera menarik tangan pemuda itu ke luar gerbang sekolah dan memasuki kedai mie ayam di seberang jalan depan sekolah. Beberapa menit kemudian aku dan Reza sudah duduk di meja di sudut kedai mie ayam. Kami duduk berhadapan sambil menunggu pesanan mie yang aku pesan untuk kami berdua.

"Kau mau bertanya apa padaku?" Reza menatapku penuh selidik.

Aku tertawa senang. Reza langsung mengetahui maksudku membawanya ke sini. Dia ini pintar juga juga, pikirku.

"Aku mau tahu tentang ritual itu." ucapku sambil menatap Reza.

"Apakah ada kemungkinan penyihir itu mengincar temanku yang lain lagi?! Maksudku.. Apakah ada syarat tertentu?! Atau ciri tertentu yang menjadikan mereka sebagai korban ritual busuk itu?!" tanyaku dengan sedikit amarah. Entah kenapa aku tiba-tiba teringat dengan Lisa dan Ririn yang meninggal untuk tumbal ritual setan itu.

"Woo. Tenanglah. Tidak perlu berteriak. Oke?" ucap Reza sambil melihat sekeliling.

Aku ikut mengedarkan pandanganku dan menangkap pandangan kesal yang ditujukan oleh para pengunjung kedai pada.. errm.. padaku?!

"Maafkan aku. Suaraku sedikit keras ya? Maaf. Hehehe.." ucapku sambil tersenyum untuk menutupi rasa maluku.

"Sedikit kau bilang? Kau tadi berteriak." sahut Reza sambil mendelik kesal padaku.

"Maaf. Aku hanya tiba-tiba emosi saat mengingat teman-temanku." Aku merengut.

Aku tidak merasa bersalah sebenarnya. Mana ada orang yang tidak marah jika teman-temannya jadi tumbal ritual setan seperti itu. Reza tidak menanggapi ucapanku. Dia mengeluarkan buku yang di dalamnya terselip setumpuk kertas, lebih tepatnya potongan-potongan koran.

"Kak Reza sedang membuat kliping?" tanyaku.

Reza terlihat kesal dengan pertanyaanku. Pemuda itu lalu membuka buku itu lalu membuka-buka halamannya seakan mencari sesuatu di antara halaman yang ada di buku itu. Setelah mendapatkan halaman yang dicarinya dia membalik bukunya menghadap ke arahku dan menyodorkannya padaku.

"Baca." suruhnya.

Aku mendekatkan buku itu ke hadapanku. Lalu mulai membacanya. Ada gambaran lingkaran dengan lingkaran lebih kecil di dalamnya. Di antara dua garis lingkaran itu terdapat 13 simbol yang rasanya pernah aku lihat sebelumnya.

"Ini simbol zodiak kan?" tanyaku.

Aku menatap Reza minta penjelasan. Reza hanya menatapku tanpa mengatakan apa pun. Lalu aku melihat gambar itu lagi. Di dalam lingkaran yang tengah berisi gambar bintang bersegi lima di dalamnya. Ada symbol aneh yang tidak aku kenali di tiap ujung gambar bintang tersebut.

"Aku tidak tahu simbol apa ini. Tapi ini symbol bulan kan?"

Aku menunjuk gambar bulan sabit yang tergambar di pinggir lingkaran yang bergambar lambang zodiak. Entah kenapa gambar bulan itu ada di antara jajaran dua belas symbol zodiak itu.

"Memangnya sejak kapan ada zodiak bulan?" tanyaku heran.

"Sebenarnya itu bukan lambang zodiak tapi symbol penjaga kegelapan." Reza menerangkan akan. Aku menatap Reza tidak mengerti.

"Penjaga kegelapan adalah para penjaga yang bertugas menjaga kegelapan agar tetap dalam porsinya dan tidak melewati batas. Jika itu terjadi maka keseimbangan dunia akan goyah dan terjadi kekacauan." terang Reza lagi. Aku semakin tidak mengerti dengan penjelasannya itu.

"Itu artinya saat malam tetap gelap dan siang tetap terang. Apa kau bisa membayangkan kalau kegelapan juga akan melanda siang?" Reza terlihat kesal.

Aku berpikir, mencoba mencerna apa yang Reza katakan barusan. Aku tersentak kaget.

"Kau mau bilang kalau penyihir itu pengikut sihir kegelapan?" tanyaku kaget.

"Dari mana kau menyimpulkan hal seperti itu?" Reza menatapku heran.

"Anggap saja aku sudah mengerjakan PR ku. Oya. Sudah berapa korban yang sudah berhasil ditumbalkannya?" tanyaku.

