Chereads / Ritual Bulan Darah / Chapter 7 - 7. Bagas? Penyihir Pembunuh?

Chapter 7 - 7. Bagas? Penyihir Pembunuh?

***

Sejak malam saat aku menamparnya, Bagas tidak berangkat sekolah. Awalnya aku cuek saja dan menduga Bagas sedang berlibur dengan keluarganya mengingat malam itu dia pulang karena disuruh oleh ibunya. Dina juga bilang bahwa orang tua Bagas adalah pengusaha sukses, konglomerat yang sangat sibuk dan jarang di rumah. Mereka lebih sering bepergian ke luar kota atau ke luar negeri untuk urusan bisnis daripada di rumah. Jadi mungkin sekarang ini Bagas sedang menghabiskan waktu bersama keluarganya. Lagi pula aku dan Dina juga sibuk mencari calon korban ritual penyihir itu. Akan tetapi setelah dua minggu eh maksudku tiga minggu kalau libur semester dihitung, Bagas tidak terlihat, aku jadi mencemaskan Bagas. Entah bagaimana dengan ujian semester Bagas. Tapi bukan hanya masalah itu yang membuatku merasa cemas. Akhir-akhir ini aku selalu terbayang wajah Bagas dengan disertai perasaan yang tidak enak. Dan karena peristiwa akhir-akhir ini yang membuktikan kalau perasaanku selalu tepat, aku jadi makin makin mencemaskan pemuda itu.

"Dina, apakah kau tahu di mana alamat Bagas?" tanyaku pada Dina yang sedang sibuk memakan baksonya. Sejenak Dina menatapku lalu tersenyum.

"Kau kangen yaa sama, Bagas?" Dina menunjuk mukaku sambil tersenyum usil. Aku menghela nafas.

"Aku serius Dina, Aku aku mencemaskan Bagas." kataku sambil menatap Dina. Dina langsung terlihat serius.

"Apa kau memimpikan sesuatu tentang Bagas?" tanya Dina. Wajahnya terlihat khawatir.

"Tidak, tapi aku merasa sangat gelisah dan cemas. Mungkin Bagas sakit." jawabku.

Aku agak merasa bersalah mengingat aku sudah menampar Bagas sekuat tenaga malam itu. Apakah tamparanku itu telah melukainya dan membuatnya cedera? Aku jadi makin cemas.

"Tenanglah. Setelah kita selesai mengecek calon korban ritual itu. kita akan segera menemui Bagas." Dina lalu melanjutkan acara makan baksonya.

"Lagi pula aku rasa tinggal satu orang lagi yang harus kamu ajak bersalaman kan?" kata Dina menambahkan.

"Benarkah?" tanyaku.

Dina mengeluarkan lembar data siswa yang dia simpan di saku rok seragamnya lalu memberikannya padaku. Aku melihat nama-nama siswa yang tanggal lahirnya dilingkari sebagai tanda bahwa nama tersebut termasuk calon korban ritual dan semuanya sudah di coret kecuali yang paling bawah. Dan aku sangat kaget saat melihat tanggal lahir yang dilingkari dalam data tersebut ternyata adalah tanggal lahir milik Bagas. Telunjukku mengikuti jalur baris itu dari kolom tanggal lahir bertuliskan tanggal 19 Januari yang ada di tengah menuju kolom nama yang berisikan nama Bagaskara Pratama di kanan data siswa tersebut. Aku melakukannya berkali-kali untuk memastikannya

"Dina. Tanggal lahir yang terakhir itu ternyata tanggal lahir Bagas." kataku sambil terus menatap tanggal lahir yang dilingkari itu.

"Apa kau bilang?!" Dina menjerit kaget. Dina langsung berdiri lalu merebut lembar data siswa dari tanganku dan membacanya. Wajahnya terlihat kaget.

"Dan ini sudah tanggal 19 Januari." ucapku menambahkan saat aku melihat kalender yang tergantung di dinding kantin. Aku dapat melihatnya dengan jelas karena terdapat lingkaran dengan spidol warna merah yang melingkari tanggal hari ini di kalender itu.

"Kita harus ke rumahnya sekarang juga!" ucap Dina.

Dengan tergesa Dina menarikku ke konter kantin untuk membayar bakso yang baru kami makan setengahnya. Seorang gadis manis, putri penjaga kantin sekolah, yang sering membantu ibunya yang menerima uang dari Dina mengucapkan terima kasih sambil tersenyum. Aku balas tersenyum pada gadis itu.

"Kenapa malah senyum-senyum?! Ayo!" teriak Dina.

Dina menarik tanganku keluar dari kantin sekolah lalu mengantarku ke kelasku untuk mengambil tasku. Setelah Dina mengambil tasnya kami keluar dari sekolah lalu segera naik taksi ke rumah Bagas. Aku dan Dina saling menatap dengan perasaan bingung. Kami berdua berdiri di depan pintu gerbang bercat krem setinggi tiga meter dari sebuah bangunan yang hanya terlihat bangunan berwarna putih yang tampak di balik pagar tembok bercat putih yang tingginya sama dengan gerbangnya.

"Kau yakin kita tidak salah alamat, Dina?" Aku menatap Dina yang juga terlihat bingung.

"Ini sudah benar. Lihat. Jalan Kenari nomor 102. Memang di sini alamatnya."

Dina mencocokkan tulisan di lembar data siswa yang dibawanya dengan tulisan alamat yang tertera di sebuah plat kayu berwarna putih di samping gerbang tinggi itu.

"Baiklah kalau kau yakin." kataku.

Tanpa ragu aku menekan tombol yang terdapat di samping plat itu. Tidak terdengar suara apa pun. Tapi sesaat kemudian seorang pria berbadan tinggi besar berseragam satpam muncul dari balik pintu di samping gerbang besar itu.

"Ada yang bisa saya bantu, Dek?" sapanya ramah, berbanding terbalik dengan tampangnya yang agak sangar.

"Maaf Pak Satpam. Apa benar ini rumahnya Bagaskara Pratama?" tanya Dina. Sejenak Pak Satpam itu menatap kami dari atas ke bawah. Lalu dia tersenyum ramah.

"Oh. Kalian pasti teman sekolahnya Den Bagas, kan? Ayo masuk." Pak Satpam yang ramah itu lalu segera mempersilahkan kami masuk melalui pintu yang dilewatinya tadi.

Aku terbelalak melihat pemandangan di balik pintu itu. Sebuah rumah mewah dua lantai bergaya Eropa lengkap dengan pilar-pilar besarnya berdiri dengan kokoh dan anggun di depanku. Dina juga melongo keheranan melihatnya.

Setelah mengunci kembali pintu, Pak Satpam ramah itu lalu mengantarku dan Dina ke pintu depan rumah megah itu. Sesampai di pintu berwarna putih yang besar dan tampak kokoh dan mewah itu, Pak Satpam menekan tombol yang ada di samping pintu.

