***
Sejak mendapat penglihatan tentang ancaman dari pembunuh terhadap Ririn saat itu, aku sangat yakin keselamatan Ririn benar-benar terancam. Peristiwa pembunuhan Lisa adalah bukti bahwa penglihatan yang aku dapatkan itu adalah merupakan ramalan masa depan. Aku bertekad untuk melindungi Ririn apapun yang akan terjadi.
Aku terus memutar otakku, mencari cara untuk melindungi Ririn dari incaran pembunuh itu. Aha! Tiba-tiba aku mendapat ide yang menurutku sangat bagus.
"Aku akan masuk klub kesenian!" teriakku lantang dan mantab tanpa sadar. Semua teman sekelasku tampak menatapku dengan pandangan aneh padaku yang masih berdiri sambil mengacungkan tanganku.
"Benarkah? Aku senang akhirnya kau memilih kegiatan yang bisa mengasah kelembutanmu, Bulanku sayang." ucap Agni yang tiba-tiba ikut berdiri dan menghampiri bangku tempatku duduk. Lalu tanpa permisi Agni meraih dan menggenggam kedua tanganku.
"Kalau begitu aku juga akan masuk klub kesenian untuk mendampingimu."
Agni berkata sambil menatapku dan berkedip dengan genit. Iuh! Aku bergidik ngeri melihatnya. Spontan aku menarik tanganku dari genggamannya.
"Kalian boleh masuk klub mana pun. Tapi.. BISAKAH KALIAN TIDAK BERISIK SAAT PELAJARAN SAYA?!"
Suara Pak Hendra yang menggelegar menyadarkanku kalau saat ini aku masih ada di kelas pada saat jam pelajaran guru IPA yang killer itu. Terlebih saat ini beliau sedang menatap ke arahku dengan tatapan murka. Hiiy..
"Kalian berdua.. "
Aku gemetar mendengar suara Pak Hendra yang penuh nada kemarahan itu.
"..KELUAR DARI PELAJARAN SAYA!!"
Aku langsung lari ngibrit keluar kelas disusul oleh Agni mendengar suara Pak Hendra yang cetar membahana itu.
***
"Ririn! Mau ke kantin ya? Bareng yuk!"
Ririn terlihat kaget mendengar suara cemprengku yang memanggilnya. Aku berlari mengejar Ririn yang berjalan cepat ke arah pintu ruang klub kesenian.
"Aku mau ke toilet." Ririn menjawab dengan nada kesal.
"Kebetulan dong. Aku juga sedang kebelet pipis." jawabku asal.
Ririn hanya mendengus kesal lalu berjalan cepat meninggalkanku. Dia pasti marah setelah selama beberapa hari ini aku mengikutinya kemana pun. Dari saat tiba-tiba aku ikut gabung ke klub kesenian, padahal aku sama sekali tidak punya bakat seni apapun, sampai memaksa Ririn untuk mengijinkanku menginap di rumahnya. Tapi aku tidak peduli. Pokoknya aku tidak akan melepaskan pandanganku dari gadis pelukis yang matre itu meski hanya sekejap saja. Kecuali saat dia harus ke dalam kamar mandi tentunya.
"Bulan! Mau kemana?" tanya Bagas sambil menghampiriku ketika aku lewat di dekat lapangan basket tempatnya latihan dengan klub basketnya, saat aku sedang dalam misiku mengawal, eh maksudku mengekori Riri.
"Nggak tau. Aku hanya ikut Ririn saja." jawabku cuek tanpa menoleh pada Bagas.
Mataku terus mengikuti Ririn yang saat ini sedang berjalan cepat menuju halaman belakang sekolah. Aku mengernyit heran. Bukannya Ririn tadi bilang mau ke toilet, kenapa malah ke halaman belakang sekolah? Jangan bilang Ririn mau pipis di selokan dekat sawah yang ada di belakang sekolah. Iuh! Itu kan jorok. Aku bergidik saat pikiran ngawur itu melintas di otak bodohku.
