Chereads / WEREWOLF : "THE GAME IS BEGINNING" / Chapter 17 - BAB 17 : SANG PEMBUNUH

Chapter 17 - BAB 17 : SANG PEMBUNUH

Sudah sekitar lima belas menit aku dan Fajar terlibat perkelahian. Untung saja, tak ada sedikitpun barang yang pecah di ruang tamu rumah Laras. Bisa berakibat fatal bagi Laras jika saat orang tuanya pulang nanti, guci kesayangannya tak ada di tempatnya. Setelah perkelahian barusan, suasanya menjadi semakin rumit dan tegang. Sementara aku, masih gemetar dengan tatapan kosong ke arah Fajar.

Laras mendekati Fajar dan menyingkirkanku dari atas tubuhnya. Laras menggoyang-goyangkan tubuhnya, mendekatkan telinganya ke dadanya dan menaruh jarinya di hidungnya. Tapi, tak ada reaksi apapun. Fajar sekarang telah terbujur kaku.

"Jar ! Fajar ! Ko? Fajar bangun !" Laras mencoba membangunkan Fajar. Namun, sepertinya hal itu sia-sia di lakukan oleh Laras. Ia menoleh ke arahku. "Apa yang kamu lakuin ke Fajar, Dzaf ?!"

Aku takut menatap tatapan mata Laras. Aku mendekatkan kakiku ke tubuhku dan memeluknya. Aku tertunduk sembari seluruh badanku masih gemetar hebat. Aku tak kuasa melihat apa yang telah terjadi. Aku, telah membunuh temanku sendiri dengan kemauanku sendiri.

"Apa Fajar mati, Ras?" Bella memastikan.

Laras hanya menganguk pelan dan meneteskan air matanya. Lalu mengusap wajah Fajar yang matanya masih terbuka. Seketika, Bella langsung berteriak hebat. Bella memukulku beberapa kali. Ia sangat marah dengan apa yang telah aku lakukan. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya bisa pasrah menerima semua pukulan Bella dengan wajah yang masih tertunduk ke lantai.

"Kenapa kamu bunuh Fajar?! Kamu pembunuh!" Bella masih memukuliku.

"Maaf, aku lepas kontrol. Aku ga bisa nahan emosiku."

Suasana menjadi sangat kacau. Belum juga selesai kita semua menemukan siapa pelaku pembunuhan yang sebenarnya, belum selesai juga menangisi kepergian Prayoga, sekarang aku membunuh temanku sendiri yang aku curigai sebagai pelaku pembunuhan teman-temanku juga. Aku membuat situasi ini semakin rumit bagi Bella dan Laras. Aku sangat menyesali apa yang sudah aku perbuat.

Kini, Bella telah terduduk sambil memegangi lututnya ketakutan. Ia persis sepertiku beberapa menit lalu saat aku telah membunuh Fajar. Laras tertunduk sambil menutupi wajahnya yang mungkin sudah basah karena air matanya.

Bella mulai berbicara sendiri seperti orang yang depresi hebat. "Kita semua bakalan mati. Kita semua bakalan mati. Kita semua bakalan mati!"

Laras menangis tersedu dan kini suaranya mulai terdengar nyaring. Aku sendiri, bingung harus bagaimana setelah ini. Hal pertama yang mungkin harus aku lakukan setelah ini adalah menenangkan Bella yang sudah seperti orang paranoid. Aku menghampiri Bella dan memeluknya.

"Bel! Kamu bisa tenang ga? Kalau kamu panik kaya gini, kamu cuman memperburuk keadaan. Udah yah, kamu tenang." Aku memeluknya dari belakang.

Bella menyingkirkan tubuhku yang sedang memeluknya. Ia seperti enggan di sentuh olehku.

"Emang kita bakalan mati semua sekarang! cepat atau lambat, pembunuh itu pasti ngebunuh kita semua!" Bella berteriak.

Laras yang sepertinya sudah mulai bisa menenangkan dirinya sendiri, sepertinya tidak tega melihat Bella ketakutan. Ia kembali menjalankan tugasnya sebagai pemberi ketenangan bagi Bella.

"Bel, kamu harus tenang. Kita cari jalan keluarnya sama-sama. Kita semua gakan mati." Laras kini memeluk Bella.

Aku juga ingin ikut berperan dalam menenangkan Bella. "Ga ada yang bakalan mati lagi di antara kita. Aku jamin itu!"

"Hah? Kamu bakal ngejamin keselamatan kita?" Bella kaget dengan apa yang baru saja aku ucapkan.

"Iya, aku jamin." Aku meyakinkan Bella.

"Aku ga percaya lagi sama kamu! Kamu liat sendiri kan? Kamu udah ngebunuh Fajar, Dzaf! Temen kamu sendiri, temen kita semua! Dan sekarang, kamu mau ngejamin keselamatan kita semua? Cepat atau lambat aku bakalan mati sama si pembunuh atau mungkin sama kamu, Dzaf!" Bella membentak dan berkata penuh amarah kepadaku.