"Ada apa Pak Bimo?" Sebuah suara perempuan terdengar dari interkom di atas tombol tadi.

"Ada teman-teman sekolah Den Bagas. Mereka ingin bertemu dengannya." jawab Satpam yang ternyata bernama Pak Bimo itu.

"Benarkah?" Suara dari intercom itu terdengar antusias. Sesaat kemudian pintu besar di depan kami terbuka.

Seorang wanita berbadan tinggi dengan rambut disanggul dan berpakaian seperti seorang sekretaris terlihat tergesa menyambut kami.

Tanpa basa-basi wanita itu menggandeng tanganku dan Dina lalu menggiring kami memasuki ruangan foyer berlantai marmer warna putih dengan corak dekoratif klasik berwarna biru dan emas. Ada lukisan rangkaian bunga dengan frame berdesain klasik berwarna emas terpajang di dinding yang tepat berada di seberang pintu masuk yang menyambut kami. Di bawah lukisan itu terdapat meja consol marmer bergaya Eropa klasik berwarna putih dengan ukiran berwarna emas yang sangat indah, di atasnya terdapat dua vas bunga besar dengan bunga peony berwarna oranye dan sebuah jam antik di tengahnya. Dua buah kursi dengan warna dan model yang senada melengkapi meja konsol itu. Terdapat pintu besar dengan pilar besar di tepinya tanpa daun pintu mengapit dinding itu menuju ruang dalam. Atap tinggi berhiaskan gibson bercorak dekoratif klasik berwarna emas dan sebuah lampu kristal besar membuat keindahan ruangan tamu itu mengintimidasi setiap orang yang masuk ke rumah besar ini dengan kemewahan dan keindahan.

Saat aku menoleh ke sebelah kiri tampak sebuah ruangan luas dengan jendela-jendela besar menghadap halaman depan dengan tirai berwarna biru. Ruangan itu diisi dengan sebuah meja kerja mewah dan sebuah kursi besar berwarna putih di belakangnya dan satu set sofa bergaya klasik berwarna krem dengan aksen emas. Sebuah rak buku tinggi menempel dinding ruangan, selain itu di depan masing-masing jendela terdapat meja marmer berwarna putih yang indah untuk menaruh vas besar berisi bunga- bunga lily berwarna putih yang terlihat segar. Ada lampu kristal besar yang indah menggantung di pusat langit-langit yang berhiaskan gypsum berbentuk panel-panel kotak dengan hiasan dekoratif berwarna putih yang melengkapi keindahan ruang kerja yang luar biasa itu.

Wanita itu membawa kami berbelok ke ruang sebelah kanan yang ternyata adalah ruang tamu di mana terdapat satu set sofa beludru berwarna putih dengan aksen krem lembut yang mewah dengan bantal-bantal empuk tersusun di atasnya. Terdapat tiga jendela besar menghadap ke halaman depan dengan horden berwarna krem lembut dan vitrase putih yang menghiasinya.

"Silahkan duduk dulu." Wanita anggun dengan rambut disanggul rapi itu mempersilahkan kami dengan sopan.

Kami segera duduk di sofa panjang yang empuk dan lembut itu. Wanita itu duduk di sofa single di sebelah kananku. Aku menatap sekeliling ruang tamu itu. Ada lukisan besar karya pelukis ternama di dinding yang membatasi ruang tamu dan foyer. Di bawah lukisan itu terdapat perapian elektrik bergaya Eropa klasik dengan ukiran yang indah menghiasinya. Di dua sudut ruangan terdapat meja marmer berbentuk persegi yang diisi dengan vas besar berisi rangkaian bunga mawar mawar berwarna putih. Di dinding belakang kami terdapat rak besar berisi hiasan-hiasan dari kristal yang terlihat berkilau dan juga keramik-keramik mahal. Lalu di dinding yang berseberangan dengan sofa itu terdapat cermin bulat berbingkai putih dengan ukiran berwarna krem yang digantung tepat di atas meja konsol marmer berukir klasik berwarna putih.

"Kalian anak-anak yang manis. Siapa nama kalian?" Wanita itu bertanya dengan wajah penuh minat padaku dan Dina.

"Kenalkan, kami teman Bagas di sekolah. Saya Dina, teman sekelas Bagas." jawab Dina sambil menyalami wanita itu lalu melihat ke arahku.

"Dan ini Bulan, pacarnya Bagas." lanjutnya ngawur.

Aku mendelik kesal pada Dina yang seenaknya saja mengenalkanku sebagai pacarnya Bagas tanpa bilang dulu padaku. Aku mengulurkan tanganku pada wanita itu.

"Maaf Tante. Tapi saya.."

"Pacar yaa?"

Belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, wanita itu memotongnya. Wanita itu menatapku. Wanita itu tampak berpikir beberapa saat sambil terus memandangku. Lalu tiba-tiba wanita itu tampak terhenyak kaget. Dia bangkit dari duduknya lalu duduk di sampingku dengan tubuh menghadap ke arahku.

"Shelina.." ucap wanita itu.

Wanita itu meraba wajahku dengan wajah yang terlihat takjub. Aku jadi tersipu dibuatnya. Apakah aku semanis itu? Pikirku narsis.

"Eeem.. Tante bernama Shelina?" tanyaku bingung.

"Eh? Apa?" Sejenak wanita itu gelagapan dan tampak bingung melihatku.

"Bukan. Aku Sekar, Tantenya Bagas." jawab wanita yang ternyata tantenya Bagas itu.

"Nama saya Bulan, Tante Sekar." ucapku memperkenalkan diri.

"Bulan? Wah. Namamu sungguh tidak biasa ya. Cantik. Seperti orangnya." Tante Sekar membelai pipiku dengan lembut. Aku jadi malu sekali diperlakukan seperti itu.

"Oya Tante, boleh kami bertemu Bagas?" kataku mengalihkan perhatian Tante itu.

"Oh iya. Tante hampir lupa. Ayo aku antar ke kamarnya."

Tante Sekar segera bangkit lalu melangkah kembali ke ruang yang pertama kali kami masuki tadi dan masuk ke pintu sebelah kanan. Tapi ternyata dua pintu dari ruangan depan tadi menuju ke ruangan ini. Saat memasuki pintu itu kami tiba di ruangan yang luas. Di seberang ruangan tampak pintu besar berwarna putih yang diapit dua jendela besar menuju halaman belakang. Ada dua tangga besar menuju lantai dua. Yang satu adalah tangga sebelah kanan dari pintu sebelah kanan yang barusan aku masuki, dan satunya tangga di sebelah kiri dari pintu sebelah kiri tadi. Di sebelah kanan ruang luas itu, terdapat satu set sofa berwarna putih dengan ornament coklat dan satu set meja makan mewah dengan delapan kursi. Terdapat tiga jendela besar menghadap ke halaman belakang. Di seberang meja makan itu terdapat konter dan dapur bersih dengan rak gantung berwarna krem. Lalu ada sebuah pintu di sana yang aku duga menuju dapur utama.

