PRAYOGA dan yang lainnya sudah menungguku di kantin. Seperti yang sudah direncanakan sejak kemarin malam, kita semua bertemu di kantin kampus. Tepat disaat, kita sudah menyelesaikan tugas bahasa inggris. Kemarin malam, hpku terus-terusan berbunyi. Isinya dipenuhi oleh chat group yang kami buat untuk berkomunikasi untuk menentukan jadwal mengerjakan tugas bahasa inggris. Prayoga dan yang lainnya, terus-terusan menanyakan kabar Bella saat aku bilang Bella nyaris terbunuh kemarin malam. Sudah jelas, Prayogalah yang terus-terusan menanyakan bagaimana rupa si pembunuh walaupun sudah aku bilang besok saja di kampus aku ceritakan. Tak aku sangka, mereka semua datang lebih pagi dariku. Sepertinya mereka sangatlah penasaran bagaimana kronologi kejadian kemarin malam.
Belum sempat aku duduk dengan Bella di kursi, Prayoga sudah memulai topik pembicaraan.
"Gimana, Dzaf? Gimana rupa si pembunuh?" Prayoga bersemangat.
"Sabar kali, belum juga duduk. Belum mesen minum." Aku menjawab santai.
Laras langsung memeluk Bella yang sudah duduk disebelahnya.
"Kamu gapapakan, Bel?" Laras bertanya pelan.
"Aku gapapa ko, Ras." Bella tersenyum.
Ibu kantin tiba mengantarkan pesananku dan Bella, tak lama setelah kami semua berkumpul. Sepertinya yang lain sudah tak sabar ingin mendengarkan ceritaku. Cerita mengerikan lebih tepatnya untuk Bella. Untungnya suasana kantin lengang, karena hari ini adalah hari libur. Tak ada aktifitas perkuliahan seperti biasanya, walaupun tetap banyak orang yang datang ke kampus. Sepertinya suasananya cocok untuk mulai saja menceritakan apa yang sebenarnya terjadi setelah selesai mengerjakan tugas kemarin malam di rumah Bella.
Akupun menceritakan kejadiannya dengan detail, tak ada satupun bagian cerita yang terlewat. Lagi-lagi, Prayoga amat serius mendengarkanku. Ia sepertinya yang paling tertarik mendengarkan ceritaku dibandingkan dengan yang lainnya. Fajar dan Laras pun sama-sama terdiam dan terus mendengarkan sama halnya dengan Prayoga. Sesekali, Bella menambahkan ceritaku. Ia berbicara dengan masih ada nada gemetar di setiap kalimatnya. Sepertinya, ia masih belum bisa sepenuhnya melupakan kejadian kemarin malam. Setelah sekitar dua puluh menit aku berbicara panjang lebar, tenggorokanku terasa kering. Aku meminum habis minumanku yang sudah sejak dua puluh menit yang lalu belum aku sentuh sama sekali.
"Ternyata, apa yang menjadi bahan penyelidikan kita benar." Prayoga bergumam sendiri.
"Iyah, Ga. Gua sekarang bakalan bantuin lu buat ngintai orang-orang di kampus ini yang pake jaket hoodie warna item." Aku menoleh ke arah Prayoga.
Prayoga tersenyum puas saat mendengrkan pernyataanku. "Ini bakalan seru."
Laras menyeka anak rambut di dahi. "Tapi apa ga bakalan berbahaya buat kita kalau kita nyelidikin si pembunuhnya ?"
"Setiap sesuatu pasti ada resikonya, Ras. Tergantung dari kalian mau ikutan apa engga, aku ga akan maksa juga ko." Prayoga sambil mengangkat bahunya.
"Kamu mau ikut?" Laras menyenggol sikut Bella.
"Aku penasaran juga siapa yang mau ngebunuhku tadi malem." Bella menjawab santai. Bella sudah mulai bisa lebih santai sekarang.
"Lu sendiri gimana, Jar?" Aku bertanya kepada Fajar.
"Gua udah pasti ikutlah kalau kalian semua ikut." Fajar berkata dengan mantap.
"Aku ikut juga." Laras menyusul setelah Fajar.
Walaupun begitu, Laras sepertinya yang nampak paling ketakutan diantara kami sekarang. Setelah mengetahui sahabatnya hendak terbunuh, mungkin ia juga menjadi memikirkan tentang keselematan dirinya sendiri. Apalagi kita akan melakukan misi untuk mengungkap siapa pelakunya, ini seperti saja mengatakan perang dengan si pembunuh.