Aku sebenarnya takut mendengar jawaban Reza. Tapi mau bagaimana lagi. Aku takut masih banyak temanku yang terancam oleh penyihir itu.

"Ririn adalah gadis ke-sebelas." Reza mendesah kesal. Aku terlonjak kaget.

"Apa kau bilang? Bukannya baru dua gadis yang meninggal?" tanyaku bingung.

"Penyihir itu sudah membunuh sepuluh orang gadis sebelum mencari korban di sekolahmu ini, Bulan. Pertama dulu kali dulu dia melakukannya di Bandung. Dia membunuh lima orang gadis di satu sekolah. Lalu penyihir itu pindah ke Jakarta dan mencari korbannya di sana. Di sana dia juga berhasil menumbalkan empat orang gadis. Semua itu dia lakukan tanpa ketahuan. Penyihir itu benar-benar makin kuat dan berbahaya." terang Reza. Pemuda itu tampak cemas.

"Bagaimana kau tahu pembunuhan itu dilakukan oleh orang yang sama dan bukan pembunuhan biasa?" tanyaku.

"Karena semua pembunuhan itu dilakukan dengan cara yang sama persis. Mayat para gadis itu selalu ditemukan di halaman, lapangan atau ruang terbuka lainnya. Di sekeliling mayat gadis itu juga digambari lingkaran dengan darah mereka. Kau masih belum percaya juga?" Reza menatapku jengkel.

"Tapi aku juga tidak pernah mendengar atau melihat berita semacam itu selama ini." Kecuali aku selalu melihatnya dalam mimpiku, ucapku dalam hati.

"Itu karena polisi memang menutupi informasi itu dari publik. Berita seperti itu kalau tersebar di masyarakat pasti akan membuat semua orang panik. Belum lagi jika ada peniru yang mengikuti jejak penyihir itu. Penyelidikan akan jadi makin sulit bagi polisi." jelas Reza.

Aku mengerti sekarang kenapa aku tidak pernah mendengar berita seperti itu di mana pun.

"Apakah ritual itu memang mengharuskan tumbal berupa gadis-gadis?" tanyaku.

"Kurasa tidak. Penyihir itu mungkin memilih para gadis itu karena mereka adalah mangsa yang lemah sehingga mudah mengalahkannya lalu membunuhnya."

Aku rasa penjelasan itu sangat masuk akal. Dan itu berarti penyihir itu hanyalah seorang pengecut yang hanya berani pada perempuan lemah. Hal itu benar-benar membuatku muak dan marah.

"Jadi tinggal dua gadis lagi dan penyihir itu menyempurnakan ritual setannya? Ah sial!" jeritku sambil meremas rambutku dengan marah bercampur cemas. Aku mulai memikirkan cara untuk menggagalkan ritual penyihir itu.

"Apakah itu artinya akan ada teman kita yang dibunuh oleh penyihir gila itu lagi?"

Tiba-tiba saja suara Dina terdengar dari sampingku. Aku kaget saat mendapati Dina sudah berdiri di sebelah kursi tempatku duduk. Dengan paksa Dina mendorongku hingga aku bergeser ke tengah kursi panjang yang aku duduki. Lalu dengan tanpa permisi Dina duduk di tempatku duduk tadi. Dasar tidak sopan!

"Dina? Bagaimana kau tahu aku ada di sini?" tanyaku pada Dina.

"Aku tadi mencarimu ke mana-mana. Lalu Pak Satpam bilang tadi dia melihatmu jalan berdua dengan cowok. Kupikir kau baru saja dapat pacar ternyata hanya dia." Dina menatap Reza dengan wajah tidak suka.

"Hey! Apa maksudmu dengan 'hanya'? Hah?" tanya Reza kesal. Dina mendengus.

"Maksudnya adalah "hanya" penulis gadungan karena aku belum pernah melihat satu buku pun dengan namamu tertulis sebagai pengarangnya. Dan "hanya" wartawan gadungan karena aku tidak pernah melihat kartu identitas wartawanmu." Dina berkata sambil menatap Reza dengan tatapan menusuk.

Reza tampak kesal. Dia lalu mengambil sesuatu dari dalam tasnya lalu meletakkan sesuatu di meja dengan kasar. Dina langsung mengambil dan menelitinya. Sebuah buku berjudul "MITOS, Perlukah Dipercaya?" yang tercetak besar di sampulnya dan sebuah kartu identitas lengkap dengan foto dan tulisan press berwarna merah tercetak tebal di kopnya. Dina meletakkan buku dan kartu identitas itu kembali ke meja.

"Tukang pamer." sinisnya.

"Apa kau bilang?!" teriak Reza sambil menggebrak meja hingga aku terlonjak kaget. Reza tampak sangat tersinggung dengan ucapan Dina. Aku mendelik marah pada Reza dan Dina.