Tante Sekar mengajak kami menaiki tangga besar di sebelah kanan menuju lantai dua. Aku dan Dina hanya mengikutinya sambil sesekali berdecak kagum dengan kemewahan rumah Bagas itu. Kami tiba di lantai dua dengan disambut pemandangan ruangan mewah memanjang hingga dinding berjendela besar. Ruangan ini adalah dua ruangan yang jadi satu tanpa sekat, hanya dipisahkan oleh fungsinya saja. Ruangan pertama adalah ruang yang pertama di masuki setelah naik kedua tangga yang keduanya memang menuju ke ruang ini. Ruangan ini berisi dua buah rak kayu putih penuh dengan buku-buku tebal dan tipis menempel di dinding mengapit ruang di dekat dua tangga yang menghubungkan lantai ini dengan lantai bawah. Sebuah meja marmer bulat diletakkan di tengah ruangan dengan dua kursi melengkapinya. Mungkin diperuntukkan bagi yang ingin membaca buku-buku yang ada di rak-rak itu. Aku rasa ini adalah ruang perpustakaan di rumah ini. Setelah ruang perpustakaan itu ada dua lorong masing-masing menuju kiri dan kanan. Lalu di seberang ruang perpustakaan, ada ruang kedua yaitu ruang santai yang didisain dengan gaya modern dengan satu set sofa putih di pinggir ruangan dekat dengan jendela besar dengan tirai krem. Ada sebuah flat tv 53 inci menempel di dinding berbingkai keramik bercorak abstrak warna hitam yang membentuk sebuah frame besar, di bawah televisi itu diletakkan sebuah rak rendah berwarna putih.

Tante Sekar melangkah ke lorong sebelah kanan dan berhenti di depan pintu pertama yang dia temukan, lalu mengetuknya.

"Bagas. Ada temanmu yang ingin bertemu." Tante Sekar memanggil dengan suara lembutnya. Tidak ada jawaban atau pun suara apa pun dari dalam.

"Bagas. Ayo buka pintunya. Temanmu datang menjengukmu lhoo." panggil Tante Sekar dengan sedikit mengeraskan suaranya. Tetap tidak ada jawaban.

Aku dan Dina saling memandang. Dina mendengus. Agaknya dia sudah tidak sabar menunggu jawaban Bagas.

"Bagas! Bulan datang nih! Kalau kau tidak mau keluar juga, aku akan langsung mengajaknya pulang sekarang juga!" teriak Dina.

Tante Sekar melompat karena terkejut. Sedangkan aku sendiri merasa sangat kaget sekaligus malu dengan tindakan Dina yang sangat tidak sopan itu. Berteriak seperti Tarsan padahal ini kan di dalam di rumah orang, kaya lagi. Hampir saja aku menjitak kepala Dina kalau saja pintu kamar itu tidak terbuka.

Bagas berdiri di ambang pintu sambil memandang Tante Sekar, lalu Dina dan terakhir aku yang memang berdiri di belakang Dina.

"Bulan?" Bagas memanggil namaku sambil menatapku lekat-lekat.

Secepat kilat Bagas menghampiriku dan tanpa peduli menyenggol bahu Dina yang berada di depanku dengan cukup kuat hingga membuatnya hampir terjatuh, lalu berhenti tepat di hadapanku. Perlahan Bagas mengulurkan kedua tangannya dan menangkup wajahku dengan kedua telapak tangannya yang besar. Sebenarnya aku ingin langsung menepis tangan Bagas, tapi saat aku melihat wajah putih Bagas yang terlihat lusuh dan pucat serta rambutnya yang kusut berantakan itu, aku mengurungkan niatku. Aku membiarkan Bagas menyentuh wajahku yang langsung membuat jantungku berdebar-debar.

"Ini benar kau?" tanya Bagas sambil menatapku dengan pandangan tidak percaya.

"Iya. Ini aku, Bulan. Kenapa kau tidak ke sekolah? Apa kau sakit?" tanyaku.

Tapi bukan jawaban yang aku dapat dari mulut Bagas. Cowok tinggi di depanku ini malah menarik tubuhku ke arahnya dan memelukku dengan sangat erat. Bagas menyurukkan wajahnya di bahuku.

"Bagas!" teriakku kaget karena tiba-tiba dipeluk seperti itu.

Aku kaget sekaligus merasa malu. Wajahku terasa panas seketika dan jantungku berdegup semakin kencang. Aku baru saja akan mendorong Bagas menjauh saat aku merasakan tubuh tinggi yang memelukku itu bergetar. Sesaat kemudian aku merasakan bahuku basah. Aku terkejut. Apakah Bagas menangis?

"Bagas? Ada apa?" tanyaku gugup.

Aku panik karena baru kali ini aku menemui cowok yang menangis. Tidak ada jawaban yang terdengar. Hanya pelukan Bagas yang terasa semakin erat melingkupi tubuhku sebagai jawaban dari pertanyaanku. Namun tiba-tiba Bagas melepaskan pelukannya dan mundur menjauhiku. Dia lalu membalikkan tubuhnya.

"Pergilah Bulan. Jauhi aku. Aku mohon pergilah." kata Bagas dengan suara bergetar.

Aku terkejut mendengar ucapan Bagas itu. Barusan kan dia memelukku, tapi sedetik kemudian dia mengusirku. Apakah aku punya salah padanya? Oh iya. Aku sampai lupa. Aku kan sudah menamparnya beberapa waktu yang lalu. Dia pasti sakit hati karena aku pernah menamparnya. Aku merasa sangat bersalah telah menyakiti hati Bagas separah itu. Entah kenapa air mataku seakan langsung berlomba ingin keluar dari mataku.

"Aku tahu kau pasti tidak mau melihatku. Aku hanya datang untuk minta maaf karena telah memukulmu waktu itu. Maafkan aku. Dan selamat tinggal." ucapku penuh sesal.

Aku menahan air mataku dengan sekuat tenaga. Aku menunduk untuk menyembunyikan wajahku. Perlahan aku berbalik dan berjalan menuju tangga.

"Tunggu sebentar! Tidak ada yang boleh meninggalkan tempat ini sebelum aku tahu apa yang terjadi hingga tiba-tiba kalian berdua menangis seperti bocah cengeng seperti ini!"

Suara lantang Tante Sekar membuatku berhenti melangkah. Lalu sebuah tarikan kuat di lenganku membuatku berbalik dan tiba-tiba saja aku sudah ada dalam pelukan Tante Sekar bersama.. Bagas? Entah bagaimana Tante sudah memeluk kami berdua. Dia menatap kami berdua bergantian dengan wajah yang terlihat bingung. Tiba-tiba saja Bagas melepaskan dirinya dari pelukan Tante Sekar lalu berjalan cepat masuk ke kamarnya. Aku mengejar Bagas memasuki kamarnya sebelum Bagas menutup pintu.

