Chereads / WEREWOLF : "THE GAME IS BEGINNING" / Chapter 14 - BAB 14 : "UJIAN (KEMBALI)"

Chapter 14 - BAB 14 : "UJIAN (KEMBALI)"

HARI pertama ujian tengah semester pun tiba. Ini akan menjadi minggu-minggu sibuk.

Aku sudah belajar dari jauh-jauh hari untuk menghadapi ujian, di tengah-tengah penyelidikan siapa pelaku yang membunuh teman-teman ku. Yang masih tersendat adalah kasus penyelidikan yang sedang aku dan teman-teman jalankan hingga saat ini. Sejak pengintaian Kang Falah yang kita curigai sebagai pelaku, kasus penyelidikan ini belum ada peningkatan. Karena kita kehilangan jejak Kang Falah dan semenjak hari itu, ia tidak pernah terlihat kembali datang ke kampus. Itu menumbuhkan rasa curiga kami yang semakin besar terhadap Kang Falah. Namun, rasa curiga itu runtuh di ke esokan harinya setelah Prayoga mencari informasi tentang Kang Falah yang tidak suka terhadap Agung. Kabar itu ternyata hoax semata. Membuat kami semua kecewa kala itu.

Aku banyak terdiam dan fokus dalam mengerjakan soal ujian. Bahkan, Fajar yang daritadi memanggilku, aku hiraukan begitu saja. Rintangan pertamapun selesai. Kami membahas bagaimana penyelidikan disela-sela waktu luang.

"Jadi gimana pengintaian terhadap Kang Falah ?" Laras bertanya kepada Prayoga.

Kami berempat sedang makan di kantin. Soal-soal yang baru saja kami kerjakan cukup menguras tenaga, membuat perut kami lapar.

"Kita fokus aja dulu ke ujian, baru kita lanjutkan lagi pengintaiannya." Prayoga sambil memakan nasi goreng dengan lahap.

Aku menatap Laras. "Lagian kita lagi di kantin. Kita ga boleh bahas itu disini, Ras."

"Tapi, semakin kita tunda kita bakal semakin membuang waktu kita buat nemuin siapa pelakunya. Bener ga sih ?" Bella mengacungkan sendok baso nya.

"Iya, Bel. Tapi ujian ini lebih penting dari pada kita nemuin siapa pelaku pembunuh Agung dan Tina. Semoga aja ada kabar baik dari kepolisian yang udah nemuin pelakunya." Tungkas Fajar.

"Gua ragu polisi bisa ngungkap kasus ini." Ucapku.

"Ko ragu ?" Fajar bertanya balik kepaku.

"Gua juga sependapat sama, si Dzafran. Harusnya polisi udah biasa menangani kasus pembunuhan seperti ini. Tapi ko bisa sampe selama ini polisi belum bisa nangkep pelakunya ? jawabannya ada dua. Pertama, si pelaku emang sangat profesional dalam melakukan aksinya sehingga polisi ga nemuin satu kesalahan (jejak) apapun si pelaku di tkp, itu bisa jadi pr berat bagi polisi. Kedua, pihak kampus ga ngasih uang sogokan ke polisi biar kasus ini lebih cepet diselesaikan." Prayoga menyambar sebelum aku bicara.

"Eh, emang harus ada sogokan segala ya ?" Gerakan sendok Bella terhenti.

"Itu udah bukan jadi rahasia lagi, Bel. Walaupun hanya oknum-oknum kepolisian tertentu saja yang kaya gitu."

"Wih, Lu emang bener udah kaya detektif di film-film yah, Ga." Fajar menepuk punggung Prayoga, tertawa.

Aku ikut tertawa. Perkataan Fajar memang benar. Semenjak kejadian Agung dibunuh, Prayoga memang bersikap seperti layaknya detektif dan selalu bersemangat dalam membahas kasus pembunuhan Agung dan Tina.