"Ngapain Ririn pergi ke sawah?" tanya Bagas yang ternyata tanpa permisi ikut serta dalam misi mengekorku.
"Mau melukis belalang mungkin." jawabku saat aku melihat Ririn memang membawa peralatan gambarnya.
Aku terus mengikutinya sampai akhirnya Ririn berhenti di gubug yang ada di tengah sawah. Ririn duduk di bangku panjang yang hanya terbuat dari dua batang bambu yang dibuat menjadi tempat duduk berkaki rendah dan menyiapkan alat gambarnya. Aku ikut duduk di samping Ririn. Agni menyusul duduk di sampingku. Ririn hanya mendelik kesal melihat kedatangan kami yang tampaknya tidak dia harapkan sama sekali.
"Aku tidak peduli alasanmu mengikutiku, tapi jangan menggangguku."
Ririn sepertinya sudah sangat kesal melihatku yang terus-terusan menempel padanya selama beberapa hari ini.
"Aku hanya ingin memberimu ini. Kau pasti haus kan?"
Aku mengeluarkan sebatang permen lolipop dari dalam sakuku. Sekilas mata Ririn terlihat berkilat senang melihat permen dalam genggamanku, tapi kemudian dia memasang tampang kesal di wajahnya. Dengan cepat diambilnya permen dari tanganku lalu membuka dan langsung mengulumnya. Aku tersenyum kecil. Jurus menyuap Ririn dengan barang gratisan selalu berhasil pada makhluk matre satu ini. Khuhkhukhukhu! Aku tertawa seperti Mak Lampir dalam hatiku.
"Baiklah. Kalian boleh menemaniku di sini asalkan jangan menggangguku. Jangan bertanya apapun padaku. Mengerti!?" Ririn mendelik padaku dan Bagas.
"Kau ppmmh!" Aku membungkam mulut Bagas yang mau protes tidak terima pada Ririn dengan tangan kiriku.
"Kalau mau protes lebih baik kau pergi dari sini!" Aku berbisik dengan suara penuh penekanan sambil mendelik pada Bagas. Bagas balas mengedip-ngedipkan mata padaku.
"Apa?!" Aku mengepalkan telapak tangan kananku yang masih bebas. Bagas mendelik melihat kepalan tanganku yang siap memukulnya.
"Jadi kalian ke sini mau pamer kemesraan untuk menggangguku?"
Itu suara Ririn. Aku menoleh pada Ririn mendengar pertanyaan yang aku anggap aneh itu.
"Abaikan kami ya. Kau melukis saja."
Kalau itu adalah suara Bagas yang masih ada dalam rangkulanku..? Apa?! Cepat-cepat aku melepaskan rangkulanku pada Bagas. Ya ampun! Ternyata dari tadi tanpa sadar aku merangkul Bagas? Aku malu sekali pada Ririn.
"Kenapa malah dilepas?" tanya Bagas.
Bagas menatapku dengan wajah sok imut yang malah terlihat menyebalkan dalam penglihatanku.
"Ririn! Kau ini benar-benar tidak bisa lihat orang senang ya?"
Bagas mendelik kesal pada Ririn. Ririn hanya memutar matanya malas menanggapi delikan Bagas. Aku menjitak kepala Bagas sekuat tenaga. Bagas mengaduh sambil memegangi kepalanya.
"Kenapa kau tega memukulku? Aku kan pacarmu?" Bagas menatapku dengan memasang tampang memelas.
"Pacar gundulmu! Makanya jangan cari-cari kesempatan!" semburku. Aku benar-benar kesal pada Bagas.
"Kau sendiri yang merangkulku. Kenapa kau juga yang marah?" Bagas membela diri.
Aku terdiam. Benar juga. Memang aku tadi yang merangkulnya. Tapi aku kan tidak bermaksud untuk..