Bagas berdiri dalam diam. Aku melihat ke arah wajah Bagas. Wajahnya yang biasanya terlihat tampan itu kini tampak lesu dan pucat dan juga basah. Ternyata dia benar-benar menangis. Bagas menundukkan wajahnya dengan ekspresi sedih. Mungkin dia benar-benar tidak mau melihat wajahku. Hatiku makin terasa sedih dan sakit.

"Maafkan aku karena sudah memukulmu waktu itu." kataku lirih. Air mataku kembali mengalir tanpa bisa aku bendung.

"Maaf.." ucapku yang lebih mirip seperti bisiskan.

Isakanku tidak dapat aku tahan lagi. Aku menutup wajahku. Tenggorokanku tercekat. Rasanya sangat sakit, jauh lebih sakit dari saat aku terkena pukulan saat sparing karate. Seakan ada benda besar menyumpal tenggorokan dan rongga dadaku.

Bagas tidak berkata apa pun saat aku meminta maaf padanya. Tapi aku tahu Bagas sudah bisa memaafkannku saat tiba-tiba dia memelukku dengan erat. Kami berpelukan beberapa lama saat tiba-tiba tubuh Bagas mendadak seperti kehilangan kekuatannya dan merosot jatuh dari pelukanku.

"Bagas! Kau kenapa? Tantee!" teriakku panik.

Aku kaget sekali. Dengan sekuat tenaga aku memeluk tubuh besar Bagas agar tidak meluncur jatuh ke lantai marmer yang keras. Untung saja Tante Sekar ternyata mengikutiku ke dalam kamar Bagas. Dengan sigap dia segera membantuku menahan tubuh Bagas sebelum jatuh ke lantai dan mengangkatnya ke tempat tidurnya.

Aku menatap wajah Bagas yang sedang tertidur. Wajah putih itu terlihat pucat dan lelah. Ada lingkaran hitam terlihat di bawah matanya. Bagas benar-benar terlihat menyedihkan. Aku tidak tahu apa yang telah dialami Bagas tapi sepertinya dia terlihat sangat tertekan. Bagas yang selalu terlihat ceria dengan wajah yang sering tersenyum terlihat begitu sedih. Tanpa sadar aku membelai rambut Bagas. Bagas menggeliat pelan menyamankan posisi tidurnya tanpa membuka matanya. Cepat-cepat aku menarik tanganku dari kepala Bagas.

Aku bangkit dan keluar dari kamar Bagas yang bernuansa krem dan putih itu. Aku menutup pintu kamar Bagas dengan pelan. Tante Sekar dan Dina yang duduk di ruang santai di samping kamar Bagas menatapku. Tante Sekar menghela nafas lalu menyuruhku duduk di sofa single di depannya .

"Dia sudah tidur." kataku menerangkan keadaan Bagas.

"Dia pasti kelelahan. Kalian tahu? Beberapa hari ini Bagas menolak untuk tidur kalau malam. Dia bilang dia selalu mimpi buruk hingga tidak mau tidur. Dia hanya tidur saat hari sudah pagi. Itu pun dia masih saja mimpi buruk. Tante bahkan memaksanya minum obat tidur yang langsung ditolaknya. Dia benar-benar tidak mau tidur." kata Tante Sekar lalu menghela nafas. Wanita anggun itu terlihat sedih.

Dari penjelasan Tante Sekar itu aku menyimpulkan bahwa Bagas sakit bukan karena tamparanku beberapa waktu lalu yang terlalu keras. Terus terang, hal itu membuatku sedikit lega. Tapi mengingat keadaan Bagas yang menyedihkan benar-benar membuatku sedih sekaligus penasaran. Apa yang terjadi pada Bagas sebenarnya? Apakah mungkin dia mengalami mimpi buruk sepertiku? Kalau itu terjadi, aku benar-benar merasa kasihan padanya. Aku jadi ingat saat aku pertama kali mengalami mimpi buruk. Saat itu aku juga sangat takut tidur. Berhari-hari aku mencoba menahan kantukku, dan melakukan apa pun agar terus terjaga. Bahkan aku latihan karate sampai tengah malam hanya agar aku tidak mengantuk. Sampai akhirnya aku jatuh sakit karena kelelahan dan kurang tidur, sama seperti Bagas sekarang ini.

"Oya. Kalian berdua pasti haus. Tante ambilkan minum dulu ya? Kalian tunggu sebentar." Tante Sekar bangkit dari duduknya lalu berjalan menuju tangga lalu turun ke lantai bawah. Suara langkah kakinya terdengar semakin menjauh dam semakin pelan. Begitu suara langkah kaki Tante Sekar sudah tidak terdengar lagi, Dina segera pindah duduk di sampingku.

"Bagaimana? Apakah Bagas adalah calon korban penyihir itu?" tanya Dina cemas.

"Aku tidak tahu. Soalnya aku belum memegang tangannya." jawabku yang langsung membuat Dina mendelik kesal.

"Kamu ini! Terus kamu tadi berduaan di kamar Bagas ngapain saja? Hah?!" Dina langsung berdiri dari duduknya saking kesalnya. Dia langsung menarik tanganku hingga aku ikut berdiri.

"Ayo. Sekarang kau pegang tangannya! Cepat!" bentak Dina sambil mendorongku ke dalam kamar Bagas.

Perlahan aku mendekati Bagas yang masih terbaring tidur di ranjangnya. Aku segera meraih tangan kanannya.

Zrrrt!! Tanganku merasa bagaikan terkena sengatan listrik saat menggenggam telapak tangan kanan Bagas hingga aku terlonjak mundur. Aku kaget sekali.

"Apa itu tadi?" Aku melihat tanganku yang masih gemetar lalu menatap Bagas yang masih terlelap dalam tidurnya.

"Kau kenapa?" tanya Dina.

Dina mendekatiku. Tapi aku memberi tanda agar Dina tidak mendekatiku. Aku kembali mendekati Bagas yang masih saja tidur. Kuraih telapak tangan kanan Bagas dan menggenggamnya.

ZZZZRRRTT!!! Kembali kurasakan sengatan yang sangat menyakitkan itu di tanganku tapi aku mencoba bertahan.

ZIIING! Sebuah kilasan bayangan terlintas. Sengatan rasa sakit itu terus semakin lama semakin kuat melandaku hingga perlahan menjalar ke kepala dan tubuhku. Sebuah penglihatan yang samar terlintas. Bayangan siluet sesosok laki-laki.

"Aargh!" Aku menjerit. Kepalaku terasa semakin sakit hingga aku tidak bisa menahannya lagi. Selanjutnya aku mendengar suara Dina memanggil namaku sebelum semua menjadi gelap.