"Kita pindah topik aja, takutnya ada orang yang denger obrolan kita. Nah, lu sendiri sama Bella udah jadian belum?" Prayoga menatapku tajam.

Wajahku langsung terlipat. Si kampret ini memindahkan topik yang membuatku akan terpojok dengan ejekan.

"Ko jadi kesitu pindah topiknya ya, Pak?"

Sejak acara minggu lalu, aku memang sudah berpacaran dengan Bella. Namun, aku sengaja belum memberi tahu Prayoga, Fajar dan Laras karena mereka tidak menanyakannya. Seminggu ini, setiap pagi hari aku selalu mendapatkan kata-kata di pesan whatsup yang membuatku semangat menjalani hari dari Bella. Agak geli sebenarnya dalam membacanya tapi, aku suka sekali membacanya. Bahkan aku selalu membacanya berulang-ulang karena, dengan membacanya saja aku menjadi semakin cinta terhadap Bella.

Waktu istirahat kami habis. Kami tersadar saat Laras melihat jam tangannya dan mengatakannya kepada kami. Saatnya ujian mata kuliah kedua di mulai. Aku bernafas lega karena aku tidak jadi terpojok oleh ejekan Prayoga dan Fajar ataupun Laras. Bella bangkit lebih dulu, disusul Laras. Kamipun pergi meninggalkan kantin untuk beranjak kembali ke dalam kelas.

***

Esoknya, Aku terburu-buru masuk ke dalam kelas karena bangun kesiangan.

"Pagi, Dzaf. Rambut kamu acak-acakan banget, pasti telat bangun ya jadi ga sempet beresin." Laras menyapaku yang duduk di belakang.

"Eh, pagi juga, Ras. Iya aku telat bangun tadi, untung masih sempet masuk ke kelas." Aku menjawab, dan kini sudah menduduki tempat dudukku.

"Lagian udah aku telfonin juga buat bangunin kamu tadi tapi, ga bangun-bangun." Sekarang giliran Bella yang berada di sebelahku bicara.

"Ciyee… udah ada yang bangunin nih, Dzaf tiap pagi." Celetuk Prayoga yang berada tepat di belakang kursi Bella.

Aku dan Bella hanya saling pandang. Kami terdiam dan tak berani untuk menengok ke belakang sambil tertawa.

Sejak pertanyaan Prayoga kemarin, aku sudah menduga akan tiba saatnya Prayoga, Laras dan Fajar mengetahui statusku dengan Bella. Aku juga sudah menyiapkan mental untuk menahan setiap ejekan yang mereka lontarkan kepadaku.

Lalu Dosen pengawas ujian tidak lama datang setelah itu. Kami semua yang berada di dalam kelas duduk rapi dan bersiap mengerjakan soal-soal ujian. Kertas soal ujian sekarang telah berada dihadapanku. Aku menghela nafas, dan siap untuk mengerjakan.

***

Ujian hari terakhir sudah selesai.

Kami berlima memutuskan untuk pergi menuju rumah Laras untuk merayakan berakhirnya ujian tengah semester. Kami memilih rumah Laras karena memang kita semua belum pernah mengunjungi rumah Laras. Lagipula, orangtua laras sedang pergi ke rumah Neneknya di Lampung karena ada acara nikahan sejak hari kemarin.

Aku dan Bella duluan yang datang ke rumah Bella. Rumah Laras tidak sulit untuk ditemukan lewat aplikasi maps di handphoneku. Laras menyambutku dengan sangat antusias saat kami telah berada di depan rumahnya. Laras membukakan gerbang rumahnya dan mempersilahkan kami untuk masuk.

Rumah Laras sangat besar. Lebih besar dari pada rumah Bella ataupun rumahku. Ternyata, aku mempunyai teman-teman yang berasal dari kalangan orang kaya semua. Pedahal kalau dilihat-lihat, Laras tidak menunjukan bahwa ia anak orang kaya. Karena ia selalu berpakaian apa adanya dan tak mencolok dengan barang-barang mewah seperti Bella.