"Oh iya, gua mau sampein sesuatu ke kalian. Menurut asumsi gua sekarang, setelah ngedenger cerita Bella yang mau dibunuh, gua semakin yakin kalau orang yang mau ngebunuh Bella adalah orang yang sama dengan orang yang ngebunuh Agung. Karena sesuai dengan petunjuk yang kita dapet, pembunuhnya memakai jaket hoodie warna item dan orang yang mau ngebunuh Bella kemarin pun memakai jaket hoodie warna item. Jadi, tak menutup kemungkinan atau malah kemungkinannya lebih besar kalau orang yang ngebunuh Tinapun ialah orang yang sama. Jadi, berhati-hatilah." Prayoga berbicara seperti detektif professional kembali.
Sekarang kami sudah berpencar membagi menjadi dua tim. Aku dan Fajar sedangkan Prayoga bersama Bella dan Laras. Kita sengaja berpisah karena agar lebih cepat mengindentifikasi siapa saja orang yang memakai jaket hoodie berwarna hitam dan yang terlihat mencurigakan. Aku dan Fajar diam di bangku pinggir lapangan sedangkan Prayoga, Laras dan Bella berada di tengah-tengah koridor utama kampus.
Aku memperhatikan disekitarku. Lapangan ini sepi, tapi sesekali ada orang yang melewatinya. Dari sini, aku bisa melihat seluruh bangunan kampusku. Begitupun orang-orang yang ada disekitarnya. Aku penasaran, apa yang di lakukan orang-orang ini pergi ke kampus di waktu libur. Apa mereka tak ada kegiatan yang harus mereka lakukan? Tapi setelah ku pikir-pikir, akupun sama semerti mereka.
Aku mulai menandai satu persatu. Ada sekitar tiga orang yang memakai jaket hoodie di kampus ini dengan berbagai corak. Tapi, diantara mereka bertiga tidak ada hal yang mencurigakan dari gerak-geriknya. Mereka seperti orang-orang pada umumnya, berkumpul dan mengobrol dengan temannya. Dari ketiganya, ada satu orang yang aku kenal. Ia adalah Falah, mahasiswa semester tujuh. Falah salah satu senior yang mengospek kami kala itu. Aku masih ingat disaat ia membentak aku, saat aku lupa membawa barang yang seharusnya di bawa pada waktu itu. Waktu itu rasanya aku ingin membalas perkataannya. Karena ucapannya membuatku sangat emosi. Tapi apa daya, aku harus menahan diri karena ia senior tingkatku yang sedang menjalankan perannya.
"Jar, lu tau kang Falah?" aku menyikut tangan Fajar.
"Tau, gua lagi liatin dia dari tadi." Fajar sambil menghembuskan asap rokok yang ia hisap.
"Ternyata lu juga lagi liatin dia ya."
"Emangnya kenapa ?" Fajar bertanya balik.
"Kira-kira dia bukan pelakunya?" Aku menoleh ke arahnya.
"Entahlah, tapi bisa jadi." Fajar menjawab santai.
"Tapi gerak-geriknya ga mencurigakan. Biasa aja." Aku menghembuskan nafas kecewa.
"Tapi kalau gua di posisi si pembunuh, mungkin gua juga bakalan bersikap normal dan ga bersikap yang membuat seseorang curiga." Fajar menoleh ke arahku.
Ada benarnya apa yang dikatakan Fajar barusan. Si pembunuh bakal berusaha se-normal mungkin agar tak terlihat mencurigakan dan berbaur dengan orang lain. Sebenarnya, kemungkinan bahwa kita akan menemukan si pembunuhnya di kampus ini adalah lima persen. Selain faktor memang kita tak mempunyai bukti yang cukup dan ada ratusan mahasiswa disini, kita juga tidak tahu rupa si pembunuh seperti apa. Kami hanya berbekal asumsi sederhana kami setelah melihat kejadian-kejadian yang menimpa teman kami. Pertama, Agung yang tewas dibunuh di kamar mandi kampus. Hanya mahasiswalah yang masih ada berkepentingan di kampus ini sampai larut malam dan kalau malam, setiap orang yang hendak masuk ke sini di periksa oleh satpam kampus. Kedua, Bella yang hendak dibunuh di rumahnya. Yang tau rumah Bella, pastinya seseorang yang kenal Bella atau temannya di kampus ini. Bisa juga orang itu menguntit Bella dari kampus sampai tau letak rumahnya. Hanya itu asumsi yang aku pikirkan selama ini, yang membuat kami yakin pembunuhnya adalah seorang mahasiswa di kampus ini.