Saat aku membuka mata, aku mendapati diriku terbaring di tempat tidur dalam sebuah kamar asing. Aku lalu duduk.

"Ini di mana sih?" Aku melihat sekitar mencoba mengenali kamar itu. Lalu tiba-tiba pintu kamar terbuka dan Tante Sekar masuk bersama Dina dan.. Bagas?

"Ternyata kau sudah siuman." Tante Sekar meletakkan nampan berisi segelas teh dan semangkuk sup di meja kecil di samping ranjang tempatku duduk. Tanpa aku duga Bagas segera menghampiriku lalu memelukku dengan erat.

"Syukurlah kau tidak apa-apa." bisik Bagas.

"Aku benar-benar mencemaskanmu." tambahnya.

ZIINNNNG! Tiba-tiba telingaku berdenging dan kepalaku sakit sekali. Lalu sekilas bayangan-bayangan mulai bermunculan dalam kepalaku. Bayangan wajah Lisa muncul. Lisa tampak terkapar tidak berdaya di tanah sambil menangis ketakutan.

"Jangaan.. jangan sakiti aku.." gadis itu tampak memohon dengan berurai air mata.

Dan entah bagaimana tanganku sudah menggenggam belati berwarna perak. Tunggu! Itu bukan tanganku! Tanganku tidak sebesar itu!

"Jangaaan!" jerit Lisa ketika tanganku yang memegang belati teracung ke atas.

Aku berusaha menghentikan tanganku yang besar itu tapi tidak bisa. Lalu tangan itu menusukkan belati perak ke perut Lisa.

"TIDAAK!" jeritku saat melihat darah mengalir keluar dari luka gadis itu.

Rasa sakit di kepalaku semakin menjadi saat bayangan Ririn muncul. Tubuh gadis itu meronta saat tangan kiriku menahan dadanya agar tetap berbaring di tanah.

"Kenapa kau lakukan ini padaku?! Apa salahku?!" jerit gadis itu sambil terus mencoba melawan. Mata gadis itu melotot kaget saat tangan kananku tiba-tiba sudah memegang belati perak.

"TIDAAK!" lagi-lagi aku hanya bisa menjerit.

Aku tidak bisa mencegah tangan besarku menusuk dada Ririn. Darah menyembur dari luka besar yang menganga hingga membasahi tangan dan belati perak di tanganku.

"Kenapa.." Suara Ririn terdengar lirih. Dia masih hidup. Aku menatap Ririn yang terlihat kesakitan. Nafasnya tersengal.

"Ba.. gas?"

Aku kaget sekali saat Ririn memanggil nama Bagas.

Perlahan tangan Ririn terkulai. Matanya terlihat meredup dan kehilangan cahayanya. Setelah itu Ririn terdiam. Gadis itu sudah meninggal dengan matanya yang masih menatapku seakan bertanya. Sebuah dugaan mengerikan terlintas di kepalaku. Apakah benar Bagas adalah penyihir pembunuh itu?

"AAAARRGH!!" Aku menjerit sekuat tenaga sambil meremas rambutku. Rasa sakit di kepalaku benar-benar tidak dapat aku tahan lagi. Selanjutnya pandanganku menjadi gelap.

***

Lagi-lagi aku pingsan dan kali ini di rumah Bagas, bahkan sampai dua kali. Dina bilang aku aku menjerit jerit histeris saat Bagas memelukku lalu pingsan. Semua orang di rumah itu jadi panik sebab jarang sekali terjadi sesuatu yang menghebohkan seperti orang pingsan di rumah besar ini. Mereka tidak tahu saja kalau hari ini saja sudah ada dua orang yang pingsan di rumah ini.

"Sebaiknya kalian menginap di sini. Soalnya hari sudah sangat larut. Kalian sebaiknya segera memberi tahu orang tua kalian kalau kalian tidak pulang malam ini." saran Tante Sekar.

"Baiklah Tante. Maaf merepotkan Tante dan Bagas." jawabku.

Dina menatapku dengan tatapan bertanya tapi aku hanya tersenyum.

"Iya Dina. Kita akan akan menginap di sini. Lagi pula ini kan malam Minggu. Kau keberatan?" Aku menatap wajah sahabatku yang terlihat bingung itu. Aku mengerti sekarang.

"Kau ada janji dengan Ryan, yaa?" tanyaku.

Wajah Dina langsung merah. Tebakanku tepat rupanya. Aku jadi bingung. Dina pasti ingin segera menemui pacarnya itu. Tapi aku sangat memerlukan Dina di sini untuk menjaga Bagas. Meskipun aku belum yakin seratus persen kalau Bagas adalah penyihir pembunuh itu, tapi aku memilih menjaga Bagas agar tidak keluar untuk membunuh lagi.

"Aku dengar dari dari Tante Sekar, koki rumah sedang menyiapkan jamuan makan malam istimewa untuk kalian. Soalnya di rumah ini jarang ada tamu yang datang, apalagi menginap." Tiba-tiba Bagas bersuara.

"Benarkah?" Dina terlihat sangat tertarik.

"Mereka menyiapkan apa?" tanya Dina antusias.

"Aku dengar dari Tante tadi mereka menyiapkan steak." kata Bagas lagi.

Bagas tersenyum padaku. Oh. Aku arti senyum itu. Bagas berniat untuk membuat Dina tetap tinggal dan menginap di rumahnya ini. Yah. Dengan iming-iming makanan kesukaan Dina tentunya.

"Baiklah aku akan menginap di sini untuk menemani Bulan. Aku tidak mau kau berbuat tidak-tidak pada sahabatku ini." kata Dina berusaha kalem. Padahal wajah senangnya kentara sekali.

"Kalau begitu aku akan memeriksa apakah masakannya sudah matang apa belum. Kalian tunggu sebentar ya?" Bagas lalu beranjak keluar dari kamar.

Aku yakin Bagas akan mengganti apa pun menu makan malam yang sudah disiapkan koki rumahnya kalau menunya bukan steak demi agar aku dan Dina menginap di rumahnya ini. Aku hanya tersenyum. Dina mengikutinya sampai pintu. Setelah beberapa saat Dina lalu kembali dan duduk di tepi ranjang di sampingku.

"Apakah Bagas adalah calon korban selanjutnya?" tanya Dina tanpa basa-basi.

"Iya." Aku berbohong.

"Makanya kita di sini untuk menjaganya." lanjutku.

Mana mungkin juga aku bilang pada Dina kalau Bagas adalah pembunuh itu. Dina pasti akan ketakutan dan memilih menjauhi Bagas secepatnya. Sebenarnya aku merasa sangat bersalah pada sahabatku ini. Tapi mau bagaimana lagi. Aku tidak mungkin menjaga Bagas sendirian di sini. Aku memerlukan bantuan dan Dina adalah satu-satunya orang yang aku percaya saat ini.