Kami kini telah duduk di ruang tamu. Di atas sofa yang sangat empuk untuk di duduki. Laras telah membawakan kami minuman dan cemilan. Sambil menunggu kedatangan Fajar dan Prayoga.

"Kamu tau ga, Bel, katanya dufan minggu depan bakalan ada promo loh. Kita kesana yuk bareng-bareng?!" Laras dengan bersemangat.

"Oh iya? Promonya apaan emang?" Bella bertanya.

"Diskon lima puluh persen tapi khusus di hari weekday. Lumayankan ? ya sekalian aja kita pergi liburan bareng-bareng gitu. Kampus juga pastinya liburkan abis ujian seminggu biasanya." Laras mengangkat bahunya.

"Kalau aku sih, gimana ini aja nih mau apa engga?" Bella mencolek hidungku.

Aku yang sedang melihat handphoneku, langsung menoleh ke arah Bella yang mencolek hidungku. "Kalau kamu pengen kesana sih, ya ayo aja aku mah."

"Fix. Kita berangkat ke dufan minggu depan, Ras." Bella kegirangan sambil menunjuk jari telunjuknya ke atas.

"Kalian emang cocok ya serasi." Laras tertawa.

"Iyalah kalau ga cocok, mana mungkin kita pacaran." Bella langsung menutup mulutnya karena keceplosan.

Kali ini aku yang tertawa.

"Kalian pacaran?! Dari kapan?!" Laras yang kaget, langsung menanyakannya sambil melotot.

Aku mengangguk. Mungkin tak ada salahnya mengakui bahwa aku dan Bella berpacaran kepada Laras, karena ia menanyakannya.

"Udah hampir semingguan lah. Eh bener ga sih?" aku melirik kepada Bella.

"Iyaa." Bella mengangguk-angguk senang. "Maaf yah, kita ga ngasih tau kamu. Abisnya kamu ga nanya sih dari kemaren-kemaren."

Laras menoleh ke arah Bella. Mengerutkan dahinya tanda kecewa. "Ih kalian jahatlah baru ngasih tau aku sekarang. Tau gitukan pas kemaren di kantin minta traktiran ke kalian."

"Yaudah, entar aku traktir kamu deh kamu mau makan apa sok sepuasnya." Aku tersenyum lebar.

"Eh, Seriusan, Dzaf?" Laras bertanya pelan.

"Iya aku serius, tapi makannya ga boleh lebih dari sepuluh ribu ya?" aku tertawa.

Di tengah-tengah percakapan antara kami bertiga di ruang tamu, terdengar suara klakson motor dari luar. Laraspun pergi ke luar hendak membukakan pintu gerbang. Aku dan Bella mengikutinya dari belakang.

Laras membukakan gerbang rumahnya. Ternyata, Fajar yang datang. Tapi, ada yang aneh dari mukanya. Ia terlihat pucat dan matanya merah seperti orang yang sudah menangis. Lalu air matanya menetes ke pipinya. Bibirnya mulai terangkat untuk mengatakan sesuatu. Kami terdiam terheran kenapa Fajar bisa seperti itu.

"Lu kenapa, Jar? Ko nangis?" aku bertanya kerehanan.

"Lu belum cek group whatsup kelas? Prayoga di bunuh tadi malem." Fajar berkata gemetar sambil menahan air matanya.

Kami terkaget saat mendengarnya. Aku langsung mengeluarkan handphone yang berada di saku celanaku. Aku melihat group kelasku di whatsup benar saja, Ardi yang sebagai ketua kelas mengumumkan bahwa Prayoga telah tewas di bunuh.