"Aaargh!" Aku mengerang frustasi melihat Bagas yang malah tersenyum gak jelas. Kemarin Agni yang berani pegang-pegang tanganku, sekarang Bagas yang berani merangkul..?? Eh? Tapi kan tadi itu aku yang..
"Ah! Menyebalkan!!" Aku jadi kesal pada diriku sendiri.
***
Beberapa hari ini aku habiskan dengan mengikuti kemana pun Dora.. Eh, maksudku Ririn pergi hingga akhirnya aku bernafas lega saat Ririn masuk rumahnya dengan selamat tidak kurang suatu apa pun juga. Aku memutuskan untuk pulang ke rumah malam ini, setelah memastikan Ririn tidak punya acara keluar rumah dan langsung tidur. Sebenarnya aku sudah memohon kepada Ririn untuk diperbolehkan menginap lagi di rumahnya untuk kesekian kalinya tapi ditolak mentah-mentah oleh Ririn. Dengan sangat terpaksa dan rasa khawatir yang terus memberati perasaanku, aku pulang ke rumahku. Semoga saja tidak ada peristiwa buruk yang terjadi. Begitu doa yang terus aku panjatkan saat rasa cemas terus menghantuiku sepanjang malam hingga aku tidak bisa tidur. Baru menjelang pagi aku akhirnya bisa terlelap karena kelelahan.
Suara dering telepon selulerku membuatku tersentak dari tidurku. Aku menatap sekitarku mencari sumber suara yang membuat kepalaku semakin pusing akibat tidak tidur semalaman. Saat menemukan benda itu di laci meja aku melihat nama Dina terpampang di layar telepon genggamku. Aku segera mengambilnya lalu menekan tombol jawab.
"Ada apa pagi-pagi kau menelponku?" tanyaku sambil menguap
Aku masih sangat ngantuk dan kepalaku sakit sekali. Begadang memang benar-benar tidak baik bagi kesehatan. Aku akan mencatat itu!
"Bulan! Ririn! Ririn!"
Rasa kantukku langsung lenyap mendengar nama itu disebut oleh Dina. Apalagi nada suara Dina yang terdengar cemas langsung saja membuatku berpikiran buruk.
"Kenapa dengan Ririn? Dia tidak kenapa-kenapa kan?" Aku benar-benar cemas.
" Ririn terbunuh, Bulan! Ririn sudah meninggal!"
Jawaban Dina itu membuatku terkejut. Dina terdengar mulai menangis.
"Bagaimana bisa? Aku jelas-jelas sudah mengantarkannya sampai rumah kemarin sore. Aku melihat sendiri dia masuk rumahnya dalam keadaan baik-baik saja." Aku masih tidak mempercayai ucapan Dina.
"Tapi Ririn benar - benar sudah meninggal, Bulan. Dia ditemukan terbunuh di halaman belakang sekolah oleh Pak Satpam sekolah tadi malam."
Pagi itu SMU Putra Bangsa, sekolah tempatku belajar dan menuntut ilmu kembali digegerkan dengan peristiwa pembunuhan seorang siswa dengan cara sadis dan mengerikan. Puluhan polisi yang berjaga-jaga dan para wartawan dari berbagai media yang berdatangan pun menambah suasana sekolah menjadi semakin ramai. Siswa sekolahku masih bergerombol di luar gerbang sekolah meskipun kepala sekolah sudah mengamanatkan semuanya untuk pulang dan belajar di rumah hari ini. Hampir semua siswa masih bertahan karena rasa penasaran ingin melihat tempat di mana peristiwa mengerikan yang merenggut nyawa dari salah satu siswa sekolah mereka. Termasuk aku dan Dina yang masih duduk di salah satu kedai mie ayam di seberang jalan di depan sekolahku.
Aku duduk sambil meremas rambutku. Aku merasa kesal, marah, sedih, kehilangan dan juga merasa kecolongan. Dan jangan lupakan rasa pusing yang masih bersarang di kepalaku. Ugh! Kepalaku terasa mau meledak rasanya. Kenapa tadi malam aku harus pulang sih? Seandainya saja aku tadi malam tidak meninggalkan Ririn, mungkin saja aku bisa mencegah agar Ririn tidak mengalami hal mengerikan itu.