Setelah makan malam dengan menu steak kesukaan Dina, kami bertiga duduk di ruang santai di lantai dua di sebalah kamar Bagas.

"Kita nonton film yuk. Aku punya film-film baru. Dina, kau suka Avenger kan? Kita nonton yuk." Bagas membuka lemari rak rendah di bawah televisi. Dia memilih-milih dvd film.

"Sebenarnya hari ini aku berencana nonton film itu bareng Ryan." kata Dina sambil cemberut. Aku tahu Dina pasti lagi galau gara-gara tidak jadi nonton bareng pacarnya itu.

"Aku punya kaos Captain America yang ditandatangani langsung oleh Chris Evans. Kau boleh memilikinya kalau kau mau."

Ucapan Bagas itu membuat Dina terlonjak kaget dan langsung berdiri dari duduknya.

"Benarkah kau mau memberikannya padaku?" tanya Dina tidak percaya.

"Tentu saja. Kapan aku pernah bohong? Tunggu sebentar. Aku ambilkan dulu."

Seusai berkata begitu Bagas segera bangkit dan berjalan memasuki kamarnya. Sesaat kemudian dia sudah kembali dengan membawa sebuah kotak kado berwarna biru dan merah. Bagas menyerahkan kotak itu pada Dina yang menerimanya dan dengan antusias membukanya. Dina mengangkat kaos bergambar Captain America dengan kedua tangannya. Dina tampak takjub mendapati tanda tangan Chris Evans, pemeran Sang Captain pujaannya itu tertulis jelas di permukaan kaos itu.

"Ini benar-benar tanda tangan Chris Evans." Dina membelai tanda tangan itu dengan wajah tidak percaya.

"Kau nge-fans sama Captain America?" tanyaku heran. Aku baru tahu kalau Dina suka dengan hal-hal semacam artis dan sebagainya.

"Bukan Captain America-nya, tapi Chris Evans-nya yang aku suka. Dia itu cowok yang paling keren di seantero Hollywood." ucap Dina sambil memeluk kaos bergambar Captain America itu dengan erat.

Aku hanya geleng kepala melihatnya. Aku mengamati kotak kado itu. Aku menatap Bagas yang tersenyum geli melihat Dina.

"Bukankah itu kado ulang tahunmu? Apa tidak apa-apa kau memberikannya pada Dina?", tanyaku pada Bagas. Dina tampak kaget mendengarnya.

"Ah. Tidak apa-apa. Lagi pula aku lebih suka Ironman daripada Captain America. Aku bahkan ikut menandatangani petisi agar tokoh Ironman dihidupkan lagi di Avenger." jawab Bagas enteng.

"Bukan begitu Bagas. Itu hadiah dari orang tuamu bukan? Kalau mereka bertanya bagaimana?" Dina mengembalikan kaos itu ke dalam kotak dan menutupnya.

"Itu hadiah dari Bibiku yang tinggal dan bekerja di LA. Saat kubilang aku lebih suka Ironman daripada Captain America, Bibiku bilang mau mencarikanku kaos Ironman yang sudah ditanda tangani Robert Donwney, Jr.. Lagipula kaos itu sudah diberikan padaku. Jadi terserah aku dong mau aku kasih siapa." jawab Bagas. Bagas lalu menatap Dina yang terlihat bingung.

"Kaos itu sudah aku berikan padamu, jadi sekarang kaos itu jadi milikmu Dina." kata Bagas sambil tersenyum.

Dina menatap Bagas ragu selama beberapa saat, tapi kemudian tersenyum.

"Terima kasih ya. Aku akan merawatnya baik-baik" janjinya.

***

Jam di dinding sudah menujukkan pukul dua lewat dua puluh menit. Dengan sekuat tenaga aku menahan rasa kantukku. Sesekali aku menoleh ke arah pintu kamar Bagas yang tertutup. Aku memutar leherku hingga terdengar bunyi gemerutuk dari tulang-tulang di leher dan pundakku. Aku lelah sekali dan juga ngantuk. Aku menguap. Aku memencet-mencet tombol remot TV, mencari acara yang bagus. Akhirnya aku memilih saluran berita dan mulai mencoba berkonsentrasi melihat berita. Aku kembali menguap. Aku menyandarkan punggungku ke sandaran sofa. Nyaman sekali rasanya saat punggung dan kepalaku menyentuh sandaran sofa yang sangat empuk itu. Dan entah sejak kapan aku jatuh tertidur.

"Hah?!" Aku terbangun saat tubuhku merosot ambruk ke sofa.

Aku segera melihat ke arah pintu kamar pintu kamar Bagas yang terbuka. Aku kaget dan langsung berdiri dari dudukku lalu berlari memasuki kamar Bagas. Kosong. Bagas tidak ada di ranjangnya. Aku melihat sebuah pintu di sudut, itu pasti pintu kamar mandi. Aku mengetuk pintu itu.

"Bagas. Apa kau ada di dalam?" tanyaku.

Tidak ada jawaban dari dalam kamar mandi. Aku mendorong pintu yang ternyata tidak terkunci. Kamar mandi itu kosong. Aku segera berlari keluar dari kamar dan langsung membangunkan Dina dengan cara mengguncangkan tubuhnya hingga akhirnya dia membuka mata.

"Ada apa?" tanya Dina dengan wajah masih mengantuk.

"Bagas tidak ada di kamarnya. Kita harus mencarinya." jawabku. Aku langsung berlari menuju tangga dan menuruninya dengan cepat.

"Apa kau tahu di mana kamar Tante Sekar?" tanyaku pada Dina yang berjalan cepat mengkutiku.

"Iya. Dia bilang kamarnya dekat ruang makan." jawabnya sambil menguap.

" Kalau begitu tolong kau bangunkan Tante Sekar. Aku akan ke depan, ke tempat Pak Bimo." kataku lalu berbelok ke pintu depan.

Aku segera membuka pintu lalu keluar dan berlari menuju kantor Satpam di sebelah gerbang. Kulihat Pak Bimo terlihat berdiri di depan kantornya. Dia tampak bingung. Aku segera menghampirinya.

"Pak Bimo. Apakah Bagas tadi keluar?" tanyaku.

"Iya Mbak. Tapi sikapnya kelihatan sangat aneh. Dia hanya bilang untuk dibukakan pintu. Tapi pas saya tanya dia mau ke mana, Den Bagas tidak berkata apa pun." ujarnya.

"Apakah dia sudah lama perginya?" tanyaku cemas.

"Belum Mbak. Mungkin baru setengah jam yang lalu."

Aku jadi sangat cemas mendengar Pak Bimo itu. Bagas sudah pergi selama itu, dan aku tidak menyadarinya. Aku benar-benar ceroboh. Harusnya aku tidak tertidur tadi. Aku merutuki diriku sendiri.