"Bisakah kalian hentikan itu?! Kita menghadapi hal yang gawat! Tapi kalian malah bertengkar! Kalian ini tidak waras?!" bentakku kesal.

Siapa yang tidak kesal dibuat kaget seperti itu. Ditambah dengan semua mata penghuni kedai menatap kami dengan wajah kesal ke arah kami. Menyebalkan sekali.

"Maaf.."

Dina meminta maaf dengan wajah penuh penyesalan saat dia juga menyadari tatapan kesal para pengunjung kedai mie ayam pada kami bertiga. Aku jadi agak merasa tidak enak telah membentak dan marah-marah pada dua temanku ini. Aku menghela nafas.

"Kita harus menemukan calon korban selanjutnya dan melindunginya dari pembunuh itu. Hanya itu yang bisa kita lakukan." kata Reza.

Aku mengangguk setuju. Kalau penyihir itu tidak mendapat tumbal, itu kan artinya ritualnya batal dan dia tidak akan pernah bisa mendapatkan kekuatan dewa yang sangat diinginkannya itu. Khukhukhu. Aku tertawa seperti Mak Lampir, tapi hanya dalam hati. Takut disangka gila oleh pengunjung kedai yang masih sesekali menatap ke arah meja kami.

"Calon korban selanjutnya adalah orang yang lahir di bawah zodiak Capricornus. Tadi aku bermaksud meminta data siswa untuk membuat daftar calon korban selanjutnya. Tapi sekolah tidak mengijinkanku meskipun hanya untuk melihatnya saja." Reza tampak bingung.

"Untuk masalah itu tenang saja. Aku akan minta data itu pada Ryan. Pacarku itu kan ketua OSIS. Tapi masalahnya, gadis yang lahir lahir di zodiak itu kan banyak? Bagaimana kita bisa mengetahui orang yang akan menjadi korban selanjutnya?" tanya Dina.

"Sebenarnya calon korbannya bukan hanya gadis saja, tapi semua yang lahir di bawah rasi bintang Sagitarius akan jadi sasaran penyihir itu kali ini. Soalnya kali ini adalah calon korban terakhir dari korban dua belas rasi bintang penjaga." kata Reza.

"Apa kau bilang? Ini pasti sangat merepotkan!" teriak Dina.

"Dan untuk tugas mencari calon korban itu, kita serahkan saja kepada Bulan. Benar kan Bulan?" Reza menatapku dengan tatapan aneh.

"Kau sudah tahu?" Aku menatap Reza dengan perasaan terkejut dan tidak percaya.

"Sebenarnya aku sudah menduga hal itu saat kau pingsan saat kita pertama kali bersalaman untuk berkenalan. Kau bilang mengetahui informasiku saat kau bangun dari pingsan. Padahal semua info yang aku ketahui, aku mendapatkannya dari data polisi yang tidak pernah dibeberkan ke media. Jadi bagaimana kau tahu semua itu? Aku lalu ingat saat itu kau jatuh pingsan saat bersalaman denganku dan begitu siuman kau langsung bertanya padaku seolah mencoba memastikan apa yang telah kau ketahui. Pada saat itulah aku menyadari bahwa ternyata kau ini seorang penyihir juga. Penyihir yang punya kekuatan melihat masa depan." Reza tersenyum.

"Kau bilang aku penyihir?" kataku sambil menunjuk mukaku sendiri. Bisa-bisanya Reza menuduhku sebagai penyihir.

"Yap. Meramal dan melihat masa depan adalah salah satu kemampuan penyihir. Sejak kapan kau mempunyai kemampuan seperti itu?" tanya Reza sambil menatapku dengan wajah penasaran. Begitu juga Dina yang berada di sampingku. Aku menghela nafas.

"Sejak sebelum kematian Lisa. Aku bisa melihat kematian Lisa saat dia memegang tanganku. Waktu itu dia menabrakku hingga aku jatuh dan dia mencoba menolongku." aku menjelaskan.

"Apakah itu saat kau pingsan pertama kali dulu?" Dina tampak mengingat-ingat.

"Itu benar." jawabku.

Tiba-tiba ada satu hal terlintas dalam pikiranku. Benarkah aku ini seorang penyihir? Apakah itu artinya aku juga akan menjadi jahat seperti pembunuh itu?

"Di sini kau rupanya Bulan."

Suara seseorang membuyarkan lamunanku. Tiba-tiba saja Agni muncul di ambang pintu kedai. Dia langsung berjalan menghampiri meja kami.

"Datang pengganggu!" sungut Dina kesal.