"Kenapa Ririn ke sekolah?! Untuk apa dia kembali ke sekolah?!" teriakku kesal. Aku benar-benar tidak habis pikir.
"Kata Pak Satpam, sekitar jam 7 malam Ririn datang ke sekolah untuk mengambil handphonenya yang tertinggal di ruang klub kesenian. Tapi setelah itu Ririn tidak keluar-keluar lagi, jadi Pak Satpam mencarinya. Setengah jam kemudian Satpam yang mencarinya menemukan tubuh Ririn di halaman belakang sekolah." Dina menerangkan.
"Kenapa Satpam itu mengijinkan Ririn masuk ke sekolah? Bukankah itu dilarang?" tanyaku lagi.
Aku meremas rambutku karena terlalu kesal dan pusing. Dina hanya menggeleng lemah sebagai jawaban. Aku meneguk teh panas yang ada di mejaku, berharap minuman itu menghilangkan rasa pusing di kepalaku.
"Kalian di sini rupanya. Belum mau pulang?"
Tiba-tiba Bagas muncul bersama dengan Agni. Aku menatap kedatangan mereka dengan perasaan heran. Sejak kapan mereka berdua jadi akrab begitu?
"Kau tidak pesan mie ayam?" tanya Bagas sambil duduk di sampingku tanpa permisi.
"Hey! Minggir dari sana! Aku mau duduk di samping Bulan!" teriak Agni sambil berusaha mendorong Bagas menjauhiku.
Lalu mulailah pertengkaran Agni dan Bagas untuk berebut duduk di sampingku. Padahal kukira mereka tadi sudah mulai akur. Aku menghela nafas kesal.
"Kalau kalian tidak berhenti bertengkar aku akan pergi saja." ancamku yang langsung membuat kedua cowok itu terdiam.
"Kalau begitu aku duduk bareng Dina saja ya?" Agni mendudukkan dirinya di samping Dina.
"Siapa yang mengijinkanmu duduk di sini, Playboy gila?!" teriak Dina sambil menatap Agni dengan tatapan benci.
"Tapi tidak ada tempat duduk lain, Dina. Biarkan aku duduk disini ya. Pleeease.." Agni memohon.
Aku melihat ke sekeliling ruang warung mie ayam yang cukup luas itu. Ternyata benar yang dikatakan Agni. Seluruh tempat duduk di kedai mie ayam itu sudah dipenuhi siswa SMU Putra Bangsa dan para wartawan hingga tak ada tempat duduk lain yang tersisa. Dina tampak mendengus kesal sambil beringsut menjauhi Agni tapi tidak bisa terlalu jauh. Habisnya Dina duduk di pojokkan sih, dan sekarang dia terjebak antara Agni dan tembok. Dina tampak benar-benar tidak suka duduk berdampingan dengan Agni.
"Oya. Apakah kalian mau pesan? Kalian kesini mau makan mie ayam kan?" tanyaku sambil beranjak dari dudukku.
"Aku mie ayam jamur dan es teh ya." Bagas memesan sambil tersenyum manis.
"Aku mie bakso terus minumnya es jeruk!" seru Agni.
"Aku mie ayam jamur bakso sama es campur." kata Dina bersemangat.
Sepertinya urusan makanan ini membuat Dina melupakan kekesalannya pada Agni. Aku hanya tersenyum geli melihat sahabatku itu.
"Baiklah. Mie ayam jamur dan es teh, mie bakso dan es jeruk, mie ayam jamur bakso dan es campur dan aku mie ayam jamur dan es jeruk." Aku mengulang pesanan teman-temanku.