"Bulan. Bagas meneleponmu. Kau meninggalkan ponselmu tadi." teriak Dina.

Dina menghampiriku bersama dengan Tante Sekar. Dina menyerahkan ponselku yang dipegangnya.

"Halo? Bagas? Kau kah itu?" tanyaku cemas.

"Bulan! Tolong.. Tolong aku.. Aku telah membunuh orang.."

Aku terlonjak kaget mendengar ucapan Bagas itu. Ketakutanku jadi kenyataan. Keringat dingin langsung mengalir di tubuhku.

"Ba-Baik! Kau tenang yaa? Kau di mana sekarang?" tanyaku. Aku berusaha menenangkan suaraku agar Bagas tidak tambah cemas.

" Aku tidak tahu.. Aku ada di tepi sawah.. Ada sungai kecil.. Ada banyak bunga terompet.. Aku tidak tahu.." Bagas terdengar kebingungan.

"Oke. Aku tahu tempat itu. Kau jangan ke mana-mana. Oke? Aku akan segera menjemputmu. Ingat jangan pergi ke mana-mana." Aku lalu memutuskan sambungan teleponku.

"Sebenarnya apa yang terjadi? Di mana Bagas? Apakah dia kabur lagi?" tanya Tante Sekar cemas.

"Tante. Bagas ada di dekat sekolah. Kita harus segera menjemputnya." jawabku cepat.

Tante Sekar segera menyuruh Pak Bimo untuk membangunkan Pak Heri, sopir pribadi Bagas dan mengeluarkan mobil blazer hitamnya untuk menjemput Bagas. Tante Sekar, aku dan Dina ikut menjemput Bagas. Kami semua tegang dan tidak banyak bicara selama perjalanan. Dalam lima belas menit kami tiba di dekat sekolah. Aku minta Pak Heri untuk berbelok ke sebuah gang kecil di samping kedai mie ayam di seberang jalan depan sekolah. Setelah beberapa puluh meter mobil tiba di sebuah kebun kosong yang biasa digunakan anak-anak kampung untuk bermain bola, terlihat dari adanya dua buah gawang kayu sederhana di kedua sisi kebun kosong itu. Di tepi kebun kosong itu terdapat semak-semak berbunga berbentuk terompet berwarna ungu yang tumbuh di sepanjang sungai kecil yang menjadi pembatas kebun kosong ini dengan sawah di seberang sungai kecil itu..

"Berhenti di sini saja Pak." ucapku.

Pak Heri lalu menghentikan mobilnya di kebun kosong itu. Aku segera keluar dari mobil dan berlari menuju sungai. Dina segera mengikutiku. Aku mencari-cari di sekitar sungai kecil itu dibantu lampu jauh mobil yang di arahkan ke sungai kecil itu, dan akhirnya menemukan Bagas sedang berdiri memunggungiku di tengah sungai kecil itu. Pemuda itu tampak sedang membasuh kedua tangannya dengan air sungai. Aku segera menghampirinya.

"Bagas." Aku memanggilnya.

Bagas berbalik. Dia segera berlari ke arahku. Air berkecipak riuh karena saat langkah kakinya melewati air sungai yang hanya setinggi lututku.

"Bulan!" Bagas langsung memelukku.

"Tolong aku, Bulan.. Aku tidak mau membunuh lagi.. Tolong aku.." ucap Bagas sambil menangis.

Bagas sambil terus memelukku dengan erat. Tubuhnya gemetar.

"Bagas.. Tenang. Kau sudah aman. Tenanglah." ucapku.

Aku membelai punggung Bagas untuk menenangkannya, meskipun sebenarnya aku ketakutan setengah mati. Bayangkan saja jika kau dipeluk oleh seseorang yang berkata bahwa dia baru saja membunuh orang. Jangankan di peluk. Didekati saja kau pasti akan lari secepat kau bisa.

Tiba-tiba saja Bagas melepaskan pelukannya. Dia mundur menjauhiku.

"Pergilah Bulan! Jauhi aku! Aku tidak mau kau mati karena diriku! Cepat Pergiii!" Bagas berteriak. Air mata tampak membasahi wajahnya yang terlihat ketakutan.

"Aku takut, Bulan. Aku takut akan menyakitimu dan yang lainnya lagi. Aku takut!" Bagas menangis. Tubuhnya sampai bergetar.

" Bagas tenanglah. Kami kesini untuk menjemputmu. Untuk menyelamatkanmu. Tenang yaa?" ucapku.

Aku mendekati Bagas. Bagas tampak ragu dan ketakutan melihatku. Aku segera menghampirinya dan memeluk Bagas yang gemetar ketakutan itu dengan erat.

"Kita akan pulang dan semuanya akan baik-baik saja."

Aku menenangkan Bagas. Aku membelai punggung pemuda yang masih saja terus gemetaran itu dengan lembut.

"Ssshh.. Tenanglah. Kita pulang sekarang yaa." bujukku.

Aku merangkul Bagas lalu mengajaknya menuju mobil. Setelah itu kami semua pulang kembali ke rumah Bagas. Sepanjang perjalanan Bagas terus memelukku, sementara semua orang lain di mobil itu diam, seakan tenggelam dalam pikiran masing-masing. Sesampainya di rumah kami menyuruh Bagas agar tidur. Bagas menurut tapi meminta agar aku menemaninya hingga dia terlelap. Setelah yakin Bagas sudah tidur dengan pulas aku segera meninggalkannya untuk menemui Tante Sekar yang menunggu di ruang santai di samping kamar Bagas.

"Tante Sekar tadi bertanya apakah Bagas kabur lagi. Apakah ini bukan pertama kalinya Bagas pergi malam-malam tanpa pamit seperti ini? Maaf saya tidak bermaksud ikut campur urusan dalam keluarga Tante Sekar. Tapi saya sangat mencemaskan Bagas, Tante." tanyaku pada Tante Sekar setelah mengumpulkan keberanianku. Tante Sekar mendesah.

"Sebenarnya ini sudah ketiga kalinya Bagas pergi seperti ini. Pertama kali dia pergi saat Bagas belum genap sebulan pindah ke sini. Lalu selang kira-kira sebulan kemudian kejadian itu terulang. Dan ternyata sekarang terulang lagi."

Hatiku mencelos mendengar penuturan Tante Sekar itu. Bukankah waktu Bagas kabur itu sama dengan waktu terbunuhnya Lisa dan Ririn? Apakah Bagas benar-benar penyihir pembunuh itu? Aku benar-benar ketakutan sekarang. Pada saat yang sama Dina juga tampak ketakutan, tapi dia hanya diam.

"Tante jadi cemas dengan keselamatan Bagas. Apakah mungkin Bagas seperti itu karena pindah ke sini?" Tante Sekar terlihat sangat cemas dan khawatir.

