LANGIT hari ini cerah. Tak seperti sebelum-sebelumnya yang selalu mendung dan turun hujan. Sebenarnya, ini waktu yang tepat bagi kami merayakan berakhirnya ujian tengah semester. Namun, sesuatu terjadi kepada teman kami. Ia berpulang disaat kami menunggu kehadirannya. Rumah Laras menjadi saksi bisu betapa sedih, bingung, marah, dan suasana hati kami yang campur aduk. Walaupun, itu tak berlangsung lama.
Aku menelan ludah. Wajah Fajar sekarang sudah mengerutkan dahinya. Seakan ia tak menerima apa yang baru saja aku katakan.
"Maksud lu apa natap gua kaya gitu? Lu kira gua pembunuhnya gitu?" Fajar balik menatapku tajam.
"Gua ga bilang kalau lu pembunuhnya." Aku menjawab.
"Tapi maksud tatapan lu tadi ke gua apa ?!"
"Gua kan punya mata, masa ga boleh liat lu?" Aku menggeleng.
Sebenarnya aku sengaja menatap Fajar. Aku ingin melihat respon dia seperti apa jika aku tuduh. Melihat responnya seperti itu, aku menjadi curiga. Tapi, aku tak bisa gegabah memutuskan bahwa ia adalah pelakunya. Karena Fajar adalah teman ku yang dalam sebulan kebelakang menjadi dekat dengan ku dan yang lainnya. Karena biasanya, ia selalu tidak pernah ikut kumpulan bersama teman-teman lainnya karena sibuk dengan pekerjaannya. Fajar juga terlihat tidak mempunyai teman yang dekat dengannya selama ini. Fajar adalah mahasiswa kupu-kupu, sehabis belajar pulang.
Kali ini aku ingin melihat responnya lebih jauh. "Lu pelakunya kan, Jar?" Kali ini, aku sambil mengarahkan telunjuk ke Fajar.
Fajar yang daritadi duduk di sofa, kini ia berdiri dan terlihat emosi.
"Udah gua kira, lu pasti berpikiran kalau gua yang pelakunya. Asal kalian tau, gua bukan pelakunya!" Wajah Fajar terlihat sudah mulai memerah.
"Terus kenapa, kematian Tina, Agung, Prayoga, dan kejadian yang Bella alamin kemaren sama persis dengan deskripsi lu waktu kita main werewolf?" Aku terus memancing kemarahan Fajar.
"Ya mana gua tau! Gua kan spontan waktu itu ngomongnya." Suara Fajar sekarang sudah sedikit membentak.
Melihat respon Fajar yang bereaksi seperti itu, aku menjadi semakin curiga bahwa dia adalah pelakunya. Tapi apa yang ia pikirkan kalau benar ia pelakunya ? apa yang membuatnya tega membunuh temannya sendiri ? karena, gua pernah baca di suatu buku psikologi, bila seseorang bersalah dan terpojok ia akan membela dirinya habis-habisan dan mukanya terlihat sangat emosi dan ada rasa takut di bola matanya. Dan Fajar, sedang melakukannya sekarang.
"Tapi bisa aja kan, lu emang udah ngerencanain ini semua? Dan waktu itu, yang ngajak main werewolf juga elu!" aku menatap tajam ke arah Fajar.
"Eh, lu ga bisa yah nuduh gua tanpa bukti yang jelas!" Fajar membela dirinya.
Aku melihat ke arah Bella dan Laras. Bella terlihat ketakutan melihat aku dan Fajar yang sedari tadi cekcok. Sedangkan Laras, ia terus menggandeng tangan Bella yang ketakutan. Dari semenjak kejadian Tina, Laras adalah orang pertama yang selalu ada di samping Bella. Menjadi orang pertama yang menenangkannya dalam ketegangan dan ketakutan. Wajar saja semenjak semester satu, Bella dan Laras memang sudah bersama menjadi sahabat yang terpisahkan.
"Udah dong udah! Ko kalian jadi saling tuduh-tuduhan gini sih?" Bella memecahkan ketegangan diantara aku dan Fajar.
Aku dan Fajar terdiam, hanya bisa saling menatap tajam. Suasana ruangan lengang sejenak untuk beberapa detik. Jam di dinding terdengar nyaring sekarang. Suara tv yang menyala sejak dari tadi menjadi terdengar mengganggu. Fajar beberapa kali menggaruk kepalanya gelisah. Pandanganku, tak sedetikpun lepas darinya. Bahkan Bella yang dari tadi disampingku, sama sekali ia tak menenangkanku karena ketakutan. Bahkan ia sendiri tak mampu untuk menenangkan dirinya sendiri. Fajar masih berdiri, berjalan maju mundur seperti memikirkan sesuatu. Sekarang, posisi Fajar membelakangiku. Lalu ia memutarkan badannya, sambil menunjuk ke arah Bella dan Laras.
"Gua tanya ke kalian, kalian juga berpikiran gua pelakunya?" Fajar bertanya kepada Bella dan Laras.
Bella dan Laras hanya terdiam.
"Waktu kita lagi ngelakuin pengintaian di kampus, lu bilang kalau lu ada di posisi si pembunuh, lu bakalan bersikap normal dan ga bersikap yang membuat seseorang curiga. Kayaknya lu handal dalam ngelakuin itu." Aku berusaha mengalihkan pandangan Fajar dari Bella dan Laras.
"Maksud lu ?" Fajar mendekatiku dan hanya berjarak 10 cm tepat di depanku yang sedang duduk.
Aku berdiri, kini aku sudah sejajar dengannya. "Maksud gua adalah, lu adalah pembunuh."
Fajar langsung menggenggam erat kerah bajuku. Seakan ia sedang mengancamku. Matanya melotot dan terlihat urat-urat dikepalanya keluar. Sepertinya ia sudah mencapai emosi puncaknya. Melihat kami yang mulai memanas, Bella kembali berusaha melerai.
"Kalian tenang dong! Ga ada gunannya saling tuduh-tuduhan gini!" Bella hendak berdiri dari sofa.
Sambil tak melepaskan pandanganku ke Fajar. "Udah Bel, kamu duduk aja! Kita udah nemu siapa orang yang ngebunuh temen-temen kita." Aku sambil mengayunkan tanganku ke arah Bella. Menegaskan untuk Bella tidak beranjak dari tempat duduknya.
"Lo, ga bisa nuduh gua sembarangan!" Fajar sudah sangat emosi sekarang. Ia mendorong badanku ke belakang dengan tangannya yang tadi sedang mencengkram kerah bajuku.
Aku terdorong ke belakang. Walaupun tak sampai terjatuh.
"Atau… jangan-jangan…. Pelaku yang sebenernya adalah lu, Dzaf!" Fajar sambil menyeringai.
Aku mengerutkan dahiku sambil mengangkat alisku. "Ko lu jadi balik nuduh gua?" Aku tertawa.
"Diantara kita bertujuh, lu yang paling ambisius! Bisa aja kan, lu pengen ngebunuh kita semua satu persatu demi ambisi lu?" Fajar menunjuk lurus ke arahku.
"Ambisi apa? Gua ga ngerti sama sekali maksud lu. Tapi karena lu ngomong barusan, gua semakin yakin kalau lu adalah pelakunya, Jar." Aku berkata dengan nada tinggi.
Fajar melangkahkan kakinya mulai kembali mendatangiku. Tangan kanannya sudah mengepal, dan siap meluncurkan pukulannya.
"Jangan asal ngomong ya lu anjing!"
Fajar melepaskan tinjunya ke arahku. Pukulannya cepat, aku tak sempat menghindar. Pukulannya telak mengenai pipi kananku.