"Aku mau pesan dulu, kalian jangan nakal dan jangan berkelahi ya?" ucapku seperti seorang ibu-ibu yang akan pulang setelah menitipkan anaknya di TPA. Sekilas aku menatap teman-temanku itu yang kompak dibalas anggukan kepala mereka lalu berjalan menghampiri meja tempat memesan.
Hari mulai beranjak siang, siswa-siswi SMU Putra Bangsa sebagian besar sudah pulang. Hanya beberapa siswa yang masih penasaran dengan peristiwa pembunuhan Ririn yang masih tinggal dan menjadi sasaran pertanyaan wartawan yang masih ada. Setelah berhasil mengelabui teman-temanku yang aku tinggal di warung mie ayam dengan alasan pipis, aku berjalan cepat melewati gang sempit di samping bangunan sekolah sampai di area persawahan di belakang sekolah. Aku menyelinap masuk ke sekolah lewat pintu belakang. Bersembunyi dari guru dan satpam yang masih berlalu lalang sesekali untuk memeriksa lingkungan sekolah.
Dengan mengendap-endap aku mencari tempat peristiwa mengerikan yang menimpa temanku Ririn. Akhirnya aku sampai di belakang sekolah. Sebuah area yang lapang tanpa pepohonan di belakang sekolah dipagari pita warna kuning, garis polisi, sama dengan yang pernah dipasang di tempat terbunuhnya Lisa dulu. Tidak salah lagi. Itu pasti tempat pembunuhan Ririn. Dengan cepat aku berjalan dan memasuki area berpagar pita kuning itu. Ada gambar tubuh dengan cat semprot warna putih lalu gundukan pasir di sekeliling gambar tubuh itu.
" A-apa ini?!"
Tiba-tiba tubuhku gemetar. Gambar tubuh itu! Gundukan pasir itu! Semuanya sama dengan gambar yang ada di tempat pembunuhan Lisa sebelumnya! Pembunuhan yang sama persis. Apakah dilakukan oleh pembunuh yang sama? Kenapa pembunuh itu mengincar murid-murid SMU Putra Bangsa? Semua pertanyaan mengerikan itu berputar di dalam otakku bercampur dengan berbagai prasangka buruk yang bermunculan dalam diriku yang memunculkan berbagai dugaan. Aku menduga seorang pembunuh berdarah dingin sedang berkeliaran mengancam nyawa setiap murid SMU Putra Bangsa sekarang ini. Tanpa terasa air mataku mengalir membasahi wajahku. Aku benar-benar ketakutan sekarang.
"Hey. Kau tidak apa-apa?"
Terdengar suara langkah mendekat. Aku menoleh ke arah asal suara dan mendapati seorang pemuda mungkin berumur dua atau tiga tahun lebih tua dari aku mendekatiku dengan wajah bingung dan sedikit cemas. Mungkin karena melihat aku menangis. Cepat-cepat aku menghapus air mataku.
"Kau ini siapa?" tanyaku menyelidik.
Tidak mungkin dia seorang polisi karena dia tidak memakai seragam. Aku melihat tas sandangnya yang agak menggembung. Itu pasti kamera. Aku lalu mendengus.
"Kau wartawan?" tanyaku ketus.
"Kenapa semua orang menyangka aku seorang wartawan?" tanya pemuda dengan rambut model belah tengah itu sambil tersenyum kecut.
"Orang mencurigakan di sekitar area TKP dengan membawa kamera. Menurutmu apa?" Aku balik bertanya.
"Benar juga ya? Apalagi aku memang ke sini mencari informasi. Jadi wajar kalau aku selalu dikira wartawan. Hehehe." Pemuda itu terkekeh.
"Ini bukan tempat untuk membuat lelucon!"
Aku mendelik kesal ke arah pemuda itu. Bisa-bisanya pemuda itu tertawa ditempat Ririn terbunuh. Dia itu benar-benar tidak peka atau memang sudah buta? Ingin rasanya aku menonjok mukanya itu.
"Maaf. Aku benar-benar minta maaf. Aku lupa. Apakah kau teman dari gadis itu?" tanyanya.