Aku tak bisa berkata apa-apa. Apa yang dikatakan Bella benar. Wajar, bila sekarang Bella takut terhadapku. Aku telah membunuh Fajar di depan matanya sendiri. Andai saja, aku mendengarkan apa kata Bella di saat aku mencekik Fajar, mungkin Fajar masih hidup sekarang. Andai saja, aku bisa menahan diriku untuk berhenti mencekik Fajar, mungkin Bella tidak akan setakut ini terhadapku. Tapi, waktu tidak bisa di putar kembali. Inilah kenyataan yang harus aku terima sekarang.

Suara petir saling menyambar kini terdengar, tak lama suara derasnya hujan terdengar dari dalam. Kini, semuanya hanya bisa terdiam. Aku melihat tubuh Fajar yang tergeletak di lantai. Air mataku kini jatuh membasahi pipiku, aku benar-benar menyesal dengan apa yang telah aku perbuat. Laras berdiri dari tempatnya dan pergi ke dapur. Aku hanya bisa melihatnya begitu saja berjalan ke arah dapur.

Laras datang kembali dengan membawakan dua gelas air putih menggunakan nampan.

Laras menghampiriku. "Minum dulu, Dzaf."

Aku mengambil gelas yang ia sodorkan kepadaku. Aku meminumnya dengan cepat. Tenggorokanku terasa sangat kering, mungkin karena aku sudah mengeluakan energi yang banyak saat melakukan perkelahian dengan Fajar. Bella juga mendapatkan satu gelas air putih dari Laras. Bella meminumnya sedikit lalu meletakannya kembali.

***

Pukul setengah enam sore, demikian petunjuk jam yang berada di dinding rumah Laras.

Di luar sana, matahari bersiap tenggelam di kaki langit walaupun tertutup oleh awan hitam yang tebal. Tapi dengan situasi yang sedang aku alami saat ini, aku tak memperdulikannya sama sekali. Suara tetesan hujan kini menjadi temanku di ruangan ini.

Setelah hampir setengah jam kami hanya saling terdiam, sepertinya tak ada lagi yang bisa aku pikirkan setelah daritadi aku mencoba berpikir. Kedepannya, mungkin aku akan berada di balik jeruji besi karna perbuatanku. Aku tak bisa membayangkan bagaimana ekpresi wajah Mama ketika anaknya ini telah melakukan tindakan kejahatan. Aku tak kuasa bila nantinya, aku harus melihat Mamaku meneteskan air matanya karena perbuatanku yang bodoh ini.

"Terus ini mayat Fajar mau dikemanain?" Bella menatap Laras.

Laras berpikir. "Kita taro di wc aja dulu, takutnya ada orang yang liat. Dzaf, coba kamu taro dulu mayat Fajar ke wc yang di pojok." Laras menyuruh.

Meletakan mayat Fajar di wc paling pojok rumah ini mungkin ide yang bagus. Sebelum kita menemukan jalan keluar untuk masalah ini, memang lebih baik tubuh Fajar kita pindahkan daripada tergeletak di ruang tamu seperti ini.

"Orang tua kamu engga balik hari ini kan, Ras?" Tanyaku.

Laras menggeleng. "Orang tua aku pulang besok pagi ko. Sekarang kamu kesanain dulu aja sok, abis itu kamu cepet kesini lagi."

Aku mengangguk, aku menggusur tubuh Fajar menuju wc yang ada di pojok ruangan. Aku sudah seperti seorang pembunuh berantai yang menyeret korban yang telah aku bunuh.

Aku meletakan tubuh Fajar dengan sangat hati-hati di dalam wc. Aku sandarkan tubuhnya di dinding bak mandi. Tubuh Fajar ternyata cukup berat walaupun hanya aku gusur. Aku menatap kembali wajah Fajar dan mencoba mengingat kembali apa yang ia coba katakan di saat terakhirnya.

"Maafin gua Jar, gua ga bermaksud buat ngebunuh lu. Maafin gua" Aku berdiri sambil melihat tubuh Fajar yang tergeletak.

Aku melihat dinding ruangan wc ini. Ruangan ini berbentuk kubus. Dengan keramik berwarna biru. Di dinding sebelah kiri, aku melihat ada sebuah jaket hoodie berwarna hitam tergantung. Aku menyentuhnya dan mencoba menyingkapkan bagian tangannya untuk melihat lebih jelas jaket hoodie tersebut. Setelah aku sikapkan, ada sepercik noda darah di jaket tersebut. Aku mencolek noda darah tersebut. Ternyata sudah kering.

Di saat aku mencolek noda darah tersebut, aku menjadi teringat dengan apa yang Fajar barusan ucapkan. Dari gerakan bibirnya, ia seperti mengatakan "Bukan gua pelakunya." Akupun teringat kalau si pembunuh kemungkinan memakai jaket hoodie berwarna hitam seperti apa yang dikatakan Prayoga.

"Jangan….Jangan….Pelakunya!"

Lalu terdengar suara teriakan yang sangat keras dari luar. Aku kenal suara itu, itu suara Bella. Aku menoleh ke luar.

"Engga salah lagi!" Aku berkata dalam hati.

Aku bergegas meninggalkan wc dan menuju ke ruang tamu.