Setelah satu jam aku dan Fajar duduk di pinggir lapangan, akhirnya aku memutuskan untuk menghampiri yang lain. Aku bergegas menuju koridor utama dengan Fajar yang mengikutiku di belakang. Aku melihat dari kejauhan Prayoga sedang serius memperhatikan di sekitarnya. Bella dan Laras pun sama, namun tak seserius Prayoga. Laras yang menyadari kedatangan aku dan Fajar langsung melambaikan tangannya.
"Gimana, udah ada orang yang kalian curigai ?" tanya Prayoga.
"Sepertinya. Tapi aku belum yakin orang itu si pembunuh." Aku menjawab pelan.
"Kenapa ?" Prayoga kembali bertanya.
"Sebaiknya kita pindah tempat, ngobrolnya jangan disini."
Prayoga mengerutkan dahinya.
"Pindah ke kantin ?" Bella memberi usul.
"Jangan. Kantin lagi banyak orang, bahaya kalau obrolan kita kedengaran sama orang lain. Kita pindah ke kostan Fajar aja." Aku menunjuk Fajar yang ada di belakangku.
Semuanya mengangguk setuju.
Sekarang kami sudah berada di dalam kamar kostan Fajar. Fajar sibuk membersihkan kamarnya yang berantakan. Sementara yang lain, sudah duduk bersila di atas kasur. Aku membantu Fajar membuang sampah-sampah bekas minuman ke dalam tempat sampah. Aku tidak heran kenapa kamar kostan Fajar selalu berantakan, karena ia cowo. Karena wajar saja kalau cowo itu mempunyai sifat jorok, walau tak semua cowo itu jorok.
Untungnya, suasana kostan Fajar sepi. Kamar-kamar di sebelah kosong ditinggalkan oleh penghuninya. Karena kebanyakan orang kantoran yang ngekost di sini. Hanya Fajar yang seorang mahasiswa. Jadi tak aneh di jam dua siang ini, kostannya selalu sepi. Karena suasana yang sepi, kami menjadi lebih kondusif untuk mengobrolkan hal serius seperti ini.
"Kalian tau Kang Falah ?" Aku bertanya kepada semuanya.
"Kang Falah yang gondrong kan ?" Laras menjawab polos.
Aku hanya mengangguk.
"Kenapa emangnya ?" Prayoga bertanya penasaran.
"Jadi tadi tuh gua liat ada tiga orang yang pake jaket hoodie warna item. Dua diantaranya gua ga kenal itu siapa, tapi tingkah lakunya biasa aja ga ada hal yang mencurigakan. Satunya lagi yaitu Kang Falah. Emang ia juga bersikap biasa aja ga ada hal yang bikin gua atau Fajar curiga. Tapi, Fajar pernah denger selentingan soal Kang Falah yang ga suka sama kelakuan Agung yang di anggap belagu. Mungkin, bisa jadi dia pembunuh Agung." Aku menyalakan sebatang rokok.
"Tapi, Gua sama Fajar juga masih sekedar asumsi. Karena kita juga ga punya bukti kalau Kang Falah pelakunya." Fajar duduk, menambahkan.
"Bisa jadi sih, tapi tetep itu jauh dari kata seratus persen ia pelakunya." Prayoga mengelap keringatnya.
"Memang, tapi ia bisa kita jadikan orang untuk kita intai. Lu sendiri gimana ?" aku menoleh ke arah Prayoga.
"Nihil. Ga ada yang pake jaket hoodie warna item yang lewat koridor." Prayoga mengangkat bahunya.
Sejak di lapangan, aku dan Fajar sudah sepakat akan mengintai Kang Falah hari ini. Karena siapa tau asumsiku memang benar. Jikalau benar, kita beruntung bisa menemukan si pembunuh dengan cepat.
"Gua punya rencana untuk pergerakan kita selanjutnya dalam kasus ini. Gua sama Fajar abis ini bakal langsung ngintai Kang Falah sampai rumahnya. Siapa tau di luar kampus ada hal yang mencurigakan dari dia. Sedangkan kalian, balik lagi ke kampus cari informasi tentang Kang Falah orangnya kaya gimana. Kalau bisa cari informasi yang dia ga suka sama si Agung itu bener apa engga. Kalau bener, itu bisa mempermudah penyelidikan ini." Aku menundukan kepala, sambil berbisik kepada semuanya.