Pemuda itu tampak menyesal. Aku hanya menatap pemuda itu tanpa menjawab.
"Oke. Aku memang wartawan, tapi itu hanya pekerjaan sampinganku saja. Sebenarnya aku seorang penulis. Dan saat ini aku sedang menyelidiki sebuah kasus untuk bahan tulisanku." jelas pemuda itu panjang lebar.
Aku tetap diam sambil mengamati pemuda yang masih aku curigai itu. Pemuda itu tampak jengah dengan tatapanku.
"Oh. Ayolah. Aku sungguh tidak bermaksud buruk. Aku hanya ingin mengungkap siapa penyihir yang membunuh teman-temanmu itu."
Aku mengernyit bingung dengan ucapannya barusan. Apa aku tidak salah dengar?
"Penyihir?" tanyaku.
Aku menatap pemuda di hadapanku itu. Dia tampak kaget dan menyesali ucapannya.
"Apa kau mau bilang kalau pembunuhnya adalah seorang penyihir?" tanyaku lagi.
Aku menatap pemuda itu dengan rasa penasaran yang makin membesar dalam diriku.
"Hey! Kenapa kalian berdua bisa ada di sana?!"
Suara teriakan mengagetkanku. Saat aku menoleh, aku melihat Pak Satpam di kejauhan berlari ke arahku. Aku ketahuan! Dengan perasaan panik aku menarik tali tas pemuda yang belum aku kenal itu lalu memaksanya lari secepatnya ke pintu belakang sekolah. Setelah aksi kejar-mengejar dengan satpam sekolah akhirnya aku dan pemuda yang aku seret itu berhasil kabur lewat pintu belakang sekolah.
" Haah! Larimu cepat juga untuk ukuran cewek. Haduh capek!"
Pemuda itu terlihat membungkuk dengan tangan bertumpu pada kedua lututnya. Nafasnya ngos-ngosan dan keringat membanjir di wajahnya.
"Dan larimu sangat lambat untuk ukuran seorang.. lelaki?" ejekku.
Aku geleng-geleng kepala heran melihat stamina pemuda yang aku anggap payah di hadapanku itu. Masak hanya berlari dalam area sekolah yang tidak terlalu luas itu dia sudah kehabisan nafas seperti ini. Dia ini cowok bukan sih?
"Hey! Aku ini hanya penulis. Aku didesain untuk duduk manis di depan laptop sambil menuliskan ideku. Lari tidak termasuk dalam jobdisc-ku. Kau tau?!" Pemuda itu membela diri.
"Yayaya. Terserah kau saja." jawabku acuh.
Aku masih menatap pemuda itu. Kalau dia wartawan seperti katanya tadi berarti dia punya info tentang kasus pembunuhan Ririn dan juga Lisa. Aku mungkin bisa mengorek info dari pemuda ini.
"Apakah polisi sudah punya tersangka tentang penyihir pembunuh itu?" Aku bertanya tanpa basa-basi.
"Apa maksudmu?" tanyanya.
Pemuda itu menatapku sambil berpura-pura sibuk memeriksa tasnya. Aku tahu dia pasti bermaksud mengelak dari pertanyaanku dan menutupi info yang didapatnya.
"Aku tidak tuli dan tidak bodoh. Aku mendengar dengan jelas kau mengatakan penyihirlah yang membunuh teman-temanku." ucapku tegas.
Pemuda itu menatapku sejenak lalu menghela nafas. Dia masih terlihat enggan bicara.
"Mereka berdua adalah teman-temanku. Jika kau punya petunjuk tentang pembunuh itu aku mohon beritahu aku. Aku ingin pembunuh itu segera tertangkap. Aku tidak ingin teman-temanku yang lain menjadi korban." pintaku.
Pemuda itu tetap diam. Aku menjatuhkan diriku dan berlutut di hadapan pemuda itu.
"Aku mohon padamu."