"Aku sudah mencarimu ke mana-mana. Ternyata kau di.. Hey! Kenapa wartawan gadungan itu ada di sini?" Agni menunjuk ke arah Rela. Benar-benar tidak sopan anak ini.

"Jangan menunjuk wajah orang! Tidak sopan tahu!" Dina menepis tangan Agni.

"Tapi aku tidak suka kalau Bulan selalu ketemuan dengan orang itu. Ayo Bulan kita pergi. Aku mau bicara penting denganmu."

Agni langsung menggenggam tanganku lalu menarikku dengan paksa menuju pintu keluar kedai. Dina segera berlari menyusul.

"Aku hanya mau bicara secara pribadi berdua dengan Bulan. Kau jangan ikut campur. Kau tahu artinya pri-va-si kan?" Agni berkata dengan penuh penekanan.

Dina tampak kaget dan tanpa sadar mundur ke belakang. Entah kenapa tiba-tiba aku merasa aura berat dan mengitimidasi keluar dari Agni. Cowok yang biasanya cengengesan itu tampak mengerikan dan pandangan matanya menajam. Sesaat kulihat Dina tampak membeku, tapi kemudian tampaknya Dina bisa menguasai dirinya kembali.

"Jangan lama-lama." katanya dengan ketus lalu melangkah kembali ke meja tempat Reza duduk. Bener-benar cewek kuat Dina itu.

Agni membawaku ke gubug di tengah sawah di belakang sekolah. Aku mendudukkan diriku di kursi panjang rendah dari batangan bambu. Aku menatap Agni yang masih berdiri diam membelakangiku sambil memandang hamparan tanaman padi yang hampir menguning.

"Mau sampai kapan kau diam seperti itu. Aku lapar tau!" kataku kesal.

Habis dari tadi Agni mendiamkanku sih. Dan aku teringat pesanan mie ayamku. Pasti sekarang Dina yang sedang menikmati makanan kesukaanku. Gah! Menyebalkan sekali!

"Aku tidak suka kau sering bertemu laki-laki itu." kata Agni tiba-tiba. Dia lalu berbalik. Agni menatapku dengan tatapan kesal.

"Aku bertemu dengannya kan tidak ada hubungannya denganmu. Kenapa kau jadi tidak suka?" Aku balik menatapnya.

"Itu karena aku menyukaimu, Bulan. Aku ingin kau jadi miliku. Hanya milikku." jawab Agni. Aku kaget mendengar jawaban Agni itu.

"Maukah kau jadi pacarku, Bulan? Aku mohon." Agni memohon. Aku menatap Agni. Agni terlihat serius dalam setiap ucapannya.

****

"Apa?! Kau dan Agni pacaran?! Tidak salah?! Aku tidak setuju!!" jerit Dina.

Sahabatku itu marah setelah aku menceritakan kalau aku telah menerima Agni sebagai pacarku. Suaranya sampai menggema di aula olahraga tempat kami bertemu pada jam istirahat. Sebenarnya aku lebih suka ketemu di kantin sih, sekalian jajan. Tapi mengingat kami akan membicarakan suatu hal yang agak rahasia, jadi kami janjian di sini deh.

"Sebenarnya aku tidak bilang menerimanya sih. Aku malah bilang aku tidak punya perasaan apa pun sama Agni. Tapi Agni bilang tidak apa-apa asal aku menerima dia." jelasku pada Dina.

"Itu namanya pemaksaan Bulan! Kau ini mau saja sih dipaksa gitu sama Iblis Playboy itu?!" geram Dina.

"Iblis Playboy? Itu julukan yang cukup keren." gurauku yang dijawab dengan jitakan Dina di kepalaku.

"Ihhh! Sakit tau! Kenapa mukul kepala sih? Kalau aku jadi bodoh bagaimana?" protesku sambil mengusap bagian kepalaku yang kena jitakan Dina.

"Kau itu memang sudah bodoh! Apa kau tahu dia itu cuma penasaran sama kamu! Karena kamu adalah satu-satunya cewek yang nggak ngejar-ngejar dia! Makanya dia ngebet banget mau kamu jadi pacarnya!" omel Dina sambil menghentakan kakinya dengan marah. Aku hanya menghela nafas mendengar omelan Dina.

"Sepertinya ada hal yang lebih penting kita bahas daripada Agni deh. Apa kau sudah membawa data siswa yang kita butuhkan?" tanyaku.

"Kau pikir aku pikun?" Dina mendelik kesal padaku.

Dina segera mengambil lembaran kertas dari dalam tasnya. Dina segera menyerahkan beberapa lembar kertas yang disteples padaku. Aku segera melihatnya dengan teliti.

