HUJAN turun deras sekali di luar. Sudah tiga hari belakangan ini di setiap sore memang sering turun hujan. Mungkin karena memang sudah masuk ke musim hujan juga di pertengahan bulan oktober. Suara petir terdengar saling menyambung seperti nada-nada di sebuah pertujunkan orckestra. Udara mulai terasa lembab dan dingin.
Namun, tak menyurutkan suasana di dalam kafe ini. Kafe di jalan dekat pusat kota ini mendadak penuh sesak karena ada seorang penyanyi indie yang sedang tampil. Kebetulan, aku dan Bella sama-sama menyukai penyanyi ini. Bagi para pecinta musik indie, Danilla Riyadi bukanlah nama yang asing lagi di telinga. Buktinya, kafe ini saja penuh sesak di datangi oleh para fans Danilla dimana aku dan Bella adalah salah satu diantaranya. Bahkan Bella, yang biasanya bersikap lembut tak henti bernyanyi saat Danilla membawakan lagu-lagu andalannya. Semua orang bertepuk tangan dan berteriak saat Danilla selesai membawakan salah satu lagunya dan menyapa semua orang yang berada di kafe ini.
Aku menatap keramaian. Semua meja dan kursi terisi penuh, bahkan ada orang-orang yang berdiri untuk menonton Danilla bernyanyi. Beruntung, aku bisa kebagian meja yang pas hanya berisikan dua kursi di pinggiran tembok kafe ini. Semua pengunjung yang hadir kebanyakan adalah kaum muda, walau ada juga beberapa orang dewasa yang datang. Belum lagi, penonton semakin ricuh berteriak saat ada salah satu pengunjung naik ke atas mini stage untuk memberikan bunga kepada Danilla. Membuat iri semua orang yang menyaksikannya.
Seorang pemuda yang menghampiri Danilla di mini stage membungkuk saat memberikan bunga. Danilla hanya tersenyum dan mengulurkan tangannya kepada pemuda tersebut. Aku sendiri yang melihatnya, menjadi kesal dan sangat iri. Bisa menyaksikan Danilla sedekat ini saja hatiku sudah sangat senang, di tambah lagi bisa menonton Danilla dengan orang yang aku sukai sejak lama yaitu Bella. Sejak tadi sebelum berangkat, Bella sudah tidak sabar untuk sampai kesini. Ia sudah mengatakan "Pengen cepet liat Danilla" di sepanjang perjalanan. Sampai-sampai telingaku sudah bosan mendengarnya.
Lihatlah, sekarang ada lagi seorang pemuda lainnya yang menghampiri Danilla membawakan hadiah berbentuk kotak dengan dibungkus rapih menggunakan kertas kado. Aku menelan ludah dan menggelengkan kepalaku.
Aku menyikut lengan Bella yang berada disebelah ku.
"Eh, kenapa, Dzaf?" Bella menoleh.
Sambil masih melihat ke depan, sambil memperbaiki posisi dudukku. "Untung kamu bukan Danilla yah."
Bella tertawa melihat ekpresi wajahku. "Loh, emangnya kenapa?"
"Karena aku pasti lebih kesal dari pada ini saat ada orang lain menghampiri kamu dan membawakan bunga dan hadiah di depan mataku." Aku menoleh ke arah Bella.
Aku melihat poster Danilla yang akan main di Bandung pada seminggu yang lalu. Aku kirimkan poster tersebut kepada Bella melalui whatsup. Bella langsung merespon "Kita harus kesana!". Aku langsung tertawa saat melihat chat jawaban Bella, karena sudah kuduga responnya pasti akan seperti itu. Untungnya, hari ini kampus libur karena sedang minggu tenang sebelum ujian tengah semester di mulai. Belum lagi, aku ingin Bella melupakan kejadian yang mengerikan untuknya dua hari yang lalu.
Dua hari yang lalu, aku masih ingat sekali saat Bella memelukku ketakutan karena ada seseorang yang hendak membunuhnya. Bella menangis, tubuhnya gemetar, karena kejadian itu.
"Emm…, Dzaf, jangan pergi. Kamu mau ga temenin aku malem ini?" aku terdiam tidak percaya saat Bella mengatakannya sambil menunduk malu. Aku mengerti kondisi Bella saat itu. Siapa yang mau juga sendirian kembali di rumah ketika beberapa saat yang lalu ada orang asing yang menerobos pagar rumah dan hendak membunuh? Aku tak bisa menolak permintaan Bella saat itu.
Aku kembali duduk di sofa sebelah Bella. Aku mengangkat dagunya sambil memandang wajah Bella. "Iyah. Aku ga akan pergi kemana-mana ko."