"Okey gua setuju. Tapi ngapain lu harus ngomong bisik-bisik sih ?" Prayoga mengangkat alisnya.
"Biar kaya detektif di film-film gitu." Aku tertawa.
***
Sore hari.
"Tadi Kang Falah belok apa lurus?" Tanya Fajar. Sementara itu, motor yang kami kendari masih melaju di jalanan. Hampir melewati perempatan tempat dimana kami kehilangan jejaknya. "Emm… gatau. Coba lurus aja." Jalanan padat, Fajar kehilangan motor yang dikendarai Kang Falah di sela-sela kemacetan. "Yakin lu?"
"Gua gatau. Tapi udah lurus aja." Motor kami terus bergerak secepat mungkin, Fajar berkosentrasi penuh menerobos kemacetan. Sudah hampir lima ratus meter dari perempatan kami bergerak, mengejar Kang Falah yang terlepas dari pandangan kami berdua.
"Ko lu gatau ? kan udah gua bilang lu yang lebih perhatiin kemana Kang Falah pergi." Fajar sedikit kesal.
"Sorry, tadi kehalang sama mobil warna item pas dia lagi lewat di perempatan."
"Duh gimana kalau ga ketemu lagi? Sia-sia dah kita ngikutin dia dari tadi." Fajar menggerutu dan terlihat sangat kecewa.
"Udah kita diem dulu. Fokus lagi ke jalan, siapa tau kita nemuin lagi Kang Falah." Aku berseru. Kita harus tetap memperhatikan jalanan dibandingkan sibuk menyalahkan satu sama lain. Kang Falah mungkin sudah berada jauh.
Sial! Sudah sekitar lima ratus meter kami mengikuti jalan ini tapi tak ada hasilnya. Kang Falah tetap saja tidak terlihat kembali dengan motor maticnya berwarna putih. Mataku memeriksa setiap belokan, mencari jejak.
"Belok kanan, Jar. Itu Kang Falah." Aku berseru sambil menunjuk ke sebelah kanan.
Fajar mengangguk. Ia membelokan motornya secara mendadak karena kami sudah di tengah-tengah pertigaan ini. Untungnya jalanan disekitar sini sudah tak sepadat sebelumnya, sehingga motor kami bisa berbelok secara mendadak tanpa ada motor lainnya yang menabrak kami dari belakang.
"Itu di depan mobil warna putih." Aku berseru.
Fajar langsung menancap gas kecepatan penuh mengendarai motornya. Sampai-sampai aku sedikit ketakutan dan memeluk tubuh Fajar. Fajar terpaksa melakukannya karena takut kehilangan kembali sosok Kang Falah di tengah-tengah jalanan. Kini kami sudah berada di jarak yang aman dalam sebuah pengintaian. Kami sangat menjaga jarak karena tidak ingin membuat Kang Falah curiga kalau ada seseorang yang mengikutinya sejak tadi.
Namun, sepertinya terlambat. Karena Fajar yang tadi menancap motornya dengan kecepatan penuh, kami hampir sejajar dengan motor kang Falah karena Fajar telat mencengkram rem. Kang Falah menambah kecepatan laju motornya karena sepertinya ia sudah menyadari kehadiran kami. Maka terjadilah kejar-kejaran antara Fajar dan Kang Falah. Motor kami meliak-liuk di antara kendaraan yang lainnya. Begitupun dengan motor Kang Falah yang terus mencoba menjauh dari kejaran kami. Dari kejauhan, sudah terdengar suara alarm bunyi gerbang perlintasan kereta.
Aku mengetupkan rahang. "Sial! Di depan ada kereta mau lewat lagi."
Fajar berseru panik, karena di depan tiba-tiba palang pintu perlintasan kereta sudah menutup jalan kami. Motor yang kami kendarai mengeluarkan suara decitan dari cakram rem yang di cengkram kuat. Kini, sebuah kereta sudah melintas di hadapan kami. Fajar masih terdiam menahan kaget karena palang pintu lintasan kereta yang tiba-tiba turun.
"Gimana nih, Kang Falah pasti udah jauh." Fajar menengok kebelakang.
Aku bergumam kesal. Kami telah kehilangan jejak orang yang sedang kami intai. Satu-satunya orang yang kami curigai.
Kang Falah berhasil lolos dari pengintaian kami hari ini.