"Zodiak bintang Capricornus itu tanggal berapa sih?" tanyaku bingung. Soalnya aku nggak suka baca ramalan bintang sih, jadi aku nggak hafal.

"Seingatku sih akhir Desember sampai awal Januari. Coba kulihat dulu." Dina lalu mengeluarkan ponselnya dan mulai memencet-mencet layar ponselnya beberapa saat.

"Nah! Ini dia!" seru Dina dengan wajah senang.

"Capricornus itu tanggal 22 Desember sampai 19 Januari."

"Cepet banget." Aku menatap heran pada Dina.

"Soalnya aku suka baca Ramalan bintang harian. Jadi situs ramalannya aku bookmark deh di ponselku." ujarnya jujur.

"Apa kau tahu kalau percaya pada ramalan itu namanya syirik. Kau nggak takut dosa apa?" Aku menakut-nakuti Dina.

"Aku tidak percaya kok. Hanya suka membacanya saja." elak Dina. Aku memutar bola mataku.

"Sudahlah. Ayo kita lingkari tanggal lahir yang termasuk zodiak Capricornus." ucapku.

Aku duduk di lantai aula. Lalu aku mulai meneliti tanggal pada kolom tanda lahir di lembar data siswa itu. Sekolahku mempunyai enam kelas di tiap jenjangnya, dan tiap kelas berisi 30 siswa. Jadi kami berdua mulai menandai tanggal lahir siswa berzodiak Capricornus di antara 540 siswa sekolahku.

"Ada 45 siswa! Dan kita harus mengecek mereka semua! Merepotkan sekali!" Dina berteriak kesal. Aku mendelik.

"Harusnya aku yang bilang seperti itu kan?! Aku yang harus menjabat tangan mereka, bukan kau!" omelku. Dina hanya nyengir tanpa terlihat bersalah.

"Baiklah. Ayo kita mulai. Kita ke kelas satu dulu yuk. Adik-adik kelas itu banyak yang ganteng lhoo." kata Dina sambil tersenyum genit.

"Kita sedang menghadapi masalah hidup dan mati teman sekolah kita. Bisa-bisanya kau malah mau main mata sama adik kelas. Kau sudah bosan sama Ryan?" tanyaku heran.

"Oh. Itu? Aku masih sangat cinta kok sama Yayang Ryan. Kalau sama adik kelas kan aku cuma cuci mata saja." jawab Dina enteng. Aku hanya bisa menghela nafas lelah menghadapi tingkah sahabatku ini.

"Menemukan anak dalam daftar ini sih sebenarnya gampang. Tapi apa alasanku agar bisa bersalaman dengan mereka. Kan aneh ada orang yang sama sekali tidak mereka kenal tiba-tiba mengajak bersalaman." tanyaku bingung.

"Justru itu. Kamu malah bisa beralasan untuk minta kenalan sama mereka kan?" Aku rasa usulan Dina itu masuk akal juga.

Sudah hampir dua minggu kami, aku dan Dina mencari calon korban ritual penyihir itu. Menurutku itu sangat lambat. Tapi mau bagaimana lagi, kami hanya bisa melakukan pengecekan itu saat jam istirahat saja di sela-sela ujian akhir semester. Lalu setelah ujian semester selesai ada libur akhir semester selama seminggu. Makin sedikit saja waktu yang bisa kami punya. Tapi aku dan Dina tidak pernah merasa putus asa. Dengan semangat kami terus melakukan pencarian calon korban ritual penyihir itu. Seperti juga hari ini. Kali ini sasaran kami adalah cowok gendut kelas dua yang sedang duduk sendirian sambil memainkan ponselnya. Aku segera mendekatinya.

"Hai. Namaku Bulan kelas XIIB dari klub karate. Boleh kenalan nggak mm.."

Aku lupa nama cowok di depanku ini. Padahal tadi namanya barusan aku baca deh. Dina membaca lembaran data siswa yang dibawanya sekilas.

"Satyia." kata Dina memberi bocoran.

"Satya yaa? Boleh kenalan?" Aku mengulurkan tanganku. Cowok gendut kelas dua yang berdiri di depanku ini malah menatapku curiga.

"Satya? Namaku Satria bukan Satya." ralat cowok gendut itu tanpa menyambut tanganku. Aku mendengus kesal.

"Satria yaa? Kau berhadapan dengan wakil ketua klub karate sekolah ini sekaligus kakak kelasmu. Di mana sopan santunmu?! Kau mau dihajar?! Hah!" teriak Dina yang langsung membuat cowok gendut di depanku terlihat takut.

"Maaf.. maafkan saya, Kak.." ucapnya memelas. Cowok gendut itu tertunduk takut di depanku.

"Makanya kalau diajak bersalaman itu disambut! Jangan malah melotot! Pernah diajari tata krama tidak?!" tanya Dina galak.