Bella tersenyum. "Makasih, Dzaf".
Setelah mengunci pagar kembali dengan gembok cadangan, karena gembok pagar sebelumnya rusak oleh orang tak dikenal yang memakai topeng, Bella masuk kembali ke rumah dan mengunci pintu rumahnya. Aku ikut ke kamar mandi untuk membersihkan mukaku yang terasa sangat berdebu. Sementara Bella sudah meletakan kasur kecil di tengah-tengah ruang tv. Tak lupa Bella juga meletakan bantal, guling dan selimut di atas kasur.
Bella membuatkanku secangkir teh hangat saat aku sedang mengeringkan rambut dan wajahku menggunakan handuk yang tergantung di dinding.
"Ini diminum teh nya, Dzaf. Kamu tidur disini aja ya udah aku siapin tuh kasur sama yang lainnya." Bella sudah meletakannnya di atas meja kaca.
"Eh, ga usah repot-repot kali Bel." Aku mengangkat bahu.
"Gapapa ko, ga ngerepotin juga." Bella tersenyum ringan.
Rumah Bella terdiri dari ruang tamu, ruang tv, ruang makan, dan ada empat kamar yang masing-masingnya berada dua di lantai bawah dan dua di lantai atas. Di lantai atas, ada dua kamar dan di bawah ada dua kamar. Lalu aku teringat ada hal yang ingin aku tanyakan kepada Bella soal orang tuanya. Karena terlihat aneh, rumah yang cukup besar ini hanya ditinggali oleh Bella sendiri.
"Oh iya, Bel. Aku mau nanya boleh?" aku memulai pembicaraan di ruang tv sambil duduk di atas kasur.
"Boleh, tanya aja." Bella duduk di sebelah ku.
"Ngomong-ngomong orang tua kamu kemana ? ko setiap aku kesini ga pernah liat orangtua kamu ? atau kamu di rumah ini sendirian ?" Aku menoleh kepada Bella.
Bella menghembuskan nafas panjang. "Orang tua aku udah cerai, Dzaf. Ini rumah Ayahku, tapi ayah jarang di rumah. Ia selalu sibuk berpergian ke luar negeri ngurusin perusahan travel miliknya." Bella menjawab pelan.
"Sebelum nya sorry, aku nanya kaya gitu. Soalnya aku penasaran aja. Terus kamu ga punya sodara kakak atau ade gitu ?" Aku bertanya kembali.
"Punya. Aku punya kaka cowo satu, tapi dia kuliah di Yogyakarta. Aku juga punya adik cewe, tapi ia tinggal bareng Mama di Jakarta. Jadinya aku selalu sendiri di rumah." Bella menundukkan kepalanya.
Kemudian ia mengangkat kepalanya, menoleh kepadaku sambil tersenyum. "Tapi, semenjak kamu, Laras, Prayoga, Fajar, Agung sama Tina sering ke rumah aku seneng banget. Karena aku ngerasa ga kesepian lagi."
Aku hanya terdiam mendengar perkataan Bella. Aku tak bisa membayangkan betapa kesepiannya Bella ketika ia di rumah. Apalagi ia harus membereskan segala sesuatunya sendiri di rumah ini. Belum lagi, ia harus membersihkan rumah yang cukup besar ini sendirian. Masih mending dengaku yang segala sesuatunya masih di siapin oleh Mama. Dan ada pembantu yang membersihkan rumahku.
Aku menggengam tangan Bella.
"Kalau kamu ngerasa sendiri di rumah, jangan sungkan buat suruh aku atau yang lainnya ke rumah yah? Atau apapun itu yang sekiranya membutuhkan bantuan buat keperluan di rumah kamu bilang ke aku ya? I'll be there for you." Aku tersenyum.
Bella langsung memelukku. "Makasih, Dzaf. Makasih kamu bakalan selalu ada buat aku."
"Sama-sama… tapi, ngomong-ngomong kenapa kamu ga nyewa pembantu aja ? kan lumayan buat ngurusin rumah sama nemenin kamu di rumah." Aku kembali bertanya.
Bella melepaskan pelukannya. Mendongkak ke arahku. "Dulu, di rumah ini sempet ada pembantu. Ia sudah kami anggap bagian keluarga kami. Cuman, ia nyuri uang Papa yang disimpen di dalam kamarnya. Semenjak kejadian itu, Papa memutuskan untuk engga nyewa lagi pembantu. Dan menyuruhku untuk mandiri mengerjakan apa-apa di rumah ini sendirian."
"Emm… gitu. Pantes aja waktu pertama kali aku ke sini, agak aneh rumah cukup besar seperti ini tak ada pembantunya."