Aku hanya bisa menggenggam tangan wanita anggun itu untuk mengurangi kecemasannya dan menunjukkan kepedulianku padanya dan Bagas.

***

Kami baru saja pulang dari rumah Bagas setelah memastikan Bagas sudah tenang dan tidak ketakutan lagi. Dina mendudukkan dirinya di sofa ruang tamu rumah Tante Ratih. Aku ikut duduk di sampingnya.

"Kenapa kau berbohong padaku Bulan?! Kenapa kau tidak bilang kalau dia pembunuh itu dan malah bilang kalau dia calon korban ritual itu?!" teriak Dina.

Aku tahu dia sudah menahan emosinya sejak semalam saat kami memjemput Bagas. Dia pasti merasa dibohongi dan merasa dimanfaatkan olehku.

"Maafkan aku. Aku tidak bisa berterus terang sebab kau pasti akan ketakutan. Jangankan menginap di rumah Bagas, kau pasti akan melarangku mendekati Bagas. Kalau sudah seperti itu aku tidak akan bisa menjaganya. Lagipula aku butuh bantuanmu untuk menjaga Bagas dan aku tidak akan bisa melakukan itu sendirian. Saat ini hanya kau yang bisa aku percaya Dina." jawabku sambil menghela nafas lelah.

"Aku berharap dengan menjaga Bagas tetap di rumahnya, dia tidak akan bisa membunuh lagi. Tapi semua usahaku ternyata sia-sia. Aku benar-benar ceroboh dan tidak berguna. Maaf." Aku benar-benar merasa bersalah sekaligus merasa tidak berguna.

"Sudahlah Bulan. Semua sudah terjadi. Ini semua bukan salahmu." Dina merangkul pundakku.

"Lagi pula aku tidak menyangka kalau Bagas adalah penyihir yang membunuh teman-teman kita. Dia terlihat sangat baik dan tidak playboy." ujar Dina.

"Jangan lupa dia juga sangat manis." Aku menambahkan.

"Dia itu sangat tampan tau. Dia itu mirip Logan Lerman yang memerankan Percy Jackson. Aku bahkan sangat berharap dia jadi pacarmu, Bulan." ucap Dina bersemangat.

Dina tersenyum. Akhirnya. Aku ikut tersenyum lega.

"Dia itu bukan penyihir." Tiba-tiba Tante Ratih bersuara.

Tante Ratih datang membawa nampan berisi tiga gelas teh dan setoples biskuit lalu meletakkannya di meja. Tanpa basa-basi Dina langsung mengambil segelas teh dan meminumnya sampai habis. Sesaat aku melotot heran padanya. Dina tidak sopan banget sih.

"Maaf Tante. Saya haus sekali. Terima kasih tehnya." ucap Dina sambil cengengesan.

"Sama-sama Din. Tante tahu kalian haus kok." jawab Tante sambil Ratih tersenyum. Aku menatap Tanteku itu.

"Tante bilang Bagas bukan penyihir. Bagaimana Tante bisa tahu?" tanyaku penasaran. Tante Ratih hanya tersenyum.

"Keturunan keluarga kita rata-rata mempunyai kekuatan supranatural, Bulan. Sepertimu yang bisa melihat masa depan dan membaca pikiran orang lain, Tante bisa merasakan energi orang orang spesial seperti kita. Bisa dikatakan Tante itu seperti memiliki sensor energi supranatural. Dan Tante tidak merasakan energi semacam itu dari Bagas. Tante bisa menjamin kalau dia itu bukan penyihir." jelas Tante Ratih panjang lebar.

Aku memandang takjub Tanteku itu. Hampir selama hidupku aku hidup bersama Tanteku itu dan aku baru tahu kalau dia punya kemampuan seperti itu.

"Apakah Tante pernah bertemu dengan orang yang punya kemapuan supranatural?" tanyaku. Tante Ratih menatapku. Aku menghela nafas.

"Maksudku selain aku, Tante." kataku sedikit jengkel.

"Ada satu. Agni." jawab Tanteku cepat.

"Maksud Tante dia seorang penyihir?" tanya Dina.

Dina terlihat sangat tertarik. Dengan cara yang tidak baik menurutku. Secara Dina itu sangat membenci Agni. Dia pasti akan senang menemukan kelemahan dan sisi buruk Agni.

"Tante tidak bilang kalau anak itu penyihir. Tante bahkan tidak bisa merasakan energi yang keluar dari anak itu. Kalaupun ada itu sangat lemah sekali. Aneh sekali." jawab Tante Ratih. Tanteku itu terlihat bingung.

"Sudah kuduga dia pasti penyihir. Mana mungkin semua cewek di sekolah terpikat padanya kalau tidak disihir olehnya! Dasar Penyihir Playboy! Licik!" teriak Dina emosi.

Dina langsung saja mengeluarkan kata-kata yang menyudutkan pada Agni. Aku memutar mataku bosan mendengar kesimpulan Dina yang sama sekali tidak nyambung itu.

"Dina. Apa kau tidak melihat kemungkinan bahwa cewek-cewek itu tertarik pada Agni karena dia itu sangat emm.. tampan mungkin? Hem?" tanyaku.

Dina yang mendelik marah karena aku memuji musuh bebuyutannya.

"Kenapa kau malah membelanya. Apa karena kau pacarnya?" teriak Dina.

Aku melotot mendengar ucapan Dina itu. Dina langsung membungkam mulutnya sendiri. Aku menoleh pada Tante Ratih dengan perasaan horor.

"Oh. Jadi ponakan Tante yang manis ini sudah mulai berani pacaran yaa?"

Tante tersenyum manis yang malah terlihat mengerikan di mataku. Sebagai informasi, aku memang tidak diperbolehkan pacaran oleh Tanteku. Maksudku dilarang keras pacaran. Aku bergeser menjauhi Tanteku itu.

"Oh iya Tante. Kalau Tante bisa merasakan energi supranatural, itu artinya Tante bisa menemukan penyihir itu kan? Apa Tante tahu dimana penyihir pembunuh itu?"

Pertanyaan Dina itu membuat perhatian tanteku teralihkan dariku. Aku menghela nafas lega.

"Sudah Tante coba, tapi area yang bisa Tante jangkau dengan kekuatan Tante sangat terbatas, sensitifitas Tante juga sangat rendah. Mengkin karena kemampuan Tante itu sudah lama tidak digunakan atau pun diasah." jawab Tante Ratih mendesah.

"Jadi Tante tidak bisa menemukannya?" tanyaku.

"Tidak. Tapi Tante tahu siapa yang bisa." jawab Tante Ratih sambil tersenyum lalu menatapku.

"Dan soal pacaran dengan Agni, Tante tidak menyetujuinya." imbuhnya tegas. Dina bersorak gembira mendengar keputusan Tante Ratih itu.

Bersambung..