"Cepat salaman dengan Kak Bulan!!" bentak Dina.

Cowok gendut itu cepat-cepat meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Sejenak aku menggenggam telapak tangannya tapi aku tidak mendapat penglihatan apa pun. Aku lalu melepaskan tangan cowok itu sambil menggelengkan kepalaku sambil menatap Dina.

"Sudah. Lain kali kalau ada yang ngajak salaman itu disambut! Ngerti?!" bentak Dina galak.

"Ngerti, Kak." jawab cowok gendut itu takut-takut.

"Sekarang pergi!" usir Dina. Cowok gendut itu pun segera lari ngibrit, kabur dari hadapan kami.

"Aku berasa MOS deh." kataku sambil menahan tawa.

"Habisnya aku sebal melihat si Gendut tadi. Masak sama kakak kelas sendiri nggak sopan gitu. Gimana nanti sama orang lain?" Dina masih saja marah-marah.

"Sudah. Jangan dibahas lagi. Siapa yang selanjutnya?" tanyaku.

Dina kembali membaca lembar data siswa yang dipegangnya lalu tiba-tiba matanya melotot kaget.

"APA?! Rendy ternyata berzodiak Capricornus juga?!" jerit Dina histeris.

"Rendy siapa sih?" Aku menatap Dina bingung.

"Rendy. Masak kau tidak tahu sih. Dia itu cowok yang paling keren di kelas dua." jelas Dina antusias.

Aku hanya menatap Dina yang bertingkah over reactive itu. Soalnya aku benar-benar tidak mengerti siapa yang dia bicarakan.

"Baiklah. Jadi kau kenal dengan Si Rendy ini. Lalu di mana kita bisa menemuinya?" tanyaku akhirnya.

"Itulah masalahnya. Rendy itu sangat populer karena dia itu berbadan tinggi, sangat tampan, kaya dan juga sangat pintar. Oleh karena itu banyak cewek yang selalu mengejar-ngejar dia. Makanya Rendy jadi selalu bersikap curiga dan menjaga jarak dari para cewek. Dia selalu berada di tengah gerombolan temannya yang dia bayar untuk jadi pengawalnya. Karena itu dia terkenal sebagai Pangeran, soalnya dia selalu dilindungi oleh pengawalnya ke mana-mana. Tidak ada yang bisa mendekatinya. Yah, kecuali oleh orang yang Rendy ijinkan." jelas Dina panjang lebar.

"Oh. Jadi intinya Rendy itu cowok berengsek yang sombong kan?" Aku mendengus kesal saat aku ingat sesuatu tentang nama itu.

"Aku ingat sekarang. Dia itu cowok yang menolak Ratna, teman sekelasku dengan kejam dan mempermalukannya di depan semua orang. Apa kau tahu Ratna sampai sakit selama seminggu gara-gara perbuatan jahatnya itu? Biarkan saja dia jadi tumbal ritual setan itu. Aku yakin penyihir itu akan meracuni sesembahannya saat Rendy brengsek itu jadi tumbalnya. Dengan begitu kita bisa menggagalkan ritual setan sekaligus menyingkirkan cowok brengsek itu dari sekolah ini. Jadi kita bisa membereskan dua masalah sekaligus kan? Itu adalah solusi cerdas masalah kita. Khukhukhu.."

Aku benar-benar senang dengan ide jahatku itu hingga suara tawaku terdengar seperti Mak Lampir. Dina melotot tidak percaya mendengar ucapanku. Tapi sesaat kemudian dia kembali bersikap normal.

"Aku tahu dia brengsek, Bulan. Tapi kau harus tetap menolongnya. Kau ini kan seperti semacam super hero. Jadi kau tidak boleh pilih kasih dong kalau menolong orang. Lagi pula stok cowok keren itu tidak banyak. Mereka itu seperti makhluk langka yang terancam punah. Jadi anggap saja kau seperti sedang menyelamatkan emm.. komodo atau badak bercula satu mungkin. Mau ya?" Dina mencoba merayuku.

Aku hanya memandang Dina tanpa menjawab. Aku sudah terlanjur marah teringat wajah pucat Ratna saat aku menjenguknya di rumah sakit dulu. Biar saja cowok brengsek itu jadi tumbal. Biar tahu rasa dia.

"Nanti aku traktir mie ayam Pak Sholeh deh. Mau ya? Pleease?" rayunya lagi.

Aku langsung tergoda dengan tawarannya itu. Memang siapa yang tidak tergoda dengan kelezatan mie ayam Pak Sholeh yang terkenal itu. Aku jadi ngiler membayangkannya.