Baru saja aku ingin bersujud di depan pemuda itu tapi sepasang tangan memegang pundakku. Aku mendongak mendapati pemuda itu jongkok di hadapanku sambil memegangi kedua bahuku, mencegahku untuk bersujud padanya. Dia menghela nafas.
"Tidak perlu seperti ini. Aku akan memberitahumu."
Aku dan pemuda itu berada di gubuk di tengah sawah, tempat yang pernah digunakan Ririn untuk melukis beberapa hari yang lalu. Berkali-kali pemuda itu menghela nafasnya. Dan dia belum bicara sepatah kata pun sejak kami berdua sampai di tempat ini.
"Sampai kapan kau akan menghela nafas seperti kakek-kakek seperti itu?" Aku mulai tidak sabar. Pemuda itu menoleh padaku.
"Kau ini sedang minta tolong pada orang yang lebih tua darimu. Dan kau juga berani menghina? Di mana tata kramamu? Hah?" Pemuda itu terlihat kesal.
Aku tersentak. Benar juga ya? Dia pasti lebih tua beberapa tahun dariku yang masih kelas dua SMU. Aku bahkan belum mengetahui sekedar namanya. Sepertinya aku memang telah melupakan tata krama. Aku jadi malu sekali.
"Maafkan saya. Namaku Bulan. Maafkan sikap saya tadi. Saya benar-benar minta maaf. Tapi saya mohon bantuan Pak.. errmm.. Wartawan?" ucapku sambil menunduk malu.
"Bwahahaha!"
Tawa pemuda itu membuatku mendongakkan wajahku. Kulihat pemuda itu tertawa terbahak sambil memegangi perutnya.
"Kau sendiri yang tadi bilang aku tidak sopan! Giliran aku bersikap sopan kau malah mentertawakanku! Sebenarnya apa maumu?" Aku benar-benar kesal ditertawakan seperti itu.
"Maaf. Maafkan aku. Tapi sikapmu yang sangat sopan itu benar-benar tidak pantas dengan penampilanmu yang tomboy. Kau tahu?" Pemuda itu masih tertawa geli.
"Sekarang kau yang bersikap tidak sopan!" teriakku.
Aku mendengus kesal. Ingin sekali aku mengeluarkan jurus karateku untuk menghajar pemuda itu hingga babak belur tapi aku masih membutuhkan pemuda itu sebagai sumber informasiku. Akhirnya aku hanya mengepalkan tanganku menahan kekesalanku.
"Maaf. Maafkan aku. Tapi kau benar-benar.. gimana ya? Lihat rambut kuncir ekor kudamu yang kemerahan itu, ditambah lengan seragammu yang kau gulung . Apalagi dengan wristband di pergelangan tanganmu itu. Kau itu berpenampilan seperti cewek berandalan tapi bersikap malu-malu dan sopan seperti itu. Benar-benar tidak sinkron. Kau tahu? Hahaha.." Pemuda itu terus saja tertawa.
"Tidak sinkron katamu?"
Aku mendengus. Kemarahanku tidak bisa aku tahan lagi. Aku meremas kedua kepalan tanganku bergantian hingga terdengar bunyi tulang bergemerutuk. Sekarang aku tidak peduli lagi. Aku hanya ingin menghajar pemuda di hadapanku ini hingga aku puas. Pemuda itu tampak ketakutan.
"Hey? A-Aku hanya bercanda. Hey! Bu-Bulan.." ucap pemuda itu tergagap.
Pemuda itu mundur menjauhiku. Dia terlihat semakin ketakutan. Itu wajar karena aku memang berniat menghajarnya.
"Bulan.. Maafkan aku.. Pleeease.."
Suara pemuda itu bergetar. Aku terus mendekatinya dan pemuda itu juga mundur menjauhiku hingga akhirnya..
BYUUR!! Pemuda itu jatuh terjengkang ke sawah yang penuh air di belakangnya. Tubuhnya menimpa tanaman padi yang sudah mulai muncul bulirnya hingga membuat tanaman padi di bawah dan sekitar tubuhnya ambruk ke segala arah. Pemuda itu menggapai-gapaikan tangannya berusaha bangkit dari lumpur sawah.