"Pengennya sih ada pembantu lagi." Bella menjawab singkat. Ia tiduran disebelahku. Sementara aku, masih duduk sambil bersender ke sofa yang berada di ruang tv.
"Gimana kalau aku jadi pembantu di rumah ini? Tapi bayarannya dua puluh juta sehari gimana ?" Aku tertawa.
"Engga, makasih. Udah ga butuh jasa pembantu da." Bella menjawab sambil menjulurkan lidahnya, mengejek.
Tak lama setelah obrolan itu, Bella tertidur di sebelahku. Aku sendiri masih anteng menonton tv. Sebenarnya, jantungku dari tadi berdetak tak beraturan. Pikiranku tak jernih sejak dari tadi Bella berada di dekatku. Dan sekarang, Bella tertidur disebelahku. Aku beberapa kali menelan ludah karena melihat tubuh Bella. Ia hanya memakai kaos dan celana pendek. Sepert biasa, ia selalu berpakaian seperti itu bila sedang di rumah. Karena takut terjadi sesuatu yang berbuat dosa, akupun menyelimuti badan Bella dengan selimut agar badannya terasa hangat, sedangkan aku membawa guling ke ruang tamu dan tidur di sofa.
Sampai pagi menjelang, mataku terasa berat. aku tidak cukup tidur karena tak bisa tidur semalaman. Terus memikirkan yang membuat jantungku semakin berdegup kencang.
Hari-hari berikutnya, setelah kejadian. Tak ada yang membuat sikap Bella berubah. Ia masih sama seperti biasanya. Aku beberapa kali memastikan keadaannya di dalam telfon. Bella selalu mengatakan bahwa ia baik-baik saja dan orang yang hendak membunuhnya tak kembali datang ke rumahnya.
***
Kembali ke kafe di pinggiran jalan pusat kota.
Tepuk tangan panjang penonton bising di dalam ruangan, ketika Danilla hendak menyanyikan lagu terakhirnya malam ini. "Terima kasih untuk semuanya yang udah dateng malam ini. Lagu terakhir dari kami, Ada di Sana,."
Aku memperbaik rambutku. Tak terasa malam ini cepat berlalu begitu saja. Semua orang di ruangan bernyanyi lagu terakhir yang dibawakan oleh Danilla. Ini lah momen yang tepat pikirku.
Aku menoleh ke arah Bella. "Bel, ada yang mau aku omongin."
Bella menoleh ke arah ku. "Iya apa ?"
"Aku cinta sama kamu!" aku mengatakannya dengan cepat.
"Apaa?!" Bella mendekatkan telinganya. Sepertinya ia tak mendengar perkataanku karena suasana bising di ruangan ini.
"Aku cinta sama kamu!" aku mengatakannya lagi dengan nada yang lebih keras dan cepat.
"Apaa?! Ga kedengeran…" Bella semakin mendekatkan telinganya.
Aku menggelengkan kepala. "Aku.. Cinta.. Sama.. Kamu…" kini aku berteriak.
Orang-orang yang ada di meja di sekirar mejaku menoleh ke arahku. Akupun jadi malu karena orang-orang melihatku. Aku jadi kikuk sendiri.
"Apaa?!! Kamu barusan ngomong apa?" Bella kembali menanyakan dengan nada yang keras.
Akupun kesal karena Bella tak mendengar apa yang barusan aku katakan. Pedahal, aku sudah teriak. Sampai-sampai orang-orang di dekatku menoleh ke arahku. Aku tak ingin orang-orang yang berada disebelahku kembali melihatku seperti tadi. Aku diam tak mengubris pertanyaan Bella dan kembali menatap lurus ke depan.
Melihat ekpresi mukaku yang sebal, tiba-tiba Bella memelukku dari samping.
"Aku juga cinta sama kamu, Dzaf." Bella berbisik pelan di telingaku.
Aku terkaget apa yang dilakukan oleh Bella. Aku langsung menoleh ke arahnya. Bella sudah melepaskan pelukannya setelah ia selesai berbicara. Aku bertanya kembali memastikan kepada Bella, "Serius ?".
Bella tersenyum dan mengangguk pelan.
Karena gembira, akupun berteriak sekencang-kencangnya. "Yesss…..!!!! Yess..!!!"
Aku tak sadar kalau Danilla telah selesai membawakan lagu terakhirnya. Alhasil semuanya mendengar suara aku yang berteriak kencang. Akupun jadi pusat perhatian kembali. Bedanya, kini bukan hanya orang-orang yang di sekitar mejaku saja yang menatapku. Tapi, semua orang yang berada di ruangan ini menatapku keheranan. Alhasil aku terdiam karena menahan malu. Orang-orang masih menatapku.
Bella hanya tertawa melihatku.