"Baiklah kalau kau memaksa. Tapi dua mangkok ya." kataku.

Aku mencoba bersikap sedingin mungkin padahal dalam hati aku girang bukan main. Lalu dengan sedikit diseret, Dina membawaku menuju ruang lab komputer.

"Ngapain kita ke sini? Katanya mau ketemu Rendy. Gimana sih?" Aku menatap Dina dengan perasaan bingung sesampainya di depan lab itu.

"Ini adalah markas Rendy dan gerombolannya. Mereka selalu sembunyi di sini saat istirahat." jelas Dina.

"Markas? Memangnya dia membuat perkumpulan apa? Oh. Aku tahu. Pasti gerombolan play boy yang suka bikin cewek patah hati kan?" ucapku sinis. Dina memutar bola matanya.

"Dia dan gerombolannya di lab komputer karena ini adalah satu-satunya ruangan yang dipasangi AC selain ruang kepsek dan ruang guru di sekolah ini. Makanya dia selalu bersembunyi di sini." Dina menerangkan.

Aku menatap heran Dina. Kok dia bisa tahu hal-hal seperti itu. Aku jadi curiga Dina adalah salah satu fans girl dari Rendy.

"Iya. Aku memang fans girlnya Rendy. Puas?" kata Dina seakan menjawab kecurigaan dalam hatiku. Dasar cenayang.

"Lalu kenapa sekolah tidak melarang Rendy?" tanyaku penasaran.

"Soalnya yang menyumbang semua komputer di lab ini adalah perusahaan milik ayahnya Rendy. Sudahlah. Kenapa kamu jadi kepo begini sih? Cepat masuk sana." Dina mendorongku ke depan pintu lab komputer.

Perlahan aku meraih kenop pintu ruang lab komputer lalu membukanya. Udara dingin segera menyambutku saat aku memasuki ruangan lab itu. Kulihat beberapa cowok sedang berdiri bergerombol mengelilingi seorang cowok yang sedang duduk di depan salah satu layar komputer. Mereka semua menatapku curiga saat aku berjalan mendekati mereka. Apa mereka pikir aku datang mau mencuri apa? Aku mendengus kesal. Ingin sekali aku mengamuk dan menghajar gerombolan cowok itu. Aku menarik nafas lalu menghembuskannya perlahan menenangkan diri.

"Sabar, Bulan. Sabar. Anggap saja sedang menyelamatkan badak bercula satu yang sudah langka." kataku menenangkan diri.

"Hey! Siapa yang mengijinkanmu masuk?! Hah!" teriak salah satu dari cowok itu lalu berjalan untuk menghadangku. Seorang cowok berbadan tinggi dengan wajah yang tidak ramah. Dia menatapku dengan pandangan mengancam.

"Aku mau ketemu Rendy. Bisa tolong panggilkan dia?" kataku sambil mengamati gerombolan cowok yang masih menatapku, mencoba mengira-ngira siapa di antara mereka yang bernama Rendy.

"Dia tidak mau bertemu denganmu! Cepat pergi!" jawab cowok tinggi di depanku dengan nada ketus. Aku menatapnya.

"Bagaimana kau tahu dia tidak mau ketemu denganku. Apakah kau yang bernama Rendy?" tanyaku.

Aku mengamati cowok di depanku. Tapi aku kira bukan, soalnya cowok tinggi di depanku ini punya wajah kurang menarik, malah terlihat galak. Tidak mungkin kan cewek-cewek suka pada cowok bertampang galak ini?

"Kau tidak mengenal Rendy? Bagaimana mungkin?" tanya cowok itu. Dia terlihat heran dan tidak percaya.

"Sudahlah. Aku ada perlu penting dengan Rendy. Kalau kau bukan Rendy cepat menyingkir!" teriakku.

Aku mulai kesal dan tidak sabar. Masa hanya mau ketemu anak kelas dua SMU saja seperti mau ketemu artis.

"Aku Rendy. Ada perlu apa kau menemuiku?"

Salah seorang cowok dari gerombolan cowok yang sedari tadi hanya berdiam diri mulai buka suara. Seorang cowok berwajah cukup tampan berkulit putih berambut hitam lurus berjalan mendekat. Dia lalu berhenti di depanku.

"Jadi kau badak bercula satu itu? Eh.. Maksudku Rendy?" tanyaku pada cowok itu.

"Iya. Mau apa kau ketemu aku? Kau mau minta aku jadi pacarmu? Atau mau minta tanda tanganku?" ucapnya dengan sikap sombong.