"Innalilahi Wainnalilahi Roji'un. Telah berpulang teman kita yang tercinta kembali yaitu Prayoga tadi malam. Prayoga tewas di bunuh dengan cara di tusuk di bagian perut dan di bagian leher. Mayatnya ditemukan di bawah parit selokan dekat rumahnya. Saya mendapatkan kabarnya langsung dari Keluarganya yang mengirim sms. Yang mau dateng ke rumah duka, bisa langsung berkumpul di kampus biar kita sama-sama berangkatnya. Dan mari kita doakan teman kita agar di terima amal baiknya dan di tempatkan di surga. Aamiin. Sekian dan terima kasih." Aku membaca isi teks dari Ardi.

Aku terdiam. Bella langsung memeluk Laras yang berada di sampingnya. Fajar kembali meneteskan air matanya, kali ini tak terbendung. Air mataku pun turun membasahi pipi, aku ingin teriak tapi entah kenapa rasanya berat sekali. Bella dan Laras sudah menangis lebih dulu. Kami semua harus berduka dan kehilangan teman terbaik kami kembali.

***

Sekarang kami sudah kembali berpindah ke ruang tamu rumah Laras. Kami sudah bisa mengontrol diri kami. Walaupun Bella masih mengeluarkan air matanya. Aku beberapa kali memeluknya untuk menenangkan kekasihku itu. Rencana hari ini berantakan. Yang tadinya kita akan bersenang-senang malah menjadi kesedihan yang sangat berat untuk kami terima kembali. Emosiku tidak memuncak seperti saat aku tahu bahwa Agung tewas dibunuh. Kali ini aku lebih bisa mengontrol emosiku, walaupun dalam hati aku sangatlah kesal dan marah.

Tak ada yang menyangka bahwa Prayoga juga akan meninggalkan kami. Kemarin, kita masih bercanda sehabis ujian di kantin seperti biasa. Saling bercerita apa saja yang kami alami di hari itu tapi, tak kusangka bahwa hari kemarin adalah hari terakhir kami bisa melihat Prayoga tertawa lepas.

Kami terdiam dan tertunduk lemas.

"Eh, kalian sadar ga sih kalau kematian Tina, Agung, Prayoga bahkan kejadian kemaren yang menimpa Bella, mirip kronologi kematian waktu kita main werewolf di rumah Bella ? masih pada inget ga ?" Laras membuka obrolan setelah hampir dua puluh menit kami hanya terdiam dan terduduk lemas di ruang tamu.

Aku menoleh ke arah Laras. Mencoba kembali mengingat-ngingat kejadian disaat kami pertama kali bermain werewolf.

"Oh iya! Gua inget waktu kita main werewolf. Kalau ga salah orang yang mati duluan pas main werewolf kan tuh Tina, terus Agung, terus Bella yang diselamatin sama Guardian, terus Prayoga yang mati." Aku sambil mengingat-ngingat kembali.

"Iya kan ?! kejadian semua ini tuh sama kaya kita waktu main werewolf. Terus kematian Agung, Tina sama Prayoga kalau di inget-inget juga sama kaya kronologi pembunuhan mereka pas main werewolf." Laras kini bersemangat. Ia seperti menemukan sebuah jalan keluar dari semua kejadian ini. Dan kenapa juga itu tak terpikir dan teringat olehku atau oleh Prayoga dari kemaren-kemaren.

Bella bangun dan duduk tegap setelah tadi kepalanya terus menempel di bahu Laras. "Tapi, ko kamu bisa kepikiran kesitu sih, Ras?"

"Ga sengaja, tadi di luar pas Dzafran baca whatsup dari si Ardi, ia bilang kalau mayat Prayoga ditemukan di parit selokan. Pas aku inget-inget lagi kematian Agung dan Tina juga sama sesuai dengan perkataan si narator waktu itu. Coba kalian inget-inget lagi deh!" Laras berkata meyakinkan.

"Iya Gua inget semuanya sekarang. Jangan… Jangan…." Aku melirik ke arah Fajar yang tepat berada di depanku.