"Bwahahaha!"
Aku tidak dapat menahan tawaku melihat pemuda yang tubuhnya belepotan lumpur itu bangkit lalu berjalan tertatih di antara tumbuhan padi yang rusak menuju pinggir sawah tempatku berada. Setelah bersusah payah akhirnya pemuda berlumpur itu berhasil naik ke gubuk tempatku berdiri.
"Sudah puas tertawa?" Pemuda itu mendelik kesal. Lalu memeriksa tasnya yang dengan ajaibnya hanya terkena sedikit lumpur.
"Sebenarnya aku tadi ingin menghajarmu hingga kau babak belur baru aku puas, tapi.."
Aku melihat tubuh pemuda yang penuh lumpur itu lalu tertawa lagi.
"Anggap saja lumpur itu menyelamatkanmu dari pukulanku. Jadi kita impas."
Aku menyudahi tawaku. Rasanya kasihan juga melihat pemuda berlumpur itu.
"Hey! Kau di sini rupanya Bulan. Kenapa kau meninggalkanku?"
Bagas muncul tiba-tiba. Dia lalu melihat pemuda berlumpur yang juga melihat ke arahnya.
"Siapa dia?"
Bagas dan Pemuda berlumpur itu serempak bertanya sambil saling menunjuk wajah. Aku tertawa melihat adegan lucu itu.
"Perkenalkan. Dia Bagas teman sekolahku.."
"Pacar. Aku pacarnya." Bagas memotong kalimatku.
Aku mendelik pada Bagas dan Bagas memamerkan senyumannya. Aku memutar mata malas menanggapi omongan Bagas itu.
"Terserah. Dan dia ini.." Aku mendengus lalu menatap pemuda berlumpur.
"Monster Lumpur tanpa nama.. mungkin." jawabku asal.
"Hey! Perkenalkan aku dengan benar dong!" protes pemuda berlumpur itu.
"Aku kan belum kau beritahu namamu." jawabku cuek.
"Benar juga. Maaf. Perkenalkan namaku Reza. Aku adalah mahasiswa ISBI Bandung jurusan film dan televisi. Aku bekerja sebagai wartawan paruh waktu di salah satu majalah juga." Reza mengenalkan dirinya. Dia mengulurkan tangannya kearah Bagas. Bagas menyambutnya.
"Bagas. Kelas XIIB di SMU Putra Bangsa, dan aku pacarnya Bulan."
Aku memutar mata malas mendengar ucapan Bagas itu. Kenapa sih Bagas suka sekali menyebut aku pacarnya? Heran.
"Kenapa akhir-akhir ini aku selalu bertemu dengan orang Bandung? Apakah ini masa migrasi orang Bandung?"
Aku mengernyit heran pada pemuda lumpur, eh maksudku Reza dan juga Bagas bergantian. Bagas hanya menatapku tanpa berkata apapun sementara Reza terlihat mengernyitkan keningnya.
"Apa maksudmu?" tanya Reza sambil menatapku.
"Tidak ada." jawabku.
Bagas tampak menghela nafas lega mendengar jawabanku. Entah kenapa sikap Bagas itu membuatku merasa aneh. Tapi aku mengabaikan pikiranku itu.
"Rumahku cukup dekat dari sini. Aku bisa minta Tanteku meminjamkan baju pamanku kalau kau mau. Atau kau memilih lebih memilih kostum monster lumpur itu untuk berkeliaran mencari berita? Bagaimana?" tanyaku pada Reza.
" Hah! Baiklah. " desah Reza pasrah setelah beberapa saat melihat penampilannya sendiri.
Aku tersenyum. Dengan begini, aku bisa menginterogasi Reza saat di berada di rumahku nanti. Aku merasa diriku tiba-tiba menjadi pintar.
Bersambung..