Aku mengamati cowok yang mengaku bernama Rendy di depanku ini. Badan tinggi, ceck. Wajah tampan, ceck. Sikap menyebalkan, ceck. Pintar, entahlah. Masak aku harus ngasih kuis supaya tahu kalau dia pintar? Lagian nilaiku saja pas-pasan, bagaimana bisa ngasih kuis? Nggak mungkin kali. Jadi meskipun kemungkinannya hanya 75 persen, aku memutuskan cowok ini positif dipastikan sebagai badak bercula satu.. Eh.. Maksudku Rendy.

"Aku hanya mau berkenalan denganmu saja. Soalnya kudengar dari temanku kau ini sangat popular. Namaku Bulan dari Kelas XIIB." ucapku.

Aku mengulurkan tanganku mengajak Rendy bersalaman. Tapi Rendy malah menatapku, tanpa terlihat berniat menyambut uluran tanganku. Aku jadi tidak bisa menahan kekesalanku yang sudah dari tadi aku tahan. Segera aku menghampiri Rendy lalu aku menarik bagian depan seragamnya lalu dengan sekuat tenaga aku mendorong tubuh cowok itu hingga menabrak papan white board yang terpasang di dinding bagian depan lab.

"Dengar ya, Badak Bercula Satu! Aku kesini hanya karena permintaan sahabatku! Kalau tidak, jangan harap aku sudi bersalaman dengan badak sepertimu!" teriakku pada cowok bernama Rendy itu.

Dengan paksa aku menggenggam telapak tangan kanan badak.. Eh! Rendy itu sekejap. Tidak ada yang aku rasakan atau aku lihat saat aku menggenggam telapak tangan Rendy. Aku segera melepaskan genggamanku pada tangan dan baju seragam cowok itu. Rendy terlihat berdiri terpaku sambil menatapku. Mungkin dia masih kaget dengan perbuatanku padanya tadi.

"Urusan kita sudah selesai. Aku pergi." Aku lalu berjalan menuju pintu lab.

"Hey! Berani sekali kau menyerang Rendy seperti itu! Aku hajar kau!" teriak cowok galak tadi.

Cowok tinggi bertampang galak tadi berjalan menghampiriku. Oh. Jadi mereka mau ngajak berkelahi? Baiklah. Aku segera menyiapkan diri untuk bertarung. Lumayan. Sudah lama aku tidak mendapat lawan sparing yang seimbang. Cowok galak itu terlihat bernafsu sekali untuk menyerangku. Begitu dia sampai di hadapanku, aku langsung menghantam perutnya dengan pukulan tangan kananku dengan sekuat tenaga.

"ARGHH!" teriak cowok itu sambil memegangi ulu hatinya yang kena pukulanku dengan telak.

"Kau! Aku akan membunuhmu!" teriaknya marah.

Cowok berbadan tinggi itu bersiap menerjangku yang juga sudah bersiap juga untuk bertarung dengannya. Tapi Rendy menahan cowok itu.

"Deny! Hentikan! Kenapa kau menyerangnya tanpa seijinku?" Rendy berteriak sambil mendelik kesal pada cowok berbadan tinggi itu yang hanya dijawab dengan dengusan keras dari cowok galak itu. Rendy menatapku.

"Apa benar kau murid sekolah ini?" tanya Rendy padaku.

"Tadi kan aku sudah memperkenalkan diri. Salahmu sendiri tidak mendengarkanku." jawabku berteriak kesal.

"Aku suka gadis kuat dan pemberani sepertimu. Oya. Siapa namamu tadi?" tanya Rendy sambil tersenyum. Rendy lalu mendekatiku.

"Aku tidak mau mengulangi ucapanku. Sudah. Aku pergi." Aku lalu keluar dari ruangan lab itu tanpa menghiraukan panggilan Rendy.

"Bulan! Bagaimana? Rendy bukan calon korban ritual itu kan?" Sesampainya di luar, Dina segera menyambutku dengan pertanyaannya.

"Aku rasa setan sesembahan penyihir itu alergi dengan cowok brengsek semacam badak bercula satu itu. Makanya penyihir itu tidak mau memilihnya jadi tumbal." jawabku sambil terus berjalan meninggalkan lab itu secepat mungkin.

"Hey! Cewek! Tunggu!" Suara Rendy terdengar mendekat. Aku segera mempercepat langkahku.

"Suara itu seperti suara Rendy deh." Dina menengok ke belakang.

"Wah! Itu memang Rendy. Dia berlari ke arah kita Bulan!" jerit Dina kegirangan.

"Woi! Cewek! Tunggu akuu!"

Suara Rendy benar-benar terdengar semakin dekat. Saat aku menoleh kulihat Rendy sudah menghampiri Dina yang memang sengaja menghadang cowok itu. Aku berlari secepatnya meninggalkan Dina dan badak bercula satu bernama Rendy itu.

Bersambung..